Jesus, Women, and Perseverance

29th Sunday in Ordinary Time [C] – October 20, 2019 [Luke 18:1-8]

widowsThe widows are one of the most disfranchised groups in ancient Israel. In those times, women, in general, were considered to be less human. Every time a Jewish man in first-century Palestine woke up, he would pray and thank the Lord for he was not born as a Gentile, a slave or a woman. Often, women were treated as the properties of the patriarchs. While adult men were working outside the house, women were expected to stay behind to take care of the children and the household. Since many women were supported by their husbands, being a widow means loss of both financial foothold and honor. They were lucky if they had mature sons who would take care of them, but those widows without sons were the most pitiful.

However, Jesus comes to bring a fresh air of transformation. Especially, the Gospel of Luke, Jesus allows women to seize the center stage, and be protagonists. Jesus calls both men and women to follow Him and become His disciples. Jesus even allows Himself to be supported by the women [Luk 8:1]. Jesus has a close friendship with Martha and Mary [Luk 10:38-42]. Jesus places women as the main character of his parables like the story of the lost coin [Luk 15:8-10]. Today’s parable is even mind-blogging. Jesus presents a widow, representing the weakest group in the Jewish community, who is persistently pushing her cause against a corrupt judge, the most powerful person in the society. Beyond any expectation, the widow won her cause!

From this parable, we may learn several lessons. Firstly, the key to success is perseverance. While the context of our parable is on how we to pray, the value of perseverance can be applied also in many aspects of our life, like study, work, friendship, relationship, family life, and happiness. If we want to succeed, we need to be persistence and persevering. There is a saying attributed to Thomas Edison, “Success is one percent of inspiration, and ninety-nine perspiration.” Another one is by Isaac Newton, “If I have ever made any valuable discoveries, it has been owing more to patient attention, than to any other talent.” However, the problem with this view is that it is all about my persistence, my success, my glory. It is just too narrow and self-centered.

The second lesson we can draw from this parable is that Jesus empowers the women of His time and allows them to take leading roles. By doing this, Jesus introduces a wider understanding of salvation. When we encounter the word “salvation”, the first that comes to our mind is the salvation from sin, from sickness or from evil spirits. While this understanding is true, it does not capture the bigger mission of Jesus. Salvation also means to lead back into God’s original plan for the world. In the beginning, men and women were created equal in dignity despite their different roles and characters. It was because of sin that men and women were facing each other as enemies. Jesus is building the Kingdom of God, where men and women become truly the image of God. Yet, this is not easy because it is not only about our individual success and happiness. Thus, we need a lot of perseverance because if we want to follow Jesus and His mission of the Kingdom for all, we need to go even against our own selfish interest.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus, Perempuan dan Ketekunan

Minggu ke-29 dalam Masa Biasa [C] – 20 Oktober 2019 [Lukas 18: 1-8]

persistent widowPara janda adalah salah satu kelompok yang paling terpinggirkan di Israel kuno. Pada masa itu, wanita pada umumnya dianggap sebagai manusia yang lebih rendah. Setiap kali seorang pria Yahudi di Palestina abad pertama bangun, dia akan berdoa dan bersyukur kepada Tuhan karena dia tidak dilahirkan sebagai orang bukan Yahudi, budak atau wanita. Seringkali, perempuan diperlakukan sebagai properti para kepala keluarga. Sementara para pria dewasa bekerja di luar rumah, para perempuan diharapkan tetap tinggal untuk menjaga anak-anak dan rumah. Karena banyak perempuan yang tergantung pada suami mereka, menjadi janda berarti kehilangan pijakan ekonomi dan kehormatan. Mereka beruntung jika mereka memiliki putra yang dewasa yang akan merawat mereka, dan ini membuat para janda tanpa putra adalah yang paling menyedihkan.

Namun, Yesus datang untuk membawa angin segar perubahan. Terutama, di Injil Lukas, Yesus mengizinkan perempuan untuk berada di panggung utama, dan menjadi protagonis. Yesus memanggil pria dan wanita untuk mengikuti-Nya dan menjadi murid-Nya. Yesus bahkan membiarkan diri-Nya didukung oleh para wanita [Luk 8: 1]. Yesus memiliki persahabatan dekat dengan Marta dan Maria [Luk 10: 38-42]. Yesus menempatkan perempuan sebagai karakter utama dari perumpamaan-perumpamaannya seperti kisah koin yang hilang [Luk 15: 8-10]. Perumpamaan hari ini bahkan sangat mengejutkan. Yesus menghadirkan seorang janda, yang mewakili kelompok terlemah dalam komunitas Yahudi, yang terus-menerus berurusan dengan hakim yang korup, yang sejatinya adalah orang yang paling kuat di masyarakat. Tanpa disangka, janda itu memenangkan perjuangannya!

Dari perumpamaan ini, kita dapat melihat beberapa nilai. Pertama, kunci kesuksesan adalah ketekunan. Sementara konteks perumpamaan kita adalah tentang bagaimana kita berdoa, nilai ketekunan dapat diterapkan juga dalam banyak aspek kehidupan kita, seperti belajar, bekerja, persahabatan, relasi, keluarga dan kebahagiaan. Jika kita ingin sukses, kita harus gigih, tekun, dan ulet. Ada pepatah yang berasal dari Thomas Alva Edison, “Sukses adalah satu persen inspirasi, dan sembilan puluh sembilan keringat.” Perkataan bijak lain adalah oleh Isaac Newton, “Jika saya pernah membuat penemuan berharga, itu lebih karena perhatian dan kesabaran, daripada talenta-talenta yang lain.” Namun, permasalahan dengan pandangan ini adalah bahwa ini semua tentang kegigihan saya, kesuksesan saya, kemuliaan saya. Itu terlalu sempit dan egois.

Pelajaran kedua yang dapat kita ambil dari perumpamaan ini adalah bahwa Yesus memberdayakan para perempuan pada zaman-Nya dan memungkinkan mereka untuk mengambil peran utama. Dengan melakukan ini, Yesus memperkenalkan pemahaman yang lebih luas tentang arti keselamatan. Ketika kita berhadapan dengan kata “keselamatan”, hal pertama yang muncul di pikiran kita adalah keselamatan dari dosa, dari penyakit atau dari roh jahat. Sementara pemahaman ini benar, ini tidak mewakili misi Yesus yang lebih besar. Keselamatan juga berarti mewujudkan kembali ke rencana awal Allah bagi dunia. Pada awalnya, laki-laki dan perempuan diciptakan setara dalam martabat meskipun peran dan karakter mereka berbeda. Karena dosa laki-laki dan perempuan saling berhadapan sebagai musuh. Yesus sedang membangun Kerajaan Allah, di mana pria dan wanita benar-benar menjadi gambar Allah. Namun, ini tidak mudah karena ini bukan hanya tentang kesuksesan dan kebahagiaan individu kita. Karena itu, kita membutuhkan banyak ketekunan karena jika kita ingin mengikuti Yesus dan misi Kerajaan-Nya bagi semua orang, kita perlu melawan kepentingan egois kita sendiri.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Connect

22nd Sunday in Ordinary Time. August 28, 2016 [Luke 14:1, 7-14]

“Rather, when you hold a banquet, invite the poor, the crippled, the lame, the blind (Luk 14:13)”

jesus diningIn the time of Jesus, Jews had their own special way of dining. Instead of sitting or standing the Jews would recline on a low table where food and wine are served. Reclining was the sign of free man in Greco-Roman culture. The slaves stood and served the guests. Aside reclining posture, their place in the dining table indicated their importance to the host. The closer they were to the host, the more significant they were to the host. Thus, persons sitting beside the host were expected to be the most important guests.

Jesus noticed that some guests wanted to occupy the place of importance in the dining table. Certainly, situating oneself in the place of honor, gave a sense of prestige, but more significantly, the closer they were to the host, the better connection they had with the host who was a leading and influential Pharisee in town.

From ancient times to present days, to connect oneself to the figure of authority and power will give us a better position to improve our lives or advance our cause. With good connection, an unemployed can get a good job. With connection, an employee can have his desired promotion. With connection, a student can enjoy the trust of his teachers. John Maxwell, an inspirational teacher, told us how he was able to win the heart of his wife Margaret, despite many other handsome suitors. He made a good connection with her mother! I guess one of the reasons why I have more preaching opportunities is that I am connected with good friends who also are active in the Church.

Jesus did not intend to erase this kind of connection. In fact, He himself is our connection to the Father (cf. 1 Tim 2:5). In today’s Gospel, what he desire was to re-orient our understanding of our connection. We must not use our connection just to advance our individual and selfish plans, but rather we employ it for the empowerment of others. Jesus invited the hosts to invite the poor in their meals. This was not only about feeding the hungry, but the rich hosts are to make connection with the poor. With connection, the possibility of enabling the less fortunate is opened.

I was fortunate to meet a Columban lay missionary from Korea. Leaving behind her promising career in the US, Ms. Anna volunteers to do ministry in the Philippines. She shared to me what she is doing to help the poor. She gathered the poor mothers living near her place and created a livelihood project. She taught them how to make a candle and sell them at the nearby parishes. Most of the mothers were high school dropouts and at the mercy of their husbands. But, with this project, some are able to continue their study, support their family and more importantly, they now have financial independence and no longer dependent on their husbands. Ms. Anna made connection with these mothers and this connection empowers them.

Jesus calls us to be a good host. This means we who are endowed with blessings will connect with those who are not so fortunate in their lives. Let our connection empower others more tham simply enriching ourselves.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Koneksi

Hari Minggu Biasa ke-22 [28 Agustus 2016] Lukas 14:1, 7-14

 “Tetapi apabila engkau mengadakan perjamuan, undanglah orang-orang miskin, orang-orang cacat, orang-orang lumpuh dan orang-orang buta (Luk:14:13).”

jesus dining 2Pada zaman Yesus, orang-orang Yahudi memiliki cara unik saat perjamuan makan. Alih-alih duduk seperti biasanya, orang-orang Yahudi akan merebahkan diri pada kursi panjang dan menyenderkan tubuh mereka pada meja yang cukup rendah di mana makanan dan anggur yang disajikan. Di dalam budaya Yunani-Romawi kuno, cara makan seperti ini adalah tanda orang yang bebas, sedangkan budak akan berdiri dan melayani para tamu. Selain merebahkan diri, posisi mereka di meja perjamuan akan menunjukkan seberapa pentingnya mereka bagi tuan rumah. Semakin dekat mereka dengan tuan rumah, semakin pentinglah dia bagi sang tuan rumah. Dengan demikian, orang yang duduk di samping tuan rumah adalah tamu yang paling penting.

Yesus melihat bahwa beberapa tamu ingin menduduki tempat penting di meja makan. Tentu saja, menempatkan diri di tempat terhormat, akan memberikan kebanggaan tersendiri, tapi lebih dari itu, semakin dekat mereka ke tuan rumah, semakin baik koneksi mereka dengan tuan rumah yang tidak lain adalah  Farisi yang terkemuka dan berpengaruh di kota tersebut.

Dari zaman dahulu hingga kini, membuat koneksi dengan seseorang yang memiliki otoritas dan kekuasaan akan memberi kita posisi yang lebih baik untuk memperbaiki kehidupan kita atau mencapai tujuan kita. Dengan koneksi yang baik, seorang pengangguran bisa mendapatkan pekerjaan yang layak. Dengan koneksi, seorang karyawan bisa mendapatkan promosi yang diidamkannya. Dengan koneksi, siswa dapat menikmati kepercayaan dari guru-gurunya. John Maxwell, seorang pembicara kawakan, menceritakan bagaimana ia mampu memenangkan hati istrinya Margaret, meskipun banyak pelamar tampan lainnya. Caranya sederhana: dia berhasil membuat koneksi yang baik dengan ibunya Margaret! Saya kira salah satu alasan mengapa saya memiliki kesempatan berkhotbah lebih banyak dari frater-frater yang lain adalah bahwa saya terkoneksi dengan teman-teman baik yang juga aktif di Gereja.

Yesus tidak berniat untuk menghapus koneksi semacam ini. Bahkan, Dia sendiri adalah koneksi kita dengan Bapa (lih. 1 Tim 2: 5). Dalam Injil hari ini, apa yang Yesus inginkan adalah memberi pemahaman baru kita tentang koneksi ini. Kita tidak boleh menggunakan koneksi hanya untuk mencapai rencana individu dan egois kita, melainkan untuk pemberdayaan sesama. Yesus mengajak sang tuan rumah untuk mengundang orang miskin dalam perjamuan mereka. Ini bukan hanya tentang memberi makan orang yang lapar, tapi tuan rumah yang kaya diharapkan mau membuat koneksi dengan orang yang tidak mampu. Dengan koneksi seperti ini, terbuka juga peluang bagi sang tuan rumah untuk memberdayakan mereka yang lemah baik secara ekonomi, sosial maupun politik.

Saya sangat beruntung untuk bertemu dengan misionaris awam dari Korea bernama Anna. Meninggalkan karirnya yang menjanjikan di AS, Anna memutuskan untuk melayani di Filipina. Dia menceritakan kepada saya apa yang dia lakukan untuk membantu orang-orang miskin. Dia mengumpulkan ibu-ibu miskin yang tinggal di dekat rumahnya dan menciptakan proyek mata pencaharian. Dia mengajari mereka bagaimana membuat lilin dan menjualnya di paroki-paroki terdekat. Sebagian besar ibu-ibu ini putus sekolah dan berharap pada belas kasihan suami mereka. Tapi, dengan proyek ini, mereka dapat menyekolahkan anak-anak mereka, mendukung keluarga mereka dan yang lebih penting lagi, ibu-ibu itu sekarang memiliki kemandirian finansial dan tidak lagi tergantung pada suami mereka. Anna membangun koneksi dengan ibu-ibu ini dan koneksi memberdayakan mereka.

Yesus memanggil kita untuk menjadi tuan rumah yang baik. Ini berarti kita yang diberkahi dengan banyak talenta dan berkat diajak untuk membangun koneksi dengan orang-orang yang belum beruntung. Hendaknya koneksi kita memberdayakan orang lain, dan tidak sekedar menguntungkan diri kita sendiri.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP