Preaching Faith

Nineteenth Sunday in Ordinary Time [August 12, 2018] John 6:41-51

Amen, amen, I say to you, whoever believes has eternal life. I am the bread of life.  (Jn 6:47-48)

I am currently having my pastoral clinical education in one of the hospitals in the Metro Manila. Aside from visiting the patients and attending to their spiritual needs, we also have processing sessions guided by our supervisor.  During one of the sessions, our supervisor asked me, “Where is the ultimate source of your preaching?” As a member of the Order of Preachers, I was caught off guard. My initial reaction was to say our deeply revered motto, “Contemplare, at contemplata aliis tradere (to contemplate, and to share the fruits of one’s contemplation).” He pressed further and asked what is behind this contemplation. I began scrambling for answers. “Is it study? Community? Or prayer? He said that those were right answers, but there is something more basic. I admitted I am clueless. While he was smiling, he said “It is faith.”

His answer is very simple and yet makes a lot of sense. We pray because we have faith in God. We go to the Church because we have faith in the merciful God who calls us to be His chosen people. As for myself, I entered the Dominican Order because I have faith that generous God invites me to this kind of life. We preach because we trust in the loving God and we want to share this God with others.

I have spent years studying philosophy and theology at one of the top universities in the Philippines, but when I meet the patients with so much pain and problems, I realize that all my achievements, knowledge and pride are coming to naught. How am I going to help patients having troubles to settle hospital bills with astronomical amount?  How am I going to help persons in their dying moments? How am I going to help patients who are angry with God or disappointed with their lives? However, as a chaplain, I need to be there for them, and the best preaching is in fact, the most basic one. It is not preaching in the forms of theological discourse, philosophical discussion, and a long sermon or advice. To preach here is to sharing my faith and to receive their faith. I am there to be with them, to listen to their stories and struggles, to share a little humor and laughter, and to pray together with them. To pray for them is the rare moments that I pray with all my faith because I know that only my faith I can offer to them.

In our Gospel today, we read that some Jews are murmuring because they have no faith in Jesus. Yet, Jesus does not only call them to simply trust in Him, but also to literally eat Him because He is the Bread of Life. The faith in the Eucharist is indeed a tipping point. It is either the craziest of the crazy or the greatest faith that can move even a mountain. As Christians who believe in the Eucharist and receive Jesus in every Mass, we are tremendously privilege and challenged to have and express this faith. However, when we fail to appreciate this meaning and beauty of this faith, and only receive the Bread of Life in a routinely and mechanical fashion, we may lose altogether this faith.

As people who go to Church every Sunday and receive the Eucharist on a regular basis, do we truly believe in Jesus the Bread of Life? Does our faith empower us to see God in the midst of our daily struggles and challenges? Do we have faith that we can share when it matters most?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mewartakan Iman

Minggu ke-19 dalam Masa Biasa [12 Agustus 2018] Yohanes 6: 41-51

Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal. 48 Akulah roti hidup. (Yoh 6: 47-48)

faith1Saat ini saya sedang menjalani pelayanan pastoral di salah satu rumah sakit di Metro Manila. Selain mengunjungi pasien dan melayani kebutuhan rohani mereka, kami juga mengikuti sesi pengolahan yang dipandu oleh seorang pengawas. Dalam salah satu sesi, pengawas kami bertanya kepada saya, “Di mana sumber utama pewartaanmu?” Sebagai anggota Ordo Pengkhotbah, saya terperangah. Reaksi awal saya adalah mengucapkan motto kami, “Contemplare, di contemplata aliis tradere (untuk berkontemplasi dan membagikan buah dari kontemplasi).”

Dia menekan lebih jauh dan bertanya apa yang ada di balik kontemplasi itu. Saya mulai bingung mencari jawaban. “Apakah ini studi? Hidup komunistas? Atau doa? Dia mengatakan bahwa semua jawaban saya adalah benar, tetapi ada sesuatu yang lebih mendasar. Saya akui saya tidak tahu. Dia pun tersenyum dan dia mengatakan, ini adalah iman.

Jawabannya sangat sederhana namun sangat masuk akal. Kita berdoa karena kita memiliki iman kepada Tuhan. Kita pergi ke Gereja karena kita memiliki iman kepada Allah yang penuh belas kasih yang memanggil kita untuk menjadi umat pilihan-Nya. Sedangkan, saya sendiri memasuki Ordo Dominikan karena saya memiliki iman bahwa Allah yang murah hati memanggil saya untuk hidup membiara. Kita mewartakan karena kita memiliki iman pada Tuhan yang pengasih dan kita ingin berbagi Tuhan dengan sesama.

Saya telah menghabiskan bertahun-tahun belajar filsafat dan teologi di salah satu universitas ternama di Filipina, tetapi ketika saya bertemu pasien dengan penyakit dan masalah yang sanget berat, saya menyadari bahwa semua pencapaian, pengetahuan, dan kebanggaan saya itu sia-sia. Bagaimana saya akan membantu pasien untuk membayar tagihan rumah sakit dengan jumlah yang sangat besar? Bagaimana saya akan membantu pasien-pasien di saat-saat terakhir mereka? Bagaimana saya akan membantu pasien yang marah pada Tuhan atau kecewa dengan hidup mereka? Namun, saya harus ada di sana untuk mereka menjadi pewartaan yang terbaik dan paling mendasar. Ini bukan pewartaan dalam bentuk diskursus teologis, diskusi filosofis, dan khotbah atau nasihat yang panjang. Untuk mewartakan di sini adalah untuk membagikan iman saya dan untuk menerima iman mereka. Saya ada di sana untuk bersama mereka, untuk mendengarkan kisah dan pergulatan mereka, untuk berbagi sedikit canda dan tawa serta berdoa bersama dengan mereka. Berdoa untuk mereka adalah saat-saat langka, di mana saya berdoa dengan semua iman saya sebab saya tahu bahwa hanya iman ini yang dapat saya berikan kepada mereka.

Dalam Injil kita hari ini, kita membaca bahwa beberapa orang Yahudi bersungut-sungut karena mereka tidak memiliki iman kepada Yesus. Namun, Yesus tidak hanya memanggil mereka untuk hanya percaya kepada-Nya, tetapi juga untuk benar-benar memakan-Nya karena Dia adalah Roti Kehidupan. Iman dalam Ekaristi sungguh menjadi penentu. Hanya dua kemungkinan: sebuah kegilaan atau iman terbesar. Sebagai umat Kristiani yang percaya pada Ekaristi dan menerima Yesus di setiap misa, kita menerima rahmat dan ditantang luar biasa untuk memiliki dan menyatakan iman ini. Namun, ketika kita gagal untuk menghargai arti dan keindahan dari iman ini dan hanya menerima Roti Hidup secara rutin, kita akan kehilangan iman ini.

Sebagai orang yang pergi ke Gereja setiap Minggu dan menerima Ekaristi secara teratur, apakah kita benar-benar percaya kepada Yesus, Sang Roti Hidup? Apakah iman kita mampu memberdayakan kita untuk melihat Tuhan di tengah-tengah perjuangan dan tantangan hidup kita sehari-hari? Apakah kita memiliki iman yang dapat kita bagikan di saat yang paling penting?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Amen

18th Sunday in Ordinary Time [August 5, 2018] John 6:24-35

“This is the work of God, that you believe in the one he sent.” (Jn. 6:29)

amen 1To say “Amen” is something usually we do in prayer. Commonly it is used to end a prayer. Our biblical prayers like Our Father and Hail Mary are usually concluded by amen. In several occasions, amen is mentioned more often. One of my duties as a hospital chaplain is to lead a prayer of healing for the sick. I always ask the family and friends who accompany the patients to pray together. Sometimes, they will say amen at the end of the prayer. However, some others will utter several amens within the prayer, and in fact, some people will say more amens than my prayer! In several occasions, amen is utilized outside the context of prayer. Preachers with a charismatic gift will invite their listeners to say amen. Surely, it is a good technique to keep the listeners awake!

Amen is a simple and yet very powerful word. Amen indicates our strong affirmation and agreement to something. It is the most concise manifesto of our faith. Amen is a biblical language, and in fact, it is a Hebrew word, that means “surely!” or “Let it be done!”. It is interesting to note that the early usage of amen in the Bible is to affirm curses and punishments (see Num 5:22; Deu 27:15). Fortunately, the Book of Psalm teaches us to use amen to affirm God’s blessings. Jesus Himself is fond of saying Amen. He uses amen to affirm the truth and power of His words (see Mat 5:18; Mat 8:5). There is a radical shift here. Unlike the usual practice to affirm God’s blessing, Jesus says amen to His own words. This is because Jesus’ words are God’s blessing per se. Thus, learning from the Biblical tradition, we say amen to affirm God’s blessings. Moreover, learning from Jesus, we say amen to express our faith in His words, and ultimately to Jesus Himself. Surprisingly, the first person in the New Testament to proclaim the great amen to Jesus is none other than His mother, Mary. Before the angel Gabriel, she says “Be it done to me according to your words,” in short, “Amen!” (see Luk 1:38)

One of the greatest amen we proclaim is when we receive the Eucharist. For hundreds of millions of Christian Catholics who receive the Holy Communion every Sunday, to say amen seems rather usual. Yet, it is supposed to be the most difficult amen we say. To believe and affirm that a little consecrated white bread is the Body of Christ containing the fullness of Jesus’ divinity and humanity is either totally insane or a sign of extraordinary faith. Yet, I do believe this is Jesus’ invitation to believe in Him in the Eucharist. Relating to this Sunday’ Gospel, Jesus says that the work of God is to believe in Jesus, the one sent by the Father (see John 6:29). Continue reading chapter 6 of this Gospel of John, we discover that to believe in Jesus means to accept that He is the Bread of Life, and those who eat this Bread will have eternal life (see John 6:51). Thus, to say faith-filled amen to the Eucharist is the fulfillment of Jesus’ words, and leading to the fullness of acceptance of Jesus as God and Savior.

As people who go to the Church every Sunday and receive the Eucharist in a regular basis, do we say our Amen in the fullness of our faith or is it just a mechanical repetition? Does our Amen enable us to recognize the daily blessing we receive? Like Mary, does our faith manifest in our daily actions, and make a difference in lives?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Amin

Minggu ke-18 Pada Masa Biasa [5 Agustus 2018] Yohanes 6: 24-35

“Inilah pekerjaan yang dikehendaki Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah” (Yoh 6:29)

amen 2Mengatakan “Amin” adalah sesuatu yang biasanya kita lakukan dalam doa. Kata ini biasanya digunakan untuk mengakhiri doa. Doa alkitabiah seperti Bapa Kami dan Salam Maria biasanya disimpulkan oleh kata amin. Namun, dalam beberapa kesempatan, amin disebut lebih sering. Salah satu tugas pastoral saya di rumah sakit adalah memimpin doa penyembuhan bagi yang sakit. Saya selalu meminta keluarga dan mereka yang menemani pasien untuk berdoa bersama. Biasanya, mereka akan mengatakan amin di akhir doa. Namun, ada juga beberapa orang akan mengucapkan beberapa amin dalam doa, dan bahkan, ada beberapa orang mengucapkan lebih banyak amin dari pada doa yang saya ucapkan! Dalam beberapa kesempatan, amin digunakan di luar konteks doa. Pengkhotbah karismatik akan mengajak pendengar mereka untuk mengatakan amin sebagai bentuk penegasan. Tentunya, ini adalah juga teknik yang bagus untuk membuat pendengar tidak tertidur!

Amin adalah kata yang sederhana namun sangat kuat. Amin menunjukkan penegasan dan persetujuan kita yang kuat terhadap sesuatu. Ini adalah manifesto paling ringkas dari iman kita. Amin adalah bahasa alkitabiah, dan sebenarnya, ini berasal dari kata Ibrani, yang berarti “Sungguh!” Atau “Terjadilah!”. Sangat menarik untuk dicatat bahwa penggunaan awal kata amin dalam Alkitab adalah untuk menegaskan kutukan dan hukuman (lihat Bil 5:22; Ul 27:15). Syukurlah, Kitab Mazmur mengajarkan kita untuk menggunakan amin untuk menegaskan berkat Tuhan. Yesus sendiri suka mengatakan Amin [walaupun dalam alkitab Bahasa Indonesia kata ‘Amin’ diganti dengan kata ‘sesungguhnya’). Ia menggunakan amin untuk menegaskan kebenaran dan kuasa firman-Nya (lihat Mat 5:18; Mat 8: 5). Ada pergeseran radikal di sini. Berbeda dengan praktik biasa untuk menegaskan berkat Tuhan, Yesus mengatakan amin pada kata-kata-Nya sendiri. Ini karena kata-kata Yesus adalah berkat Tuhan. Dengan demikian, belajar dari tradisi Alkitab, kita mengatakan amin untuk menegaskan berkat-berkat Tuhan. Lebih dari itu, belajar dari Yesus, kita mengatakan amin untuk mengekspresikan iman kita dalam Firman-Nya, dan akhirnya kepada Yesus sendiri. Tak mengejutkan bahwa orang pertama dalam Perjanjian Baru yang menyatakan amin kepada Yesus tidak lain adalah ibu-Nya, Maria. Di hapadapan malaikat Gabriel, dia berkata, “Terjadilah padaku menurut perkataanmu,” singkatnya, “Amin!” (Lihat Luk 1:38)

Salah satu amin terbesar yang kita nyatakan adalah ketika kita menerima Ekaristi. Bagi ratusan juta umat Katolik yang menerima Komuni Suci setiap hari Minggu, mengatakan amin tampaknya biasa-biasa saja. Namun, ini sebenarnya menjadi amin yang paling sulit yang kita katakan. Untuk percaya dan menegaskan bahwa hosti kecil putih adalah Tubuh Kristus yang mengandung kepenuhan keilahian dan kemanusiaan Yesus adalah tanda iman yang luar biasa besar. Saya percaya ini adalah ajakan Yesus untuk percaya kepada-Nya dalam Ekaristi. Berkaitan dengan Injil hari Minggu ini, Yesus mengatakan bahwa pekerjaan yang dikehendaki Allah adalah percaya kepada Yesus, yang diutus oleh Bapa (lihat Yoh 6:29). Membaca bab 6 dari Injil Yohanes ini, kita menemukan bahwa percaya kepada Yesus berarti menerima bahwa Dia adalah Roti Kehidupan, dan mereka yang memakan Roti ini akan memiliki hidup yang kekal (lihat Yoh 6:51). Jadi, untuk mengatakan amin yang dipenuhi oleh iman kepada Ekaristi adalah pemenuhan kata-kata Yesus, dan menuntun kita pada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat.

Sebagai umat yang pergi ke Gereja setiap Minggu dan menerima Ekaristi secara teratur, apakah kita mengatakan Amin dalam kepenuhan iman atau ini hanya sebuah kata yang diulang-ulang? Apakah Amin kita memungkinkan kita untuk mengenali berkat harian yang kita terima? Seperti Maria, apakah iman kita terwujud dalam tindakan sehari-hari kita, dan membuat perbedaan dalam kehidupan kita?

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

More than Bread

Seventeenth Sunday in Ordinary Time [July 29, 2018] John 6:1-15

Jesus said to Philip, “Where can we buy enough food for them to eat?” (Jn. 6:5)

barley loaves 4Unlike the other Gospels, the Gospel of John does not have the story of the Institution of the Eucharist on the Last Supper. However, it does not mean John the evangelist does not write anything about the Eucharist. In fact, John includes the most sublime discourse on the bread of life in his chapter 6. The chapter itself is relatively long, and the Church has distributed it into several Sunday Gospel readings (from today up to August 26). This discourse on the Bread of Life begins with the lovely story of Jesus feeding the multitude.

The story highlights Jesus’ question to Philip, “Where can we buy enough food for them to eat?” (Jn. 6:5) Philip, who seems to be familiar with the place, gives impossibility as an answer, “Two hundred denarii (or two hundred days’ wages) worth of food would not be enough…” (Jn. 6:7) Philip is just realistic, but he misses the mark. Jesus does not ask “how much,” but “where.” Perhaps, if Philip lives in the 21st century, he would direct Jesus to the nearest shopping mall! The point is that Philip would eagerly reduce the entire problem into a financial matter. Philip is not wrong because finance and economy are the backbones of our daily lives and even our survival as species, But money is not the only thing that matters. Philip will later see during the multiplication of the bread, that the “where” is pointing back to Jesus Himself. And as we will see in succeeding of chapter 6, the bread Jesus offers is not meant only for biological and economic benefits, but for eternal life.

I am currently having my clinical pastoral education at one of the hospitals in Metro Manila. One of the sacred missions entrusted to me as a chaplain is to distribute the Holy Communion to the sick. By ministering to the sick, especially through prayer and giving Holy Communion, I am reminded that the physical and biological aspects of our humanity are not the only things to be taken care of. It is true that many patients I have encountered are struggling with financial issues, like how to get the money to pay the hospital bills and expensive medicines. They have to wrestle also with their sickness that sometimes is incurable. I myself am at a loss on how to help them in these pressing concerns. However, often, the patients themselves are the ones who assure me that God will find a way, as He always does. What I do, then, is to affirm and strengthen their faith. Prayer and giving of the Holy Communion are the visible manifestations of Jesus’ real presence among us, and His presence is even more felt by the sick. Like our Gospel’s today, Jesus does not only take care of the physical aspect of our lives, but more fundamentally, He brings us to the deeper reality that our souls all long for. Paradoxically, in their hunger, they discover Jesus.

Being strong and healthy, we often forget this simple truth. Like Philip, we are more concerned with amassing wealth, attaining fame, and achieving success. Even as people serving the Church and the community, we are spending more time in organizing charity events, raising funds, and even arguing among ourselves over trivial matters. We miss the point why we are going to the Church. We miss encountering Jesus. We pray and hope that we are able to answer Jesus’ question rightly to Philip and us, “Where shall we find food for us to eat?”

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Lebih dari Roti

Minggu ke-17 dalam Masa Biasa [29 Juli 2018] Yohanes 6: 1-15

Yesus berkata kepada Filipus, ” Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?” (Yoh 6: 5)

barley loaves 2Tidak seperti Injil lainnya, Injil Yohanes tidak memiliki kisah tentang penetapan Ekaristi dalam Perjamuan Terakhir. Namun, ini tidak berarti Yohanes penginjil tidak menulis apa pun tentang Ekaristi. Nyatanya, Yohanes menulis tulisan yang paling luhur tentang roti hidup dalam bab 6 Injilnya. Bab itu sendiri relatif panjang, dan Gereja telah distribusikannya ke beberapa bacaan Injil hari Minggu (dari hari ini hingga 26 Agustus). Penjelasan tentang Roti Hidup ini dimulai dengan kisah Yesus yang memberi makan banyak orang.

Mari kita perhatikan pertanyaan Yesus kepada Filipus, “Di manakah kita akan membeli roti, supaya mereka ini dapat makan?” (Yoh 6:5) Filipus, tampaknya akrab dengan tempat itu, menyatakan bahwa mustahil untuk memberi makan orang sebanyak itu, “Roti seharga dua ratus dinar tidak akan cukup untuk mereka ini… ” (Yoh. 6: 7) Filipus cukup realistis, tetapi ia tidak menjawab pertanyaan. Yesus tidak menanyakan “berapa,” tetapi “di mana.” Mungkin, jika Filipus hidup di zaman now, dia akan mengarahkan Yesus ke mal terdekat! Intinya adalah bahwa Filipus akan dengan semangat menyederhanakan seluruh masalah ke dalam masalah keuangan. Filipus tidak salah karena keuangan dan ekonomi adalah tulang punggung kehidupan kita sehari-hari dan bahkan kelangsungan hidup kita sebagai spesies, tetapi uang bukanlah satu-satunya hal yang penting. Filipus nantinya akan melihat setelah mujizat penggandaan roti, bahwa “di mana” merujuk pada Yesus sendiri. Dan seperti yang akan kita baca dalam bab 6, roti yang Yesus tawarkan tidak hanya dimaksudkan untuk manfaat biologis dan ekonomi, tetapi untuk kehidupan kekal.

Saat ini saya sedang menjalankan pastoral di salah satu rumah sakit di Metro Manila. Salah satu misi yang dipercayakan kepada saya adalah membagikan Komuni Kudus bagi orang sakit. Dengan melayani orang sakit, khususnya melalui doa dan pemberian Komuni Kudus, saya diingatkan bahwa aspek fisik dan biologis dari kemanusiaan kita bukanlah satu-satunya hal yang harus dijaga. Memang benar bahwa banyak pasien yang saya temui bergulat dengan masalah keuangan, seperti bagaimana mendapatkan uang untuk membayar tagihan rumah sakit dan obat-obatan yang mahal. Mereka juga harus bergumul dengan penyakit mereka yang kadang tidak dapat disembuhkan. Saya sendiri bingung bagaimana cara membantu mereka dalam masalah yang mendesak ini. Namun, seringkali, para pasien sendiri adalah orang yang meyakinkan saya bahwa Tuhan akan membuka jalan. Apa yang saya lakukan, kemudian, adalah memperkuat iman mereka. Doa dan pemberian Komuni Kudus adalah manifestasi nyata dari kehadiran Yesus di antara kita, dan kehadiran-Nya bahkan lebih terasa bagi orang sakit. Seperti Injil kita saat ini, Yesus tidak hanya memperhatikan aspek fisik dari kehidupan kita, tetapi lebih mendasar lagi, Dia membawa kita ke realitas yang lebih dalam yang merupakan kerinduan jiwa kita yang terdalam. Sungguh sebuah paradoks bahwa dalam sakit, mereka menemukan Yesus.

Saat kita masih kuat dan sehat, seringkali kita melupakan kebenaran sederhana ini. Seperti Filipus, kita lebih peduli dengan mengumpulkan kekayaan, meraih ketenaran, dan mencapai kesuksesan. Bahkan sebagai orang yang melayani Gereja dan komunitas, kita menghabiskan lebih banyak waktu dalam mengatur acara-acara amal, mengumpulkan dana, dan bahkan berdebat di antara kita sendiri tentang hal-hal sederhana. Kita kehilangan tujuan utama mengapa kita pergi ke Gereja. Kita gagal bertemu Yesus. Kita berdoa dan berharap bahwa kita dapat menjawab pertanyaan Yesus dengan benar, “Di manakah kita akan membeli roti, supaya kita ini dapat makan?”

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Body

Solemnity of the Body and Blood of Jesus Christ [June 3, 2018] Mark 14:12-16, 22-26

“Take it; this is my body” (Mk 14:22)

last supper africaWe often take for granted that we are created as a bodily creature. Our body is integral to our humanity and created by God as something good; we receive our body as a gift. We freely receive our body from our parents, and our parents from their parents and this goes on till we discover God as the source of this gift. Because our body is a gift from God, we are called to honor our body as we honor the Giver of the gift Himself.

Since the earliest time, the Church has fought against various false teachings that undermine the integrity and sanctity of the body. Early Christians stoutly defended the goodness of the body against the Gnostic sects that condemned the body as evil, a prison to our soul, and a curse to our existence. The Order of Preachers where I belong was founded for the salvation of souls. Some of my friends complain why we only save the soul and disregard other aspects of our humanity. I remind them that the Order was originally established to counter the Albigensian sect, and one of its basic teachings is that the body is evil, that suicide is a great means to achieve final liberation. To preach and fight for the goodness and integrity of our body is essential to the Dominican preaching, as it is to the Church’s preaching.

Unfortunately, the gnostic teaching grows and takes modern forms. Sanctity of our body is ever compromised as our body is trivialized and even commoditized. Human trafficking is one of the greatest abuses of our body. Young women, mostly from a poor background, are lured into prostitution and turned to be sex objects. Young children are forced to work in inhuman conditions in many countries. Organ harvesting has become most luxurious business involving the countless amount of money. There is a price for every organ we have. In fact, there is a nasty story in the social media of a teenager who sells his kidney to buy the latest model of iPhone. For some people, another additional ‘bodies’ in the wombs are just liabilities and hindrance to self-progress and career development, and thus, it is better to abort these ‘bodies’ before they grow and become bigger problems.

In celebrating the solemnity of the body and blood of Jesus Christ, we are invited through our Gospel reading, to go back to Jesus’ Last Supper. There, Jesus freely offers His body as a gift to His disciples, “Take it, this My body.”  He then asks these disciples to share His body they have received to the future generations of disciples. Jesus receives His body as a gift, and now, in His Supper, He passes this gift so that we may have a life. This is the foundation of the Eucharist, as well as the core of the Christian sexuality.

Husband and wife join together in marriage, and they are no longer “two but one body.” As both spouses face the altar of God, they recognize that their bodies are gifts from God, and by lovingly offering to their spouse, they honor God who created them. We oppose any pre-marital and extra-marital sex because unless our body is given freely and totally in lifetime marriage commitment, we are always exposed to objectify our body. A husband’s or wife’s body is not simply the “property” or object to satisfy sexual, psychological needs, but it is a gift from God that even leads us to a deeper appreciation of our own body. In marriage, husband and wife give their body as a gift to each other in love and honor, so that they may have life more abundantly and in fact, they may welcome a new body, a new life, a new gift, into their marriage.

Married life is one among several ways we may accept and offer our body as a gift. Even a celibate life dedicated to service of others is another way to offer our body as a gift. Like Jesus in the Last Supper, it is only by receiving our body as a gift and freely sharing it as a gift that we may have meaningful lives.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tubuh

Hari Raya Tubuh dan Darah Yesus Kristus [3 Juni 2018] Markus 14: 12-16, 22-26

“Ambil; inilah tubuhku ”(Markus 14:22)

african-last-supper-lukandwa-dominicTubuh kita adalah bagian integral dari kemanusiaan kita dan diciptakan oleh Tuhan sebagai sesuatu yang baik. Tubuh kita adalah sebuah karunia. Dengan cuma-cuma, kita menerima tubuh kita dari orang tua kita, dan orang tua kita dari orang tua mereka dan ini berlangsung terus sampai kita menemukan Tuhan sebagai sumber dari karunia ini. Karena tubuh kita adalah karunia dari Tuhan, kita dipanggil untuk menghormati tubuh kita sebagaimana kita menghormati Sang pemberi karunia.

Sejak awal mulanya, Gereja telah berjuang melawan berbagai ajaran sesat yang merongrong integritas dan kesucian tubuh. Gereja dengan gigih membela kebaikan tubuh melawan sekte Gnostik yang mengajarkan tubuh sebagai jahat, penjara bagi jiwa kita, dan kutukan bagi eksistensi kita. Saya adalah anggota Order of Pewarta (atau Dominikan), dan Ordo ini didirikan untuk keselamatan jiwa-jiwa. Beberapa teman saya mengomentari mengapa kami hanya menyelamatkan jiwa dan mengabaikan aspek lain dari kemanusiaan kita. Saya mengingatkan mereka bahwa Ordo ini awalnya didirikan untuk memerangi sekte Albigensian, dan salah satu ajaran dasar mereka adalah bahwa tubuh adalah jahat, bahwa bunuh diri adalah sarana yang baik untuk mencapai pembebasan akhir. Untuk mewartakan dan berjuang bagi kebaikan dan integritas tubuh kita adalah mendasar bagi pewartaan Dominikan, seperti juga untuk pewartaan Gereja.

Sayangnya, ajaran gnostik tetap bertumbuh dan mengambil bentuk-bentuk baru di dunia modern. Kesucian tubuh kita terus diremehkan dan bahkan menjadi sebuah komoditas. Perdagangan manusia adalah salah satu pelanggaran terbesar terhadap tubuh kita. Perempuan muda, sebagian besar dari latar belakang miskin, terjebak ke dalam prostitusi dan menjadi objek seks belaka. Anak-anak muda dipaksa bekerja dalam kondisi yang tidak manusiawi di banyak negara. Pengambilan organ tubuh telah menjadi bisnis paling menggiurkan yang melibatkan jumlah uang yang luar biasa besar. Ada harga untuk setiap organ yang kita miliki. Bahkan, ada cerita di media sosial tentang seorang remaja yang menjual ginjalnya untuk membeli iPhone model terbaru. Tambahan ‘tubuh’ lain di dalam rahim menjadi sebuah beban dan hambatan untuk kemajuan diri dan pengembangan karier, dan dengan demikian, lebih baik untuk mengaborsi ‘tubuh’ ini sebelum mereka tumbuh dan menjadi masalah yang lebih besar.

Hari ini kita merayakan tubuh dan darah Yesus Kristus, dan kita diundang melalui bacaan Injil, untuk kembali ke Perjamuan Terakhir Yesus. Di sana, Yesus dengan bebas mempersembahkan tubuh-Nya sebagai karunia kepada murid-murid-Nya, “Ambillah, ini tubuh-Ku.” Dia kemudian meminta para murid ini untuk membagikan tubuh-Nya yang telah mereka terima kepada generasi murid-murid masa depan. Yesus menerima tubuh-Nya sebagai karunia, dan sekarang, dalam Perjamuan Terakhir-Nya, Dia memberikan karunia ini agar kita dapat memiliki kehidupan yang penuh. Ini adalah dasar dari Ekaristi, juga inti dari seksualitas Kristiani.

Di dalam sakramen pernikahan, suami dan istri tidak lagi “dua tetapi satu tubuh.” Ketika kedua pasangan menghadap altar Allah, mereka mengakui bahwa tubuh mereka adalah karunia dari Tuhan, dan dengan mempersembahkan tubuh mereka kepada pasangan mereka, mereka menghormati Tuhan yang telah menciptakan mereka. Kita menentang seks pra-nikah dan seks di luar nikah karena hanya saat tubuh kita diberikan secara bebas dan total dalam komitmen pernikahan, kita selalu akan selalu menghancurkan tubuh kita. Tubuh suami atau istri bukan sekadar “milik” atau objek untuk memuaskan kebutuhan seksual dan psikologis, tetapi itu adalah karunia dari Tuhan yang bahkan menuntun kita untuk menghargai tubuh kita sendiri. Dalam pernikahan, suami dan istri memberikan tubuh mereka sebagai karunia terhadap satu sama lain dalam kasih dan hormat, sehingga mereka dapat memiliki kehidupan yang lebih berlimpah dan juga, mereka dapat menyambut tubuh baru, kehidupan baru, karunia baru, ke dalam pernikahan mereka.

Kehidupan pernikahan adalah salah satu di antara beberapa cara dimana kita bisa menerima dan mempersembahkan tubuh kita sebagai karunia. Kehidupan selibat yang didedikasikan untuk melayani sesama adalah cara lain untuk mempersembahkan tubuh kita sebagai karunia. Seperti Yesus dalam Perjamuan Terakhir, hanya dengan menerima tubuh kita sebagai karunia dan dengan bebas mempersembahkannya sebagai karunia, kita memiliki kehidupan yang penuh dan bermakna.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

My Flesh and My Bones

Third Sunday of Easter [April 15, 2018] Luke 24:35-48

Look at my hands and my feet, that it is I myself. Touch me and see, because a ghost does not have flesh and bones as you can see I have.” (Luke 24:39)

adoration
photo by Harry Setianto, SJ

We listen to the last story of risen Christ’s appearance to the disciples in the Gospel of Luke. His presences point to the fact that Jesus still has several missions to accomplish on earth before He ascends into heaven. Particularly in this episode, Jesus is out to dispel the disciples’ doubt on His bodily resurrection. Some disciples may have an idea that Jesus’ appearances are mere illusions as the disciples are coping with a terrible pain of losing and failure. Some others may think that it was just a disembodied spirit or a ghost that appeared like Jesus.

 

Jesus comes to them and proves that He is neither an illusion coming from their disciples’ mind nor a mere story concocted to give false hope. He shows them his hands and feet and eats a baked fish just like an ordinary and living man does. Even Jesus says that he possesses “flesh and bones.” The disciples who see and touch Jesus’ body would acclaim in their hearts, “This is, at last, the bone of my bones and the flesh of my flesh (Gen 2:23).” From this point, we begin to recognize that Jesus’ bodily resurrection is closely linked to the story of creation in the Book of Genesis.

If we go back to the story of human creation in Genesis 2, we read a beautiful image of God as a potter artist who fashioned humanity from clay with various details of perfection. God also gave the human life as He breathed His life-giving spirit. However, soon after creation, God said that it was not good for the human to be alone. He then made other animals, but no one was proven suitable companion for that human. Thus, God, acting like a surgeon, made the first human sleep, took the rib, and fashioned another human being. When Adam woke up and saw for the first time another being in his likeness, he shouted in joy, “This is, at last, the bone of my bones and the flesh of my flesh (Gen 2:23).” The story of human creation which is highly symbolic reaches its perfection in the creation of man and woman, and how they are going to be suitable and loving partners for each other.

Going back to Gospel of Luke, the story of the appearance of the risen Lord to the disciples turns to be a story of re-creation. After the disciples are disbanded, scattered and cowardly ran away, they are as weak as soil. Jesus gathers them together and fashions them once again as a community. After the disciples are hurt deeply and defeated, they are like a clay pot shattered into pieces. Jesus comes to breathe His Spirit and to bring healing and true peace. After the disciples are disoriented and lost meaning, they are like the lonely and incomplete first Adam. Jesus, the second Adam, continues to love them, and thus, restores their purpose, and fills what is fundamentally lacking in them. Being re-created, the disciples now are suitable partners of Jesus in bringing the message of resurrection and the gospel of love to wounded humanity.

Each one of us is wounded and struggles with many issues. Despite our good effort to become a good Christian, we acknowledge we are as weak as clay. We have been unfaithful to the Lord and each other. The risen Christ does not lose hope in us. He gathers us once again as His people, and in the Eucharist, He shows us His true “flesh and blood.” Partaking in Jesus’ resurrected body means that despite our fragile nature and weaknesses, we have been re-created as His suitable partners to bring the message of hope and fulfill the mission of love. Only in risen Christ, we find our true fulfillment, yet in being one in Jesus means we also continue loving as He loves us to the end.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Dagingku dan Tulangku

Minggu Paskah Ketiga [15 April 2018] Lukas 24: 35-48

“Lihatlah tangan dan kakiku, bahwa itu aku sendiri. Sentuhlah saya dan lihatlah, karena hantu tidak memiliki daging dan tulang seperti yang Anda lihat saya miliki. “(Lukas 24:39)

risen lord
foto oleh Harry Setianto, SJ

Kita mendengarkan kisah penampakan terakhir Yesus yang bangkit kepada para murid dalam Injil Lukas. Kehadiran-Nya menunjukkan bahwa Yesus masih memiliki beberapa misi untuk diselesaikan di bumi sebelum Dia naik ke surga. Khususnya dalam episode ini, Yesus datang untuk menepis keraguan para murid tentang kebangkitan badan-Nya. Beberapa murid mungkin memiliki gagasan bahwa penampakan-penampakan Yesus hanyalah ilusi belaka yang lahir dari rasa kehilangan dan kegagalan. Beberapa murid lain mungkin berpikir bahwa itu hanya roh tanpa tubuh atau hantu yang tampak seperti Yesus.

 

Yesus datang kepada mereka dan membuktikan bahwa Dia bukanlah ilusi atau sebuah rumor yang dibuat untuk memberikan harapan palsu. Dia menunjukkan tangan dan kakinya kepada mereka dan memakan ikan yang dipanggang seperti manusia hidup lainnya. Bahkan Yesus berkata bahwa ia memiliki “daging dan tulang.” Para murid yang melihat dan menyentuh tubuh Yesus akan berseru di dalam hati mereka, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. (Kej 2:23).” Dari sini, kita mulai bisa melihat bahwa kebangkitan tubuh Yesus terkait erat dengan kisah penciptaan dalam Kitab Kejadian.

Jika kita kembali ke kisah penciptaan manusia dalam Kejadian bab 2, kita melihat gambar Allah sebagai seorang seniman yang membentuk umat manusia dari tanah liat. Allah juga memberikan kehidupan kepada manusia saat Dia menghembuskan roh kehidupan-Nya. Namun, segera setelah penciptaan, Allah berkata bahwa tidak baik bagi manusia seorang diri saja (Kej. 2:18). Dia kemudian membuat hewan-hewan lain, tetapi tidak ada satupun yang terbukti menjadi rekan yang sepadan bagi manusia itu. Dengan demikian, Tuhan, bertindak seperti seorang ahli bedah, membuat tidur sang manusia, mengambil tulang rusuknya, dan membentuk manusia lain. Ketika Adam bangun dan melihat untuk pertama kalinya makhluk lain yang serupa dengannya, dia bersorak, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku (Kej 2:23).” Kisah tentang Penciptaan manusia yang sangat simbolis ini mencapai kesempurnaannya dalam penciptaan pria dan wanita, dan bagaimana mereka akan menjadi pasangan yang sepadan dalam misi untuk saling mengasihi satu sama lain.

Kembali ke Injil Lukas, kisah tentang penampakan Tuhan yang bangkit kepada para murid ternyata adalah sebuah kisah penciptaan kembali. Setelah para murid membubarkan diri, menjadi pengecut yang melarikan diri, mereka menjadi sama lemahnya dengan tanah liat. Yesus datang untuk mengumpulkan mereka kembali dan membentuk mereka sekali lagi sebagai komunitas. Setelah murid-murid terluka secara mendalam dan kalah, mereka seperti pot tanah liat yang hancur berkeping-keping. Yesus datang untuk menghembuskan Roh-Nya dan membawa kesembuhan dan kedamaian sejati. Setelah para murid kehilangan arah dan makna, mereka seperti Adam pertama yang kesepian dan tidak lengkap. Yesus, sang Adam kedua, datang dan terus mengasihi mereka, dan dengan demikian, memulihkan tujuan mereka. Diciptakan kembali, para murid sekarang adalah pasangan Yesus yang sepadan dalam membawa pesan kebangkitan dan Injil kasih kepada umat manusia yang terluka.

Masing-masing dari kita adalah manusia terluka dan bergulat dengan banyak permasalahan. Terlepas dari usaha kita untuk menjadi murid Yesus yang baik, kita mengakui bahwa kita sama lemahnya dengan tanah liat. Kita tidak setia kepada Tuhan dan satu sama lain. Namun, Kristus yang bangkit tidak kehilangan harapan kepada kita. Ia mengumpulkan kita sekali lagi sebagai umat-Nya, dan dalam Ekaristi, Dia menunjukkan kepada kita “daging dan darah-Nya yang sejati.” Mengambil bagian dalam tubuh kebangkitan Yesus ini berarti bahwa, kita telah diciptakan kembali sebagai mitra-Nya yang sepadan untuk membawa pesan harapan dan memenuhi misi cinta kasih, terlepas dari kemanusiaan kita yang rapuh dan lemah. Hanya di dalam Kristus yang telah bangkit, kita menemukan penggenapan sejati kita, namun dalam menjadi satu di dalam Yesus berarti kita juga terus mengasihi sesama sebagaimana Dia mengasihi kita sampai akhir.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP