Api Yesus

 Minggu Biasa ke-20 [14 Agustus 2016] Lukas 12:49-53

 “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala! (Luk 12:49)”

pentecost 2Hidup di antara gadget-gadget digital super-canggih dan berbagai teknologi nano, kegiatan membuat api tampak seperti sangat primitif dan sia-sia. Mengapa kita harus membuat api dan menyebabkan polusi jika kita memiliki lampu LED yang hemat energi di rumah kita? Namun, membuat api sebenarnya adalah salah satu penemuan manusia yang paling awal dan signifikan. Api merevolusi kehidupan nenek moyang kita dan memberi kita keuntungan besar atas makhluk lainnya. Api membawa kehangatan dan kenyamanan dalam cuaca dingin. Api melindungi kita dari predator yang lebih besar dan ganas. Api memberikan cahaya yang menghapus kegelapan. Api juga diperlukan untuk menempa penemuan dan teknologi lain, seperti berbagai alat dan senjata.

Namun, api juga dapat menimbulkan masalah serius. Hampir setiap tahun, api membakar ribuan hektar hutan Kalimantan dan menghasilkan asap berskala global. Api juga merupakan masalah serius di kota-kota padat penduduk seperti Manila. Seorang petugas pemadam kebakaran pernah melakukan seminar di seminari. Dia mengatakan bahwa api hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk membakar seluruh tubuh anak kecil. Karena ini, api telah menjadi simbol baik dari kekuatan yang dahsyat dari alam dan juga kecerdasan manusia. Api dapat membawa kehancuran berat seperti api membakar dan mengkonsumsi hampir segala sesuatu. Namun, hal itu juga memberikan kreativitas, harapan dan masa depan kemanusiaan.

Ketika Yesus berkata ia membawa api untuk dunia, Lukas menggunakan kata Yunani ‘phur’. Jika diterjemahkan kata ini berarti api besar yang membara, bukan sekedar api yang kecil. Jadi, Yesus datang ke dunia untuk membawa energi dan kekuatan transformatif yang dahsyat. Api ini dapat menghancurkan dosa-dosa dan kebiasaan buruk kita. Namun, jauh lebih penting adalah api ini memberikan energi dan memberdayakan kita untuk menjadi kreatif dalam karya dan pewartaan dan dalam kehidupan Kristiani kita. Pada hari Pentakosta, Roh Kudus datang dalam bentuk lidah-lidah api. Api yang sama ini memberanikan para murid yang masih ketakutan, dan menggerakan mereka untuk memberitakan Kabar Baik dengan kesegaran yang baru. Mereka membuat terobosan kreatif saat mereka mulai berbicara dalam banyak bahasa, sesuai kebutuhan pendengar mereka.

Orang-orang kudus adalah orang-orang yang terbakar api Kristus. Kehidupan mereka memberikan contoh karya Roh Kudus yang selalu segar dan transformatif. Ketika St. Dominikus de Guzman melihat kebutuhan untuk memberitakan Injil dan membawa kembali para bidaah Albigensian di Perancis Selatan, iapun  mendirikan Ordo religius yang tugas utamanya adalah berkhotbah. Dan ini menjadi ordo pertama yang memiliki ke khasan ini di Gereja Katolik. Ketika para Misionaris Spanyol pertama kali datang ke Kepulauan Filipina, salah satu prioritas utama mereka adalah bagaimana memahami bahasa dan budaya lokal, sehingga pewartaan mereka dapat dengan mudah dipahami oleh orang-orang Filipina. Bahkan sejak abad ke-16, para misionaris Dominikan telah menghasilkan buku tata bahasa dan kamus berbagai bahasa di Filipina seperti Tagalog, Bisaya, dan Ivatan.

Ini adalah keinginan-Nya untuk membakar dunia dalam api, tetapi apakah api Kristus telah menyentuh kehidupan kita? Apakah Ekaristi dan Sakramen rekonsiliasi memperbaharui kita? Apakah kita merasakan energi untuk terlibat dalam pewartaan kabar baik, atau kita sudah merasa cukup dengan Misa Mingguan? Apakah kita memiliki ketekunan ditengah cobaan hidup? Apakah kita memungkinkan Roh untuk menghidupkan kehidupan kita?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Christian Life, Authentic Life?

Palm Sunday of the Lord’s Passion. March 20, 2016 [Luke 19:28-40/Luke 23:1-49]

 “Blessed is the king who comes in the name of the Lord (Luk 19:38).”

palm sundayPalm Sunday or Jesus’ entrance to Jerusalem marks the beginning of the most important drama of the Gospel, the drama of the Holy Week. The memory was so significant to the early Christians that the episode was recorded in all four Gospels (Mat 21:1-11, Mark 11:1-11, and John 12:12-19), though with some different emphases. Why was Jesus’ entrance to the ancient city Jerusalem so significant?

His entrance was unusual and less triumphant because he preferred to ride a meek donkey rather than a combat-ready horse. Yet, his unique entrance was not unexpected by the Jewish people looking forward for the Messiah. By riding on the donkey, he was fulfilling the prophecy of Zechariah, “Rejoice heartily, O daughter Zion, shout for joy, O daughter Jerusalem! See, your king shall come to you; a just savior is he, Meek, and riding on an ass, on a colt, the foal of an ass.” (Zec 9:9). The people who gathered in Jerusalem for annual Jewish festival, could not hide their excitement to this Jesus who had been rumored as the expected Christ. Indeed, the people welcome Him as a king as they shouted, “Blessed is the King who comes in the name of the Lord! (Luk 19:38)” Through his action, Jesus no longer hid His true identity, but revealed publicly that He is the Messiah.

Unfortunately, the moment Jesus revealed who He was, both the Jewish authority and the Roman rulers were ready to pin him down. They did not care whether Jesus came as the peaceful and humble leader or war-freak king. Jesus was the potential troublemaker and the sooner they get rid of him, the better. True enough, lest than a week, Jesus was betrayed, deserted by his followers and condemned to death. The people who acclaimed Him king, now cried to the top of their voice, “Crucify him!” The entrance to Jerusalem is significant because Jesus made a firm decision to live and die to the fullest. Jesus knew this horrifying possibility would take place, but He did not run and look for safety. He freely embraced his identity and mission, and because of this, his death was not in vain. He has made a difference that mattered most.

We are called Christian because we indeed the follower of Jesus Christ, but our name is worthless if we fail to follow Him up to Jerusalem. For some of us, being Christian or Catholic is just a matter of social convenience or family tradition. Our family, our society is Christian then we should be Christians. Often we just remember that we are Christians during special events in our life. In the Philippines, there are KBL Catholics, those who attend the Mass only for ‘Kasal’ or marriage, ‘Biyag’ or baptism and ‘Libing’ or funeral mass. In Indonesia, we are familiar with ‘Na-Pas’ (literally means ‘breath’) Christians, those who only go to the Church during ‘Natal’ or Christmas and ‘Paskah’ or Easter.

But, we must not forget that for some being Christians means hardship, sufferings and death. Christians in war-zones like Syria and Iraq, or when the Christians were minority, live in constant danger and discriminations are so real. Just few weeks ago, four sisters of Missionaries of Charity were brutally executed by the terrorists in Yemen. While they were fully aware of the extent of the danger, they refused to live behind the people they served, the elderly and the disabled. They are the disciples of Christ who lived their authentic Christianity to the end. Both in death and life, their faith has made the world a better.

Philosopher Abraham Kaplan noted that if Socrates said ‘unexamined life is not worth living’, so ‘the unlived life is worth examining. As we are entering the most solemn week in our liturgy, we ask ourselves: have we live our lives to the fullest? Is our Christian faith making any difference? Are we willing to make the change that matters most in our lives?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Menuju Hidup yang Otentik

Minggu Palma. 20 Maret 2016 [Lukas 19:28-40/Lukas 23:1-49]

 “Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan (Luk 19:38).”

palm sunday 2Minggu Palma atau disaat Yesus memasuki kota Yerusalem menandai awal dari drama yang paling penting di Kitab Suci. Ini adalah drama Pekan Suci. Memori ini begitu signifikan bagi Gereja Perdana, sampai-sampai episode ini tercatat di keempat Injil (Matius 21:1-11, Markus 11:1-11, dan Yohanes 12:12-19). Pertanyaannya adalah: Mengapa Minggu Palma begitu penting bagi kita?

Yesus memasuki kota tua Yerusalem dengan cara yang tidak biasa dan tidak begitu meyakinkan karena ia lebih memilih menaiki keledai yang lembut daripada kuda kuat yang siap tempur. Namun, cara yang unik ini sebenarnya tidak dianggap aneh oleh orang-orang Yahudi yang menantikan Mesias. Dengan mengendarai keledai, Yesus memenuhi nubuat nabi Zakharia, Hai penduduk Sion, bergembiralah! Hai penduduk Yerusalem, bersoraklah! Lihatlah! Rajamu datang dengan kemenangan! Ia raja adil yang membawa keselamatan. Tetapi penuh kerendahan hati ia tiba mengendarai keledai, seekor keledai muda (Zak 9:9). Orang-orang yang berkumpul di Yerusalem untuk festival Yahudi tahunan, tidak bisa menyembunyikan kegembiraan mereka kepada Yesus yang telah dikabarkan sebagai Mesias yang diharapkan. Memang, orang-orang menyambut Dia sebagai raja dan merekapun berseru, Diberkatilah Dia yang datang sebagai Raja dalam nama Tuhan, damai sejahtera di sorga dan kemuliaan di tempat yang mahatinggi! (Luk 19:38)Melalui peristiwa ini, Yesus tidak lagi menyembunyikan identitas-Nya, tetapi mengungkapkannya secara terbuka bahwa Dia adalah Mesias bagi bangsa Israel.

Sayangnya, saat Yesus mengungkapkan identitasnya, baik otoritas Yahudi dan penguasa Romawi siap untuk menjatuhkan-Nya. Mereka tidak peduli apakah Yesus datang sebagai pemimpin damai dan rendah hati atau raja yang siap berperang. Yesus adalah sebuah potensi keonaran dan semakin cepat mereka menyingkirkan dia, semakin baik. Benar saja, kurang dari seminggu, Yesus dikhianati, ditinggalkan oleh para pengikutnya dan dihukum mati. Orang-orang yang menyambut-Nya sebagai raja, sekarang berteriak, “Salibkan Dia!” Minggu Palma adalah peristiwa penting karena Yesus membuat keputusan tegas untuk hidup dan mati secara total. Yesus sadar akan kemungkinan mengerikan ini, tetapi Dia tidak lari dan mencari keselamatan pribadi. Dia dengan bebas memeluk identitas dan misi-Nya, dan karena ini, kematian-Nya tidak sia-sia. Pilihan-Nya telah membuat perbedaan yang paling penting di dalam sejarah umat manusia.

Kita dipanggil sebagai Kristiani karena kita memang pengikut Yesus Kristus, tetapi nama kita tidak ada gunanya jika kita gagal untuk mengikuti-Nya ke Yerusalem. Bagi sebagian dari kita, menjadi Kristen atau Katolik hanyalah masalah kenyamanan sosial atau tradisi keluarga. Keluarga kita dan masyarakat kita adalah Kristiani maka kita harus menjadi Kristiani. Seringkali kita hanya ingat bahwa kita adalah Kristen atau Katolik saat acara penting dalam hidup kita. Di Filipina, ada namanya Katolik KBL, orang-orang yang hanya menghadiri Misa ketika ‘Kasal’ atau pernikahan, ‘Biyag’ atau baptisan dan ‘Libing’ atau misa arwah. Di Indonesia, kita mengeenal dengan Katolik ‘Na-Pas’, orang-orang yang hanya pergi ke Gereja saat ‘Natal’ dan ‘Paskah’.

Tapi, kita tidak boleh lupa bahwa untuk sebagian orang, menjadi Kristaini berarti kesulitan, penderitaan dan bahkan kematian. Umat Kristiani di dalam zona perang seperti Suriah dan Irak, atau ketika orang-orang Kristiani adalah minoritas, akan terus hidup dalam bahaya dan diskriminasi yang begitu nyata. Hanya beberapa minggu yang lalu, empat suster dari Missionaries of Charity secara brutal dieksekusi oleh teroris di Yemen. Sementara mereka sepenuhnya menyadari situasi yang membahayakan di Yemen, mereka menolak untuk meninggalkan orang-orang yang mereka layani, para lansia dan kaum difabel. Mereka adalah murid-murid Kristus yang meghidupi panggilan mereka secara otentik sampai akhir. Baik dalam kematian dan kehidupan, iman mereka telah membuat dunia menjadi lebih baik.

Filsuf Abraham Kaplan berpendapat, “Jika Socrates berkata unexamined life is not worth living maka the unlived life is worth examining.” Saat kita memasuki minggu paling kudus dalam liturgi Gereja, kita diajak berefleksi dan menjawab pertanyaan penting bagi hidup kita: Apakah kita telah menjalani hidup secara penuh? Apakah hidup kita sebagai orang Apakah kita bersedia untuk membuat perbedaan yang paling penting dalam hidup kita?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Go Down from the Mount!

Second Sunday of Lent. February 21, 2016 [Luke 9:28-36]

“He took Peter, John, and James and went up the mountain to pray (Luk 9:28).”

transfiguration 2 For St. Luke, Jesus is a man of prayer. Luke fondly wrote in his Gospel that Jesus would pray before the decisive events in His life and mission. Jesus prayed the whole night before he chose His disciples (Luk 6:12). One of the reasons why Jesus cleansed the Temple of Jerusalem was that He was well aware of the main function of the holy Temple: House of Prayer (Luk 19:46). He reminded his disciples to pray especially in facing trials and tribulations (Luk 21:36). Before He was embracing His passion and death, He prayed at the garden (Luk 22:44). Finally, enduring a brutal torture, He saved His last breath even to pray for those who have crucified Him (Luk 23:34).

Another important event wherein Jesus spent time in prayer was the Transfiguration. Two evangelists, Matthew and Luke, placed the story of Transfiguration into their gospels, but only Luke who told the purpose of why Jesus and His three disciples went up to the Mount. It was to pray. For Luke, the Transfiguration is a prayer event. Indeed, reflecting today’s Gospel in the context of prayer will bring us a deeper understanding on our relationship with God.

Firstly, Jesus invited the disciples to climb the Mount and pray. Our desire to meet Him and to pray is actually God’s initiative. If we are able to pray, it is because God calls us and enables us to communicate with Him. Our Liturgy of the Hour prayer begins with a verse ‘O God, come to my assistance (Ps 51:15).’ It is a humble acceptance that without His grace and aid, we are not able to pray. We, Catholics, open our prayer with the sign of the cross and mentioning, “In the name of the Father, the Son and the Holy Spirit (Mat 28:19).” This was born out of conviction that apart from the Holy Trinity, our human words will be futile. St. Paul said it best when he wrote to the Romans, “the Spirit too comes to the aid of our weakness; for we do not know how to pray as we ought, but the Spirit itself intercedes with inexpressible groanings (Rom 8:26).”

Secondly, the Transfiguration teaches us that sometimes, our prayers give sense of delight and contentment, but this is not the most important. We are like the three disciples who were filled with awe in the presence of transfigured Jesus. It is the moment when we feel peace before the Blessed Sacrament. We are enjoying the recitation of the Holy Rosary. We are inspired by a good homily and feel nourished by the Holy Communion in the Eucharist. Sometimes, I attended Worship Service loaded with upbeat songs and electrifying preaching. Truly, the feeling was ecstatic and liberating, especially for persons with messed up lives.

Surely, like the disciples, we want to enjoy the delight for eternity. Yet, our good Lord did not want us to be rooted there. He asked the disciples to go down and face the world. If we rather stay and refuse to go down, then our prayers are no longer genuine and sincere. They become an addiction that helps us escape from the realities. If this happens, Karl Marx’ adage, ‘Religion is the opium to the society’ turns to be a reality.

St. Pope John Paul II reminded us that the Transfiguration would lead eventually Jesus and his disciples to that passion in Jerusalem. Prayer should then empower us to face life with courage and humility, and not to give us a venue to run away from life. The Eucharist, as the summit of all Christian worship, does not end by saying ‘Stay and enjoy some more!’ The last phrase in the Mass is always missionary in spirit, like ‘Go and preach the Gospel’. We are to share the fruits of prayers to others. If we truly find Christ in our prayer, then together with Christ, we shall go down from the Mount and bravely walk to our Jerusalem.

 Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Turun Gunung

Minggu Prapaskah Kedua. 21 Februari 2016 [Lukas 9: 28-36]

“Yesus membawa Petrus, Yohanes dan Yakobus, lalu naik ke atas gunung untuk berdoa. (Luk 9:28).”

 

transfigurationBagi St. Lukas, Yesus adalah seorang doa. Lukas menulis dalam Injilnya bahwa Yesus berdoa sebelum menghadapi peristiwa-peristiwa penting di dalam hidup dan misi-Nya. Yesus berdoa sepanjang malam sebelum ia memilih murid-murid-Nya (Luk 6:12). Salah satu alasan mengapa Yesus membersihkan Bait Allah Yerusalem dari berbagai malapraktik adalah bahwa Dia sangat menyadari fungsi utama dari Bait Allah ini: Rumah Doa (Luk 19:46). Dia mengingatkan para murid-Nya untuk berdoa terutama saat menghadapi cobaan dan penderitaan (Luk 21:36). Sebelum Ia menghadapi sengsara dan wafat-Nya, Dia berdoa di taman (Luk 22:44). Akhirnya, saat Ia berada di kayu salib, Dia menyimpan nafas terakhirnya bahkan untuk berdoa bagi mereka yang telah menyalibkan-Nya (Luk 23:34).

Peristiwa penting lainnya dimana Yesus menghabiskan waktu dalam doa adalah Transfigurasi. Dua penginjil, Matius dan Lukas, menulis kisah Transfigurasi dalam Injil mereka, tapi hanya itu Lukas yang mengatakan tujuan mengapa Yesus dan ketiga murid-Nya naik ke Gunung. Yakni untuk berdoa. Bagi Lukas, Transfigurasi adalah sebuah momen doa. Sungguh, merenungkan Injil hari ini dalam konteks doa akan membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan kita dengan Tuhan.

Pertama, Yesus mengajak para murid untuk mendaki Gunung dan berdoa. Hasrat kita untuk bertemu dengan-Nya dan berdoa sebenarnya adalah inisiatif Allah. Jika kita mampu berdoa, itu karena Tuhan memanggil kita dan memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan-Nya. Liturgi Brevir selalu dimulai dengan ayat Ya Allah, bersegeralah membuka mulutku (Mzm 51:15).” Ini adalah keyakinan bahwa tanpa rahmat dan bantuan-Nya, kita tidak dapat berdoa. Kita, umat Katolik, membuka doa kita dengan tanda salib dan menyebutkan, Dalam nama Bapa, dan Putra dan Roh Kudus.” Hal ini lahir dari keyakinan bahwa terpisah dari Allah Tritunggal, kata-kata manusiawi kita akan sia-sia di dalam doa. St. Paulus menyatakan hal ini dengan sangat baik ketika ia menulis kepada jemaat di Roma, Roh Allah datang menolong kita kalau kita lemah. Sebab kita tidak tahu bagaimana seharusnya kita berdoa; Roh itu sendiri menghadap Allah untuk memohonkan bagi kita dengan kerinduan yang sangat dalam sehingga tidak dapat diucapkan. (Rom 8:26).”

Kedua, Transfigurasi mengajarkan kita bahwa kadang, doa-doa kita memberikan kenikmatan dan kepuasan, tapi ini bukan yang paling penting. Kita seperti tiga murid yang sangat takjub di hadapan Yesus yang berubah wujud. Ini adalah saat ketika kita merasakan kedamaian di hadapan Sakramen Mahakudus. Kita menikmati doa Rosario. Kita terinspirasi oleh homili dan merasa diperkuat oleh Komuni Kudus dalam Ekaristi. Kadang, saya menghadiri worship service sarat dengan lagu-lagu pujian dan khotbah menggebu-gebu. Sesungguhnya, hal ini memberi perasaan sangat gembira dan membebaskan apalagi bagi mereka yang memiliki banyak permasalahan dalam hidup.

Tentunya, seperti para murid, kita ingin menikmati kegembiraan dalam doa ini lebih lama lagi dan membangun ‘kemah’. Namun, Tuhan tidak ingin kita tinggal lama di sana. Dia meminta para murid untuk turun dan menghadapi dunia. Jika kita memilih tinggal dan menolak untuk turun, doa-doa kita tidak lagi tulus. Mereka menjadi candu yang membantu kita melarikan diri dari realitas hidup. Jika ini terjadi, perkataan Karl Marx bahwa ‘Agama adalah opium bagi masyarakat’ sungguh menjadi kenyataan.

St. Paus Yohanes Paulus II mengingatkan kita bahwa Transfigurasi akan bawa akhirnya Yesus dan murid-muridnya pada sengsara dan wafat-Nya di Yerusalem. Doa sungguhnya harus memberdayakan kita untuk menghadapi hidup dengan keberanian dan kerendahan hati, dan tidak memberi kita tempat untuk melarikan diri dari kehidupan. Ekaristi, sebagai puncak dari semua ibadah Kristiani, tidak berakhir dengan mengatakan Tetap tinggal dan jangan pulang! Ungkapan terakhir dalam Misa selalu dalam semangat misionaris, seperti Pergilah, kita diutus!”. Kita diutus untuk berbagi buah dari doa-doa kita kepada sesama. Jika kita benar-benar menemukan Kristus dalam doa kita, bersama dengan Kristus, kita akan turun Gunung dan berjalan menghadapi Yerusalem kita.

 Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Nothing is Impossible

Fourth Sunday in Ordinary Time. January 31, 2016 [Luke 4:21-30]

“Isn’t this the son of Joseph? (Luk 4:22)”

‘Impossible’ is not part of Jesus’ vocabulary. He multiplied the bread and filled the hungry multitude. He walked on water and calmed the storm. He healed the woman with hemorrhage, opened the eyes of Bartimaeus, and expelled the demons. He forgave the adulterous woman and challenged the legalism of the authorities. He raised Lazarus and Himself resurrected. Not even death can limit Him.

Yet, ‘impossible’ and ‘limitation’ seemed to be the mindset of the people of Nazareth. When they saw Jesus came home and proclaimed the Word of God with authority, the Nazarene amazement was short-lived and they turned the tide against Jesus. One might say, ‘That’s impossible! He is Jesus, the son of the poor carpenter Joseph. He is lowly, ordinary, and incapable. Who does he think himself? God?’ Grace was just around the corner, but they closed their hearts, limited their possibilities, and hampered their own growth. Not only they boxed themselves in narrow-mindedness, they also tried to impose their limitations on Jesus. When Jesus refused to be placed under their closed-mindedness, they attempted to get rid of Jesus. Thus, nothing much happened in Nazareth.

Jesus further explained that this refusal to God’s grace had been a perennial problems of Israel. The great prophets Elijah and Elisha could have done mighty deeds for Israel, but they did not because they were rejected by their own people. Now, this mentality of putting limits to oneself does not solely belong to the Israelites. Unconsciously, this attitude may creep into our lives. We may listen to the Word of God every Sunday in the Eucharist, but do we allow the very Word to be fulfilled in our lives? Is Sunday Worship all about feeling-good experience, and yet going home, we act as if nothing happens to us? We are celebrating the Jubilee Year of Mercy, but does it help us being more merciful and compassionate? Sometimes we are like ‘Shoe’, the main character in old comic strip Shoe by Jeff MacNelly. When Shoe is pitching in a baseball game, in the conference in the mound, his catcher says, “You’ve got to have faith in your curve ball.” “It’s easy for him to say,” grumbles Shoe. “When it comes to believing in myself, I am an agnostic.”

A friend of mine did the incredible in her young age. She finished her doctorate at the age of 27 in Japan. What makes her more incredible is she turned down lucrative offers of big companies and volunteered as elementary school teacher in a far-flung area. She is currently serving the people of Nunukan, North Borneo Province, at the border of civilization. Once she texted me and told how difficult it was to teach, especially when people do not really appreciate yet the importance of education. I was speechless, having no word of consolation, but she immediately replied, ‘It is difficult to love.” Her answer made me smile since I know that despite her troublesome situations, she never stops loving. In the Annunciation, archangel Gabriel said to Mary, “For God, there is nothing impossible.” We shall not put limit to God’s grace, to our own growth in faith and to our ability to love. When we believe and open our hearts to God’s grace, the ‘impossible’ things begin to happen in our lives.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno,OP

Tidak Ada yang Mustahil

Minggu Biasa ke-4. 31 Januari 2016 [Lukas 4:21-30]

“Bukankah Ia ini anak Yusuf? (Luk 4:22)”

Kata ‘mustahil’ tidak ada di dalam kosa kata Yesus. Dia melipatgandakan roti dan memberi makan kepada ribuan orang yang lapar. Dia berjalan di atas air dan menenangkan badai. Ia menyembuhkan wanita dengan perdarahan, membuka mata Bartimeus, dan mengusir setan. Dia mengampuni perempuan yang berzina dan menantang legalisme dari pihak berwenang. Dia membangkitkan Lazarus dan Dia sendiri bangkit dari kematian.

Namun, kata-kata seperti ‘tidak mungkin’ dan ‘tidak bisa’ tampaknya menjadi pola pikir orang-orang Nazaret. Ketika mereka melihat Yesus datang dan memberitakan Firman Tuhan dengan otoritas, orang Nazaret heran dan mereka mulai menyerang Yesus. Mereka mungkin berkata, Mustahil! Dia adalah Yesus, anak dari Joseph, tukang kayu miskin. Dia itu biasa-biasa saja dan tidak memiliki kemampuan. Memangnya dia pikir dirinya siapa? Tuhan?’ Rahmat Tuhan ada di depan mata mereka, tapi mereka menutup hati mereka, membatasi kemungkinan mereka untuk tumbuh dan berkembang. Tidak hanya mereka mengkotakan diri di dalam pikiran yang sempit, mereka juga mencoba untuk memaksakan keterbatasan mereka pada Yesus. Ketika Yesus menolak untuk dibatasi oleh pikiran mereka yang sempit, mereka berusaha untuk menyingkirkan Yesus. Oleh karena ini, Yesus tidak berbuat banyak di kampung halaman-Nya sendiri.

Yesus sendiri menjelaskan bahwa penolakan akan rahmat Tuhan telah menjadi masalah kuno bangsa Israel. Nabi-nabi besar seperti Elia dan Elisa bisa saja melakukan perbuatan-perbuatan besar bagi Israel, tetapi mereka tidak melakukannya karena mereka ditolak. Ironisnya, justru orang-orang bukan Israel yang malah percaya dan menerima rahmat dari mereka. Sekarang, mentalitas yang membatasi ini bukanlah milik orang Israel semata. Tanpa kita sadari, mental kerdil ini dapat merayap masuk ke dalam hidup kita. Kita mungkin mendengarkan Sabda Tuhan setiap hari Minggu dalam perjamuan Ekaristi, tetapi apakah kita membuka diri terhadap Firman untuk terpenuhi di dalam hidup kita? Kita bernyanyi dan memuji Tuhan pada Sunday Worship, tetapi apakah saat kita pulang, kita bertindak seolah-olah tidak ada yang terjadi pada kita? Tahun ini, kita merayakan Tahun Yubileum Kerahiman Ilahi, tapi apakah ini membantu kita menjadi lebih berbelas kasih kepada sesama? Kadang-kadang kita seperti ‘Shoe’, tokoh utama dalam komik ‘Shoe’ oleh Jeff MacNelly. Ketika Shoe akan menjadi pelempar bola di pertandingan bisbol, teman satu timnya mengatakan, Kamu harus percaya pada lemparan bolamu yang melengkung. Sangat mudah baginya untuk mengatakan itu,” Shoe menggerutu. “Ketika aku harus percaya pada diri sendiri, aku adalah seorang agnostik.”

Seorang teman baik saya melakukan hal yang luar biasa di usia muda. Dia menyelesai pendidikan S3 pada usia 27 di Jepang. Apa yang membuat dia lebih luar biasa adalah ia menolak tawaran menggiurkan dari perusahaan besar dan memilih menjadi guru sukarelawan sekolah dasar di pedalaman. Dia saat ini melayani masyarakat di Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, di daerah perbatasan. Beberapa hari yang lalu dia mengirim pesan dan mengatakan betapa sulitnya untuk mengajar, terutama ketika orang tidak benar-benar menghargai betapa pentingnya pendidikan. Saya terdiam, tidak memiliki kata-kata penghiburan, tapi ia segera menjawab, Mengasihi itu sulit. Jawabannya membuat saya tersenyum karena saya tahu bahwa meskipun situasi sungguh sulit, dia tidak putus asa dan tidak pernah berhenti mengasihi. Dalam Kabar Sukacita, malaikat Gabriel mengatakan kepada Maria, Sebab bagi Allah tidak ada yang mustahil (Luk 1:37).” Diciptakan dalam citra Allah, kita tidak akan membatasi kasih karunia Allah, pertumbuhan kita di dalam iman dan kemampuan kita untuk mengasihi. Saat kita percaya dan membuka diri kita pada rahmat, hal-hal luarbiasa yang kita pikir ‘mustahil’ sungguh akan terjadi di dalam hidup kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Rusneo, OP

We Are Brave

Second Sunday in the Ordinary Time. January 17, 2016. [John 2:1-11]

“Woman, how does your concern affect me (Jn 2:4)?”

We desperately needs courageous people. Our world is torn by so many violence and evil deeds. Wars are raging in many nations. Millions are fleeing their homelands, and facing hunger, exhaustion and uncertainty of their future. Poverty consumes lives across the globe and forces people to horrendous human trafficking. The earth is getting warmer and this causes a tidal wave of destruction to all creatures. In desperation, the world needs brave people to bring a better tomorrow.

However, there is a subtle yet crucial distinction between courage and insanity. Some people called themselves ‘bold and fearless’ as they blew themselves up in Jakarta and shot people at random few days ago. Some people tag themselves as the ‘brave men of God’ as they slaughter the children and turn young women as their sex slaves in the Middle East and Africa. Others exalt themselves as the ‘fighters of freedom and choice’ by aborting innocent and defenseless babies in America and Europe. Yet, what is courage all about?

Today’s Gospel drives home a powerful message. The host was running out of wine. The servants were panicking. The lovely wedding was at the edge of embarrassment and disaster. That was a bad news. A brave woman came into the scene. She implored the Lord of Heaven to help the couple, but she was coldly denied. “Woman, how does your concern affect me?” Adding salt to the wound, this Lord of Heaven is her own Son. Yet, instead succumbing into despair, our mother showed us the true meaning of courage. She pushed herself to the limit and defied even God Himself to save the crumbling humanity. Jesus was moved by her courage and compassion, and the true God came out in the wedding of Cana. The first sign: the ordinary water was turned into the best wine. From Mary, we learn that courage is only genuine if it does not only push us to very limit of our existence but also it is for building up human society and the earth.

Some people, believing doing things in the name of God, destroy human lives and exploit the mother earth. Yet, Mother Mary has taught us even to ‘defy’ our false and poisonous conception of ourselves, of others and of God. The real courage is when we dare to plunge ourselves into the vast sea of human problems and refuse to oversimplify them into one-fit-all answer. It is pretty stupid and even blasphemous to say “God is the only solution and thus, everyone who does not follow our God, is as good as dead.” As we struggle to find the better ways of living in this earth, we join Mary in pushing our own limit of existence and in defying our little gods inside us. The world needs courageous people and it needs people who dare to sacrifice their ego for a better future of our earth.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP