Eating God

The Solemnity of the Body and Blood of Christ [June 23, 2019] Luke 9:11-17

benedict n first communicantToday the Church is celebrating the solemnity of the Body and Blood of Jesus Christ. In many countries like Indonesia, today is the best time for the children who are already prepared to receive their first Holy Communion. I still recall the day I partook of the sacred host and the holy wine. Many of us were around 10 years old, old enough to recognize the presence of Christ in the Eucharist and we were dressed in white. I was wearing long-sleeved white shirt with a tie and black pants. When the priest dipped the white bread into the chalice of wine and said, “the body and blood of Christ”, I said “Amen.” It was my first time to savor the sweetness of wine, and of course, alcoholic beverage!

At that moment, I just knew the reception of sacred host is necessary to complete the Eucharist, and I was aware I was receiving a blessing, but I never truly comprehend the profound meaning of the great mystery. For me, it was just enough that I attend the mass and consume the consecrated host. It has become a routine and tradition, from Sunday to Sunday, to from month to month, from year to year. Till we become parents and we also bring our children for their first communion. And when somebody asks us, “why do you bring your children to the first communion?”, our answer may be like, “Well, we want our kids to be like us. It is just a family tradition.” The answer is simple, but too simple that it draws more questions: why bread and wine? Why Body and Blood of Jesus? Why does it have to be eaten?

We often forget to realize that this sacred host and wine are the entire Jesus Christ Himself, with all humanity and divinity. Thus, God offers Himself to be eaten. Why eating God? The answers lie on the pages of our Old Testament. Firstly, we recall that our first parents fell because of the act of eating. Now, in the Eucharist, God uses the same act of eating to restore men and women into grace. Secondly, in the middle of the garden of Eden, there were two trees, the forbidden tree, the tree of the knowledge of good and evil, and the tree of life [Gen 2:9]. Unfortunately, our first parents chose to eat the fruits from the forbidden tree. Thus, to restore humanity to grace, now God offers us the fruits from the tree of life, the tree of the cross of Christ. Thirdly, we remember the first Passover was about the story of how God liberated Hebrew people from the slavery of Egypt. The Passover began with the slaughter of the lamb, and its blood was sprinkled on the doors of the Israelite house so that their firstborns would be saved from death. Yet, the slaughter and the sprinkling of blood were not the summit of Passover. The Hebrew people had to consume the lamb as to complete their first Passover [Exo 12:8]. Now, Jesus the Lamb of God, has been sacrificed on the cross, yet it is not the end. Like the Hebrew Passover, we need to consume the Lamb of God to complete our New Passover, the Eucharist.

There are so much themes and aspects we may ponder on the Eucharist, and particularly today, the Church reminds us that the Eucharist, especially the reception of the Holy Communion is not just our Sunday routine, a family tradition. It is of the essential plan of God for our salvation, so that we may have heaven, our Communion with God, the Holy Trinity.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Memakan Tuhan

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus [23 Juni 2019] Lukas 9: 11-17

VATICAN-POPE-MEMORIALHari ini Gereja merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Yesus Kristus. Di banyak negara seperti Indonesia, hari ini adalah waktu terbaik bagi anak-anak yang sudah siap untuk menerima Komuni Suci pertama mereka. Saya masih ingat hari saya menerima hosti dan anggur suci. Banyak dari kami berusia sekitar 10 tahun, cukup dewasa untuk mengenali kehadiran Kristus dalam Ekaristi. Saya ingat bahwa saya mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan dasi kecil dan celana hitam. Ketika pastor mencelupkan hosti putih ke dalam piala anggur, dan berkata “tubuh dan darah Kristus”, saya berkata “Amin.” Ini adalah pertama kalinya saya menikmati manisnya anggur, dan tentu saja, minuman beralkohol!

Pada saat itu, saya hanya tahu bahwa penerimaan hosti yang kudus diperlukan untuk melengkapi perayaan Ekaristi, dan juga menerima berkat, tetapi saya tidak pernah benar-benar memahami makna mendalam dari misteri agung ini. Bagi saya, cukuplah bahwa saya menghadiri misa dan mengonsumsi hosti yang dikuduskan. Hal ini telah menjadi rutinitas dan tradisi, dari Minggu ke Minggu, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun. Mungkin banyak dari kita berpikiran yang sama dengan saya bahwa  ini hanyalah sekedar tradisi yang dihidupi sebagai seorang Katolik. Sampai saat kita menjadi orang tua dan kita juga membawa anak-anak kita untuk komuni pertama mereka. Dan ketika seseorang bertanya kepada kita, “mengapa Anda membawa anak-anak Anda ke komuni pertama?” Jawaban kita mungkin seperti, “Ya, kami ingin anak-anak kami seperti kami. Ini adalah tradisi keluarga. ”Jawabannya sederhana, tetapi terlalu sederhana sehingga memunculkan lebih banyak pertanyaan, seperti: Mengapa Tubuh dan Darah Yesus? Kenapa harus Tuhan harus dimakan?

Kita sering lupa untuk menyadari bahwa roti dan anggur yang kudus ini telah menjadi adalah Yesus Kristus yang seutuhnya, dengan segala kemanusian dan keilahian-Nya. Jadi, Tuhan sungguh menawarkan diri-Nya untuk dimakan. Kenapa harus memakan Tuhan? Jawabannya ada di Perjanjian Lama kita. Pertama, kita ingat bahwa orang tua pertama kita jatuh karena sebuah tindakan yakni makan. Sekarang, dalam Ekaristi, Tuhan menggunakan tindakan makan yang sama untuk memulihkan putra-putri dari Adam dan Hawa dalam rahmat. Kedua, di tengah taman Eden, ada dua pohon, yakni pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat yang adalah pohon terlarang, dan pohon kehidupan [Kej 2:9]. Sayangnya, orang tua pertama kami memilih untuk memakan buah dari pohon terlarang. Dengan demikian, untuk mengembalikan manusia kepada rahmat, sekarang Allah memberikan kepada kita buah-buah dari pohon kehidupan, dari pohon salib Kristus. Ketiga, kita ingat Paskah pertama adalah tentang kisah bagaimana Allah membebaskan orang-orang Ibrani dari perbudakan di Mesir. Paskah dimulai dengan penyembelihan anak domba, dan darahnya dipercikkan di pintu rumah orang Israel sehingga anak sulung mereka akan diselamatkan dari kematian. Namun, penyembelihan dan percikan darah bukanlah puncak dari Paskah Yahudi. Orang-orang Ibrani harus memakan domba untuk menuntaskan Paskah pertama mereka [Kel 12:8]. Sekarang, Yesus, Anak Domba Allah, telah dikorbankan di atas kayu salib, namun itu bukanlah puncaknya. Seperti Paskah Ibrani, kita perlu mengonsumsi Anak Domba Allah untuk menuntaskah Paskah Baru kita, yakni Ekaristi.

Ada begitu banyak tema dan aspek yang dapat kita renungkan tentang Ekaristi, dan khususnya hari ini, Gereja mengingatkan kita bahwa Ekaristi, khususnya penerimaan Komuni Kudus bukan hanya rutinitas hari Minggu kita, sebuah tradisi keluarga. Itu adalah rencana esensial Allah untuk keselamatan kita, agar kita bisa menerima kepenuhan hidup, bersekutu dengan Allah, Tritunggal Maha kudus.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Fish and Bread

Third Sunday of Easter [May 5, 2019] John 21:1-19

ichthus 2If we observe the Gospel readings of the past days and Sundays, we will notice that most of them are speaking about the risen Christ’s appearances to His disciples. One unnoticeable yet interesting feature in these stories is that of the presence of food.

The two disciples who walk to Emmaus, invite Jesus to have a dinner. Jesus takes the bread, says the blessing, breaks it, and gives it, and He disappears. The two disciples come to their senses, and realize He is Jesus [Luk 24:30]. When Jesus appears to the Eleven and other disciples, they are terrified. To dispel their doubt on His resurrection, Jesus presents His body and eats the fish given to Him [Luk 24:42]. And in today’s Gospel, Jesus invites His seven disciples to a breakfast at the shore of the Lake of Tiberias. After another miraculous catch, Jesus prepares bread and fish for the disciples who are no longer baffled by the appearance of their Master [John 21:13].

We may ask, “Why bread and fish?” These are simple food that are often available at Jewish household. Yet, looking deeper, bread and fish possess a profound meaning. Bread and fish are earliest symbol of Christ and Christians. Bread, especially the breaking of the bread, is the technical biblical name for the Eucharist. In the Acts of Apostles, the first Christians gather around the apostles for the teaching and breaking of the bread [Acts 2:42]. On a Sunday, Paul leads the community of Troas in worship as he preaches and breaks bread [Acts 20:7]. Fish, in Greek, is “Ichthus” and it stands for “Iesous Christos Theos Hyios Soter”, meaning Jesus Christ God Son [and] Savior. The symbol of fish was scattered inside catacombs of Rome as a sign of Christian gathering in time of persecution.

The question lingers: why does the risen Lord ask for food and invites the disciples to eat? Firstly, eating food is one of the most basic activities of human being. It points to our biological functions that sustains our bodily life and growth. The spiritless body neither consumes food, nor the bodiless spirit enjoys meals. Jesus shows His disciples that his resurrection is not a matter of spiritual enlightenment, but truly a bodily reality. His disciples neither see a spirit floating in the air, nor simply believe that their Teacher is alive in their hearts. The tomb is empty because Jesus, including His body, has risen.

Secondly, eating together does not only satisfy our tummy, but it also brings people closer together. While we are enjoying food, we cannot but share our thoughts and hearts to each other. Eating together builds not only the body, but also the dialogue and community. One of my favorite activities in the convent is the meal time, not because I am fond of eating, but we share a lot of stories and opinions. We practically speak about anything under the sun, from the latest movie, Avenger Endgame, the current political issues, to theological discussion on St. Thomas Aquinas. We also tell our joys, concerns and worries in our ministry and our future as a community. Simple food, yet great bonding.

Upon the simple reality of eating together, Jesus builds His community. In a shared meal, He retells His stories of painful passion and shameful death, and unearths its profound meanings especially as the fulfillment of the Scriptures. The events of his death used to be absurdity and loss of hope, but in the dining table, the risen Lord restores the faith, hope and love that go dim.

Jesus leaves us the Eucharist, the breaking of the bread, the sacred meal. Like the first disciples, it is here that we discover the risen Lord who shares His body as a spiritual food, and His Word as the meaning of our life. In the Eucharist, we are assured that the worst of this world does not have the last say, and the battle against absurdity has already been won.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ikan dan Roti

Minggu Paskah ketiga [5 Mei 2019] Yohanes 21: 1-19

ichthus

Jika kita mengamati bacaan-bacaan Injil pada hari-hari terakhir, kita perhatikan bahwa kebanyakan dari mereka berbicara tentang penampakan Kristus yang bangkit kepada murid-murid-Nya. Salah satu fitur yang sederhana namun menarik dalam cerita-cerita ini adalah adanya makanan.

Kepada dua murid yang berjalan ke Emaus, Yesus diundang untuk makan malam. Bagi mereka, Yesus mengambil roti, mengucapkan berkat, memecahnya, dan memberikannya, dan Dia menghilang. Kedua murid itu segera menyadari bahwa Dia adalah Yesus [Luk 24:30]. Ketika Yesus menampakkan diri kepada sebelas rasul dan murid-murid lainnya, mereka ketakutan. Untuk menghilangkan keraguan mereka tentang kebangkitan-Nya, Yesus menunjukkan tubuh-Nya dan memakan ikan yang diberikan kepada-Nya [Luk 24:42]. Dan dalam Injil hari ini, Yesus mengundang ketujuh murid-Nya untuk sarapan di tepi Danau Tiberias. Setelah mujizat penangkapan ikan, Yesus menyiapkan roti dan ikan untuk para murid yang tidak lagi bingung dengan penampakan Guru mereka [Yoh 21:13].

Kita mungkin bertanya, “Mengapa roti dan ikan?” Ini adalah makanan sederhana yang sering tersedia di rumah tangga Yahudi. Namun, melihat lebih dalam, roti dan ikan memiliki makna yang dalam. Roti dan ikan adalah simbol awal Kristus dan Gereja. Roti, khususnya pemecahan roti, adalah nama teknis Alkitabiah untuk Ekaristi. Dalam Kisah Para Rasul, jemaat pertama berkumpul di sekitar para rasul untuk pengajaran dan pemecahan roti [Kis 2:42]. Pada hari Minggu, Paulus memimpin komunitas di Troas dalam ibadat, dan ia berkhotbah dan memecahkan roti [Kis 20:7]. Ikan, dalam bahasa Yunani, adalah “Ichthus” dan itu singkatan dari “Iesous Christos Theos Hyios Soter”, yang berarti Yesus Kristus, Allah Putra [dan] Juruselamat. Simbol ikan tersebar di katakombe Roma sebagai tanda pertemuan jemaat pada masa penganiayaan.

Pertanyaannya: mengapa Tuhan yang bangkit meminta makanan dan mengundang para murid untuk makan? Pertama, makan makanan adalah salah satu kegiatan paling dasar manusia. Itu menunjuk pada fungsi biologis kita yang menopang kehidupan dan pertumbuhan tubuh kita. Tubuh tanpa roh maupun roh tanpa tubuh tidak mengkonsumsi makanan. Yesus menunjukkan kepada para murid-Nya bahwa kebangkitan-Nya bukanlah masalah pencerahan spiritual, tetapi benar-benar suatu realitas jasmani. Murid-muridnya tidak melihat roh mengambang di udara, juga tidak hanya percaya bahwa Guru mereka hidup di dalam hati mereka. Makam itu kosong karena Yesus, termasuk tubuh-Nya, telah bangkit.

Kedua, makan bersama tidak hanya memuaskan perut kita, tetapi juga membuat kita lebih dekat dengan satu sama lain. Sementara kita menikmati makanan, kita juga berbagi pikiran dan hati kita. Makan bersama membangun tidak hanya tubuh, tetapi juga dialog dan komunitas. Salah satu kegiatan favorit saya di biara adalah waktu makan, bukan karena saya senang makan, tetapi kami bisa berbagi banyak cerita dan pendapat. Kami berbicara tentang apa pun, dari film terbaru, Avenger Endgame, masalah politik saat ini, hingga diskusi teologis tentang St Thomas Aquinas. Kami juga menceritakan kegembiraan, keprihatinan, dan kekhawatiran kami dalam pelayanan dan masa depan kami sebagai sebuah komunitas. Makanan sederhana menjadi ikatan persaudaraan.

Dengan realitas sederhana yakni makan bersama, Yesus membangun komunitas-Nya. Dalam perjamuan bersama, Dia menceritakan kembali kisah-kisah-Nya tentang penderitaan yang menyakitkan dan kematian yang memalukan, dan menggali maknanya yang mendalam terutama sebagai penggenapan dari Kitab Suci. Peristiwa kematiannya dulunya adalah sebuah absurditas dan kehilangan harapan, tetapi di meja makan, Tuhan yang bangkit memulihkan iman, harapan dan cinta yang menjadi redup.

Yesus memberikan kita Ekaristi, memecahkan roti, perjamuan kudus. Seperti para murid pertama, di sinilah kita menemukan Tuhan yang bangkit yang membagikan tubuh-Nya sebagai makanan rohani, dan Firman-Nya sebagai makna hidup kita. Dalam Ekaristi, kita diyakinkan bahwa yang terburuk di dunia ini tidak memiliki suara terakhir, dan makna dan pengertian mengalahkan kegelapan dan keputusasaan.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Broken Enough

Third Sunday of Advent [December 16, 2018] Luke 3:10-18

kneelingThe second question that Archbishop Socrates Villegas of Lingayen-Dagupan asked us during our ordination was, “Are you broken enough?” Once again his question raised eyebrows and was, indeed, counter-intuitive. We want to be flawless, whole and perfect. We desire to achieve more in life, to be wealthy, healthy and pretty. We wish to be socially accepted, respected and gain certain prominence. We want to become somebody, and not nobody. We like others to call us as the famous doctors, the creative entrepreneurs, or successful lawyers. Or for us, people in the Church, we like people to consider us well-sought preachers, generous and builder-priests, or skillful and well-educated sisters.

However, we often forget that the people we serve are broken people. They are broken in many aspects of life. Some are broken financially, some are struggling with health problems, and many are crushed by traumatic experiences in the families. Some are dealing with anger and emotional instability, and some are confronting depression and despair. Some are hurt, and some other are forced to hurt. Many fall victims to injustice and violations of human rights. And all of us are broken by sin. We are serving broken people, and unless we are broken enough like them, our ministry is nothing but superficial and even hypocritical.

Therefore, as the ministers of the Church, we ask ourselves: are we disciplined enough in our study and allow the demands of academic life to push us hard to kiss the ground and continually beg the Truth to enlighten us? Are we patient enough in our life in the community and allow different personalities and conflicts in the seminary, convent or community to shape us up, to make us realize that life is much bigger than ourselves, and to enrich us? Are we resilient enough in our ministry and allow different people in our ministries to challenge our small world, to confront us with failures, and to face a reality that it is not them being served, but us? Are we humble enough in our prayer and allow God to take control of our lives?

In the center of our Eucharistic liturgy are the Word and the Body being broken. The Word of God in the scriptures is read, and the preacher ‘stretches’ and ‘breaks’ it into more relevant and meaningful words for the people of God. The Body of Christ in the consecrated hosts is literally broken, and so this may be enough for everyone. These Word and Body of Christ are broken for the broken people of God. Jesus saves and makes us holy by being one with us, by being broken for us. He is a broken Lord for His broken brothers and sisters.

We the ministers of God are like Jesus Christ, and thus, the questions are: Are we willing to recognize and accept our own imperfections? Are we strong enough to admit that we are weak? Are broken enough that we may share our total selves to our brothers and sisters? Are we like Christ who is broken for others to live?

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Terpecah

Hari Minggu Ketiga dalam Masa Adven [16 Desember 2018] Lukas 3: 10-18

kneeling 2Pertanyaan kedua yang diajukan uskup agung Socrates Villegas dari Lingayen-Dagupan saat saya ditahbiskan adalah, “Apakah kamu sudah cukup terpecah dan remuk?” Sekali lagi pertanyaannya ini mengherankan. Kita ingin menjadi utuh dan sempurna. Kita ingin mendapatkan lebih banyak dalam hidup, menjadi kaya, sehat dan cantik. Kita ingin diterima secara sosial, dan dihormati dan memiliki pencapaian yang dapat dibanggakan. Kita ingin menjadi seseorang. Kita ingin orang lain menyebut kita sebagai dokter terkenal, pengusaha kreatif, atau pengacara yang sukses. Atau bagi kita, orang-orang yang melayani di Gereja, kita suka orang-orang menganggap kita sebagai pengkhotbah yang disukai, imam pembangun, atau suster yang terampil dan berpendidikan.

Namun, kita sering lupa bahwa orang yang kita layani adalah orang-orang yang terpecah dan remuk. Mereka terpecah dalam banyak aspek kehidupan. Ada yang remuk secara finansial, ada yang bergulat dengan masalah kesehatan, dan banyak yang dihancurkan oleh pengalaman traumatis dalam keluarga. Ada yang berurusan dengan kemarahan dan ketidakstabilan emosi, dan ada pula yang menghadapi depresi dan keputusasaan. Beberapa terluka, dan beberapa lainnya dipaksa untuk melukai. Banyak menjadi korban dari ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. Dan kita semua diremukkan oleh dosa. Kita melayani orang-orang yang terpecah dan remuk, dan kecuali kita cukup remuk seperti mereka, pelayanan kita sekedar superfisial dan bahkan menjadi sebuah kemunafikan.

Oleh karena itu, sebagai pelayan Gereja, kita bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita cukup disiplin dalam hidup studi dan membolehkan tuntutan kehidupan akademis memaksa kita untuk berlutut dan terus memohon kepada sang Kebenaran untuk menerangi kita? Apakah kita cukup sabar dalam kehidupan di komunitas dan memungkinkan berbagai kepribadian dan konflik di seminari, biara atau komunitas untuk membentuk kita, untuk membuat kita menyadari bahwa hidup jauh lebih besar daripada diri kita sendiri, dan memperkaya kita? Apakah kita cukup ulet dalam pelayanan kita dan memungkinkan orang-orang yang kita layani untuk menantang dunia kecil kita, untuk menghadapkan kita dengan kegagalan, dan kenyataan bahwa bukan mereka yang dilayani, tetapi kita? Apakah kita cukup rendah hati dalam doa kita dan membiarkan Tuhan mengendalikan hidup kita?

Di ditengah-tengah liturgi Ekaristi kita adalah Firman dan Tubuh yang dipecah-pecah. Firman Tuhan dalam kitab suci dibaca, dan sang pewarta ‘memecah-mecah’ sang Sabda menjadi kata-kata yang lebih relevan dan bermakna bagi umat Allah. Tubuh Kristus dalam hosti putih yang dikuduskan dipecah-pecah agar menjadi cukup untuk semua orang. Ini adalah Firman Allah dan Tubuh Kristus yang dipecah-pecah untuk umat-Nya yang juga terpecah dan remuk. Yesus menyelamatkan dan menjadikan kita kudus dengan menjadi satu dengan kita, dengan diremukan bagi kita. Dia adalah Tuhan yang terpecah bagi saudara-saudari-Nya yang remuk redam.

Kita adalah para pelayan Tuhan, dan pertanyaannya sekarang adalah: Apakah kita mau mengakui dan menerima ketidaksempurnaan kita sendiri? Apakah kita cukup kuat untuk mengakui bahwa kita lemah? Apakah cukup terpecah dan remuk sehingga kita dapat berbagi diri kita secara total kepada saudara-saudari kita? Apakah kita mau seperti Kristus yang diremukan agar banyak orang bisa memiliki hidup?

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tradition

Twenty Second Sunday in Ordinary Time [September 2, 2018] Mark 7:1-8, 14-15, 21-23

“You disregard God’s commandment but cling to human tradition.” (Mk. 7:8)

mano poIn today’s Gospel, Jesus seems to denounce all traditions. However, this position is rather simplistic and unattainable. The reason is that human beings are the creatures of traditions. Tradition comes from Latin word, “tradere”, meaning “to hand down”. Thus, crudely put, tradition is anything that has been handed down from our predecessors. Traditions range from something tangible like technologies and fashions, to something intangible like values, languages, sciences and many more. I remember how my mother taught me basic Christian prayers, like Our Father, Hail Mary, and the Rosary, and how my father would regularly bring us to the Church every Sunday. This is my family’s religious traditions. As an Indonesian living in the Philippines, I appreciate the “Mano Po” tradition among the Filipinos. This is a simple gesture of respect and blessing. The younger Filipinos are to hold a hand of older Filipino, and place it on their forehead.

Had Jesus renounced all the traditions, He should have stopped speaking Aramaic, refrained from teaching the people, begun removing all His Jewish clothes, and walking naked! Yet, Jesus did not do those things. Jesus respects traditions and acknowledges their importance. However, Jesus also recognizes that there are some traditions that are problematic and bring more problems rather than solutions. Immersed in the stream of traditions, Jesus invites us to discern well on what traditions that bring us true worship of God and genuine progress for human society.

Going back to the time of Jesus, the Jews are particular with ritual purity because they can only worship God when they are ritually clean. In view of this worship, they carefully avoid contamination from blood, dead body and unclean animals, or any objects that are in contact with these things. Since they are not sure whether their hands and utensils are ritually clean, especially if they come from the marketplace or the fields, they make it a habit to purify their hands and utensils to evade contamination from uncleanliness. Thus, various purification rituals develop into traditions for the Jews. The intention of these traditions is good because they assist people to worship God. However, some of the Pharisees put excessive emphasis on these traditions and make them absolute as if failure to observe these rituals means they fail to revere God. They confuse between the genuine worship that brings true honor for God, and other traditional practices that assist people in achieving this worship.

Jesus does not only invite us to discern carefully various traditions we have, but Jesus also offers us a more fundamental tradition in worshiping God. Instead of “handing down” practices or things, Jesus hands down something most important, namely His own life for God and us. Jesus gives up His Body and Blood, His total self, in the Last Supper, and this sacrifice reaches its summit at the Cross. His self-offering becomes the most pleasing worship to God, and procures the gift of salvation for all of us. Because of His Tradition, the world is no longer the same. Jesus hands over this great Tradition to His Disciples and throughout the generations, the Christians are faithfully offering this sacrifice of Jesus Christ in the Eucharist. As we partake Jesus’ self-offering, we are also empowered to hand down ourselves to others. This means we are invited to make our daily sacrifices, to persevere in doing good, and to be faithful to our commitments either as spouse, parents, priests, religious, or professionals. As we live this greatest tradition daily, we do not only make the world a better place, but to offer a pleasing worship to God.

Br. Valentinus Bayuahadi Ruseno, OP

Tradisi

Minggu ke-22 pada Masa Biasa [2 September 2018] Markus 7: 1-8, 14-15, 21-23

“Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” (Markus 7: 8)

burning candleDalam Injil hari ini, Yesus tampaknya menolak semua tradisi. Namun, pernyataan ini terlalu disederhanakan. Alasannya adalah bahwa manusia adalah makhluk tradisi. Tradisi berasal dari kata Latin, “tradere”, yang berarti “menurunkan”. Jadi, secara sederhana, tradisi adalah segala sesuatu yang telah diturunkan atau diwariskan dari para pendahulu kita. Tradisi berkisar dari sesuatu yang berwujud seperti teknologi, hingga sesuatu yang tidak berwujud seperti bahasa, ilmu pengetahuan, dan banyak lagi. Saya ingat bagaimana ibu saya mengajarkan saya doa-doa dasar, seperti Bapa Kami, Salam Maria, dan Rosario, dan bagaimana ayah saya secara teratur membawa kami ke Gereja setiap Minggu. Ini adalah tradisi agama keluarga saya. Sebagai orang Indonesia yang tinggal di Filipina, saya mengapresiasi tradisi “Pano Po” di antara orang Filipina. Ini adalah sikap menghormati orang yang lebih tua dan juga memberi berkat kepada yang lebih muda. Orang Filipina yang lebih muda akan memegang tangan mereka yang lebih tua, dan meletakkannya di dahi mereka.

Seandainya Yesus meninggalkan semua tradisi, Dia seharusnya berhenti berbicara bahasa Aram, menahan diri untuk mengajar orang-orang, dan mulai melepas semua pakaian Yahudi-Nya. Namun, Yesus tidak melakukan hal-hal itu. Yesus menghormati tradisi dan mengakui pentingnya hal-hal ini. Namun, Yesus juga mengakui bahwa ada beberapa tradisi yang bermasalah dan perlu ditinggalkan. Menjadi bagian dalam arus tradisi, Yesus mengajak kita untuk memahami dengan baik tradisi apa yang membawa kita kepada ibadat sejati kepada Allah dan kemajuan sejati bagi komunitas manusia.

Lebih dekat dengan Injil hari ini, orang-orang Yahudi memiliki ritual-ritual pemurnian karena mereka hanya bisa menyembah Tuhan ketika mereka bersih secara ritual atau tidak najis. Mereka pun dengan hati-hati menghindari benda-benda yang dapat membuat mereka najis seperti darah dan binatang-binatang najis, termasuk juga benda apa pun yang bersentuhan dengan hal-hal najis ini. Karena mereka tidak yakin apakah tangan dan peralatan makan mereka tidak bersentuhan dengan hal-hal najis, terutama jika mereka datang dari pasar atau ladang, mereka membuat kebiasaan untuk memurnikan tangan dan peralatan mereka untuk menghindari hal ini. Dengan demikian, berbagai ritual pemurnian berkembang menjadi tradisi bagi orang Yahudi. Ujud dari tradisi-tradisi ini baik karena mereka membantu orang-orang Yahudi bersih dari kenajisan dan dapat menyembah Tuhan. Namun, beberapa orang Farisi memberi penekanan berlebihan pada tradisi-tradisi ini dan menjadikannya absolut seolah-olah kegagalan untuk menjalankan ritual-ritual ini berarti mereka gagal untuk menghormati Tuhan. Mereka tidak bisa membedakan antara ibadat sejati yang mendatangkan kehormatan sejati bagi Tuhan, dan praktik-praktik tradisional lainnya yang membantu orang dalam mencapai ibadah ini.

Yesus tidak hanya mengundang kita untuk membedakan dengan seksama berbagai tradisi yang kita miliki, tetapi Yesus juga memberikan kepada kita sebuah tradisi yang lebih mendasar dalam menyembah Allah. Alih-alih “menurunkan” sebuah praktik atau hal, Yesus “menurunkan” sesuatu yang paling penting, yakni hidup-Nya sendiri untuk Allah dan kita semua. Yesus menyerahkan Tubuh dan Darah-Nya, diri-Nya yang sepenuhnya, dalam Perjamuan Terakhir, dan pengorbanan ini mencapai puncaknya di Salib. Persembahan diri-Nya menjadi ibadah yang paling sempurna bagi Allah, dan memenangkan rahmat keselamatan bagi kita semua. Yesus menyerahkan Tradisi besar ini kepada para murid-murid-Nya dan sepanjang zaman, kita dengan setia menjalan Tradisi ini dan mempersembahkan pengorbanan Yesus Kristus dalam Ekaristi. Sewaktu kita mengambil bagian dari persembahan diri Yesus, kita juga diberdayakan untuk “menurunkan” dan menyerahkan diri kita kepada orang lain. Ini berarti kita diundang untuk melakukan pengorbanan kita sehari-hari, bertekun dalam melakukan kebaikan, dan setia pada komitmen kita baik sebagai suami-istri, orang tua, imam, kaum religius, atau seorang profesional. Ketika kita menjalani tradisi terbesar ini setiap hari, kita tidak hanya membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, tetapi menawarkan ibadah yang sempurna kepada Tuhan.

Frater Valentinus Bayuahadi Ruseno, OP

The Body of Christ in Our Lives

Twentieth Sunday in Ordinary Time [August 19, 2018] John 6:51-58

“Whoever eats my flesh and drinks my blood has eternal life…(Jn. 6:54)”

consecration 1
photo by Harry Setianto SJ

From Jesus’ time until the present, the Eucharist is one of Jesus’ most difficult teachings to understand, less to believe. People can easily agree with Jesus when He says that we need to love our neighbors as ourselves. People may have a difficult time to forgive and to love one’s enemy, but they will accept that vengeance and violence will not solve any issue. Perhaps, it is easier if we are simply to accept Jesus with our whole heart and believe that we are saved. However, Jesus does not only teach those beautiful things. Jesus goes to the very length of the Truth about our salvation. He is the Bread of Life, and this Bread of Life is His flesh and blood. Jesus does not only ask us to believe but to eat His flesh and drink His blood so that we may have eternal life.

For the Jews during that time, to eat human flesh is a total abomination and to drink blood, even the blood of an animal, is forbidden. Thus, when Jesus tells them to consume His Flesh and Blood, many Jews would think that He must be out of His mind. The people are following Jesus because they witnessed Jesus’ power in multiplying the bread, and they want to make him their leader. Yet, Jesus reminds them that they miss the mark if they simply follow Him because he feeds them with the ordinary bread. They should work for the Bread of Life that is Jesus Himself. Many of Jesus’ initial followers murmur, and eventually, they leave Him, because of this very hard teaching.

Going to our time, Eucharist remains the most difficult to understand. Are this small white tasteless bread and a drop of wine truly the Body and Blood of Christ? How can this ordinary food contain the fullness of Jesus’ divinity and humanity? Why should we bend our knee in adoration before an ordinary thing? The greatest minds ever born, from St. Paul to our contemporary scholars, have tried to explain the mystery, but none of their explanation is adequate. St. Thomas Aquinas who was able to write one of the most profound explanations of the Eucharist, eventually had to admit that this is the mystery of faith. He wrote in his hymn to the Blessed Sacrament, Tantum Ergo, “Præstet fides supplementum, Sensuum defectu (Let faith provide a supplement, for the failure of the senses).”

Indeed, the greatest faith is needed to accept the greatest mystery, because the humblest form of food brings us to the eternal life. Yet, this becomes one of the most beautiful Good News Jesus brings. The eternal life is not something we only gain afterlife, but Jesus makes this life available here and now.  If God is truly present in this small bread, then He is also present in our daily life, no matter ordinary it is. If Jesus is broken in the Eucharist, so He is embracing us in our darkest and broken moments of life. If Jesus who is the Wisdom of God, is contained in this little host, this Wisdom provides us with true meaning in our seemingly senseless lives.

What I am ending my pastoral work in the hospital, and one thing I most grateful is that I am given an opportunity to walk together with many patients, and to minister the Holy Communion to them. The Eucharist as the real presence of Christ becomes their consolation and strength. It becomes the greatest sign that God does not abandon them despite unsurmountable problems they need to face. Through the Body of Christ in the Eucharist and the Word of God in the Bible, we together journey to find meaning in the midst of painful and broken reality of sickness and death. In the Eucharist, our life is not just a bubble of intelligence in the endless stream of meaningless events, but participation in the eternal life of God.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tubuh Kristus dalam Kehidupan Kita

Minggu ke-20 dalam Masa Biasa
19 Agustus 2018
Yohanes 6: 51-58

“Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal… (Yoh. 6:54)”

consecration 2
foto oleh Fr. Harry SJ

Ekaristi adalah salah satu ajaran Yesus yang paling sulit untuk dipahami apalagi di dipercayai. Orang-orang dapat dengan mudah setuju dengan Yesus ketika Dia mengatakan bahwa kita perlu mengasihi sesama seperti diri kita sendiri. Orang-orang mungkin kesulitan untuk memaafkan dan mengasihi musuh, tetapi mereka akan menerima bahwa pembalasan dan kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah. Namun, Yesus tidak hanya mengajarkan hal-hal yang indah ini. Yesus mewartakan kebenaran yang total tentang keselamatan kita. Dia adalah Roti Kehidupan, dan Roti Hidup ini adalah darah dan daging-Nya sendiri. Yesus tidak hanya meminta kita untuk percaya tetapi untuk memakan daging-Nya dan minum darah-Nya sehingga kita dapat memiliki hidup yang kekal.

Bagi orang Yahudi waktu itu, makan daging manusia adalah sebuah kekejian dan minum darah, bahkan darah hewan, adalah hal terlarang. Jadi, ketika Yesus mengatakan kepada mereka untuk mengkonsumsi Daging dan Darah-Nya, banyak orang Yahudi berpikir bahwa Yesus itu gila. Orang-orang mengikuti Yesus karena mereka menyaksikan kuasa Yesus dalam melipatgandakan roti, dan mereka ingin menjadikan-Nya pemimpin mereka. Namun, Yesus mengingatkan mereka bahwa tidak tepat jika mereka hanya mengikuti Dia karena dia memberi mereka makan dengan roti biasa. Mereka perlu bekerja untuk Roti Hidup yakni Yesus sendiri. Banyak pengikut awal Yesus bersungut-sungut, dan akhirnya, mereka meninggalkan Dia, karena pengajaran yang sangat sulit ini.

Di zaman sekarang, Ekaristi tetap sulit untuk dipahami. Apakah roti tawar kecil putih dan setetes anggur ini benar-benar Tubuh dan Darah Kristus? Bagaimana makanan biasa ini mengandung kepenuhan keilahian dan kemanusiaan Yesus? Mengapa kita harus menekuk lutut kita dihadapan hosti kecil? Pemikir-pemikir besar telah mencoba menjelaskan misteri itu, tetapi tidak satu pun dari penjelasan mereka yang cukup memadai. Santo Thomas Aquinas yang mampu menulis salah satu penjelasan paling mendalam tentang Ekaristi, akhirnya harus mengakui bahwa ini adalah misteri iman. Dia menulis dalam nyanyiannya kepada Sakramen Mahakudus, Tantum Ergo, “Præstet fides supplementum, Sensuum defectu (Biarkan iman melengkapi, saat indera gagal).”

Sungguh, iman terbesar diperlukan untuk menerima misteri terbesar, karena bentuk makanan yang paling sederhana membawa kita ke kehidupan kekal. Namun, ini menjadi salah satu Kabar Baik yang Yesus bawa. Kehidupan kekal bukanlah sesuatu yang hanya kita peroleh di akhirat, tetapi Yesus menjadikan kehidupan ini tersedia di sini dan saat ini. Jika Tuhan bisa benar-benar hadir dalam roti kecil ini, Dia juga hadir dalam kehidupan kita sehari-hari, bahkan di dalam hal paling sederhana sekalipun. Jika Yesus dipecah dan dibagikan dalam Ekaristi, Iapun mampu memeluk kita di saat-saat yang paling gelap dan pahit dalam hidup. Jika Yesus yang adalah sang Kebijaksanaan Allah, terkandung dalam hosti kecil ini, Kebijaksanaan ini memberi kita makna yang sejati dalam kehidupan kita yang sederhana.

Saya akan mengakhiri karya pastoral saya di rumah sakit, dan satu hal yang paling saya syukuri adalah bahwa saya diberi kesempatan untuk menemani banyak pasien, dan melayani Komuni Kudus bagi mereka. Ekaristi sebagai kehadiran Kristus yang nyata menjadi penghiburan dan kekuatan mereka. Ini menjadi tanda terbesar bahwa Tuhan tidak meninggalkan mereka meskipun ada banyak masalah yang harus mereka hadapi. Melalui Tubuh Kristus dalam Ekaristi dan Firman-Nya di dalam Alkitab, kita bersama-sama melakukan perjalanan untuk menemukan makna di tengah-tengah realitas sakit dan kematian. Dalam Ekaristi, hidup kita bukan sekedar serentetan peristiwa-peristiwa tanpa arti, tetapi partisipasi kita dalam kehidupan kekal Allah.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP