Ikutlah Aku!

Minggu di Biasa ke-3 [21 Januari 2018] Markus 1:14-20

“Mari, ikutlah Aku dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.(Mar 1:17)”

ordination
foto oleh Harry Setianto Sunaryo, SJ

Yesus memulai pelayanan publik-Nya dengan memanggil empat murid yang pertama untuk mengikuti Dia. Di Palestina zaman Yesus, untuk menjadi murid berarti mengikutinya ke mana pun sang guru pergi. Bahkan, kata-kata Yunani yang digunakan adalah “deute hopiso”, itu berarti “Ikutilah di belakangku” karena para murid benar-benar berjalan beberapa langkah di belakang Yesus, sang Guru. Tidak mengherankan, bahwa ketika empat murid pertama, Petrus, Andreas, Yakobus dan Yohanes, dipanggil, mereka harus meninggalkan segala sesuatu, pekerjaan, keluarga dan kampung halaman. Jadi, untuk menjadi murid Yesus adalah sebuah komitmen radikal yang memerlukan pengorbanan besar.

Namun, jika kita mengaplikasikan kehidupan para murid pertama Yesus ke zaman kita, siapa di antara kita yang bisa mengikuti panggilan ini? Siapa di antara kita bersedia meninggalkan pekerjaan, keluarga dan tempat tinggal kita demi Kristus? Jawabannya tidak banyak. Hanya sedikit orang yang memasuki pertapaan atau biara. Bahkan, mereka yang sudah menjadi anggota kongregasi religius pun, diijinkan untuk tetap berhubungan dengan keluarga mereka. Saya sendiri sebagai seorang biarawan bisa berlibur setiap tahun dan mengunjungi keluarga saya di Bandung. Tampaknya kehidupan sebagai murid yang total tetap menjadi ideal yang jauh bagi kita.

Meskipun memang benar bahwa kehidupan seperti ini benar-benar sulit dan langka, namun kita percaya bahwa kehidupan murid sejati juga mungkin bagi kita semua. Injil mengatakan kepada kita bahwa murid pertama meninggalkan banyak hal, namun sebenarnya para murid juga membawa sesuatu bersama mereka ketika mereka memutuskan untuk berjalan dengan Yesus. Mereka sebenarnya membawa “diri mereka sendiri.” Di dalam totalitas pribadi ini ada karakter, pengetahuan, keterampilan, cita-cita, dan impian mereka. Singkatnya, mereka juga membawa serta profesi mereka, keluarga dan tanah air mereka. Inilah sebabnya mengapa Yesus tidak hanya memanggil Simon, Andreas, Yakobus dan Yohanes untuk mengikut Dia, tetapi Dia juga akan menjadikan mereka “penjala manusia.” Yesus tahu bahwa orang-orang ini adalah salah satu nelayan terbaik di Galilea, dan sekarang Yesus mengundang mereka untuk mempersembahkan yang terbaik yang mereka miliki bagi Allah. Mengikuti Yesus tidak berarti meninggalkan segalanya, tetapi  mempersembahkan diri kita kepada Tuhan.

Ketika St. Dominikus de Guzman berkhotbah menentang ajaran sesat di Prancis Selatan, dia meninggalkan kenyamanan hidupnya di gereja di Osma, Spanyol. Namun, ketika dia berkhotbah, dia membawa semua keterampilan dan pengetahuan yang dia dapat sebagai kanon di Osma, dan sebagai mahasiswa di universitas Valencia. Dia meninggalkan segalanya, tetapi dia membawa semuanya saat dia mendirikan Ordo religius pertama yang didedikasikan untuk berkhotbah di Gereja. Sungguh sebuah paradoks!

Kita mungkin tidak dapat meninggalkan keluarga, profesi dan tempat tinggal kita karena kita bertanggung jawab atas kehidupan keluarga dan saudara-saudari kita, namun dengan semangat yang sama, kita dapat secara radikal mengikuti Yesus. Bagaimana? dengan mempersembahkan diri kita bagi Allah dan rencana-Nya. Sebagai orang tua, apa yang kita berikan kepada Tuhan, yang bisa mendidik anak-anak kita dan membangun keluarga Kristiani yang baik? Sebagai bagian dari Gereja, apa yang kita serahkan kepada Yesus, yang dapat membantu pertumbuhan Gereja di dunia ini? Sebagai anggota masyarakat, apa yang kita persembahkan kepada Tuhan, yang dapat memberikan kontribusi pada masyarakat yang adil dan makmur?

Frater. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Come after Me!

3rd Sunday in Ordinary Time (Feast of Sto. Niño in the Philippines) January 21, 2018 [Mark 1:16-20*]

“Come after me, and I will make you fishers of men (Mar 1:17)”

gazing cross
photo by Harry Setianto Sunaryo, SJ

Jesus begins His public ministry by calling His first disciples to follow Him. In ancient Palestine, to become a student of a particular teacher means to follow him wherever he goes and stays. In fact, the Greek words used is “deute hopiso”, that means “come after me” because the disciples are expected to literally walk few steps behind Jesus. No wonder, that when the four first disciples, Peter, Andrew, James and John, are called, they have to leave practically everything behind, their works, their family and their hometowns. Thus, to become Jesus’ disciples are a radical commitment that entails great sacrifices.

However, if we bring back the life of radical discipleship to our time, who among us will be able to follow that call? How many among us will be willing to leave behind our work, family, and hometown for the sake of Christ? Not many. Only a few people are entering the monasteries or the convents. Even, those who are already members of religious congregations, we are allowed to keep in touch with their family. I myself am able to have a vacation every year and visit my family. It seems that the total discipleship remains a far-reached ideal for many of us.

While it is true that this kind of life is genuinely difficult and rare, yet we believe that the life of a true disciple is also available for all of us. The Gospel tells us that the first disciples leave many things behind, but actually, the disciples do also bring something with them when they decide to walk after Jesus. They carry “themselves”, the totality of their own persons. Within this person are their characters, knowledge, skills, ideals, and dreams. In short, they also carry with them their profession, their family, and homeland. This is why Jesus does not only call Simon, Andrew, James, and John to follow Him, but He also is going to make them “the fishers of men.” Jesus knows that these guys are one of the best fishermen in the Galilee, and now Jesus invites them to offer the best they have for God’s purposes. To follow Jesus is not leaving everything behind as much as offering ourselves to the Lord.

When St. Dominic de Guzman preached against the heresy in the Southern French, he left the comfort of his church in Osma, Spain. Yet, when he preached, he brought along all the skills and knowledge he learned as a canon in Osma, and as a student at the University of Valencia. He left everything and yet, paradoxically, he brought everything when he founded the first religious Order that was dedicated for preaching in the Church.

We may not be able to leave our family, our profession, and hometown because we are responsible for the lives of our family and relatives, but with the same spirit, we can radically follow Jesus, by offering ourselves for God’s purposes. As parents in the family, what do we give to God, which may build a solid Christian family? As part of the Church, what do we surrender to Jesus, which may help her growth in the world? As members of society, what do we offer to the Lord, which may contribute to a just and growing society?

Today, the Church in the Philippines is celebrating the feast of Sto. Niño, or the Child Jesus. The image of Sto. Niño is the first to be introduced to the Filipino people, and His intercession has been very instrumental to the evangelization of this country. We pray to Sto. Niño that our self-offering may bear fruits wherever we are sent and live.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

*the reading is taken from the 3rd Sunday of Ordinary Time

Come and Experience!

Second Sunday in the Ordinary Time [January 14, 2018] John 1:35-42

They said to him, “Rabbi, where are you staying?” He said to them, “Come and see.”  (Jn 1:38-39)

children praying
photo by Harry Setianto Sunaryo, SJ

In the Gospel of John, we will not discover the word “apostle” or one who is sent to preach the Gospel. John the Evangelist consistently calls those who faithfully gather around Jesus as the disciples. Why so? Perhaps, John the Evangelist wants to show us that the most important and fundamental aspect of being a follower of Jesus is truly to be a disciple.

What is a disciple in the time of Jesus? We usually understand a student as one who studies at a particular school with its buildings, facilities and system of learning. Like Br. Bayu is a student of the University of Santo Tomas, and every Monday to Friday, he has to attend classes at the Manila campus. I am expected to learn particular knowledge, like the theology of St. Paul or master certain skills like preaching. At the end of the semester, I need to pass the exams in order to prove that I have learned those set of knowledge or skills. If I fail, I have to take a remedial or retake the subject all over again. Surely, this is a simplistic way of imagining learning in our time, but if we want to be a disciple in the time of Jesus, we have to enter a different world.

When Andrew and Peter become the disciples of Jesus, it does not mean that they will attend lectures of Jesus. They literally follow Jesus wherever Jesus goes. That is why the first question Andrew asks is not how much the tuition fee is or what lesson Jesus will impart, but rather “Rabbi, where are you staying?” because it is clear in the mind of Andrew that if he wants to become a disciple, he has to follow Jesus literally for 24 hours a day, seven days a week. He is going to walk where Jesus goes, eat what Jesus eats, to sleep where Jesus lays His head, to experience what Jesus experiences, the joy, sadness, the suffering, and resurrection! Learning then is not simply about gaining knowledge or skills, but it is about sharing life, giving and receiving life.

It is interesting also to note that Jesus’ response to Andrew is oft-quoted “come and see”, yet in some ancient Greek manuscripts the words used are “erkesthe kai opheste ”. If they are translated literally, it sounds like “come and experience!” To become a disciple is to experience the life of Jesus, to experience Jesus Himself. Surely, it is a total experience of Jesus. Thus, the end of learning is not the grades, but a new life in the likeness of Jesus, the Master. It is the imitation of Christ in the real sense.

However, to become this kind of disciple, the price is also extremely high. To follow and experience Jesus’ life, we need to give up our lives. A life for life. We cannot be the disciples of Jesus only 8 AM to 3 PM, but the rest of the day, we are free.  We cannot say that we are disciples of Jesus when we are at the Church only, but not in the workplaces and homes. We become like Jesus both in good times and bad times. The questions now are: Are we willing to sacrifice our old lives? Are we ready to follow Jesus day and night? Are we making our full effort to become like Christ?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno , OP

Datanglah dan Alamilah!

Minggu di Biasa ke-2 [14 Januari 2018] Yohanes 1:35-43

“Kata mereka kepada-Nya: ‘Rabi, di manakah Engkau tinggal?’ Ia berkata kepada mereka, ‘Datang dan lihatlah.”  (Yoh 1: 38-39)

children praying - bnw
photo by Harry Setianto Sunaryo, SJ

Dalam Injil Yohanes, kita tidak akan menemukan kata “rasul” atau seseorang yang diutus untuk memberitakan Injil. Yohanes Penginjil secara konsisten memanggil orang-orang yang dengan setia mengikuti Yesus sebagai seorang murid. Kenapa demikian? Mungkin, Yohanes penginjil ingin menunjukkan kepada kita bahwa aspek terpenting dan mendasar dari menjadi pengikut Yesus adalah benar-benar menjadi seorang murid.

Apa artinya menjadi murid di zaman Yesus? Kita biasanya memahami bahwa seorang murid sebagai orang yang belajar di sekolah tertentu yang dilengkapi dengan bangunan, fasilitas dan sistem pembelajarannya. Seperti Frater Bayu adalah murid di Universitas Santo Tomas, dan setiap hari Senin sampai Jumat, dia harus menghadiri kelas di kampus Manila. Saya diharapkan untuk memahami ilmu teologi, seperti teologi St. Paulus atau menguasai keterampilan khusus seperti berkhotbah. Pada akhir semester, saya diharuskan lulus ujian untuk membuktikan bahwa saya telah menguasai ilmu atau keterampilan yang diharapkan. Jika saya gagal, saya harus mengambil ujian ulang atau mengulang kembali mata kuliah yang gagal. Tentunya, ini adalah cara sederhana untuk membayangkan sistem pembelajaran di zaman kita, tetapi jika kita ingin menjadi murid pada masa Yesus, kita harus memasuki dunia yang berbeda.

Ketika Andreas atau Petrus menjadi murid Yesus, ini tidak berarti bahwa mereka akan menghadiri kelas-kelas yang diadakan Yesus. Mereka benar-benar mengikuti Yesus ke manapun Yesus pergi. Itulah sebabnya pertanyaan pertama yang diajukan Andreas bukan berapa biaya kuliah atau pelajaran apa yang akan diberikan Yesus, melainkan “Rabi, di manakah Engkau tinggal?” Karena jelas di dalam benak Andreas bahwa jika dia ingin menjadi seorang murid, dia harus mengikuti Yesus secara penuh, 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Mereka akan berjalan ke tempat Yesus pergi, makan apa makanan yang Yesus makan, tidur di mana Yesus meletakkan kepala-Nya, mengalami semua yang Yesus rasakan, sukacita, kesedihan, penderitaan dan kebangkitan! Belajar kemudian bukan hanya tentang mendapatkan pengetahuan atau keterampilan, tapi juga tentang berbagi hidup, memberi dan menerima kehidupan.

Menarik juga untuk dicatat bahwa tanggapan Yesus terhadap Andreas adalah “come and see” atau “datang dan lihatlah”, namun jika kita kembali ke teks Yunani kuno, kata yang digunakan adalah “erkesthe kai opheste”. Jika diterjemahkan secara harfiah, ini adalah “datang dan alamilah!” Untuk menjadi murid adalah mengalami kehidupan Yesus, untuk mengalami Yesus sendiri. Tentunya, ini adalah pengalaman total tentang Yesus. Dengan demikian, akhir pembelajaran bukanlah nilai, melainkan kehidupan baru dan sungguh menjadi citra Yesus, sang Guru. Ini adalah mengikuti Kristus dalam arti sebenarnya.

Namun, untuk menjadi murid semacam ini, tidaklah mudah. Untuk mengikuti dan mengalami kehidupan Yesus, kita harus menyerahkan hidup kita. Hidup untuk hidup. Kita tidak bisa menjadi murid Yesus hanya dari jam 8 pagi sampai 5 sore, tetapi setelah itu, kita bebas. Kita tidak bisa mengatakan bahwa kita adalah murid Yesus ketika kita berada di Gereja saja, tapi bukan murid-Nya di tempat kerja dan rumah. Kita menjadi murid Yesus pada saat-saat indah maupun masa-masa sulit. Pertanyaannya sekarang adalah: Apakah kita bersedia mengorbankan kehidupan lama kita? Apakah kita siap untuk mengikuti Yesus siang dan malam? Apakah kita berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi seperti Kristus?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Disciples not Crowds

Fourth Sunday in the Ordinary Time. January 29, 2017 [Mat 5:1-12]

“When Jesus saw the crowds, he went up the mountain; and after he sat down, his disciples came to him (Mat 5:1).”

sermon-on-the-mountMatthew chapters 5 to 7 are well known as the Jesus’ sermons in the Mount. The section contains classic teachings and parables of Jesus like Beatitudes, the love for one’s enemy and the golden rule. Before Jesus began his sermon, He was sitting down. This gesture actually symbolizes the teaching authority of Jesus. On the Mount, Jesus was the teacher, and as a good teacher, He would expect people to listen attentively to His words. Thus, before Jesus commenced His sermon, He went up to the Mount to separate Himself from the crowd. Jesus knew that being part of the crowd was practically effortless and usually motivated selfishly: to be cured, to be fed and to be entertained. It could turn out to be very superficial, as a mass of people is drawn to one charismatic and powerful leader like Jesus, yet the moment its need is served or its leader is no longer satisfactory, it would be naturally disbanded.

The Sermon on the Mount was intended not for the crowd, but for a small group of people who would sit around Jesus and listen to Him carefully. These were the disciples.  Indeed, the teacher-disciples relationship is one of the most fundamental for us Christians. If we seek Jesus merely to be emotionally satisfied and economically profitable, we are just part of the crowd. And this is not our vocation. Jesus calls us into a more rooted and mature relationship with Him. He wants us to be His disciples, to listen to His teachings and follow Him.

However, to become a disciple in our time is seriously challenging. We are now part of the digital generation. We are people who hold latest iPhone or Android on our hands, access internet 24/7 and are exposed to countless TV channels. We move from one TV program to another, jump from one web to another, use one app to another, go from one entertainment to another. As a consequence, the span of attention of many people especially the young people is sharply declining. I am teaching Theology and Scriptures to young people, and I have to be always engaging and using various methods and multimedia. The moment these young ones lose their interest, they will not listen and immediately be busy with something else. Thus, no wonder that people cannot stand the boring and tedious homilies. Some choose another mass with a better preacher, some opt to look for another parish, others decide to attend worship service in other churches, and the rest find it altogether meaningless going to the mass.

Certainly, it is a challenge for preachers like myself to improve our preaching, to be more engaging and sensitive to the needs of the contemporary listeners. Yet, it is also true that we, the disciples of Christ, are invited to regain that humility and listening ears. Jesus and His Church are not a global amusement park. We come to Jesus not as crowd looking for instant happiness. Otherwise, we treat Jesus as a mere drug, and we are a kind of religious drug-addict! We pray that we continue to listen to Him even in times that we do not feel it as fun. We pray that we go beyond the crowd mentality and become Jesus’ true disciples.

Br. Valentinus Bayuhadi RUseno, OP

Bukan Keramaian tetapi Menjadi Murid

Minggu Ke-4 pada Masa Biasa. 29 Januari 2017 [Matius 5: 1-12]

“Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya (Mat 5:1).”

sermon-on-the-mount-2Injil Matius bab 5 sampai 7 dikenal sebagai khotbah Yesus di Bukit. Bagian ini berisi ajaran-ajaran dan perumpamaan Yesus yang sangat terkenal seperti 8 Sabda Bahagia, dan tentang mengasihi musuh kita. Sebelum Yesus memulai ajaran-Nya, Diapun duduk. Posisi ini sebenarnya melambangkan otoritas Yesus untuk mengajar. Di Bukit, Yesus adalah guru, dan sebagai guru yang baik, Dia akan mengharapkan mereka yang datang kepada-Nya untuk mendengarkan-Nya dengan penuh perhatian. Maka, sebelum Yesus memulai ajaran-Nya, Diapun naik ke bukit untuk memisahkan diri dari kerumunan. Yesus tahu bahwa menjadi bagian dari kerumunan adalah sangat mudah dan biasanya terdorong oleh motif-motif egois seperti ingin segera disembuhkan, untuk diberi makan dan dihibur. Alasannya sangat dangkal, mereka menjadi kerumunan karena tertarik dengan pemimpin karismatik seperti Yesus, namun saat kebutuhan mereka terpenuhi atau sang pemimpin tidak lagi memuaskan, kerumunan pun akan secara alami membubarkan diri.

Khotbah di Bukit dimaksudkan bukan untuk kerumunan, tapi untuk sekelompok kecil orang yang akan duduk di sekitar Yesus dan mendengarkan Dia dengan penuh perhatian. Ini adalah para murid. Memang, hubungan guru-murid adalah salah satu yang paling mendasar bagi kita, umat Kristiani. Jika kita mencari Yesus hanya untuk kepuasaan emosional dan keuntungan ekonomis, kita hanya bagian dari kerumunan. Dan ini bukan panggilan kita. Yesus memanggil kita ke dalam hubungan yang lebih berakar dan dewasa dengan-Nya. Dia ingin kita menjadi murid-Nya, untuk mendengarkan-Nya dan mengikuti-Nya.

Namun, untuk menjadi murid di zaman ini adalah sungguh menantang. Kita adalah bagian dari generasi digital. Kita adalah orang-orang yang memegang iPhone atau Android terbaru di tangan kita, mengakses internet 24 jam dan terekspos pada saluran TV yang tak terhitung jumlahnya. Kita bergerak dari satu program TV ke yang lain, mengunjungi dari satu website ke yang lain, menggunakan satu aplikasi ke yang lain, pergi dari satu hiburan ke yang lainnya dengan cepat dan mudah. Akibatnya, rentang perhatian banyak orang terutama orang-orang muda menurun secara tajam. Saya sendiri mengajar Teologi dan Kitab Suci kepada rekan-rekan muda di Filipina, dan saya harus selalu kreatif, menarik dan menggunakan berbagai metode dan multimedia. Saat orang-orang muda ini kehilangan minat mereka, mereka tidak akan mendengarkan dan segera sibuk dengan hal lain. Jadi, tak heran jika orang zaman ini tidak tahan homili yang panjang dan membosankan. Beberapa memilih misa dengan pengkhotbah yang lebih baik, beberapa memilih untuk mencari paroki lain, orang lain memutuskan untuk pindah ke gereja-gereja lainnya, dan sisanya merasa misa tidak lagi berarti.

Tentu saja itu adalah tantangan bagi para pewarta seperti saya sendiri untuk meningkatkan kemampuan dalam berkhotbah, menjadi lebih menarik dan peka terhadap kebutuhan pendengar kontemporer. Namun, benar juga bahwa kita semua adalah para murid Kristus, dan kita diundang untuk memiliki kerendahan hati dan telinga yang mendengarkan. Yesus dan Gereja-Nya bukan taman hiburan global. Kita datang kepada Yesus bukan sebagai orang mencari kebahagiaan instan. Jika tidak, kita memperlakukan Yesus sebagai narkoba belaka, dan kita adalah pecandu! Kita berdoa agar kita terus mendengarkan Dia bahkan di saat kita tidak merasa menyenangkan. Kita berdoa agar kita melampaui mentalitas kerumunan dan menjadi benar murid-murid Yesus.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP