Prayer to Our Father

17th Sunday in Ordinary Time [July 24, 2016] Luke 11:1-13

 “Father, hallowed be your name, your kingdom come.  Give us each day our daily bread (Luk 11:2-3)”

jesus teach prayerWhen we begin to pray, we acknowledge the presence of God. Not only that, we also recognize that we are dependent on Him. No wonder that the most basic and common prayer is a prayer of petition. We pray to ask favor from God. We beg for good health, success in career, passing examination, protection from dangers, and more. Several times, I wrote that God is not a spiritual ATM and that our prayer is an ATM card. After ‘inserting our prayer’ and ‘inputting a correct amount of request’, God will produce what we wish. But, I have realized that every morning, when I pray before the Blessed Sacrament and the image of our Lady of La Naval de Manila, my prayer is a prayer of petition. I ask God for so many things, for good breakfast, for easy quiz, sometimes for suspension of classes. Certainly, I also pray for people I love and people I promised to pray for.

In today’s Gospel, Jesus taught the disciples how to pray. He taught them the most beautiful prayer, the ‘Our Father’. Though Luke’s version is shorter than Matthew’s version, both contain the same basic attitude. This is the prayer of petition. We ask that His Kingdom come. We ask for our daily bread. We ask for forgiveness and deliverance from evil. We ask God for the most essential needs in our daily life.

Jesus did not only teach us to pray humbly, but also to pray confidently. We pray confidently because Jesus introduced us to a God who is a caring and loving Father. I am aware that not every one of us has a very pleasant experience with our own fathers. Some, just like myself, are fortunate to have dependable fathers. But, others have to deal with abusive and violent fathers. Others have no idea who their fathers are. Thus, Jesus assured us that Our Father in heaven is the most caring, most loving and best father of all. “What father among you would hand his son a snake when he asks for a fish? Or hand him a scorpion when he asks for an egg? If you then, who are wicked, know how to give good gifts to your children, how much more will the Father in heaven give the Holy Spirit to those who ask him? (Luk 11:11-13)”

Sometimes, we wonder why God does not answer our prayer of petition. This is precisely because God is our Father. He knows what best for us, and sometimes, what we want is not really the best for us. There is something better in store for us. He always answers our prayers, but often, we do not listen to His answer.

The highest form of prayer in the Catholic tradition is the Holy Eucharist. By its name, Eucharist means thanksgiving (from Greek ‘eucharistein’, to give thanks), yet it is also true that Eucharist is a prayer of petition. In fact, in the Eucharist, we ask God for something we need most, our salvation and the salvation of the world. In order to achieve this, we offer the most pleasing sacrifice, Jesus Christ Himself to the Father, the source of salvation. The heavenly Father could not resist this most perfect offering. God then abundantly showers us with His grace. Our salvation is hinged in prayer.

We pray because this is who we are. We are nothing apart from God. We are dependent on God. We kneel and humble ourselves before Him. Yet, we pray because we are confident that He will listen to our prayer. We are assured that God will take care of us. We pray because God is our Father.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Doa kepada Bapa Kita

Minggu Biasa ke-17. [24 Juli 2016] Lukas 11:1-13

 “Bapa, dikuduskanlah nama-Mu; datanglah Kerajaan-Mu. 3 Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya (Luk 11: 2-3)”

dominican rosaryKetika kita mulai berdoa, kita mengakui bahwa kita bergantung pada-Nya. Tidak heran jika salah satu bentuk doa yang paling mendasar dan umum adalah doa permohonan. Kita berdoa untuk meminta sesuatu dari Allah. Kita mohon untuk kesehatan, kesembuhan, sukses dalam karir, lulus ujian, perlindungan dari bahaya, dan banyak lagi. Saya pernah menulis bahwa Tuhan bukanlah ATM spiritual dan doa kita adalah kartu ATM. Setelah memasukan ‘kartu ATM doa’ dan mengetikan ‘password Amin’, Allah akan serta-merta menghasilkan apa yang kita inginkan. Tapi, saya menyadari bahwa setiap pagi, ketika saya berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus dan bunda Maria La Naval, doa-doa saya adalah doa permohonan. Saya meminta Tuhan banyak hal, seperti sarapan yang enak, kemudahan dalam ujian, kadang-kadang berharap bisa dapat cuti lebih awal dan panjang. Tentu saja, saya berdoa juga bagi orang-orang yang saya kasihi dan mereka yang telah saya janjikan untuk didoakan.

Dalam Injil hari ini, Yesus mengajarkan para murid bagaimana berdoa. Ia mengajar mereka doa yang paling indah, ‘Doa Bapa Kami.’ Meskipun versi Lukas lebih pendek dari versi Matius, keduanya mengandung sikap dasar yang sama. Ini adalah doa permohonan. Kita meminta Kerajaan-Nya datang. Kita meminta rejeki yang cukup. Kita memohon pengampunan dan pembebasan dari yang jahat. Kita memohon Tuhan memberikan kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan kita sehari-hari.

Yesus tidak hanya mengajarkan kita untuk berdoa dengan rendah hati, tetapi juga berdoa dengan penuh keyakinan. Kita berdoa dengan yakin karena bagi Yesus, Tuhan adalah Bapa yang peduli dan penuh kasih. Saya sadar bahwa tidak semua memiliki pengalaman yang menyenangkan dengan ayah kita. Banyak dari kita, seperti saya sendiri, beruntung memiliki ayah yang bias diandalkan. Tapi, beberapa dari kita harus berurusan dengan ayah kasar dan keras. Dan beberapa dari kita tidak tahu siapa ayah kita sebenarnya. Tetapi, Yesus meyakinkan kita bahwa Bapa kita di surga adalah bapa yang paling peduli, paling penuh kasih dan terbaik. Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya? (Luk 11: 11-13)”

Kadang-kadang, kita bertanya-tanya mengapa Tuhan tidak menjawab doa permohonan kita. Kita perlu ingat bahwa Dia adalah Bapa yang baik dan Dia tahu apa yang terbaik bagi kita. Jika Ia tidak menjawab doa kita mungkin apa yang kita inginkan bukanlah yang terbaik bagi kita. Ada sesuatu yang lebih baik telah disiapkan bagi kita. Dia selalu menjawab doa-doa kita, tetapi seringkali, kita tidak mendengarkan jawaban terbaik-Nya.

Bentuk doa paling agung dalam tradisi Katolik adalah Ekaristi Kudus. Ekaristi sebenarnya berarti doa syukur (dari bahasa Yunani ‘eucharistein’, untuk bersyukur), namun Ekaristi juga bisa diartikan sebagai doa permohonan. Bahkan, dalam Ekaristi, kita memohon Tuhan sesuatu yang paling kita butuhkan, keselamatan kita dan keselamatan dunia. Untuk mencapai hal ini, kita mempersembahkan sebuah kurban yang paling baik kepada Bapa, yakni Yesus Kristus sendiri. Tentunya, Bapa akan bahagia menerima kurban yang paling sempurna ini. Bapa pun melimpahi kita dengan rahmat-Nya. Tidak salah jika kita mengatakan bahwa keselamatan kita bergantung dalam doa.

Kita berdoa karena ini adalah siapa kita. Kita bukanlah apa-apa tanpa Tuhan. Kita bergantung seluruhnya pada Allah. Kita berlutut di hadapan-Nya. Namun juga, kita berdoa karena kita yakin Dia akan mendengarkan doa kita. Kita yakin bahwa Tuhan akan memperhatikan dan memberikan yang terbaik. Kita berdoa karena Allah adalah Bapa kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Blood and Life

Solemnity of the Body and Blood of Christ. May 29, 2016. [Luke 9:11-17]

“His cup is the new covenant in my blood. Do this, as often as you drink it, in remembrance of me (1 Cor 11:25).”

chalice n hostOne of my personal ministries is to be a blood donor. If ever someone needs a blood transfusion, I do my best to donate my blood and if possible, visit the ailing person. In biology, we learn that blood is a crucial element of our body that transports nutrition and oxygen to various body parts and also fight the harmful elements inside our body. Thus, losing too much blood will bring us to critical condition even death. No wonder that blood is closely associated with life and I hope that a little blood I share, may save lives.

In time of Jesus, the understanding on blood is not actually far different from our contemporary time. The ancient Jews considered blood as the source of life, if not life itself. Perhaps, they were able to observe that many living things have blood running in their veins and if they were losing so much blood, it means a certain death. Since every living being comes from God, then blood, as the source of life, must be sacred and belong to God (cf. Deu 12:23). Therefore, shading a person’s blood is forbidden (Gen 9:6). Drinking blood of animal is also not allowed (Lev 7:27). But, the sacredness of blood is profoundly manifested at the Jewish rituals.

Blood of an animal is important element of the sacrificial rituals in the Temple of Jerusalem. After the blood is separated from the body, it is poured out around the altar and being burned together with the flesh (cf. Lev 1). The burn sacrifice mainly serves two purposes: as thanksgiving and atonement for sin. Since blood and body are symbols of life and totality of a living creature, the best way to give thanks and atone for one’s mistake is to offer this life totally to God. The Israelites offered their best to God through the mediation of a sacrificial animal.

Unfortunately, blood of animal and even our blood is far from perfect. Thus, perfect thanksgiving and forgiveness is not possible. Yet, we are not hopeless since God provides an answer. He sent His only Son, Jesus Christ, and Jesus offered Himself as the sacrifice of the cross. He is the most pleasing thanksgiving and the perfect atonement for our sins. In his treatise of Corpus Christi, St. Thomas Aquinas wrote, “He offered His body to God the Father on the altar of the cross, as a sacrifice for our reconciliation. He shed His blood for our ransom and purification…” My blood may help saving a person who needs a transfusion, but Jesus’ blood saves the entire creations.

As we drink His blood and eat His body in the Eucharist, our lives are caught in this beautiful offering and sacrifice of Christ. Now, in Christ, our lives are also offerings to God. Every sacrifice we make for God and for the good of others, however small it may be, will be pleasing to God and contribute in the salvation of the world. Our simple prayer may have a great impact for souls in purgatory. Our little contribution in Church may help greatly the parish priest and the poor. Even our daily waking up and works at the office may seem to be monotonous and fruitless, but they may help in building a just society. Our blood, our life is not perfect, but in Christ, it becomes precious. As a psalmist once sang, “From extortion and violence he frees them, for precious is their blood in his sight (Ps 72:14).

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Darah dan Hidup

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. May 29, 2016 [Lukas 9: 11-17]

“Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku! (1 Kor 11:25).”

chalice ihsSalah satu pelayanan pribadi saya adalah menjadi donor darah. Jika ada seseorang yang membutuhkan transfusi darah, saya berusaha untuk donorkan darah saya dan jika mungkin, mengunjungi orang sakit tersebut. Dalam biologi, kita belajar bahwa darah merupakan elemen penting dari tubuh kita yang membawa nutrisi dan oksigen ke berbagai bagian tubuh dan juga melawan elemen-elemen berbahaya di dalam tubuh kita. Dengan demikian, kehilangan terlalu banyak darah akan membawa kita ke kondisi kritis bahkan kematian. Tidak heran jika darah berterkaitan erat dengan kehidupan, dan saya berharap bahwa sedikit darah yang saya donorkan, bisa menyelamatkan orang lain.

Pada zaman Yesus, pemahaman tentang darah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan masa kontemporer. Orang-orang Yahudi kuno menganggap darah sebagai sumber kehidupan, bahkan sebagai kehidupan itu sendiri. Mungkin, mereka mampu mengamati bahwa banyak makhluk hidup memiliki darah, dan jika mereka kehilangan begitu banyak darah, itu berarti kematian. Karena setiap makhluk hidup berasal dari Tuhan, maka darah, sebagai sumber kehidupan, tentulah kudus dan menjadi milik Allah (lih. Ul 12:23). Oleh karena itu, menumpahkan darah seseorang adalah terlarang (Kej 9: 6). Meminum darah binatang juga tidak diperbolehkan (Im 7:27). Tapi, kekudusan darah terwujud secara mendalam pada ritual keagamaan bangsa Yahudi.

Darah binatang adalah elemen penting dari ritual pengorbanan di Kuil Yerusalem. Setelah darah dipisahkan dari tubuh, darah dicurahkan di sekitar altar dan dibakar bersama-sama dengan daging (lih. Im 1). Korban bakaran memiliki dua tujuan: sebagai ucapan syukur dan penebusan dosa. Karena darah dan tubuh menjadi simbol kehidupan, cara terbaik untuk bersyukur dan menebus kesalahan adalah dengan mempersembahkan kehidupan ini secara total kepada Allah. Israel mempersembahkan yang terbaik untuk Allah melalui perantaraan hewan kurban.

Sayangnya, darah binatang dan bahkan darah kita jauh dari sempurna. Dengan demikian, syukur dan pengampunan yang sempurna tidak mungkin tercapai. Namun, kita tidak putus asa karena Tuhan memberikan solusi. Dia mengikirim Putra tunggal-Nya, Yesus Kristus, dan Yesus mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban di salib. Dia adalah rasa syukur yang paling baik dan penebusan yang sempurna untuk dosa-dosa kita. Di tulisannya tentang Corpus Christi, St. Thomas Aquinas menulis, “Dia mempersembahkan tubuh-Nya kepada Allah Bapa di atas altar salib, sebagai korban untuk rekonsiliasi kita. Ia mencurahkan darah-Nya bagi tebusan dan pemurnian kita …Darah saya mungkin bisa membantu menyelamatkan orang yang membutuhkan transfusi, tapi hanya darah Yesus yang dapat menyelamatkan seluruh dunia.

Saat kita meminum darah-Nya dan makan tubuh-Nya dalam Ekaristi, hidup kita terjaring dalam persembahan dan pengorbanan Kristus yang indah. Sekarang, di dalam Kristus, hidup kita menjadi persembahan kepada Tuhan. Setiap pengorbanan, besar atau sederhana, yang kita membuat untuk Allah dan untuk kebaikan sesama, akan menyenangkan Tuhan dan berkontribusi dalam keselamatan dunia. Doa sederhana kita mungkin memiliki dampak yang besar bagi jiwa-jiwa di api penyucian. Kontribusi kecil kita di Gereja dapat sangat membantu pastor paroki dan papa miskin. Bahkan usaha kita untuk bangun dan bekerja di kantor setiap harinya mungkin terasa monoton dan sia-sia, tetapi ini dapat membantu dalam membangun masyarakat yang adil. Darah kita, hidup kita tidaklah sempurna, tapi dalam Kristus, menjadi berharga. Sebagai pemazmur bernyanyi, Ia akan menebus nyawa mereka dari penindasan dan kekerasan, darah mereka berharga di matanya (Mzm 72:14).

 Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Word of God in the Desert

First Sunday of Lent. February 14, 2016 [Luke 4:1-13]

“Filled with the Holy Spirit, Jesus returned from the Jordan and was led by the Spirit into the desert (Luk 4:1).”

jesus temptationToday’s Gospel shows us that the Holy Spirit led Jesus to the desert. Yes, the Holy Spirit will not spare us from the desert! The desert experience can be anything that spells dryness and emptiness in our lives and souls. Out of nowhere, a seminarian enters into a desert as he is feeling unexplainable meaninglessness in his chosen vocation. A mother begins to experience exhaustion in fulfilling her difficult mission to rear her children. Through her journals, it was revealed that even holy person like Mother Teresa of Calcutta went through ’the eclipse of God’ when she did not sense the presence of God for almost 10 years in her life.

The Gospel reminds us as well that in the desert, Jesus was tempted by the devil. Walking through the desert experiences, the devil knows well that our defense is at its lowest and surely he will take his change to make us fall from our commitment. The seminarian starts seeing another way of life as more attractive and a solution to his emptiness. Now, not only dryness, he is also facing a crisis. Tired of spending time with her children, the mother starts thinking to shift her focus on something else like her career, hobbies, or friends. The devil is an extremely smart creature. He will manipulate our basic desires and longings. He offers us little compromises that eventually destroy all together our commitment. The seminarian begins not attending prayers, a student is becoming lazy in study and a husband starts spending more time outside his own house and family.

How then do we counter this situation? Jesus gave the answer: the Word of God. In the desert, Jesus was firmly rooted in the Word of His Father, and resisted the temptations. In the midst of life’s dryness and challenges, we shall turn ourselves into the Word of God. Doubtless, we can do our own bible reading and study. This very reflection and other reflections are an invitation to go deeper into the Word of God. Or, praying the rosary is one effective way to meditate the life of Jesus and to refuse temptation. But, the only place that the Word of God is in the most powerful and unique form is at the Eucharist. In the Eucharist, the Word of God is lavishly shared to us through the biblical readings and expanded through the homily. Most importantly, the Word of God finally is made flesh and we partake of it at the Holy Communion.

When the devil tempted hungry Jesus to change the stone into bread, Jesus resisted by pointing that we truly live because of the real Bread, the Word made flesh, the Eucharist. When the evil one attempted to allure the Son of God to exhibit His power at the temple of Jerusalem, Jesus outsmarted him by showing him that the Temple is the home of the Word, and not place of showoff. When the prince of darkness asked Jesus to worship him in exchange for the world’s glory and richness, Jesus confronted him with the truth that only God and His Word in the Eucharist worthy of all worship.

The Holy Spirit will indeed lead us into the desert, but it is not to destroy us, but to allow us to find how we truly are, persons rooted in the Word of God, in the Eucharist.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Sabda Allah di Padang Gurun

Minggu pertama Prapaskah. 14 Februari 2016 [Lukas 4:1-13]

“Yesus, yang penuh dengan Roh Kudus, kembali dari sungai Yordan, lalu dibawa oleh Roh Kudus ke padang gurun (Luk 4:1).”

jesus temptation 2Injil hari ini menulis tentang Roh Kudus yang membawa Yesus ke padang gurun. Ya, Roh Kudus akan membawa kita ke padang gurun juga! Gurun bisa diartikan sebagai kekeringan dan kekosongan dalam hidup dan jiwa kita. Seorang frater tiba-tiba masuk ke pengalaman gurun dan ia merasa kehilangan makna dan semangat di dalam panggilannya. Seorang ibu mulai mengalami kelelahan dalam mengemban misi yang sulit untuk membesarkan anak-anak nya. Melalui tulisan-tulisannya, terungkap bahwa bahkan orang kudus seperti Bunda Teresa dari Kalkuta pun harus melalui ‘Allah yang diam’ ketika dia tidak merasakan kehadiran Allah selama hampir 10 tahun dalam hidupnya.

Injil mengingatkan kita juga bahwa di padang gurun, Yesus dicobai oleh iblis. Berjalan melalui pengalaman padang gurun, iblis tahu benar bahwa pertahanan kita berada pada titik terendah dan pasti dia akan mengambil kesempatan untuk membuat kita jatuh dari komitmen kita. Sang frater mulai melihat bahwa hidup di luar lebih menarik dan solusi untuk kekosongan hidupnya. Lalu, tidak hanya kehampaan, sang frater juga menghadapi krisis. Lelah menghabiskan waktu dengan anak-anaknya sang ibu mulai berpikir untuk mengalihkan fokusnya pada sesuatu yang lain seperti karir, hobi, atau teman-temannya. Iblis adalah makhluk yang sangat cerdas. Dia akan memanipulasi keinginan dan kerinduaan yang paling mendasar kita. Dia menawarkan kita kompromi-kompromi kecil yang akhirnya menghancurkan komitmen kita. Sang frater yang mulai tidak menghadiri doa dengan komunitas, seorang siswa menjadi malas belajar, dan seorang suami mulai menghabiskan lebih banyak waktu di luar rumah dan keluarganya sendiri.

Lalu bagaimana kita menghadapi situasi ini? Yesus memberikan jawabannya: Sabda Tuhan. Di gurun, Yesus berpegang teguh kepada Sabda Bapa-Nya, dan menolak godaan. Di tengah kekeringan hidup dan berbagai tantangan, kita hendaknya kita berpegang pada Sabda Tuhan. Tak diragukan lagi, kita dapat membaca Alkitab dan melakukan Bible Study secara mandiri. Dengan membaca dan merenungkan refleksi ini dan refleksi-refleksi lainnya adalah undangan untuk masuk lebih dalam ke dalam Sabda Allah. Atau, doa rosario adalah salah satu cara yang efektif untuk merenungkan kehidupan Yesus dan menolak godaan Setan. Tapi, satu-satunya tempat dimana Sabda Tuhan berada dalam bentuk yang paling kuat dan unik adalah di Ekaristi. Dalam Ekaristi, Sabda Allah dibagikan kepada kita melalui pembacaan Alkitab dan diperdalam melalui homili. Dan, yang paling penting, Sabda Allah akhirnya menjadi ‘daging’ di Ekaristi dan kita menyantap-Nya dalam Komuni Kudus.

Ketika iblis mengoda Yesus yang lapar untuk mengubah batu menjadi roti, Yesus menolak karena Ia tahu manusia hanya hidup karena roti yang nyata, Sabda yang menjadi daging, Ekaristi. Ketika si jahat berusaha untuk memikat Anak Allah menunjukkan kuasa-Nya di Bait Allah di Yerusalem, Yesus menolak dengan menunjukkan kepadanya bahwa Bait Allah sesungguhnya adalah Bait Sabda, dan bukan tempat pertunjukan. Ketika pangeran kegelapan meminta Yesus untuk menyembah Dia dan menawarkan semua kemuliaan dan kekayaan dunia, Yesus menghadapinya dengan kebenaran bahwa hanya Tuhan dan Sabda-Nya dalam Ekaristi layak mendapat semua sembah sujud kita.

Roh Kudus memang akan membawa kita ke padang gurun, mengalami kekeringan, lapar dan digoda oleh iblis, tetapi semua ini tidak untuk menghancurkan kita, tetapi memungkinkan kita untuk menemukan siapa kita sesungguhnya, yakni manusia yang berpedoman pada Sabda Tuhan, dalam Ekaristi.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP