Easter Joy

Easter Sunday [B]

April 4, 2021

John 20:1-9

photocredit: Larm Rmah

Jesus has risen! Alleluia! He is indeed alive, and we have reason to celebrate and rejoice exultantly. From Palm Sunday till Good Friday, we have witnessed the most excellent drama at the center of our faith. Jesus was received as a king by his people, who would eventually condemn Him. He gave up His body and blood to His disciples and brothers, who ultimately sold, betrayed, denied, and abandoned Him. He was innocent, yet He was condemned as a criminal and suffer horrible death on the cross. He is God, but He was buried just like any man. Yet, these dreadful things are not the end of the story. There is a marvelous twist! He rose from the dead and conquered death—his love triumphs over hatred and sin.

The good news is that Jesus’ story is real. His story is radically different from the box-office-hit movies like the Marvel series. The Avengers may dramatically defeat Thanos and resurrected the missing half of humanity, but they remain the great work of fiction. Jesus is real, as even more real than all of us. And because He has risen, our faith in Him is not in vain. We are saved, and we are redeemed. This is the unshakable foundation of our joy! Blaise Paschal, a Catholic French Philosopher, once commented, “Nobody is as happy as a real Christian.”

Yet, what does it mean to be joyful in our world now? Many of us are still struggling with pandemic covid-19, and we are not sure when this will end. Some of us are losing our beloved ones, and others must face an uncertain future due to economic meltdown. We are becoming more unsure of our lives. What should be joyful? We need to see that joy of redeemed people is not simply fleeting good feelings or outbursts of emotions. If we know this kind of sensation in the Church, we may get disappointed.

To have faith in Jesus means we believe that our lives will eventually make sense in Jesus. Thus, our joy is coming from following Jesus, participating in His drama of love and redemption, including in His cross and death. Jesus’ suffering is not the suffering of a helpless victim but a courageously loving man. Jesus’s death is not the death of a sore loser but a total sacrifice of the lover. Jesus loves us to the fullness, and absolute love demands death. In Christ, our suffering is not a sign of our weakness but our radical love. Our joy is following from the truth that we discover that in Christ, we are created beyond ourselves, but for the infinite love, for God Himself.

In this time of crisis, we may endure more uncertainties, but we may have this moment to die to our illusion that wealth, position, and power can save us. In this time of trials, we may face more hardship, but we can turn this opportunity to love deeply and even to offer ourselves in Christ.

On March 27, 1996, seven Trappist monks were kidnapped from the monastery of Tribhirine, Algeria, by the extremist group. All eventually murdered. They had been warned to leave the monastery as Algeria’s situation worsened, but they refused to go because they wanted to be with the people they served. Brother Christian, the leader, wrote in a letter, “I am certain that God loves the Algerians and that He has chosen to prove it by giving them our lives. So then, do we truly love them? Do we love them enough? This is a moment of truth for each one of us and a heavy responsibility in these times when our friends feel so little loved.”

Happy and Blessed Easter to all of you!

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Sukacita Paskah

Minggu Paskah [B]

4 April 2021

Yohanes 20: 1-9

photocredit: Bruno van der Kraan

Yesus telah bangkit! Aleluya! Dia benar-benar hidup dan kita bersukacita. Dari Minggu Palma hingga Jumat Agung, kita telah menjadi saksi drama terbesar di pusat iman kita. Yesus diterima sebagai raja oleh rakyat-Nya yang pada akhirnya akan menghukum Dia. Dia menyerahkan tubuh dan darah-Nya kepada para murid dan saudara-Nya yang akhirnya menjual, mengkhianati, menyangkal, dan meninggalkan-Nya. Dia tidak bersalah, namun Dia dihukum sebagai penjahat dan menderita kematian yang mengerikan di kayu salib. Dia adalah Tuhan, tetapi Dia dikuburkan sama seperti manusia lainnya. Namun, hal-hal mengerikan ini bukanlah akhir dari cerita kita. Ada kejutan yang luar biasa! Dia bangkit dari kematian dan menaklukkan kematian. Kasih-Nya menang atas kebencian dan dosa.

Kabar baiknya adalah kisah Yesus itu nyata. Kisah-Nya sangat berbeda dari film-film box-office seperti film-film Marvel. Avengers mungkin secara dramatis mengalahkan Thanos dan membangkitkan separuh umat manusia yang hilang, tetapi mereka tetap merupakan karya fiksi. Yesus itu nyata, bahkan lebih nyata dari kita semua. Dan karena Dia benar-benar telah bangkit, iman kita kepada-Nya tidak sia-sia. Kita diselamatkan dan kita ditebus. Ini adalah fondasi yang tak tergoyahkan dari sukacita kita! Blaise Paschal, seorang Filsuf Prancis Katolik, pernah berkomentar, “Tidak ada yang sebahagia umat Kristiani sejati.”

Namun, apa artinya bersukacita di dunia kita sekarang? Banyak dari kita masih berjuang dengan pandemi COVID-19 dan kita tidak yakin kapan ini akan berakhir. Beberapa dari kita kehilangan orang yang kita cintai, dan yang lain harus menghadapi masa depan yang tidak pasti karena krisis ekonomi. Kita menjadi lebih tidak yakin dengan hidup kita. Apa bisa kita bersukacita? Kita perlu melihat bahwa sukacita kita bukan hanya perasaan enak yang cepat berlalu atau sebuah luapan emosi. Jika kita hanya mencari sensasi seperti ini di Gereja, kita mungkin kecewa.

Beriman kepada Yesus berarti kita percaya bahwa hidup kita pada akhirnya akan memiliki makna di dalam Yesus. Jadi, sukacita kita datang dari mengikuti Yesus, berpartisipasi dalam drama kasih dan penebusan-Nya, termasuk dalam salib dan kematian-Nya. Penderitaan Yesus bukanlah penderitaan korban yang tidak berdaya, melainkan penderitaan manusia berani. Kematian Yesus bukanlah kematian pecundang, tapi pengorbanan total. Yesus mengasihi kita sepenuhnya, dan kasih total menuntut kematian. Di dalam Kristus, penderitaan kita bukanlah tanda kelemahan kita, tetapi dari kasih radikal kita. Sukacita kita mengalir dari kebenaran yang kita temukan bahwa di dalam Kristus, kita diciptakan melampaui diri kita sendiri, tetapi untuk kasih yang tak terbatas, untuk Tuhan sendiri.

Di masa krisis ini, kita mungkin menanggung lebih banyak ketidakpastian, tetapi kita bisa menjadikan momen ini untuk mati terhadap ilusi kita bahwa kekayaan, posisi, dan kekuasaan dapat menyelamatkan kita. Di masa pencobaan ini, kita mungkin menghadapi lebih banyak kesulitan, tetapi di dalam Kristus, kita dapat mengubah kesempatan ini untuk mengasihi secara mendalam, dan bahkan memberikan diri kita sendiri.

Pada 27 Maret 1996, ada tujuh pertama Trappist diculik dari biara Tribhirine, Aljazair, oleh kelompok ekstremis. Semua akhirnya dibunuh. Beberapa bulan sebelumnya, mereka telah diperingatkan untuk meninggalkan biara karena situasi Aljazair memburuk, tetapi mereka menolak pergi karena mereka ingin tinggal bersama dengan orang yang mereka layani. Brother Christian, pemimpin biara, menulis dalam sebuah surat, “Saya yakin bahwa Tuhan mencintai orang Aljazair dan bahwa Dia telah memilih untuk membuktikannya dengan memberikan hidup kami kepada mereka. Jadi, apakah kami benar-benar mencintai mereka? Apakah kami cukup mencintai mereka? Ini adalah momen kebenaran bagi kami masing-masing dan tanggung jawab yang berat di saat-saat ini ketika teman-teman kami merasa sangat sedikit dicintai. ”

Selamat Paskah!

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Sign of Hope

First Sunday of Advent [B]

November 29, 2020

Mark 13:33-37

We are entering a joyful season of Advent. The first Sunday of Advent is also the beginning of the liturgical year of the Catholic Church. Advent is from the Latin word “adventus” meaning “the coming.” From this name alone, we can already deduce the purposes of this lovely season. It is to prepare us for the coming of Jesus, yet we must not forget that the Church teaches us that there are two comings. The first coming is two thousand years ago in Bethlehem, as a baby at Mary’s hands. The second coming is Jesus’ arrival at the end of time as the glorious king and the judge.

Our Gospel points to this fundamental truth of the second coming. Jesus will surely come, but He does not give us the timetable, and thus, we need to be prepared and be watchful. The illustration Jesus presents is a master who is travelling abroad. In ancient times, travelling is stunning different from our time. Nowadays, with the advances of technologies and modern transport systems, we can determine even the exact location of a particular train and even an airplane. We are used to following a fixed schedule of travel itineraries. However, the ancient people knew nothing about the internet or GPS, and travelling was often hard to endure. People who needed to cross the sea may get stranded because of the unpredictable storms. Some people had to spend weeks in a  town because the winter was unbearably chilling for travellers. Paul, the apostle to the gentiles, knew well how punishing travelling was. Robbers ambushed him, his ship was capsized several times, and he had to spend hours on the sea. The master will come, but nobody knows when, and thus, the servants have to be watchful.

Humanity is living in a time of great sadness and fear. We are still battling the covid-19 that kills thousands, renders countless people jobless, and changes the way we live and interact. Aside from this tiny virus, we are constantly scared by possible global catastrophe caused by nuclear wars, global warming, even zombies and alien attacks. Yet, this season of Advent gives us a reason for hope. Despite everything, Jesus will surely come, and He remains in control.

We learn from the advent wreath. This tradition attached to advent season comes from northern Europe, who knew well how dark and cold winter could be, especially in December. Unlike us, who live in tropical, our brethren living near the arctic zone sometimes experience brutal winter. They are living in freezing temperatures and often without sunlight. These gloomy and dark conditions may affect our mental health. However, our brothers and sisters refused to give up and look for the sign of hope. They discovered the evergreen leaves that decline to wither and found out that small light shines brighter in the dark. This advent wreath points to us Christ, our Hope. Every time we enter the season of Advent, we are assured that there is always hope, even in the face of our world’s brokenness.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photocredit: joanna kosinka

Tanda Harapan

Minggu Pertama Adven [B]

29 November 2020

Markus 13: 33-37

Kita memasuki masa Adven. Minggu pertama Adven juga merupakan awal tahun liturgi Gereja Katolik. Adven sendiri berasal dari kata Latin “adventus” yang berarti “kedatangan”. Dari nama ini saja kita sudah bisa menyimpulkan tujuan dari masa liturgi yang satu ini. Masa Adven mempersiapkan kita bagi kedatangan Yesus, namun kita tidak boleh lupa bahwa Gereja mengajarkan kita bahwa ada dua kedatangan Yesus. Kedatangan pertama terjadi dua ribu tahun yang lalu di Bethlehem, sebagai bayi kecil di tangan Maria. Kedatangan kedua adalah kedatangan Yesus di akhir zaman sebagai raja dan hakim yang mulia.

Injil kita menunjukkan kebenaran mendasar tentang kedatangan yang kedua kali ini. Yesus pasti akan datang, tetapi Dia tidak memberi kita waktunya, dan karena itu, kita perlu bersiap-siap selalu. Ilustrasi yang diberikan Yesus adalah seorang tuan rumah yang bepergian ke luar negeri. Di jaman dahulu, perjalanan jauh sanggatlah berbeda dengan zaman kita. Saat ini, dengan kemajuan teknologi dan sistem transportasi modern, kita dapat menentukan bahkan dengan tepat lokasi sebuah bus, kereta dan bahkan pesawat terbang. Jadwal keberangkatan dan kedatangan sudah tetap, dan kita tinggal mengikutinya saja. Namun, orang-orang kuno tidak memiliki internet atau GPS, dan perjalanan panjang sering kali sulit dilakukan. Orang yang perlu menyeberang laut mungkin harus tinggal di kota Pelabuhan karena badai yang tidak terduga. Sementara sebagian orang harus menghabiskan waktu berminggu-minggu di tempat tertentu karena musim dingin datang dan jalan dipenuhi salju. Rasul Paulus tahu betul betapa sulitnya bepergian pada waktu itu. Dia pernah disergap oleh perampok, kapalnya karam beberapa kali, dan dia pernah juga berjam-jam terombang-ambing di lautan. Yesus mengajarkan bahwa sang tuannya akan datang kembali, tapi tidak ada yang tahu kapan, dan karenanya, para pelayan harus waspada.

Sekarang ini, umat ​​manusia hidup di masa penuh kecemasan dan ketakutan yang luar biasa. Kita masih berjuang melawan Covid-19 yang membunuh ribuan orang, membuat banyak orang kehilangan pekerjaan, dan mengubah cara kita hidup dan berinteraksi. Selain virus covid ini, kita terus-menerus cemas oleh kemungkinan bencana global yang disebabkan oleh perang nuklir, pemanasan global, bahkan serangan zombie dan alien! Namun, masa adven ini memberi kita alasan untuk berharap. Terlepas dari segala hal buruk yang terjadi, Yesus tetap memegang kendali, dan Dia akan datang sebagai Raja yang adil dan penuh kasih.

Mari kita belajar dari pesan yang dibawa oleh lingkaran adven. Ini adalah satu tradisi masa adven yang berasal dari orang-orang Eropa utara kuno yang tahu betul betapa gelap dan dinginnya musim dingin, terutama di bulan Desember. Tidak seperti kita yang tinggal di daerah tropis, saudara-saudara kita yang tinggal di dekat zona artic terkadang mengalami masa dingin yang brutal. Mereka hidup dalam suhu beku, dan sering kali tanpa sinar matahari. Kondisi yang suram dan kelam ini bisa mempengaruhi kesehatan mental kita. Namun, saudara-saudari kita menolak untuk menyerah dan mencari tanda harapan. Mereka menemukan daun cemara yang tidak pernah layu, dan menemukan bahwa cahaya kecil bersinar lebih terang dalam gelap. Karangan bunga adven ini menunjuk pada kita Kristus, Harapan kita. Setiap kali kita memasuki masa Adven, kita diyakinkan bahwa selalu ada harapan bahkan di tengah-tengah hal-hal yang tidak pasti di dunia kita ini.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photocredit: waldemar brant

Spittle and Eyes

Fourth Sunday of Lent [A]

March 22, 2020

John 9:1-41

In healing the blind man, Jesus did something a bit unusual: He spat on the ground, made clay with His spittle, and smeared the clay on the blind man’s eyes. In this time we are battling the Covid-10, the fast-spreading strain of the coronavirus, we are educated that one of the media of contamination is the human droplets like our saliva, and the entire point of this virus is contact with our eyes. When the infectious saliva meets the eyes, it is the sure reason we fall victim to this terrible virus.

However, Jesus was using the very same means of illness and transforming it into the means of healing both physical and spiritual blindness. Indeed, this kind of reversing action is the favorite pattern of Jesus. St. John Chrysostom, bishop of Constantinople, in his homily, mentioned that three means used by the devil to destroy humanity are the same means utilized by Jesus to save humanity. The three means of the devil are the tree of knowledge of evil and good, the woman which is Eve who disobeyed, and the death of Adam who brought along all his descendants. Jesus then transformed three means into His own ways of salvation: for the tree of knowledge of evil and good, there is the tree of the cross, for Eve, there is Mary who obeys, and for the death of Adam, there is the death of Jesus who saves us all. The devil thought he could outsmart God, but truly, it is God who has the final victory.

In Genesis 2, when God created the man, He was acting like a craftsman or a sculptor. In ancient Rabbinic tradition, God used His own spittle to create a formable clay from the ground. The act of Jesus in healing the blind man brings us back to this story of creation. Jesus is not merely healing, but He is recreating the man into His own image. Even the means of ugliness and illness can be transformed into the means of beauty and salvation.

The covid-19 virus has destroyed many aspects of human life. It spreads fear and panic. It forces the government to take drastic measures, including locking down cities and stop economic activities. It separates people from their friends and loved ones. The faithful are obliged to be far from the houses of the Lord. These are a painful and confusing time for many of us. Even some of us would cry, “Eli, Eli, Lama sabacthani?”

Yet, we must not forget that Jesus can always employ the same means of death and destruction to be His way of salvation. We ask the Lord to open our eyes of faith to see how God works through this time of crisis.

We thank for the gifts of our medical practitioners who put their lives on the line to care for those are sick; for our government officials who tireless work to contain the virus; for volunteers who spend their own resources to help battling the illness; for the priests and Church’s servants who serve the spiritual needs of the people despite many limitations. My prayer also goes for an Italian priest who made the final sacrifice as he asked not to be treated so that the limited respiratory machines may be used by younger and having a better chance to survive.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ludah dan Mata

Hari Minggu Prapaskah Keempat [A]

22 Maret 2020

Yohanes 9: 1-41

blind manDalam menyembuhkan orang buta, Yesus melakukan sesuatu yang agak tidak biasa: Ia meludah ke tanah, membuat tanah liat dengan air liurnya, dan mengolesi tanah liat itu di mata orang buta tersebut. Saat ini kita sedang melawan Covid-19, jenis virus korona yang menyebar dengan cepat, kita dididik bahwa salah satu media kontaminasi adalah tetesan manusia seperti air yang keluar dari mulut kita. Ketika air yang sudah terkontaminasi dengan virus bersentuhan dengan mulut, hidung dan mata, itu menjadi titik awal berjangkitnya si virus di tubuh kita.

Namun, hari in, Yesus menggunakan media yang dipakai virus ini untuk menyebar dan mengubahnya menjadi jalan penyembuhan baik kebutaan fisik maupun spiritual. Memang, tindakan pembalikan semacam ini adalah pola favorit Yesus. St. Yohanes Krisostomus, uskup Konstantinopel, dalam homilinya, menyebutkan bahwa tiga cara yang digunakan oleh iblis untuk menghancurkan umat manusia adalah sarana yang sama yang digunakan oleh Yesus untuk menyelamatkan umat manusia. Tiga cara iblis adalah pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat, wanita yaitu Hawa yang tidak taat, dan kematian Adam yang membawa serta semua keturunannya. Yesus kemudian mengubah tiga sarana ini menjadi sarana keselamatan-Nya: untuk pohon pengetahuan, ada pohon salib, untuk Hawa, ada Maria yang setia, dan untuk kematian Adam, ada kematian Yesus yang menyelamatkan kita semua. Iblis mengira dia bisa mengakali Tuhan, tetapi sesungguhnya, Tuhanlah yang memiliki kemenangan akhir.

Dalam Kejadian 2, ketika Tuhan menciptakan manusia, Dia bertindak seperti seorang seniman atau pematung. Dalam tradisi Yahudi kuno, Tuhan mengambil tanah, dan kemudian agar bisa dibentuk, Dia menggunakan ludah-Nya sendiri untuk membuat tanah liat. Tindakan Yesus dalam menyembuhkan orang buta membawa kita kembali ke kisah penciptaan ini. Yesus tidak hanya menyembuhkan, tetapi Dia menciptakan kembali manusia itu seturut citra-Nya sendiri. Bahkan sarana keburukan dan penyakit dapat diubah menjadi sarana keindahan dan keselamatan.

Virus covid-19 telah menghancurkan banyak aspek kehidupan manusia. Virus ini menyebarkan ketakutan dan kepanikan. Virus ini memaksa pemerintah untuk mengambil tindakan drastis, termasuk “lockdown” kota-kota dan menghentikan kegiatan perekonomian. Virus ini memisahkan orang dari sahabat dan orang yang mereka kasihi. Orang beriman diwajibkan untuk menjauhi rumah Tuhan. Ini adalah waktu yang menyakitkan dan membingungkan bagi banyak dari kita. Bahkan beberapa dari kita akan menangis, “Eli, Eli, Lama sabacthani?”

Namun, kita tidak boleh lupa bahwa Yesus selalu dapat menggunakan sarana-sarana kematian dan kehancuran yang sama untuk menjadi sara keselamatan-Nya. Kita meminta Tuhan untuk membuka mata iman kita untuk melihat bagaimana Tuhan bekerja melalui masa krisis ini, dan saat mata kita terbuka, kita bisa melihat betapa banyaknya kebaikan ditengah-tengah kita.

Kita berterima kasih atas  berkat Tuhan yang menjelma sebagai berbagai praktisi medis kita yang mempertaruhkan nyawanya untuk merawat mereka yang sakit; untuk pejabat pemerintah kita yang bekerja tanpa kenal lelah untuk mencegah penyebaran virus; untuk para sukarelawan yang menyumbangkan sumber daya mereka sendiri untuk membantu memerangi penyakit ini; untuk para imam dan pelayan Gereja yang melayani kebutuhan rohani umat meskipun ada banyak keterbatasan. Doa saya juga tertuju bagi seorang imam Italia yang membuat pengorbanan terakhir saat dia meminta untuk tidak dirawat sehingga mesin pernapasan yang terbatas dapat digunakan oleh yang lebih muda dan memiliki kesempatan yang lebih baik untuk bertahan hidup.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus, Mempelai Pria Kita

Hari Minggu Prapaskah Ketiga [A]

15 Maret 2020

Yohanes 4: 5-42

jesus n samaritan womanKita melihat Yesus sebagai beberapa figur. Beberapa orang menganggap Dia sebagai guru, beberapa memanggilnya sebagai sahabat, dan beberapa yang lain hanya akan menyatakan Dia sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Namun, sedikit yang kita ketahui bahwa Injil memperkenalkan Dia sebagai mempelai laki-laki.

Gagasan bahwa Yesus sebagai mempelai kita agak canggung dan sulit diterima. Seseorang mungkin berpikir, “Jika saya single, tidak apa-apa menikah dengan Yesus. Tetapi jika saya sudah menikah, apakah itu berarti Yesus akan menjadi suami kedua saya, atau haruskah saya menceraikan suami pertama saya?” Kekhawatiran semacam ini tentu saja valid, namun ini berakar pada pemahaman manusiawi dan bahkan seksual kita tentang pernikahan. Lalu, mempelai laki-laki macam apa Yesus ini?

Untuk menjawab ini, kita perlu memahami beberapa simbol dalam Injil hari ini. Yesus pergi ke sebuah sumur dan Yohanes sang penginjil menegaskan bahwa itu bukan hanya sumur biasa, tetapi sumur Yakub. Seorang wanita Samaria kemudian datang untuk mengambil air, dan bertemu Yesus di sana. Bagi kita, itu hanya kisah biasa tentang pertemuan Yesus dengan seorang wanita, seperti ketika Yesus mengunjungi Maria dan Marta, atau Yesus membantu seorang wanita yang terjebak dalam perzinaan. Namun, ketika kita mengetahui Alkitab kita, pertemuan itu jauh dari biasa. Adegan di sumur adalah saat seorang pria menemukan pengantin wanitanya. Dalam Kejadian 29, Yakub menemukan Rahel di dekat sumur ketika dia akan memberi minum domba. Dalam Kel 3, setelah Musa melarikan diri dari Mesir, ia pergi ke tanah Midian, dan di dekat sumur, ia membela para wanita yang diganggu oleh para gembala. Salah satu dari wanita ini akhirnya akan menjadi istrinya.

Namun, Injil dengan jelas menunjukkan bahwa Yesus tidak mencari istri atau menikahi wanita Samaria itu. Yesus juga tetap sendiri selama seluruh hidupnya, tetapi sekali lagi, kita tidak berbicara di tingkat manusia dan literal. Jika Yesus adalah Mempelai Pria yang ilahi, wanita Samaria juga melambangkan mempelai wanita Kristus yang sejati. Tidak heran, para Bapak Gereja, akan mengidentifikasi wanita Samaria sebagai simbol dari Gereja. Seperti wanita Samaria yang bukan Yahudi, Gereja juga datang dari banyak bangsa. Seperti wanita Samaria yang bergumul dengan kehidupan pernikahannya, Gereja juga bergumul dengan banyak dosa dan kelemahan. Seperti wanita Samaria yang sedang menunggu Mesias, Gereja juga membutuhkan seorang Juru Selamat.

Sungguh aneh melihat Yesus sebagai pengantin laki-laki kita terutama ketika kita terbiasa dalam pemahaman yang terlalu manusiawi. Namun, dalam tingkat spiritual, untuk memiliki Yesus sebagai mempelai laki-laki kita berarti kita memiliki seseorang yang sangat mengasihi kita, seseorang yang akan melindungi dan merawat kita, seseorang yang akan menerima ketidaksempurnaan kita dan seseorang yang akan rela menyerahkan hidupnya demi kita.

Virus Covid-19 hanya dalam waktu tiga bulan telah mendatangkan malapetaka di dunia. Apa yang mengerikan dengan virus ini bukan hanya sangat menular dan belum memiliki obat yang pasti, tetapi juga memaksa manusia untuk menunjukkan naluri bertahan hidup dasarnya: ketakutan dan bahkan keegoisan. Namun, ini adalah juga kesempatan terbaik untuk bertumbuh dalam iman. Iman kita tidak kosong karena kita berpegang pada seseorang, dan Dia adalah Yesus, Mempelai Pria kita yang akan memberikan hidup-Nya bagi kita.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Heart of the Gospel

Reflection on the 24th Sunday in Ordinary Time [C] – September 15, 2019 – Luke 15:1-32

shepherdChapter 15 of the Gospel of Luke contains three of the most heartwarming as well as powerful parables in the entire Bible. These three parables are known as the parable of the lost sheep, the parable of the lost coin, and the parable of the prodigal son. If we look closer into these three parables, what is so stunning and astonishing is how Jesus bends, twists and stretches human logic and natural tendency to nail His point.

In ancient Israel, shepherds knew that to pastor the flock of sheep was not an easy job because they had to lead their flocks in constant search for food and water in the wilderness. Sheep was naturally dumb animal and possessed no natural defense mechanism. As a sheep looked for food, it quickly went astray and was exposed to imminent threats like wolves, hyaenas or robbers. The shepherd had to exert extra effort to watch over their sheep. Yet, occasionally, a sheep or two got lost, and the shepherd had to go into search and rescue mission.

However, Jesus tells us about a good shepherd who dares to leave the other sheep to search for a single lost sheep. Along the way, he may stumble upon life-threating dangers like robbers or pack of wolves. There is no assurance that he will find his sheep. He is practically risking his own life for this dumb sheep. What even remarkable is that after the shepherd discovers his lost animal, he rejoices exceedingly and throws a party for the finding. His mission is a huge success, and it is time to share the joy with others. It is simply heartwarming story. Then, when Jesus’ listeners are still mesmerized, Jesus drops the bomb. He points out that God is this good shepherd! God is the woman who rejoices for the small coin. God is the father who accepts and celebrates for his runaway son who returns. Through these parables, Jesus teaches us our God is merciful, and His mercy is beyond our wildest imagination. This is why they have been called “the Gospel of the Gospel” because the three parables carry the heart of the Gospel, that is the mercy of God.

Every one of us is like the lost sheep, the lost coin or the lost son. There are points in our lives we are so low and feeling meaningless. No amount of worldly happiness can fill our hearts until Jesus finds us. Carolyn Kolleger was a successful American model and movie actress. As a baby, she was baptized Catholic, but she never knew and loved her faith. As a model, she never thought anything else but herself. She also got married to Erwin Kolleger, a businessman, who enjoyed worldly pleasures. They were rich, throwing a lot of parties, drinking alcohol and even consuming drugs. Until she got pregnant. She did not want to lose her career and was pushed by her husband, she aborted the baby. She did it not only once but thrice. She got depressed, and her marriage was about to collapse. Until a priest came and helped Carolyn and Edwin. They began to meet a Catholic counselor who helped their marriage. Carolyn decided to repent and go back They were received back into the Catholic Church. She prayed the rosary and read the Bible on more regular basis, and attended the Eucharist. Eventually her husband also followed her and rebuilt their marriage and family, not based on worldly measures, but faith, hope, and love. They were blessed with four children and find true happiness.

This is our God, a compassionate and merciful God who tirelessly seeks His lost sons and daughter.

Hati dari segala Injil

Renungan pada Minggu ke-24 dalam Waktu Biasa [C] – 15 September 2019 – Lukas 15: 1-32

lost sheepBab 15 dari Injil Lukas berisi tiga perumpamaan yang paling mengharukan dan indah di seluruh Alkitab. Tiga perumpamaan ini dikenal sebagai perumpamaan tentang domba yang hilang, perumpamaan tentang koin yang hilang, dan juga perumpamaan tentang anak yang hilang. Jika kita melihat lebih dekat ke dalam ketiga perumpamaan ini, apa yang begitu menakjubkan dan mencengangkan adalah bagaimana Yesus membengkokkan, memutar dan merentangkan logika manusia dan budaya Israel untuk menyampaikan poin terdalam-Nya.

Di Israel kuno, para gembala tahu bahwa untuk menggembalakan kawanan domba bukanlah pekerjaan yang mudah karena mereka harus memimpin kawanan mereka untuk mencari makanan dan air di tanah Palestina yang gersang. Domba secara alami adalah hewan bodoh dan tidak memiliki mekanisme pertahanan alami. Ketika seekor domba mencari makanan, ia dengan mudah tersesat dan ia bisa saja menjadi mangsa serigala, atau diambil oleh perampok. Gembala harus mengerahkan upaya ekstra untuk menjaga domba mereka. Namun, kadang-kadang, satu atau dua domba tersesat, dan gembala harus pergi untuk menyelamatkannya.

Namun, Yesus memberi tahu para pendengarnya tentang seorang gembala yang berani meninggalkan domba-domba lain untuk mencari satu domba yang hilang. Sepanjang jalan, ia mungkin menemukan bahaya yang mengancam jiwanya sendiri seperti perampok atau serigala. Tidak ada jaminan dia akan menemukan domba-dombanya yang hilang. Dia praktis mempertaruhkan nyawanya sendiri untuk domba bodoh ini. Yang bahkan luar biasa adalah bahwa setelah sang gembala menemukan hewannya yang hilang, ia sangat bersukacita. Misinya adalah sukses besar dan sekarang saatnya untuk berbagi sukacita dengan orang lain. Ini kisah yang mengharukan. Kemudian, ketika para pendengar Yesus masih terpesona, Yesus menerangkan poin utama-Nya. Dia menunjukkan bahwa Tuhan adalah gembala yang baik ini! Tuhan adalah wanita yang bersukacita atas koin kecil yang ia temukan. Tuhan adalah ayah yang menerima dan merayakan putranya yang durhaka yang kini kembali. Melalui perumpamaan-perumpamaan ini, Yesus mengajar kita bahwa Allah kita penuh belas kasihan dan kemurahan-Nya berada di luar imajinasi kita yang paling liar sekalipun. Inilah sebabnya mengapa perumpamaan ini disebut sebagai “Hati dari segala Injil” karena ketiga perumpamaan berbicara inti dari Injil yakni kerahiman Allah.

Kita masing-masing seperti domba yang hilang, koin yang hilang atau putra yang hilang. Ada waktu-waktu di dalam hidup kita, kita merasa sangat rendah dan merasa tidak berarti dan hilang. Tidak ada kebahagiaan duniawi yang dapat mengisi hati kita, sampai Yesus menemukan kita.

Carolyn Kolleger adalah model dan aktris film Amerika yang sukses. Dia dibaptis Katolik sewaktu kecil, tetapi dia tidak pernah tahu dan menghidupi imannya. Sebagai model, dia tidak pernah memikirkan hal lain selain dirinya sendiri. Dia juga menikah dengan Erwin Kolleger, seorang pengusaha, yang menikmati kesenangan duniawi. Mereka menyatakan diri sebagai orang sekuler. Mereka bergelimpangan harta, mengadakan banyak pesta, minum alkohol dan bahkan mengonsumsi narkoba. Sampai, dia hamil. Dia tidak ingin kehilangan karirnya dan didorong oleh suaminya, dia menggugurkan bayinya. Dia melakukannya bukan hanya sekali tetapi tiga kali. Akhirnya, dia mengalami depresi, dan pernikahannya hampir runtuh. Sampai, seorang pastor datang dan membantu Carolyn dan Edwin. Mereka mulai menemui seorang pembimbing rohani yang membantu pernikahan mereka. Carolyn memutuskan untuk bertobat dan kembali ke Gereja. Dia berdoa rosario dan membaca Alkitab secara lebih teratur, dan menghadiri Ekaristi. Akhirnya, suaminya juga mengikutinya, dan membangun kembali pernikahan dan keluarga mereka bukan atas dasar harta duniawi, tetapi iman, harapan, dan kasih. Mereka diberkati dengan empat anak dan menemukan kebahagiaan sejati.

Ini adalah Tuhan kita, Tuhan yang penuh belas kasih dan penyayang yang tanpa lelah mencari putra dan putri-Nya yang hilang.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Moses and Transfiguration

2nd Sunday of Lent [March 17, 2019] Luke 9:28-36

transfiguration 3One time, during a Bible class I facilitated, one of the participants asked me, “how was Peter able to recognize that it was Moses who stood beside Jesus during the Transfiguration?” It was a valid question, and yet I personally never thought of it. I thought of with several possible answers. Perhaps, Moses appeared bringing two stone tables of the Law. Perhaps, as Jesus was conversing with Moses and Elijah, Peter was able to pick up the names. Perhaps, the divine inspiration enlightened Peter’s mind on the identity of Moses. Eventually, I have to answer, “When you go to heaven, don’t forget to ask both Peter and Moses.”

The event of transfiguration is an important moment in the life of Jesus and His disciples. From here, Jesus begins his Passion toward Jerusalem and the cross. The transfiguration takes place to strengthen the faith of the disciples who will witness the gruesome events to be inflicted to their Teacher. However, the transfiguration is not only important for Jesus and His disciples, but surprisingly it is also the moment that Moses has awaited. Why so?

Moses was one of the greatest figures of the Old Testament. To him, the personal name of God was revealed (Exo 3:16). He challenged the great Pharaoh. He led the Hebrew people from the slavery of Egypt into the Promised Land, even passing through the Red Sea. He mediated the covenant between God and the Israel at Mount Sinai (Exo 20). For forty years, he patiently guided and educated the Israel in the desert. Through his hands, many miracles were performed. However, something happened in the desert. At Meribah, Israel complained and asked for water. Moses was instructed by God to command the rock to flow with water, but instead of saying the word, Moses struck his staff on the rock twice. The water indeed flowed but it displeased the Lord. God then said that Moses will not enter the Promised Land (Num 20:1-14). Indeed, Moses finally passed away at Mount Nebo, just before crossing the Jordan river.

It was a heartbreaking story. After faithfully following the Lord, leading the people through thick and thin of life, and bearing a lot of troubles that Israel created, a single mistake made him unable to taste the Promised Land. Both Jewish and Christian Biblical scholars have been puzzled by this difficult text. Indeed, we may keep questioning God for His unfair treatment. Fortunately, the story does not end there. Moses will surely enter the Promised Land, but he has to wait for someone: Jesus and His transfiguration. Truly, Moses does not only enter the Promised Land, but he also once again witnesses the Lord who appeared to him in the burning bush.

Reading the life of Moses without the transfiguration, we may bump into an image of God who is just but heartless, who judged Moses unworthy of entering the Promised Land because of a small error. Yet, with the transfiguration, God ties a loose end in the life of Moses. Like Moses, we may find some events in our lives, that are beyond our understanding, and violate our image of God who is love and mercy. Yet, God allows us to be puzzled and be at loss, in order that we may see how amazing God is going to tie the loose ends in our lives.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP