Kenaikan dan Misi

Kenaikan Tuhan Yesus ke Surga [10 Mei 2018/ 13 Mei 2018] Markus 16: 15-20

“Yesus berkata kepada mereka, ‘Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.’ ”(Markus 16:15)

father and daughter at beachKita biasanya tidak ingin berpisah dari orang-orang yang kita cintai. Ikatan emosional yang telah terbangun membuat kita sulit untuk menjauh dari mereka yang kita cintai. Orang tua tidak ingin terpisahkan dari anak-anak mereka. Sepasang kekasih benci ketika mereka harus jauh dari satu sama lain. Kita sedih ketika mereka harus berpisah dengan sahabat kita.

Namun, hari ini kita melihat bahwa Yesus justru melakukan hal yang sebaliknya ketika Dia naik ke surga. Kristus yang telah bangkit bisa saja memilih tinggal dan menemani para murid. Kehadiran fisiknya yang permanen dapat meningkatkan semangat para murid, memberi mereka kenyamanan dan perlindungan. Namun, Dia memilih untuk pergi dan meninggalkan para murid-Nya di bumi. Mengapa Yesus melakukan hal yang tampaknya sangat kejam ini?

Ketika kita membaca Injil hari ini dengan seksama, Yesus tidak sekedar meninggalkan murid-muridNya, tetapi Dia juga mengutus mereka untuk menjalankan misi mereka, “Pergi ke seluruh dunia dan mewartakan Injil kepada setiap makhluk.” (Mrk 16:15) Faktanya, Kenaikan Tuhan Yesus lebih banyak berbicara tentang pengutusan daripada perpisahan. Dia naik ke surga supaya murid-murid bisa bergerak maju. Yesus memahami bahwa jika Ia tinggal lebih lama, Ia menghalangi para murid untuk tumbuh dan berkembang. Ketika mereka diutus, mereka tumbuh menjadi orang-orang yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Mereka memiliki iman yang bahkan lebih tinggi, dan secara bertahap tumbuh dalam harapan dan kasih. Seandainya Petrus tetap tinggal, dia tidak akan menjadi pemimpin Gereja. Seandainya Yohanes tidak diutus, dia tidak akan menjadi penatua Gereja di Efesus dan menulis Injil Keempat.

Kisah iman dimulai dengan sebuah misi. Tuhan memanggil Abraham, mengutusnya pergi dari tanahnya di Ur, dan pergi ke Kanaan. Dia menjadi Bapak dari bangsa-bangsa besar bukan di tanah airnya, dimana dia hidup dalam kenyamanan, tetapi di tanah yang berbahaya dan tidak dikenal. Allah memanggil Musa dan orang Israel untuk pergi keluar dari tanah Mesir, dari tanah yang memberi mereka mentimun, bawang, dan melon. Mereka menjadi orang-orang yang bebas untuk menyembah Tuhan mereka, bukan di Mesir, tanah seribu dewa, tetapi di tanah yang Tuhan telah janjikan kepada mereka. St. Dominikus de Guzman memulai Ordo Pewarta (OP) dengan mengirimkan komunitasnya yang kecil dan rapuh ke berbagai kota di Eropa. Beberapa saudaranya meragukannya, beberapa menolak, dan lainnya berkeberatan dengan keputusannya. Namun, keputusannya terbukti menjadi titik balik bagi Ordo. Misi Ordo Pewarta bukanlah untuk membangun pertapaan stabil seperti halnya ordo-ordo lainnya yang lebih dahulu ada, tetapi menjadi sekelompok pewarta yang hidup dalam pengembaraan. Iman St. Dominikus telah melahirkan sebuah keluarga Dominikan yang saat ini hadir di lebih dari 100 negara.

Saya selalu berterima kasih kepada orang tua saya karena mengizinkan saya masuk seminari pada usia muda 14 tahun. Saya mengerti bahwa ini adalah keputusan yang sulit dan menyakitkan, tetapi keberanian mereka telah menjadikan saya seorang manusia yang sekarang ini. Pada mulanya, kedua orang tua saya dan saya sendiri tidak yakin apa yang akan terjadi pada diri saya di seminari, tetapi kami yakin bahwa saya telah diutus, dari kenyamanan sebuah keluarga ke tengah-tengah Gereja yang sangat luas.

Sudahkah kita tumbuh dan menjadi orang yang dewasa dan berani? Beranikah kita mengutus orang yang kita cintai agar tumbuh menjadi orang yang lebih dewasa? Sudahkah kita mempercayakan diri kita dan orang-orang yang kita kasihi ke dalam misi Allah?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ikutlah Aku!

Minggu di Biasa ke-3 [21 Januari 2018] Markus 1:14-20

“Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.(Mar 1:17)”

ordination
foto oleh Harry Setianto Sunaryo, SJ

Yesus memulai pelayanan publik-Nya dengan memanggil empat murid yang pertama untuk mengikuti Dia. Di Palestina zaman Yesus, untuk menjadi murid berarti mengikutinya ke mana pun sang guru pergi. Bahkan, kata-kata Yunani yang digunakan adalah “deute hopiso”, itu berarti “Ikutilah di belakangku” karena para murid benar-benar berjalan beberapa langkah di belakang Yesus, sang Guru. Tidak mengherankan, bahwa ketika empat murid pertama, Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes, dipanggil, mereka harus meninggalkan segala sesuatu, pekerjaan, keluarga dan kampung halaman. Jadi, untuk menjadi murid Yesus adalah sebuah komitmen radikal yang memerlukan pengorbanan besar.

Namun, jika kita mengaplikasikan kehidupan para murid pertama Yesus ke zaman kita, siapa di antara kita yang bisa mengikuti panggilan ini? Siapa di antara kita bersedia meninggalkan pekerjaan, keluarga dan tempat tinggal kita demi Kristus? Jawabannya tidak banyak. Hanya sedikit orang yang memasuki pertapaan atau biara. Bahkan, mereka yang sudah menjadi anggota kongregasi religius pun, diijinkan untuk tetap berhubungan dengan keluarga mereka. Saya sendiri sebagai seorang biarawan bisa berlibur setiap tahun dan mengunjungi keluarga saya di Bandung. Tampaknya kehidupan sebagai murid yang total tetap menjadi ideal yang jauh bagi kita.

Meskipun memang benar bahwa kehidupan seperti ini benar-benar sulit dan langka, namun kita percaya bahwa kehidupan murid sejati juga mungkin bagi kita semua. Injil mengatakan kepada kita bahwa murid pertama meninggalkan banyak hal, namun sebenarnya para murid juga membawa sesuatu bersama mereka ketika mereka memutuskan untuk berjalan dengan Yesus. Mereka sebenarnya membawa “diri mereka sendiri.” Di dalam totalitas pribadi ini ada karakter, pengetahuan, keterampilan, cita-cita, dan impian mereka. Singkatnya, mereka juga membawa serta profesi mereka, keluarga dan tanah air mereka. Inilah sebabnya mengapa Yesus tidak hanya memanggil Simon, Andreas, Yakobus dan Yohanes untuk mengikut Dia, tetapi Dia juga akan menjadikan mereka “penjala manusia.” Yesus tahu bahwa orang-orang ini adalah salah satu nelayan terbaik di Galilea, dan sekarang Yesus mengundang mereka untuk mempersembahkan yang terbaik yang mereka miliki bagi Allah. Mengikuti Yesus tidak berarti meninggalkan segalanya, tetapi  mempersembahkan diri kita kepada Tuhan.

Ketika St. Dominikus de Guzman berkhotbah menentang ajaran sesat di Prancis Selatan, dia meninggalkan kenyamanan hidupnya di gereja di Osma, Spanyol. Namun, ketika dia berkhotbah, dia membawa semua keterampilan dan pengetahuan yang dia dapat sebagai kanon di Osma, dan sebagai mahasiswa di universitas Valencia. Dia meninggalkan segalanya, tetapi dia membawa semuanya saat dia mendirikan Ordo religius pertama yang didedikasikan untuk berkhotbah di Gereja. Sungguh sebuah paradoks!

Kita mungkin tidak dapat meninggalkan keluarga, profesi dan tempat tinggal kita karena kita bertanggung jawab atas kehidupan keluarga dan saudara-saudari kita, namun dengan semangat yang sama, kita dapat secara radikal mengikuti Yesus. Bagaimana? dengan mempersembahkan diri kita bagi Allah dan rencana-Nya. Sebagai orang tua, apa yang kita berikan kepada Tuhan, yang bisa mendidik anak-anak kita dan membangun keluarga Kristiani yang baik? Sebagai bagian dari Gereja, apa yang kita serahkan kepada Yesus, yang dapat membantu pertumbuhan Gereja di dunia ini? Sebagai anggota masyarakat, apa yang kita persembahkan kepada Tuhan, yang dapat memberikan kontribusi pada masyarakat yang adil dan makmur?

Frater. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Come after Me!

3rd Sunday in Ordinary Time (Feast of Sto. Niño in the Philippines) January 21, 2018 [Mark 1:16-20*]

“Come after me, and I will make you fishers of men (Mar 1:17)”

gazing cross
photo by Harry Setianto Sunaryo, SJ

Jesus begins His public ministry by calling His first disciples to follow Him. In ancient Palestine, to become a student of a particular teacher means to follow him wherever he goes and stays. In fact, the Greek words used is “deute hopiso”, that means “come after me” because the disciples are expected to literally walk few steps behind Jesus. No wonder, that when the four first disciples, Peter, Andrew, James and John, are called, they have to leave practically everything behind, their works, their family and their hometowns. Thus, to become Jesus’ disciples are a radical commitment that entails great sacrifices.

However, if we bring back the life of radical discipleship to our time, who among us will be able to follow that call? How many among us will be willing to leave behind our work, family, and hometown for the sake of Christ? Not many. Only a few people are entering the monasteries or the convents. Even, those who are already members of religious congregations, we are allowed to keep in touch with their family. I myself am able to have a vacation every year and visit my family. It seems that the total discipleship remains a far-reached ideal for many of us.

While it is true that this kind of life is genuinely difficult and rare, yet we believe that the life of a true disciple is also available for all of us. The Gospel tells us that the first disciples leave many things behind, but actually, the disciples do also bring something with them when they decide to walk after Jesus. They carry “themselves”, the totality of their own persons. Within this person are their characters, knowledge, skills, ideals, and dreams. In short, they also carry with them their profession, their family, and homeland. This is why Jesus does not only call Simon, Andrew, James, and John to follow Him, but He also is going to make them “the fishers of men.” Jesus knows that these guys are one of the best fishermen in the Galilee, and now Jesus invites them to offer the best they have for God’s purposes. To follow Jesus is not leaving everything behind as much as offering ourselves to the Lord.

When St. Dominic de Guzman preached against the heresy in the Southern French, he left the comfort of his church in Osma, Spain. Yet, when he preached, he brought along all the skills and knowledge he learned as a canon in Osma, and as a student at the University of Valencia. He left everything and yet, paradoxically, he brought everything when he founded the first religious Order that was dedicated for preaching in the Church.

We may not be able to leave our family, our profession, and hometown because we are responsible for the lives of our family and relatives, but with the same spirit, we can radically follow Jesus, by offering ourselves for God’s purposes. As parents in the family, what do we give to God, which may build a solid Christian family? As part of the Church, what do we surrender to Jesus, which may help her growth in the world? As members of society, what do we offer to the Lord, which may contribute to a just and growing society?

Today, the Church in the Philippines is celebrating the feast of Sto. Niño, or the Child Jesus. The image of Sto. Niño is the first to be introduced to the Filipino people, and His intercession has been very instrumental to the evangelization of this country. We pray to Sto. Niño that our self-offering may bear fruits wherever we are sent and live.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

*the reading is taken from the 3rd Sunday of Ordinary Time

Be Wise in Small Things

32nd Sunday in Ordinary Time. November 12, 2017 [Matthew 25:1-13]

“The foolish ones, when taking their lamps, brought no oil with them, but the wise brought flasks of oil with their lamps. (Mat 25:3-4)”

In the Jewish patriarchal society, an unmarried woman has to stay with her father. Then, when she gets married, she will move to her husband’s house. This transition from her family of origin to her new family is ritualized by an elaborate wedding procession. The groom will fetch the bride from her father’s house, and together they march back to the groom’s house where usually the wedding celebration is held. For practical reason, the procession takes place after sunset, and thus, men and women who are involved in the procession shall bring their torch or lamp.

Within this context, the presence of the ten virgins have to be understood. They are assigned to welcome the groom and the bride, and join community in the procession of light. Since there are no means communications like cellular phone with GPS, they are not able to track the location of the couple, and yet, they need to be ready with their lamps anytime the procession comes. There is element of surprise and expectation, and the virgins have to prepare themselves well for this.

Jesus compares the five wise virgins and the five foolish virgins. The wisdom of the five virgins manifests in their ability to foresee some practical considerations like the estimated distance between the house of the groom and bride, the possible delay, and the expected slow-pacing procession. Thus, bringing along extra oil for the lamp is something sensible, and in fact, necessary. Extra oil might be just a simple thing compare to the entire wedding celebration, but its absence proves to be costly for the five virgins. It is just “foolish” to miss the entire celebration just because they fail to bring simple thing like an oil. Jesus likens this to the preparation for the Kingdom of Heavens. It begins with practicality of life, to prepare apparently simple things in life and yet proved to be important for those who are welcoming Jesus and His Kingdom.

Many great saints are those who are most humble. What basically Mother Teresa of Calcutta did was to serve the poorest of the poor in India. Sometimes, she and her sisters had something to give, but often they only had themselves to share. Yet, for the lonely, sick and dying, Mo. Teresa’s loving company was what mattered most. Then, she advised us, “Not all of us can do great things. But we can do small things with great love.” When sister Breda Carroll, a Dominican nun from Drogheda, Ireland, was asked by a journalist, “Isn’t life in the monastery is completely useless? And how do you become a preacher if you never go out and preach?”  She replied, “The greatest preaching is to make people think of God, and our mere presence and constant prayer cannot but disturb people and make them think of God.” For all we know, their simple ways of life and constant prayer have saved countless souls in purgatory.

We are invited to act like this practical and wise virgins. We prepare ourselves for Jesus by faithfully doing seemingly simple and ordinary things in our lives. Preparing breakfast every morning seems nothing special, but for a mother of five children, that is her share in the Kingdom. Working hard every day looks to be normal for a young man aiming for a bright future, but for a poor and old man who needs to support his family, it is his share in the Kingdom. What are our share in the Kingdom? Are we faithfully doing simple things with love? Are we ready to welcome Christ?

  Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Menjadi Bijak dalam Hal Kecil

Minggu Biasa ke-32 [12 November 2017] Matius 25: 1-13

“Gadis-gadis yang bodoh itu membawa pelitanya, tetapi tidak membawa minyak (Mat 25:3).”

ten virgins - africaPada zaman Yesus, seorang perempuan yang belum menikah harus tinggal dengan ayah dan keluarganya. Hanya saat dia menikah, dia akan pindah ke rumah suaminya. Peralihan dari keluarga asalnya ke keluarga barunya ini dilambangkan oleh perarakan pernikahan yang melibatkan hampir semua orang di desa. Pengantin laki-laki akan menjemput sang istri dari rumah ayahnya, dan bersama-sama mereka diarak kembali ke rumah pengantin laki-laki di mana biasanya perayaan pernikahan diadakan. Untuk alasan praktis, perarakan berlangsung setelah matahari terbenam, dan dengan demikian, pria dan wanita yang terlibat dalam perarakan harus membawa obor atau pelita mereka.

Dalam konteks inilah kehadiran sepuluh gadis harus dipahami. Mereka ditugaskan untuk menyongsong pengantin pria dan wanita, dan bergabung dengan komunitas dalam perarakan cahaya. Karena belum ada sarana komunikasi seperti handphone dengan GPS, mereka tidak dapat melacak lokasi perarakan, tetapi mereka harus siap dengan pelita mereka kapan pun perarakan datang. Ada unsur kejutan dan penantian, dan para gadis ini harus mempersiapkan diri dengan baik.

Yesus membandingkan lima gadis yang bijaksana dan lima gadis bodoh. Kebijaksanaan kelima gadis tersebut terletak pada kemampuan mereka untuk melihat beberapa pertimbangan praktis seperti perkiraan jarak antara rumah mempelai pria dan wanita, kemungkinan keterlambatan, dan perarakan yang berjalan dengan lambat. Dengan demikian, membawa tambahan minyak untuk lampu adalah sesuatu yang masuk akal dan sebenarnya diharuskan. Minyak tambahan mungkin hanya hal yang sederhana dibandingkan dengan keseluruhan perayaan pernikahan, tetapi kegagalan untuk mempersiapkannya terbukti membawa bencana bagi kelima gadis lain. Tentu saja hal yang “bodoh” tidak bisa mengikuti seluruh perayaan hanya karena mereka gagal membawa hal sederhana seperti minyak. Bagi Yesus, hal ini seperti mempersiapkan Kerajaan Surga. Semua dimulai dengan kemampuan kita untuk menentukan dan mempersiapkan hal-hal yang tampaknya sederhana dalam hidup, tetapi terbukti penting bagi kita yang menyambut Yesus dan Kerajaan-Nya.

Orang-orang kudus yang paling besar adalah mereka yang paling rendah hati dan sederhana. Bunda Teresa dari Kalkuta memberikan hidupnya melayani orang-orang miskin di India. Terkadang, dia dan para susternya memiliki sesuatu untuk diberikan kepada orang miskin, tapi sering kali mereka tidak memiliki apa-apa kecuali belas kasih. Namun, bagi mereka yang sakit, miskin dan menjelang ajal mereka, persahabatan dan kasih Bunda Teresa adalah yang paling penting. Bunda Teresa pun mengatakan, “Tidak semua dari kita bisa melakukan hal besar, tetapi kita bisa melakukan hal-hal kecil dengan kasih yang besar.” Ketika suster Breda Carroll, seorang rahib Dominikan dari Drogheda, Irlandia, ditanya oleh seorang wartawan, “Bukankah kehidupan di dalam pertapaan sama sekali tidak berguna? Dan bagaimana Anda menjadi seorang pewarta jika Anda tidak pernah pergi keluar dan berkarya?” Dia menerangkan, “Pewartaan terbesar adalah untuk membuat orang-orang merasakan dan berpikir tentang Tuhan, dan kehadiran kami sebagai petapa dan doa-doa kami mengundang mereka untuk melihat sesuatu yang lebih dari mereka, untuk memikirkan Tuhan.”

Kita diundang untuk bertindak seperti gadis-gadis bijaksana ini. Kita mempersiapkan diri kita untuk Yesus dengan kesetiaan melakukan hal-hal yang tampak sederhana dan biasa dalam hidup kita. Mempersiapkan sarapan pagi bagi anak-anaknya setiap hari tampaknya tidak istimewa, tapi bagi ibu dengan lima anak, ini adalah caranya mempersiapkan diri menyambut Kerajaan. Bekerja keras dan jujur setiap hari terlihat biasa-biasa saja, tapi bagi pria miskin dan tua yang perlu menghidupi keluarganya, ini adalah caranya mempersiapkan diri menyambut Kerajaan. Apakah kita lakukan untuk mempersiapkan diri kita untuk menyambut Kerajaan? Apakah kita melakukan hal-hal sederhana dengan kasih yang besar? Apakah kita siap untuk menyambut Kristus?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Greatest Commandments

30th Sunday in Ordinary Time. October 29, 2017 [Matthew 22:34-40]

“You shall love the Lord, your God, with all your heart, with all your soul, and with all your mind.  (Mat 22:34)”

love god love neighborsWhat is love? If we ask young couple who are in love, love means more time together and be connected online even up to late hours of the night. For young priests, love may mean patiently listening to confessions for hours, and attending to sick calls. For a couple who have their newly-born baby, love is changing the baby’s diapers even at middle of the night. Love is passion, dedication and sacrifice.

However, love is also one of the most abused and misused words in human history. In the name of love, a young man lures his girlfriend into premarital sex.  For the love of their country and race, some men persecute another ethic group and burn their villages. For the love of God and religion, some men blow themselves up and kill the innocent people, including children whom they consider the enemies of their God.

Surprisingly, the situation is not much different from the time of Jesus. For the love of the Law, the Pharisees keep and observe the Law even to its meticulous details in their daily lives. For the love of God and their country, the Zealots fight and kill the Romans and those who work for them. For the love of God, the Essenes separate themselves from the rest of the corrupted world and build their own exclusive communities. For the love of the Temple, the priestly clan work hard to offer sacrifices daily and is ready to die for the Temple.

When the Pharisees ask Jesus what is the greatest law, the law of laws, it is not simply about theological exercise, but it is to reveal Jesus’ fundamental attitude towards God and the Jewish Law. Is He a Pharisee who loves the Law more than anything else, a Zealot who loves the country zealously, or something else? Jesus answers, “You shall love the Lord, your God, with all your heart, with all your soul, and with all your mind.” Jesus quotes part of the Shema or the basic Jewish Creed that every devout Jews would recite every day (see Deu 6:4-5). Yet, Jesus does not stop there. He completes the first and the greatest law with another one, “You shall love your neighbor as yourself.” It also comes from the Old Testament (see Lev 19:18). To the delight of the Jews, Jesus’ answer is basically an orthodox one, but there is something novel as well.

The connection between first and second turns to be a watershed. For Jesus, true love for God has to be manifested in the love for others, and genuine love for others has to be oriented toward God. Thus, it is unthinkable for Jesus to order His disciples to kill for the love of God. Or, Jesus will not be pleased if His followers are busy with performing rituals, but blind to the injustices that plague their communities.

Once I asked my brother who is studying Canon or Church Law, what is the highest law in the Canon Law? He immediately answered, the suprema lex, all laws are governed and ordained for the salvation of souls. The Code of Canon Law contains more than 2 thousand provisions governing various aspects of Church’s life, and all these will be absurd if not for the love of God and neighbors. In the same manner, do our love for God, our prayers and celebration of sacraments bring us closer to our neighbors, to be more committed in doing justice, to be dedicated in our responsibilities as members of a family and a society? Does our love for others, our affection for our children and friends, our passion for ministry bring them closer to God?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hukum yang Terutama

Minggu Biasa ke-30 [29 Oktober 2017] Matius 22: 34-40

“Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. (Mat 22:37)”

greatest commandment

Apa itu cinta kasih? Jika kita bertanya kepada pasangan muda yang sedang jatuh cinta, cinta berarti lebih banyak waktu bersama dan terhubung online bahkan sampai larut malam. Bagi para imam muda, cinta kasih adalah mendengarkan pengakuan dosa dengan sabar selama berjam-jam. Bagi pasangan yang baru mendapatkan bayi mereka, cinta kasih bisa berarti siap menggantikan popok sang bayi bahkan di tengah malam. Cinta kasih adalah semangat, dedikasi dan pengorbanan.

Namun, cinta juga menjadi salah satu kata yang paling disalahgunakan dalam sejarah manusia. Atas nama cinta, seorang pemuda membawa kekasihnya kepada perbuatan yang tidak pantas. Demi cinta kepada negara dan ras mereka, beberapa orang menganiaya kelompok etik lain dan membakar desa mereka. Demi cinta kepada Tuhan dan agama, beberapa orang meledakkan diri dan membunuh orang-orang yang tidak bersalah, termasuk anak-anak yang mereka anggap musuh-musuh dari Tuhan mereka.

Anehnya, situasi ini tidak jauh berbeda dengan zaman Yesus. Demi cinta kepada Hukum Taurat, orang-orang Farisi mematuhi Hukum Taurat bahkan dalam segala aspek dalam kehidupan sehari-hari mereka. Demi cinta kepada Tuhan dan bangsa mereka, orang-orang Zelot melawan dan bahkan membunuh orang-orang Romawi dan mereka yang bekerja untuk penjajah. Demi cinta kepada Tuhan, kelompok Essen memisahkan diri dari dunia yang mereka anggap tidak lagi murni dan membangun komunitas eksklusif mereka sendiri di gurun. Demi cinta kepada Bait Suci, para imam bekerja keras untuk mempersembahkan korban setiap hari dan siap untuk mati bagi Bait Suci.

Ketika orang-orang Farisi bertanya kepada Yesus apa hukum yang terbesar, ini bukan hanya tentang sekedar wacana teologis, tetapi ini akan mengungkapkan sikap fundamental Yesus terhadap Allah dan Hukum Yahudi. Apakah Yesus sama seperti orang Farisi yang lebih mengasihi Hukum daripada sesama, atau seperti orang Zelot yang mencintai bangsa mereka sampai mati, atau Yesus adalah lebih dari mereka? Yesus menjawab, “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.” Yesus mengutip bagian dari Shema atau Kredo dasar Yahudi yang setiap orang Yahudi daraskan setiap hari (lihat Deu 6: 4-5). Namun, Yesus tidak berhenti sampai di situ saja. Dia melengkapi hukum pertama dan terbesar dengan hukum kedua, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Ini juga berasal dari Perjanjian Lama (lihat Im 19:18). Sesungguhnya, jawaban Yesus pada dasarnya adalah ajaran yang ortodoks bagi orang Yahudi yang mendengar. Namun ada juga sesuatu yang baru.

Hubungan antara hukum pertama dan kedua menjadi kunci ajaran Yesus. Bagi Yesus, cinta kasih sejati kepada Tuhan harus diwujudnyatakan dalam cinta kasih kepada sesama, dan cinta sejati kepada sesama harus berorientasi kepada Tuhan. Jadi, sungguh tidak terpikirkan jika Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk membunuh demi cinta akan Allah. Atau, Yesus tidak akan senang jika para pengikutnya hanya sibuk melakukan peribadatan, namun buta dengan ketidakadilan yang terjadi di dalam komunitas mereka.

Pernahkah saya bertanya kepada seorang frater yang sedang belajar Hukum Kanonik atau Hukum Gereja, “apakah hukum tertinggi dalam Hukum Kanonik?” Dia segera menjawab, suprema lex, semua hukum berpedoman dan bermuara pada keselamatan jiwa-jiwa. Kode Hukum Kanonik berisi lebih dari 2 ribu ketentuan yang mengatur berbagai aspek kehidupan Gereja, dan semua ini tidak masuk akal jika bukan karena cinta kasih kepada Tuhan dan sesama.

Sekarang sebagai murid-murid Yesus, apakah cinta kita kepada Tuhan, doa dan perayaan-perayaan sakramen membawa kita lebih dekat ke sesama kita, untuk lebih berkomitmen dalam memperjuangkan keadilan, untuk lebih bertanggung jawab sebagai anggota keluarga dan masyarakat? Apakah cinta kita kepada sesama, kasih sayang bagi anak cucu kita dan teman-teman kita, semangat kita dalam pelayanan membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

“Who Do You Say that I Am?”

12th Sunday in The Ordinary Time. June 19, 2016 [Luke 9:18-24]

 simon n jesus - for blogWhat will be your answer to Jesus’ question “Who do you say that I am?” We may come up with multiple answers. He is my God, my savior, my friend or my brother. But, we seldom ask, “Do we really understand Jesus’ question? Do we get the right answer? Why is it that Peter would confess that Jesus is Christ of God in the first place?

Christ comes from a Greek ‘Christos’, meaning Messiah or the Anointed One. In the Old Testament, the Anointed One of God refers to the great kings of Israel like Saul and David. Less often, the anointed one applies to prophets and priests. They were called as such because they were anointed with the sacred oil before they assumed the important office. They are leaders of the people as well as God’s representative. When God chose David to lead His People, He instructed Prophet Samuel to go to Bethlehem to house of Jesse and look for David. When the holy prophet found him, he anointed David with the sacred oil. The Spirit of the Lord then rushed and filled upon David (1 Sam 16:1-14). Under King David, Israel reached its pinnacle. Yet, after his demise, Israel’s glory slowly fading and even disappeared altogether. Since then, the Israelites long for the coming of the Anointed One who will restore their glory.

Jesus definitely was aware that He is the Anointed One. In the beginning of his preaching ministry, Jesus went to the synagogue in Nazareth and proclaimed, “The Spirit of the Lord is upon me, because he has anointed me to bring glad tidings to the poor. (Luk 4:18).” Yet, Jesus avoided public proclamation that He is the Christ. He knew well that He would be misunderstood by the Jews. He never came as a political liberator nor a military chieftain. Thus, He waited until the best time arrived.

The time reached fulfillment when Peter was able to answer correctly. Tired of Roman oppressions, the entire Israel, including Peter, was impatient for the coming of the Messiah. When Jesus nodded that He is the Christ, Peter and other disciples would not have a second thought. They would follow their Messiah until the New Israel is born. For Peter, his answer is more than making a confession on Jesus’ identity, but promising firm allegiance to Jesus. Yet, again Jesus had to remind them of the false image of Messiah. He would be rejected, persecuted and even murdered. Following Him means also suffering the same fate as their Master.

When Jesus confronts us with this question “Who do you say that I am?” it is not about giving personal and favorite status of Jesus. Following Peter, our answer is fundamentally about radical commitment to Jesus. It means to follow Him for better or worse. It entails sufferings and cross. Even we may lose our life. We can easily and joyfully sing and praise Jesus in worship meetings, but do we get involved in dirty works of helping the poor? We are proud to have our wedding at the big Church with glamorous celebration, but are we patient enough to endure the trials of marriage life ‘until death do us part’? We are called Christian, because we bear Christ in us. But, do we live like Christ’s image in the world?

To answer rightly, we need to get the question correctly. Have we understood Jesus’ question “Who do you say that I am?” Have we dared to give the right answer? May St. Paul reminded us who we are, “I have been crucified with Christ; yet I live, no longer I, but Christ lives in me (Gal 2:19-20)”

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

“Menurut Kamu, Siapakah Aku ini?”

Minggu Biasa ke-12. 19 Juni 2016 [Lukas 9:18-24]

quo vadisApa yang akan menjadi jawaban kita saat Yesus bertanya “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Kita mungkin menjawab: Dia adalah Tuhan, Juruselamat, sahabat atau saudara. Tapi, apakah kita sudah mengerti dengan baik pertanyaan Yesus? Apakah jawaban kita inilah yang Yesus harapkan? Mengapa jawaban Petrus adalah Kristus dan bukan jawaban lainnya?

Kristus berasal dari kata Yunani ‘Christos’ yang berarti Mesias atau Yang Terurapi. Dalam Perjanjian Lama, Yang Terurapi mengacu pada raja-raja besar Israel seperti Saul dan Daud. Tapi kadang juga, Mesiah berlaku bagi para nabi dan imam. Mereka disebut seperti itu karena mereka diurapi dengan minyak suci sebelum mereka mengemban tugas penting. Mereka adalah pemimpin bangsa Israel dan juga wakil Allah. Ketika Tuhan memilih Daud untuk memimpin umat-Nya, Dia memerintahkan Nabi Samuel untuk pergi ke Betlehem ke rumah Isai dan mencari Daud. Ketika sang nabi menemukannya, ia mengurapi Daud dengan minyak suci. Roh Tuhan kemudian bergegas dan memenuhi Daud (1 Sam 16: 1-14). Di bawah Raja Daud, Israel mencapai puncak kejayaannya. Namun, setelah kematiannya, kejayaan Israel perlahan memudar dan bahkan hilang sama sekali. Sejak saat itu, Israel merindukan kedatangan Mesias yang akan mengembalikan kejayaan mereka.

Yesus menyadari bahwa Dia adalah Kristus. Pada awal misi pewartaan-Nya, Yesus pergi ke rumah ibadat di Nazaret dan menyatakan, “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku (Luk 4:18). Namun, Yesus menghindari proklamasi publik bahwa Dia adalah Kristus. Dia tahu betul bahwa ia akan disalahpahami oleh orang-orang Yahudi. Dia tidak pernah datang sebagai tokoh politik ataupun seorang pemimpin militer. Dengan demikian, Ia menunggu sampai waktu yang tepat.

Waktunya tiba ketika Petrus mampu menjawab dengan benar. Lelah dengan penindasan Romawi, seluruh Israel, termasuk Petrus, tidak sabar akan kedatangan Mesias. Ketika Yesus mengamini bahwa Ia adalah Kristus, Petrus dan murid-murid lainnya tidak akan berpikir dua kali. Mereka akan mengikuti Mesias mereka sampai Ia membawa Israel yang baru. Bagi Petrus, jawabannya lebih dari sekedar pengakuan tentang identitas Yesus, tetapi menyatakan kesetiaannya kepada Yesus. Namun, sekali lagi Yesus harus mengingatkan mereka akan ide salah tentang Mesias di kepala mereka. Dia akan ditolak, dianiaya dan bahkan dibunuh. Mengikuti Yesus berarti juga menderita nasib yang sama seperti Guru mereka.

Ketika Yesus menghadapkan kita dengan pertanyaan Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Ini bukan saja tentang memberikan jawaban personal dan favorit tentang Yesus. Seperti Petrus, jawaban kita pada dasarnya adalah komitmen radikal kepada Yesus. Ini berarti untuk mengikuti-Nya dalam suka dan duka. Hal ini menuntut penderitaan dan salib. Bahkan mungkin kita akan kehilangan hidup kita. Kita dengan mudah bernyanyi dan memuji Yesus dalam prayer meeting, tapi apakah kita mau terlibat dalam karya sulit untuk membantu orang-orang miskin? Kita bangga mengalami pernikahan kita di Gereja besar dan indah, tapi apakah kita mampu sabar untuk menanggung cobaan hidup perkawinan ‘sampai kematian memisahkan kita’? Kita dipanggil Kristiani, karena kita adalah milik Kristus. Tapi, apakah kita bisa hidup sebagai citra Kristus di dunia?

Untuk menjawab dengan benar, kita perlu mengerti pertanyaan Yesus dengan benar. Saat, kita mengerti pertanyaan Yesus “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” Apakah kita berani memberikan jawaban yang benar? St. Paulus mengingatkan siapa kita sebenarnya, “Aku telah disalibkan dengan Kristus;  namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. (Gal 2: 19-20).”

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP