Yesus, Bait Allah yang Baru

Minggu Prapaskah ke-3

7 Maret 2021

Yohanes 2: 13-25

Sebagai pembaca modern, kita sering gagal paham akan Injil hari ini. Kisah Yesus yang satu ini sering menjadi dasar bagi sebagian dari kita untuk menolak penggunaan bangunan gereja untuk kegiatan non-keagamaan, apalagi untuk keperluan untuk mencari untung. Saya pribadi setuju bahwa bagian dalam gedung Gereja merupakan tempat yang dikhususkan untuk peribadatan dan doa. Ini adalah daerah suci bagi umat untuk bertemu dengan Tuhan dan mengalami surga.

Namun, Injil hari ini lebih kompleks dari apa yang sering kita pahami. Kita cenderung berasumsi bahwa Yesus membersihkan Bait Suci dari para pedagang hewan dan penukar uang karena Yesus melihat mereka sebelumnya bukan bagian dari Bait Allah, tetapi tiba-tiba mereka menjamur di area Bait Suci. Namun, jika kita kembali ke zaman Yesus, pedagang hewan dan penukar koin adalah bagian dari sistem penyembahan dari Bait Suci. Para peziarah dari berbagai belahan Palestina dan dunia berdatangan ke Bait Allah setiap hari, dan meskipun membawa hewan kurban mereka sendiri itu bisa dilakukan, hal ini tidaklah praktis. Hewan-hewan ini akan menambah beban perjalanan dan hewan-hewan ini mungkin mendapatkan cacat atau cedera di sepanjang jalan. Dengan luka atau kerusakan tersebut, hewan-hewan tersebut tidak layak lagi untuk dipersembahkan. Karenanya, sebuah solusi bagi para peziarah yang lelah ini hadir: para pedagang di Yerusalem siap membantu dengan menyediakan hewan kurban yang sehat dan layak.

Penukar uang juga terikat ke Bait Allah. Untuk mendukung pemeliharaan Bait Allah, para peziarah harus menyumbangkan sejumlah uang, namun Bait Allah tidak menerima koin Romawi. Otoritas Bait Allah menganggap koin itu sebagai tanda penindasan asing. Koin Romawi juga dianggap menghujat karena koin itu mengakui Kaisar sebagai dewa. Sementara itu, orang Yahudi tidak diperbolehkan mencetak koin mereka. Sebagai solusinya, mereka menerima koin dari kota tetangga, Tirus. Di sinilah peran para penukar koin. Tanpa penjual hewan dan layanan penukaran uang, Bait Allah Yerusalem tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya. Sama halnya seperti jika kita perlu memproduksi anggur dan roti sendiri untuk perayaan Ekaristi.

Biasanya, pedagang hewan dan pedagang koin berada di dekat tetapi di luar Bait Allah. Namun, masalah bermula ketika otoritas Bait Allah mengizinkan para penjual ini berada di dalam area Bait Allah, terutama di sekitar pelataran bangsa-bangsa [yang diperuntukkan bagi bangsa non-Yahudi]. Pelataran bangsa-bangsa, meskipun terjauh dari tempat yang paling suci, masih merupakan bagian integral dari bait suci dan tetap menjadi tempat berdoa, terutama bagi orang-orang non-Yahudi yang percaya kepada Tuhan Israel.

Yesus tidak hanya ingin melindungi rumah Tuhan sebagai rumah doa dan penyembahan, tetapi Dia juga ingin agar orang-orang bukan Yahudi mendapat tempat di rumah doa ini. Sayangnya, Bait Allah Yerusalem dihancurkan pada 70 M oleh kekaisaran Romawi. Namun, bukan berarti visi Yesus tetap sirna. Keinginan-Nya untuk mempersatukan bangsa-bangsa dalam doa dan penyembahan kepada Tuhan yang benar terwujud dan mencapai kesempurnaan dalam tubuh-Nya, yakni Bait Allah yang baru.

Di manakah kita sekarang menemukan Tubuh [dan Darah] Kristus? Tentunya, ada dalam Ekaristi. Dalam Ekaristi, orang-orang dari berbagai bangsa dan bahasa berkumpul untuk mempersembahkan ibadat yang layak kepada Tuhan yang benar. Setiap kali kita merayakan Ekaristi, kita menjadi saksi hidup dari visi penyembahan Yesus untuk semua bangsa. Kita bisa menyembah Tuhan yang benar karena Yesus menyiapkan tempat untuk kita.

 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tubuh Kristus dan Tubuh Kita

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus [Corpus Christi] – A

14 Juni 2020

Yohanes 6: 51-58

monstranHari Raya Tubuh dan Darah Yesus Kristus berawal dari inisiatif St. Juliana dari Liege, yang meminta uskupnya dan sahabat-sahabatnya untuk menghormati  secara khusus sakramen Ekaristi, dan kehadiran nyata Yesus Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Berdirinya Ekaristi sendiri terjadi dalam Perjamuan Terakhir Tuhan, dan setiap Kamis Putih, Gereja merayakan peristiwa ini. Namun, karena Kamis Putih adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Trihari suci Paskah, perhatian diberikan pada persiapan bagi umat beriman untuk memasuki misteri Sengsara dan Kebangkitan Tuhan kita. Karena berakar di Kamis Putih, Hari Raya Corpus Christi dirayakan pada hari Kamis setelah hari Minggu Tritunggal. Namun, di beberapa negara seperti Indonesia, perayaan dipindahkan ke hari Minggu berikutnya untuk mengakomodasi partisipasi yang lebih besar dari umat beriman.

 Dalam Injil, Yesus menegaskan bahwa tubuh-Nya adalah makanan yang nyata, dan setiap orang yang ingin memiliki hidup yang kekal perlu menyantap tubuh-Nya. Kita mungkin bertanya-tanya: mengapa dalam kebijaksanaan-Nya, Yesus memutuskan untuk memberikan tubuh-Nya sebagai makanan rohani kita? Mengapa Yesus tidak langsung menanamkan rahmat langsung ke jiwa kita? Jawabannya mungkin sangat sederhana. Hal ini dipilih Tuhan karena tubuh kita ini adalah nyata dan baik. Jika kita kembali ke kisah penciptaan di Buku Kejadian, Tuhan menciptakan pria dan wanita dalam kodrat manusia, termasuk tubuh kita, sebagai sesuatu yang sangat baik. Meskipun tubuh kita berasal dari tanah, tubuh kita telah dirancang dengan luar biasa untuk menerima roti ilahi, kehidupan rohani. Tubuh kita pada dasarnya baik, dan begitu baik sehingga tubuh kita bisa menerima rahmat. Dalam perkataan St Agustinus, “Capax Dei” (memiliki kemampuan untuk mengenal dan menerima Tuhan).

Sejak awal berdirinya, Gereja telah memerangi sebuah ajaran sesat yang disebut Gnostisisme. Intinya, gnostisisme mengajarkan ada dualisme dalam ciptaan, bahwa dunia spiritual itu baik dan dunia material, termasuk tubuh kita, adalah jahat. Jadi, setiap aspek ragawi dari kemanusiaan kita harus dibuang dan dihancurkan. Gereja dengan keras menentang ini karena Allah telah menciptakan dunia secara totalitas sebagai yang baik dan indah. Pertempuran berlanjut pada masa St. Dominikus de Guzman, pendiri Ordo Pengkhotbah, yang berhadapan melawan kelompok Albigensia [adaptasi gnostisisme pada abad pertengahan). Syukurlah, kaum Albigentia tidak ada lagi, tetapi sayangnya, gnostisisme terus hidup.

Sebagai umat Kristiani, kita bersama Gereja terus memerangi gnostisisme modern. Jenis gnostisisme sangat sederhana dan tanpa disadari kita pun telah menjadi korban dari virus mematikan ini. Setiapkali kita memperlakukan tubuh kita hanya alat untuk mencapai kesuksesan dan popularitas, ketika kita menyalahgunakan tubuh kita untuk merasakan kenikmatan instan, ketika kita menjual tubuh kita sebagai keuntungan ekonomi belaka, kita tanpa sadar jatuh ke dalam perangkap ini ajaran sesat ini.

Pesta Corpus Christi membawa kita kebenaran yang lebih besar dari tubuh kita. Dengan menjadi manusia dan akhirnya memberikan tubuh-Nya, Yesus mengajarkan kepada kita bahwa tubuh tidak hanya mampu menerima rahmat, tetapi juga mampu menjadi rahmat dan kasih bagi sesama. Dalam Perjamuan Terakhir, Yesus telah memberikan tubuh-Nya sebagai ekspresi kasih tertinggi. Namun, untuk dibagikan, tubuh-Nya harus dihancurkan, namun meski hancur, tubuh mulia ini dipersembahkan dalam ucapan syukur.

 Pada masa pandemi ini, kita tidak dapat menghadiri Misa Kudus, dan kita sangat merindukan Tubuh Kristus. Namun, kabar baiknya adalah bahwa inilah saatnya bagi kita untuk menjadi Tubuh Kristus bagi sesama kita yang membutuhkan. Hanya dengan membagikan tubuh kita dalam kasih, kita memenuhi tujuan kita sebagai makhluk ragawi yang diciptakan menurut citra-Nya.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Christ’s Body and Our Body

Solemnity of Body and Blood of Christ [Corpus Christi] – A

June 14, 2020

John 6:51-58

eucharist 3The solemnity of the Body and Blood of Jesus Christ takes its origin from the initiative of St. Juliana of Liege, who asked his bishop and his friends to honor, in a special way, the institution of the Eucharist, and the real presence of Jesus Christ in the Blessed Sacrament. The institution of the Eucharist itself took place in the Last Supper of the Lord, and every Holy Thursday, the Church celebrates this event. However, since Holy Thursday is an inseparable part of the Easter Triduum, the attention is given to the mystery of the Passion and Resurrection of our Lord. Because of its rootedness in Holy Thursday, the solemnity of Corpus Christi is celebrated on Thursday after the Trinity Sunday. Yet, in several countries, the celebration is moved to the next Sunday to accommodate the greater participation of the faithful.

 In the Gospel, Jesus insists that His body is real food, and everyone who wants to have eternal life shall consume His body. We may wonder: why does in His infinite wisdom, Jesus decide to give His body as food for our spiritual nourishment? Why not infuse the grace directly to our souls? The answer may surprisingly simple. It is because our body is real and good. God created man and woman in their fulness human nature, including their bodies, as something very good. Though our body comes from the ground, it has been marvelously designed to receive the bread of God, the spiritual life. Our bodies are fundamentally good, and so good that our bodies are inclined to grace. In the word of St. Augustine, “Capax Dei” (capable of knowing and receiving God).

Since the earliest time, the Church has battling perennial heresy called Gnosticism. In essence, gnosticism teaches there is dualism in our creation, and that the spiritual realm is good and the material world, including our body, is evil. Thus, any material aspect of our humanity has to be disposed of. The Church vehemently opposed this because God has created our material world as good and beautiful. The battle continues in time of St. Dominic de Guzman, the founder of Order of Preachers, who fought the Albigensians [the middle age adaptation of gnosticism). Gratefully, the Albigentians were no more, but unfortunately, the gnosticism lives on.

As Christians, we carry the battle of the Church against the modern-day gnosticism. The kind gnosticism is surprisingly simple without any need to learn a complex system of belief. When we consider our body a mere instrument to achieve success, when we abuse our bodies to feel instant pleasures, when we treat our bodies as mere economic gain, when we say that my body is my right, we unconsciously fall into the trap of this heresy.

But wait, there’s more! The feast of Corpus Christi brings us even greater truth of our body. By becoming man and finally giving His body, Jesus teaches us that body is not only capable of receiving grace, but it is also capable of becoming grace and love for others. In the Last Supper, Jesus has given as a supreme expression that is to offer His own body in love. And yet, to be shared, it has to be broken, and yet despite broken, it is offered in thanksgiving.

 In this time of the pandemic, we are not able to attend the Holy Mass, and we miss a lot the Body of Christ. Yet, the good news is that it is our time also for us to become the Body of Christ for our neighbors in need. Only through sharing our body in love, we fulfill our purpose as bodily creatures created in His image.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Road to Emmaus, Road Back to God

3rd Sunday of Easter

April 26, 2020

Luke 24:13-35

emmaus 10The two disciples went back home to Emmaus. One of them was Cleopas, and his companion probably was his wife. Perhaps they got afraid of the Roman and Jewish authorities who might go after them after they killed Jesus, the leader. Or maybe, they just got their hope and expectation shattered when Jesus, their expected Messiah, was crucified.

Cleopas and his wife were doing what we usually do in times of sadness and troubles. They told stories and tried to make sense of what had happened. Yet, the thing did not go right. Their dialogue did not make them better. Instead, they became so depressed, and they even failed to recognize Jesus, who was very close. Indeed, we need someone to share our stories, but when this person is not prepared, despite his goodwill, our stories can go from bad to worse. We need to remember that the first dialogue in the Bible took place in the garden of Eden between Eve and the serpent.

Fortunately, Jesus intervened at the right moment. Jesus brought in the missing piece. Jesus offered the word of God. The couple was so blessed because they experienced the first-ever Bible study, and it was Jesus Himself who guided them. Yet, Jesus made it clear that they knew their scriptures, but they were lack of faith. When we read the Bible without faith, it is nothing more than a lovely and inspiring novel or an ancient and mysterious text. Only with faith, we encounter God who is telling His stories. No wonder Jesus said to them that the scriptures are about Him because Jesus is the same God who was present in the creation, who led the Hebrew peoples in their exodus, and who sent prophets to guide the Israelites in the promised land.

Cleopas and his wife remind us of the first couple who also failed to have faith in God, Adam, and Eve. After the first dialogue with Satan that led them to doom, they deserved nothing but death. Yet, God did not allow death to overcome them immediately, but instead He made them leather cloth as a sign of His protection, as well as the sign of the first blood sacrifice. When they left the beautiful garden as a consequence of their choice, it was also the last time we heard about what happened inside the garden. Why? God was no longer in the garden. He was following Adam and Eve. God did not wish they wondered even farther but guided them back to paradise. As God journeyed with Adam and Eve, he also walked with Cleopas and his wife, as they make their way to the new Eden. In the end of their journey, they recognized Jesus when He took bread, blessed, broke and shared it. These were the eucharistic gestures. They entered the new Paradise, the celebration of the Eucharist.

Our stories in life, even in the most destressing moment like now, make sense when God enters into the pictures with His stories. The journey to Emmaus sheds a brighter light on the purpose of the Holy Mass. In the Mass, we always begin with the reading of the scriptures because we are invited to see our little stories in God’s greatest stories. When we find the meaning of our lives in God, that is the time we discover Jesus alive and fresh in the breaking of the bread.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Emaus: Perjalanan kembali kepada Tuhan

Minggu Paskah ke-3

26 April 2020

Lukas 24: 13-35

road to emmaus
Rowan LeCompte (American, 1925–2014) and Irene Matz LeCompte (American, 1926-1970), “Third Station of the Resurrection: The Walk to Emmaus” (detail), 1970. Mosaic, Resurrection Chapel, National Cathedral, Washington, DC. Photo: Victoria Emily Jones. Tags: woman

Kedua murid pulang ke Emaus. Salah satunya adalah Kleopas, dan temannya mungkin adalah istrinya sendiri [lih. Yoh 19:25]. Mungkin mereka takut pada otoritas Romawi dan Yahudi yang mungkin mengejar mereka setelah mereka menghabisi Yesus, sang pemimpin. Atau mungkin, mereka merasa harapan dan mimpi mereka hancur ketika Yesus, sang Mesias yang mereka harapkan, telah disalibkan.

Kleopas dan istrinya melakukan apa yang biasanya kita lakukan di saat kesedihan dan kesulitan melanda hidup kita. Mereka saling berbagi cerita dan mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, bagi Kleopas dan istrinya, hal ini tidak berjalan dengan baik. Dialog yang terjadi tidak membuat mereka lebih baik. Sebaliknya, mereka menjadi lebih sedih, dan mereka bahkan tidak bisa mengenali Yesus, yang sebenarnya sangat dekat. Memang, kita membutuhkan seseorang untuk berbagi cerita kita, tetapi ketika orang ini tidak siap, terlepas dari niat baiknya, kondisi kita bisa menjadi semakin buruk. Kita perlu ingat bahwa dialog pertama dalam Alkitab terjadi di taman Eden antara Hawa dan sang ular!

Yesus turun tangan pada saat yang tepat. Yesus membawa bagian penting yang hilang. Yesus membawa Sabda Allah. Pasangan ini sangat diberkati karena mereka mengalami Bible Study yang pertama, dan Yesus sendirilah yang membimbing mereka. Namun, Yesus menjelaskan bahwa mereka sebenarnya tahu Kitab Suci, tetapi mereka kurang iman. Ketika kita membaca Alkitab tanpa iman, buku ini tidak lebih dari sebuah novel yang indah atau sebuah teks kuno yang penuh misteri. Hanya dengan iman, kita bisa bertemu Tuhan yang menceritakan kisah-Nya di dalam Kitab Suci ini. Tidak heran Yesus berkata kepada mereka bahwa Kitab Suci adalah tentang Dia karena Yesus adalah Allah yang sama yang hadir dalam penciptaan, yang memimpin bani Ibrani dalam eksodus mereka, dan yang mengutus para nabi untuk membimbing orang Israel di tanah terjanji.

Kleopas dan istrinya mengingatkan kita tentang pasangan pertama yang juga gagal untuk beriman kepada Allah. Mereka adalah Adam dan Hawa. Setelah dialog pertama dengan Setan yang membawa mereka pada malapetaka, mereka sebenarnya layak menerima kematian. Namun, Tuhan tidak membiarkan kematian merenggut mereka dengan segera, tetapi sebaliknya Dia membuat bagi mereka pakaian dari kulit sebagai tanda perlindungan-Nya. Ketika mereka meninggalkan taman Eden yang indah sebagai konsekuensi dari pilihan mereka, itu juga terakhir kali kita mendengar tentang apa yang terjadi di dalam taman tersebut. Mengapa? Tuhan tidak ada lagi di taman itu. Dia mengikuti Adam dan Hawa yang pergi dari Eden. Tuhan tidak ingin mereka pergi lebih jauh dari-Nya tetapi dengan sabar membimbing mereka kembali ke surga. Tuhan tidak hanya membimbing dan menemani Adam dan Hawa, Dia juga berjalan dengan Kleopas dan istrinya, dan membimbing mereka ke sebuah tempat di mana mereka menemukan ke Eden yang baru. Mereka mengenali Yesus saat Dia mengambil, memberkati, memecah-mecah dan memberikan roti kepada mereka. Mereka mengenali Yesus saat Ekaristi kudus pertama setelah kebangkitan. Ekaristi adalah Firdaus yang baru.

Kisah-kisah kita dalam kehidupan, bahkan yang paling buruk sekalipun seperti di masa pandemi ini, hanya sungguh bermakna ketika Allah menjadi bagian dari cerita kita. Perjalanan ke Emaus memberi pengertian yang lebih dalam tentang tujuan Misa Kudus. Dalam Misa, kita selalu memulai dengan membaca Kitab Suci karena kita diundang untuk melihat kisah-kisah kecil kita dalam kisah-kisah terbesar Allah. Ketika kita menemukan makna hidup kita di dalam Allah, itulah saatnya kita menemukan Yesus sungguh hidup dalam liturgi Ekaristi.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Salt of Christ

Fifth Sunday in Ordinary Time [A]

February 9, 2020

Matthew 5:13-16

salt makingReading carefully, we may wonder, “Is it possible if the salt loses it, saltiness?” In everyday experience, we never experience tasteless salt. However, when we go back to the time of Jesus, we will be surprised that a salt losing its taste is a daily reality. In ancient Israel, the people would go to the Dead Sea, the saltiest body of water on earth, and gathered the “pillar of salt” formed surrounding the lake. Then, they would put inside a small bag, like a teabag”, and when it was needed for seasoning, the bag would be dipped into the water or soup. After some repeated use, the salt would lose its saltiness due to the chemical impurities. It turned to be nothing but an ordinary pebble, and shall be thrown away and trampled underfoot.

Salt is potent seasoning, but because of its small quantity, we hardly notice it. When I was still in the minor seminary, one of our Lenten observances was to eat our meals cooked without salt. The taste was totally awful. I forced myself to swallow the food, but it just made me feel terrible and feel like vomiting. I never thought that food without salt could hardly be edible.

For many of us, salt is just nothing but seasoning that we can add if lacking, or we only complain to the cooks if the menu is too salty. Yet, for some people, salt literally means life and death. From time to time, we have experienced diarrhea or a loose bowel movement. The sickness itself is easily treatable, but if left untreated, it can be deadly as it causes people to severe dehydration. One of the traditional ways to treat it is “oralit” or oral rehydration solution. It involves drinking the right quantity of water with added sugar and salt. How tiny salt saves people’s lives!

Yet, salt is seasoning and not the real menu. One cannot survive just salt alone. Too much salt in our body will lead to higher blood pressure, and high blood pressure can be fatal to many human organs. Jesus calls us “salt” because we are called to give an excellent flavor to the Bread of Life. When I was still studying in Manila, I was introduced to one of the favorite breakfasts of the Filipinos, “pan de sal.” It is Spanish for the bread of salt because a small amount of salt was added into the final phase of making the dough. The shape of the bread is simple, yet tasty, and make people crave more.

Like salt in Pan de Sal, our mission as Christians is to bring Jesus to others and to make people to long for Jesus more. It is a tough job because our lives and actions shall be right, not too salty, and not to bland. The more we draw attention to ourselves, the more people will just feel “too salty.” Yet, without making our effort, Christ will appear as rather “bland.”

Every time we go to the Mass, we receive the Body of Christ in the form of white, small, and tasteless bread, a host. Why is it flavorless? Because as we go home, we need to become the taste of this Bread of life. So, it is no longer we, but Christ who lives in us (see Gal 2:20).

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

 

 

Garam Kristus

Minggu Kelima dalam Waktu Biasa [A]

9 Februari 2020

Matius 5: 13-16

salt making 2Membaca dengan teliti, kita mungkin bertanya-tanya, “Apakah mungkin jika garam kehilangan rasa asinnya?” Dalam pengalaman sehari-hari, kita tidak pernah menemukan garam yang hambar. Namun, ketika kita kembali ke zaman Yesus, kita akan terkejut bahwa garam yang kehilangan rasanya adalah kenyataan sehari-hari. Di Israel kuno, orang-orang akan pergi ke Laut Mati, laut yang memiliki kadar garam paling tinggi di bumi, dan mengambil bongkahan-bongkahan garam yang terbentuk di sekitar danau. Kemudian, mereka akan dimasukkan ke dalam kantong kecil, seperti kantong teh, dan ketika dibutuhkan untuk bumbu, kantong itu akan dicelupkan ke dalam air atau sup. Setelah digunakan berulang-ulang, garam akan kehilangan rasa asinnya karena kandungan kimia yang tidak sempurna. Bongkahan garam pun berubah menjadi batu biasa, dan akan dibuang dan diinjak-injak.

Garam adalah bumbu yang sangat penting, tetapi karena jumlahnya sedikit, kita tidak menghiraukannya. Ketika saya masih di seminari menengah, salah satu pantang Prapaskah di seminari adalah makan makanan yang dimasak tanpa garam. Rasanya benar-benar ngak enak. Saya memaksakan diri untuk menelan makanan, tetapi itu hanya membuat saya merasa ingin muntah. Saya tidak pernah berpikir bahwa makanan tanpa garam hampir tidak bisa dimakan.

Bagi banyak dari kita, garam hanyalah bumbu yang biasa saja. Namun, bagi sebagian orang, garam berarti hidup dan mati. Dari waktu ke waktu, kita mengalami diare. Penyakit itu sendiri sebenarnya mudah diobati, tetapi jika tidak cepat ditangani, hal ini bisa mematikan karena menyebabkan orang mengalami dehidrasi parah. Salah satu cara tradisional untuk mengobatinya adalah “oralit” atau larutan rehidrasi oral. Ini adalah minum air dalam jumlah yang tepat dengan tambahan gula dan garam. Bagaimana garam kecil menyelamatkan nyawa orang!

Namun, kita perlu mengingat bahwa garam adalah bumbu dan bukan menu utama. Seseorang tidak dapat bertahan hidup hanya dengan garam saja. Terlalu banyak garam dalam tubuh kita akan menyebabkan tekanan darah tinggi, dan tekanan darah tinggi bisa berakibat fatal bagi banyak organ tubuh kita. Yesus menyebut kita “garam” karena kita dipanggil untuk memberikan citarasa yang pas pada sang Roti Kehidupan. Ketika saya masih belajar di Manila, saya diperkenalkan dengan salah satu sarapan favorit orang Filipina, “pan de sal.” Ini adalah bahasa Spanyol untuk “roti garam” karena sedikit garam ditambahkan ke tahap akhir pembuatan adonan roti ini. Bentuk rotinya sederhana, namun enak dan gurih, dan membuat orang ketagihan.

Seperti garam di Pan de Sal, misi kita sebagai umat Kristiani adalah membawa Yesus kepada orang lain dan menjadikan orang lebih merindukan Yesus. Ini adalah pekerjaan yang sulit karena hidup dan tindakan kita harus pas, tidak terlalu asin, dan tidak hambar. Semakin kita menarik perhatian pada diri kita sendiri, semakin banyak orang akan merasa “terlalu asin.” Namun, tanpa melakukan upaya kita, Kristus akan tampak “hambar.”

Setiap kali kita pergi ke Misa, kita menerima Tubuh Kristus dalam bentuk roti putih, kecil, dan tanpa rasa, sebuah hosti. Mengapa tidak berasa? Karena saat kita pulang, kita perlu menjadi rasa bagi Roti hidup ini. Jadi, bukan lagi kita, tetapi Kristus yang hidup di dalam kita (lihat Gal 2:20).

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Beauty of Christmas

Christmas Vigil – December 24, 2019 – Luke 2:1-14

nativity scene 1Today is Christmas, the day of Jesus was born in Bethlehem, and it is a traditional practice that in every Church or Christian family, there is a nativity scene. Usually, the baby Jesus was born in a kind of stable or shed, and He was placed on the wooden manger (a place where animals eat). Surely, Mary and Joseph are intently watching on the Baby, while other animals like sheep and cows become the silent witnesses of this most beautiful moment in human history. The scene will not be complete without the shepherds and the angel.

The nativity scene is indeed beautiful and always remains us of the simplicity of Christmas that we often miss.

However, if we go back to the time of Joseph and Mary, to first-century Palestine, we will discover a slightly different yet have a deeper meaning. Most probably, Joseph and Mary were not resting in a wooden stable, but inside a stone cave since this is a common feature in hill country Judea. Inside the stone cave is warm and sometimes spacious, and the shepherds use them as a safe and warm shelter for their sheep at night. The mangers provided for sheep were not made of wood, but stone. Sometimes, we see Baby Jesus half-naked on the manger, but Luke describes that Jesus was wrapped in a swaddling cloth. It is normal practice that a new-born baby will be cleansed, and then be enclosed by the cloth to keep the baby warm, protected and comfortable.

We discover that Jesus was born in a stone cave, rested on a stone manger and swaddled in cloth. These three things point to an even greater reality in the life of Christ: His death and resurrection. After the crucifixion, his body was enclosed in cloth, put inside the cave tomb, and rested on the large stone. Yet, it is also the same stone tomb where Jesus rose from death. From the very beginning of Jesus’ life here on earth, His destiny has been foretold: by His death and resurrection, He will save us.

However, there is something even more remarkable. Jesus was placed on a manger, and a manger is none other than a place for animal’s feed. From the beginning, Jesus is already presented to us as a food that will satisfy those who come to Him. Then, what “kind of food” is He? It is not a coincidence that Jesus was born in Bethlehem. The word Bethlehem comes from two Hebrew words: “Beth” meaning “house” and “Lehem” meaning “bread”; thus, Bethlehem is a house of bread. Jesus is given to us as bread, and indeed, Jesus calls Himself as the bread of life [Jn 6:35]. It is interesting also to ask why the shepherds were the first persons invited to see Jesus. One of the possible answers is that the shepherds are the first men who are aware of the birth of a lamb. The shepherds recognized that this holy Baby is a new-born lamb. Indeed, later, Jesus would be called as the Lamb of God [John 1:29]. In ancient Israel, lambs were also the main sacrificial animal in the Temple. Baby Jesus came to feed us, and He came as the bread of life and sacrifice that saves us.

While it is good to spend Christmas with vacation or festive celebration, the best way to celebrate Christmas is none other than to celebrate the Eucharist, to mediate the simplicity and humility of God who came to us as little baby, and to ponder His infinite love that He offered Himself to feed us. This is the beauty of Christmas, that God has chosen to love us to the end.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Keindahan Natal

Vigili Natal –  24 Desember 2019 – Lukas 2: 1-14

nativity scene 2Hari ini adalah Natal, hari Yesus lahir di Bethlehem. Biasanya di setiap Gereja atau keluarga Kristiani, ada sebuah kadang atau gua yang menjadi tempat kelahiran Yesus. Di sini, Bayi Yesus ditempatkan di sebuah palungan kayu (tempat makanan binatang). Tentunya, ada patung Maria dan Yusuf yang dengan penuh perhatian mengawasi sang Bayi, sementara binatang-binatang lain seperti domba dan sapi menjadi saksi bisu dari momen terindah ini dalam sejarah manusia ini. Tentunya, kandang ini tidak akan lengkap tanpa gembala dan malaikat. Tempat kelahiran Yesus ini memang indah dan selalu mengingatkan kita akan kesederhanaan Natal yang sering kita lupakan di tengah hiruk pikuk perayaan Natal dan Tahun Baru.

Namun, jika kita kembali ke zamannya Yusuf dan Mary, ke Palestina abad pertama, kita akan menemukan kesederhanaan Natal ini memiliki maknanya sangat dalam. Kemungkinan besar, Yusuf dan Mary tidak beristirahat di kandang, tetapi di dalam gua batu karena ini adalah hal umum yang ditemukan di Bethlehem yang terletak daerah pegunungan Yudea. Di dalam gua batu itu hangat dan terkadang cukup luas, sehingga para gembala menggunakannya sebagai tempat berlindung yang aman dan hangat untuk domba-domba mereka di malam hari. Palungan yang disediakan untuk domba bukan terbuat dari kayu, tetapi batu. Kadang-kadang, kita melihat Bayi Yesus telanjang dada di palungan, tetapi St. Lukas menggambarkan bahwa Yesus dibungkus dengan lampin. Ini adalah hal wajar bahwa bayi yang baru lahir akan dibersihkan, dan kemudian dibalut oleh kain untuk menjaga bayi tetap hangat, terlindungi dan nyaman.

Kita menemukan bahwa Yesus dilahirkan di sebuah gua batu, dibaringkan pada palungan batu dan terbungkus kain. Tiga hal ini menunjuk pada peristiwa yang lebih besar dalam kehidupan Kristus: kematian dan kebangkitan-Nya. Kita ingat setelah penyaliban, tubuhnya ditutupi kain, dimasukkan ke dalam makam batu, dan diletakkan di atas batu besar. Namun, kuburan batu dimana Yesus dimakamkan adalah makam yang sama tempat Yesus bangkit dari kematian. Sejak awal kehidupan Yesus di bumi ini, misi-Nya telah dinubuatkan.

Namun, ada sesuatu yang lebih luar biasa. Yesus ditempatkan di palungan, dan palungan tidak lain adalah tempat untuk memberi makan hewan. Sejak awal, Yesus sudah persembahkan kepada kita sebagai makanan yang akan memuaskan mereka yang datang kepada-Nya. Lalu, “jenis makanan” apa Yesus itu? Bukan kebetulan bahwa Yesus lahir di Bethlehem. Kata Bethlehem berasal dari dua kata Ibrani: “Beth” yang berarti “rumah” dan “Lehem” yang berarti “roti”; dengan demikian, Bethlehem adalah rumah roti. Yesus diberikan kepada kita sebagai roti, dan memang, Yesus menyebut diri-Nya sebagai roti hidup [Yoh 6:35]. Menarik juga untuk bertanya mengapa para gembala adalah orang pertama yang diundang untuk melihat Yesus. Salah satu jawaban yang menarik adalah bahwa para gembala adalah orang pertama yang menyadari kelahiran seekor anak domba. Dengan datangnya para gembala, Bayi Yesus yang kudus ini adalah anak domba yang baru lahir. Tak salah jika Yesus akan disebut sebagai Anak Domba Allah [Yohanes 1:29]. Di Israel kuno, domba juga merupakan hewan kurban utama di Bait Allah. Bayi Yesus datang untuk memberi makan kita, dan Dia datang sebagai roti hidup dan korban yang menyelamatkan kita.

Meskipun baik untuk merayakan Natal dengan liburan atau perayaan meriah, cara terbaik untuk merayakan Natal tidak lain adalah dengan merayakan Ekaristi dimana Yesus telah memberikan diri seutuhnya kepada kita manusia. Bersama-sama kita merenungkan kesederhanaan dan kerendahan hati Allah yang datang kepada kita sebagai bayi, dan untuk merenungkan kasih-Nya yang tak terbatas. Inilah keindahan Natal, yang dipilih Tuhan untuk mencintai kita sampai akhir.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Gifts of Mercy

laying of handsOne of the greatest as well as most humbling realization is that my life and existence is a gift from God. All that exist, from the sub-atomic particle to the purest seraphim owe their being from the Lord. If St. Thomas Aquinas defines justice as to give what is due, then existence is neither due to me nor to all of us. I cannot demand the Lord that He should create me to be the handsomest of all, the richest of all, and the brightest of all. Not even I can ask from Him to possess a face like a Korean actor! Then why did God create me?

The answer lies beyond the justice of God, and what is beyond his justice? It is His Mercy. If His justice asks for “tooth for a tooth” and “eye for an eye”, His Mercy enables one to “give to the one who asks of you, and do not turn your back on one who wants to borrow. (Matt. 5:42)”. If justice is to “love your neighbor and hate your enemy,” (Matt. 5:43), mercy is to “love your enemies, and pray for those who persecute you (Matt. 5:44 NAB).” If God simply exercises His justice, I would not have had my being, but a God is “gracious and merciful, slow to anger and abounding in love and fidelity (Exo 34:6).” And I am here now, alive and kicking, because of God’s mercy. It is a gift precisely because it does not come from my merit and achievement, but freely given.

However, the first gift of life is not the only gift He grants me. The precious gifts keep coming: the gift of family, the gift of faith, the gift of (Dominican) vocation.

This series of precious gifts are leading me to another even more precious gift: the gift of priesthood. Looking into myself, I am aware that I am far from worthy. I have been sinful man, a broken in many possible ways, and I have hurt a numberless people. Often, I am ungrateful for tremendous gifts and blessing God has showered me. And yet, here I am, quoting the motto of Pope Francis, “miserando atque eligendo” – by God’s merciful choice, in front of the great mystery of faith. As I am ordained by the laying hands of Most. Rev. Antonius Subianto, OSC, DD, I will be, as Bishop Robert Barron would point out, “the bearer of the divine mystery”. This gift does not simply add some sacramental works in my sleeves, but it transforms my very being and identity into the image and likeness of Christ the Head [in persona Christi Capitis]. I participate in the identity and mission of the bishops and fellow priests as bridge-maker [pontifex] between God and humanity, to allow the people of God to embrace the divine mystery.

Every time I celebrate Eucharist [thanksgiving], I shall give thanks to the Lord for the gifts of Mercy. As I have received the gifs, it is now my turn to share these gifts to others so that people of God may feel His Mercy. At the heart of the Eucharist is the thanksgiving over the most precious gift of all, the body and blood of Jesus Christ, being blessed, broken and shared. As I receive this precious gift, my lips proclaim the Word of God, and my hands lift the bread of life and the chalice of salvation, I shall offer my life, like the life of Jesus, to be broken and shared to nourish the people of God.

However, despite tremendous power and privilege the ordination brings, I keep confessing that I am weak, sinful, and not worthy. Thus, as I begin this new chapter of my life, I implore for God’s Mercy and yours.