Allah Kita: Allah Orang-Orang yang Hidup

Minggu dalam Pekan Biasa ke-32. [6 November 2016] Lukas 20: 27-38

 Ia bukan Allah orang mati, melainkan Allah orang hidup, sebab di hadapan Dia semua orang hidup.”(Luk 20:36)

all-saints-dayBulan November didedikasikan sebagai bulan para kudus di surga dan juga bagi jiwa-jiwa di api penyucian. Bulan ini dimulai dengan Hari Raya Semua Orang Kudus pada tanggal 1 November dan peringatan jiwa-jiwa orang-orang beriman pada 2 November. Kita, keluarga Dominikan, merayakan hari raya semua orang kudus Dominikan pada 7 November dan bagi jiwa-jiwa keluarga Dominikan pada 8 November. Perayaan besar Gereja ini bermula kepada Paus Bonifasius IV di abad ke-7, namun akarnya sebenarnya ada pada Tuhan Yesus Kristus sendiri.

Dalam Injil hari ini, Yesus menegaskan kebenaran kebangkitan orang-orang yang telah meninggal. Kebenaran ini menyatakan bahwa kehidupan tidak berakhir dengan kematian, tetapi dirubah. Mungkin latar belakang dari Injil hari ini adalah kritik Yesus terhadap para Saduki yang tidak percaya akan kebangkitan dan juga kepada mereka yang menyembah dewa-dewa penguasa dunia orang mati. Di banyak peradaban kuno, banyak orang menyembah dewa-dewa kematian karena mereka takut kuasa maut yang bisa menghancurkan kehidupan dan menghapus eksistensi manusia dengan seketika. Orang-orang Yunani memiliki Hades, orang-orang Romawi menyembah Pluto dan orang-orang Mesir menghormati Osiris. Namun, Yesus mengungkapkan kebenaran fundamental yang berbeda: Allah kita bukanlah Allah orang-orang mati, tetapi orang-orang hidup. Allah kita tetap memberikan kehidupan kepada kita meskipun kematian fisik yang kita alami. Ini berarti bahwa kita bukanlah sekedar manusia-manusia yang menunggu kematian dan keputusasaan. Kita dikasihi bahkan saat kita tidak lagi hidup di dunia ini. Lalu, ketika Yesus memerintahkan kita untuk saling mengasihi satu dengan yang lainnya, kasih ini bukan hanya untuk sesama kita yang masih hidup, tetapi juga untuk saudara-saudari kita yang telah mendahului kita.

Dalam tradisi Romawi kuno, pemakaman terletak jauh dari kota. Mereka menyebutnya sebagai ‘necropolis’, secara harfiah kota orang-orang mati, karena orang mati tidak ada hubungannya lagi dengan yang hidup. Namun, umat beriman awal memilih untuk melakukan liturgi mereka di dalam katakombe, atau pemakaman bawah tanah. Benar, itu adalah tempat persembunyian dari otoritas Romawi yang menganiaya umat beriman, tetapi juga berasal dari iman mereka bahwa mereka benar-benar berdoa untuk dan dengan saudara-saudari yang telah meninggal. Di banyak gereja, tanah pemakaman berada di dalam kompleks gereja. Bahkan di tempat kita di Manila, tempat pemakaman para romo dan bruder Dominikan tepat di samping seminari kita. Tempat istirahat permanen mereka hanya beberapa meter dari tempat istirahat sementara kami! Kedekatan ini mengingatkan kami akan ikatan persaudaraan dan kasih di antara kami. Kita diingatkan untuk berdoa bagi mereka dan meneladani mereka yang setia sampai mati, dan mereka juga berdoa untuk kita dari surga.

Mengikuti ajaran Yesus, Gereja percaya bahwa mereka yang tidak lagi bersama kita, masih bagian dari Gereja. Bagi mereka yang di surga adalah anggota dari Gereja yang mulia, mereka di api penyucian adalah bagian dari Gereja yang menderita, dan kita di bumi ini merupakan bagian dari Gereja yang berziarah. Namun, semua adalah Gereja yang satu dan sama, mengakui iman yang sama, dan menyembah Tuhan yang sama. Karena semua adalah anggota dari tubuh Kristus, kita bersatu erat dalam Kristus dan kasih-Nya. Dengan demikian, sudah selayaknya bagi kita untuk mengasihi saudara-saudari kita yang telah mendahului kita melalui doa-doa kita, dan kita percaya mereka yang di surga terus membantu kita dalam doa mereka.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Vocation and Preaching

5th Sunday in Ordinary Time. February 7, 2016 [Luke 5:1-11]

“Then he sat down acalling the disciplesnd taught the crowds from the boat of Simon (Luk 5:3).”

Everyone has its own vocation story. Whether priests, religious or lay persons, we have those moments that open our eyes to where God calls us. One Filipino Dominican priest recalled that his vocation to the Order of Preachers started because of his former girlfriend. One day, his girlfriend brought him to Santo Domingo Church to pray before our Lady of La Naval, and when they were there, he saw a band of Dominican brothers entered the Church for the prayer. He was mystified with their appearance and he began to fall in love with the Dominican habit. The rest is history. For lay persons, the vocation stories might not be obvious, but there are those tipping points that brought them to serve the Lord passionately in the family, workplace or the Church.

Today’s Gospel introduces to us the vocation story of Simon Peter. The story appeared in all four Gospels and this points to the truth on how important Simon Peter is in the college of Apostles. Luke gave us a slightly different background from other Evangelists. He did not begin the story with Peter working as fisherman, but with Jesus preaching and teaching. Simon must be inspired by Jesus’ preaching, and this explained why Simon was so docile when Jesus asked him to go into the deep, despite the fact that Peter was a seasoned fisherman and Jesus was a carpenter’s son. Like the story of Peter, all sincere vocation stories takes its origin in the preaching of the Word of God.

Every time I have the opportunity to speak before the Dominican laity, I always make a point to explain that their first preaching has to be in the family. Before we have outreach programs for the poor or the imprisoned, family has to be our mission. To teach and raise their children into good Christians are never easy, but if the parents refuse to do that, who else will do? In fact, the vocations to the priesthood and religious lives may greatly diminish had the evangelization in the family failed. I owe my vocation and faith to my parents. They never ceased preaching both in words and in deeds to us. I always recalled how my mother taught me praying the rosary, and my father brought us to the Church every Sunday as family. They taught me also by example as they showed me the virtues of fidelity, sacrifice and love. I love God and the Church, because I saw how my parents also love God and the Church.

When St. Dominic established the Order of Preachers, the first religious congregation in the Catholic Church, that has active orientation toward evangelization, he did not abolish the community life. In fact, he included it as an essential element of Dominican life because before we go out, our community is the first preaching mission. A good preaching in the community surely safeguards and nurtures vocations of the preachers. Thus, I am deeply saddened when I heard that a brother or sister left the convent because they no longer felt happiness within the community. Or, children have problematic behaviors because their parents did not become a good example for them. This is the sign of our failure as preachers for one another.

Jesus reminded that our vocation is rooted, nurtured and flourishing because of preaching of the Gospel. We have different callings with their unique stories, but as Fr. Timothy Radcliffe, OP once said, we may enter the Order (or any state of life) for the wrong reasons, but we must stay for the right reason. We believe that one of that the right reasons is a good preaching among us.

 Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Panggilan dan Pewartaan

 

Minggu ke-5 dalam Masa Biasa. 7 Februari 2016 [Lukas 5:1-11]

 

calling of peter“Lalu Ia duduk dan mengajar orang banyak dari atas perahunya Simon (Luk 5:3).”

 

Setiap orang memiliki kisah panggilannya sendiri. Entah itu seorang imam, biarawan atau orang awam, kita memiliki momen-momen yang membuka mata kita akan tujuan hidup kita sesaui kehendak Allah. Seorang imam Dominikan dari Filipina menceritakan bahwa panggilannya di Ordo Pengkhotbah dimulai gara-gara mantan pacarnya mengajaknya untuk berdoa di Gereja Santo Domingo, Quezon City. Ketika mereka ada di sana, ia melihat kelompok para frater Dominikan memasuki Gereja untuk berdoa. Ia terkagum-kagum dengan penampilan mereka dan ia mulai jatuh cinta dengan jubah Dominikan. Akhirnya iapun memilih masuk dan menjadi imam. Bagi para awam, kisah panggilan mungkin tidak selalu dramatis, tetapi ada titik-titik penting yang membawa kita untuk melayani Tuhan dengan penuh semangat dalam keluarga, tempat kerja atau Gereja.

Injil hari ini menceritakan kisah panggilan Simon Petrus. Kisah ini muncul di keempat Injil dan hal ini menunjukan bahwa betapa pentingnya Simon Petrus di antara para rasul. Lukas memberi kita latar belakang yang sedikit berbeda dari penginjil lainnya. Dia tidak memulai kisahnya dengan Petrus yang sibuk bekerja sebagai nelayan, tetapi dengan Yesus yang berkhotbah dan mengajar. Simon tentunya terinspirasi oleh khotbah Yesus, dan hal ini menjelaskan mengapa Simon siap sedia ketika Yesus memintanya untuk bertolak ke tempat yang dalam, meskipun faktanya bahwa Petrus adalah seorang nelayan berpengalaman dan Yesus adalah anak seorang tukang kayu. Seperti kisah Petrus, semua kisah panggilan berakar di dalam pewartaan Firman Allah.

Setiap kali saya berbicara kepada Dominikan awam, saya selalu menjelaskan bahwa pewartaan pertama mereka harus terjadi di dalam keluarga. Sebelum kita memiliki program pelayanan bagi masyarakat miskin atau kunjungan ke penjara, keluarga harus menjadi misi pertama kita. Untuk mengajar dan membesarkan anak kita menjadi seorang Kristiani yang baik tentunya sulit luar biasa, tetapi jika para orang tua menolak untuk melakukannya ini, siapa lagi yang akan melakukannya? Bahkan, panggilan imamat dan biarawan dapat sangat berkurang jika evangelisasi dalam keluarga gagal. Panggilan dan iman saya tumbuh dan berkembang di dalam keluarga. Saya selalu ingat bagaimana ibu saya mengajarkan saya berdoa rosario, dan ayah saya membawa kami ke Gereja setiap hari Minggu sebagai keluarga. Mereka mendidik saya juga dengan teladan mereka sebagaimana mereka menunjukkan nilai-nilai kesetiaan, pengorbanan dan kasih. Saya mengasihi Tuhan dan Gereja, karena saya melihat bagaimana orang tua saya juga mengasihi Tuhan dan Gereja.

Ketika St. Dominikus mendirikan Ordo Pengkhotbah, kongregasi pertama dalam Gereja Katolik, yang memiliki orientasi aktif dalam evangelisasi, dia tidak menghapuskan kehidupan berkomunitas. Sebaliknya, ia menjadikan hal ini sebagai unsur penting dari kehidupan Dominikan karena sebelum kita pergi keluar, komunitas kita adalah misi pewartaan pertama kita. Sebuah pewartaan yang baik di komunitas pasti menjaga dan memelihara panggilan para anggotanya. Jujur, saya sangat sedih ketika saya mendengar bahwa frater atau suster meninggalkan biara karena mereka tidak lagi merasakan kebahagiaan dalam komunitas mereka. Atau, anak-anak memiliki prilaku bermasalah karena orang tua mereka tidak memberi teladan yang baik. Ini adalah tanda kegagalan kita sebagai pewarta.

Yesus mengingatkan bahwa panggilan kita berakar, terpelihara dan berkembang di dalam pewartaan Injil. Kita memiliki pemanggilan yang berbeda dengan kisah-kisah yang unik, tetapi sebagai Romo Timothy Radcliffe, OP pernah katakan, kita mungkin masuk ke Ordo (atau panggilan sebagai awam) untuk alasan yang tidak tepat, tapi kita harus tinggal karena alasan yang tepat. Kita percaya bahwa salah satu yang alasan yang tepat adalah pewartaan Kabar Baik di antara kita.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP