Gospel and Salvation

Second Sunday of Advent [December 10, 2017] Mark 1:1-8

“The beginning of the Gospel of Jesus Christ. (Mar 1:1)”

francis kissToday, we read the beginning of the Gospel according to Mark. Among the evangelists, only Mark explicitly introduces his work as the “Gospel”. The English word “Gospel” simply means the Good News, or in original Greek, “Evangelion.” Commonly, we understand a gospel as a written account of the life and words of Jesus Christ. The Church has recognized four accounts as canonical or true Gospel. We have Gospel according to Matthew, Mark, Luke, and John.

But, what does the Gospel truly mean? Going back to the time of Jesus, Evangelion is actually a technical term for an oral proclamation of the imperial decree that will significantly affect the life of the many people. The messenger will stand in the middle of the public square and announce that the battle has been won decisively, and the city has been saved. It is a good news, indeed a great and joyful news. St. Paul is the first who adopts the term into the Christian world and it signifies the oral proclamation of the saving effects of Jesus’ death and resurrection (see 1 Cor 15:1-4). Thus, when we read that St. Paul proclaims the Gospel, it does not mean he reads the parts of the Gospel according to Mark or John, but rather orally proclaims that we have been saved. The Gospel has to be proclaimed because only by believing and living through the Gospel, we are saved (See Rom 10:13-15).

Since we are all baptized, we all have the duty to proclaim the Gospel and work for salvation. Yet, we may ask, “How we are going to preach and save souls if we cannot administer sacraments?” While it is true that sacramental works and preaching in the pulpit are reserved to the deacons, priests, and bishops, all of us are called to preach the Gospel. But how? We remember that we preach the Gospel for the sake of salvation, and the salvation is not limited in a spiritual sense, but in a more holistic one. It is the salvation not only from sins that separate us from God, but the salvation of all aspects of humanity. Jesus does not only forgive sins, He heals the sick, teaches the people, empowers the poor and fights against oppressive systems.

Following His Lord and Master, the Church works for salvation that is holistic. We run a great number of hospitals throughout the world to bring healing to the sick. We manage numerous schools around the globe to educate people and form their characters. Numerous Catholic scientists are involved in many breakthrough types of research. Fr. Georges Lemaitre, a Belgian priest, is the astronomer behind the Big Bang theory. Louis Pasteur, the inventor of pasteurization process, is a lay Catholic who has a strong devotion to the rosary. We build and fight also for the just and peaceful societies. Antonio de Montessinos, a Dominican Spanish friar, was one of the first priests who openly preached against the slavery in America. To show its commitment to justice and peace, Dominican Order has placed its permanent delegate at the United Nations in Geneva and is actively engaged in just and peaceful resolutions on various global issues.

 This Advent season is the high time for us to reflect on the meaning of the Gospel, and on how we preach the Gospel in our own particular ways. What are the means we use to preach the Gospel? Do we make preaching the Gospel as our priority? Are we working diligently on our salvation and that of others?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno , OP

 

Injil dan Keselamatan

Minggu Kedua Adven [10 Desember 2017] Markus 1: 1-8

“Inilah permulaan Injil tentang Yesus Kristus (Mar 1:1).”

antonio de montesinosHari ini, kita membaca permulaan dari Injil menurut Markus. Di antara para penginjil, hanya Markus yang secara eksplisit memperkenalkan karyanya sebagai “Injil”. Kata “Injil” berarti “Kabar Baik”, atau dalam bahasa Yunani, “Evangelion”. Biasanya, kita memahami sebuah Injil sebagai karya tertulis tentang hidup dan sabda Yesus Kristus. Gereja telah menetapkan empat karya sebagai Injil kanonik. Kita memiliki Injil menurut Matius, Markus, Lukas dan Yohanes.

Tapi, apa arti sebenarnya sebuah Injil? Kembali ke zaman Yesus, “Evangelion” sebenarnya adalah istilah teknis bagi proklamasi lisan dari keputusan kerajaan yang secara signifikan akan mempengaruhi kehidupan banyak orang. Seorang utusan akan berdiri di tengah alun-alun dan mengumumkan bahwa perang telah dimenangkan, dan kota tersebut telah diselamatkan. Ini adalah kabar baik, sungguh kabar yang besar dan menggembirakan. St. Paulus adalah orang pertama yang mengadopsi istilah Injil ke dalam Gereja, dan ini menandakan sebuah proklamasi lisan tentang buah-buah karya penyelamatan yang dimenangkan melalui wafat dan kebangkitan Yesus Kristus (lih. 1 Kor 15:1-4). Jadi, ketika kita membaca bahwa St .Paulus mewartakan Injil, ini bukan berarti dia membaca bagian dari Injil menurut Markus atau Yohanes, namun ia mewartakan secara lisan bahwa telah kita selamatkan oleh Yesus. Injil harus diproklamasikan karena hanya dengan percaya dan hidup melalui Injil, kita akan diselamatkan (lih. Rom 10:13-15).

Karena kita semua telah dibaptis, kita semua memiliki kewajiban untuk mewartakan Injil dan bekerja untuk keselamatan. Namun, kita mungkin bertanya, “Bagaimana kita akan memberitakan dan menyelamatkan jiwa-jiwa jika kita tidak dapat memberikan sakramen?” Benar bahwa memberikan sakramen dan homili hanya bagi kaum tertahbis, yakni diakon, imam, dan uskup, tetapi kita semua dipanggil untuk mewartakan Injil. Tapi bagaimana caranya? Kita ingat bahwa kita mewartakan Injil demi keselamatan, dan keselamatan yang Yesus berikan tidak terbatas dalam pengertian spiritual, tapi bersifat holistik. Ini adalah keselamatan bukan hanya dari dosa, tapi yang menyentuh semua aspek kemanusiaan kita. Yesus tidak hanya mengampuni dosa, tapi Ia menyembuhkan orang sakit, mengajar orang-orang, memberdayakan orang miskin, dan menentang struktur yang tidak adil dan membuat orang-orang tertindas.

Mengikuti teladan Tuhan dan Gurunya, Gereja bekerja untuk keselamatan yang holistik. Kita mengelola banyak rumah sakit di seluruh dunia untuk menyembuhkan orang sakit. Kita mengelola banyak sekolah di seluruh dunia untuk mendidik manusia dan membangun karakter. Banyak ilmuwan Katolik terlibat dalam banyak jenis penelitian terobosan. Rm. Georges Lemaitre, seorang imam dari Belgia, adalah astronom di balik teori Big Bang. Louis Pasteur, penemu proses pasteurisasi, adalah seorang awam yang rajin berdoa rosario. Kita membangun dan memperjuangkan juga masyarakat yang adil dan damai. Antonio de Montessinos, seorang Dominikan dari Spanyol, adalah salah satu imam pertama yang secara terbuka berkhotbah menentang perbudakan di Amerika. Untuk menunjukkan komitmennya terhadap keadilan dan perdamaian, Ordo Dominikan telah menempatkan delegasi permanennya di Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa dan secara aktif terlibat dalam resolusi adil dan damai mengenai berbagai isu-isu global.

 Musim Adven ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk merenungkan makna Injil, dan bagaimana kita mewartakan Injil. Apa sarana yang kita gunakan untuk memberitakan Injil? Apakah kita menjadikan pewartaan Injil sebagai prioritas kita? Apakah kita bekerja dengan tekun untuk keselamatan kita sendiri dan orang lain?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

St. Elizabeth: the Spotter of the Good News

Fourth Sunday of Advent. December 20, 2015 [Luke 1:39-45]

“…for at the moment the sound of your greeting reached my ears, the infant in my womb leaped for joy (Luk 1:44).”

St. Elizabeth seemed to have this special skill that often escaped our eyes. She had this ability to spot that Mary, her relative, was with a child. That was their first encounter after years. Nobody told Elizabeth that Mary was pregnant, and surely, no cellphone and Facebook were yet available during that time for speedy communication. Mary’s pregnancy was not yet physically obvious since it was barely a month since the Annunciation. Yet, she did it. We remember that the primary intention of Mary’s visit was to prove Gabriel’s message that Elizabeth was pregnant, but it turned out that Elizabeth was the first one who recognized the Mary’s pregnancy.

Before the presence of Mary and the baby, Elizabeth’s reaction was astonishing. She did not grill Mary with investigative questions like ‘who is the father?’ or ‘why did you break the Law?’ Neither did she harbor any hatred to Mary for breaking the Jewish sacred Law, nor reporting her to authority. She chose rather to embrace Mary and to rejoice with her in the Lord. Elizabeth did not only have the ability to spot the pregnancy, but more importantly, the ability to discover the Good News.

Our world is loaded with bad news. Wars and bloody violence are raging from Sahara desert to tropical jungles in South East Asia, from North America to Syria. Our news outlets are full of this terrible information: killing within the family, abuses against women and children, and natural and man-made disasters. What is horrified is that we buy these kind of news and serve them as our breakfast. We can easily spot the problems and issues in our lives. Financial difficulties, health issues, broken relationships, name it and you have it. We are trained to see the bad news and linger in them. We, thus, become announcers of the bad news or simply the complainers or gossipers.

However, echoing the words of Antonio Cardinal Tagle, the Archbishop of Manila, in the opening of Dominican Jubilee Door in Santo Domingo Church, Metro Manila few weeks ago, “We do not need another proclaimer of the bad news. Our world has already a lot of bad news. We desperately need the preachers of good news.” No wonder if St. Dominic de Guzman is called the preacher of grace, because it is the main mission of every preacher to discover the working of God in our midst. As Sr. Mary Catherine Hilkert OP once said ‘preaching is to articulate grace’.

The Advent season gives us Elizabeth. Her ability to spot the grace among ordinary events and even among unlikely circumstances makes her a humble yet true model of preacher of the Good News. Yet, we must not forget that Elizabeth’s skill is not merely human effort, but in itself a grace of God. She was under the influenced of the Holy Spirit, when she was able to discover Jesus. Eventually, it is the grace of God within us that enables us to unearth the grace around us. In turn, the grace around us brings joy and meaning in our lives as well as strengthens the grace within us. It is all about grace.

To spot grace and to become happy is not simply a matter of choice, but it is primarily the fruits and gift of Holy Spirit. We constantly pray to God to shower us with His grace and blessings so that in the midst of various earthly concerns and problems, we may not miss Jesus this Christmas.

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

St. Elisabet: Menjadi Penemu Kabar Baik

 

 

Keempat Minggu Adven. 20 Desember 2015 [Lukas 1: 39-45]

“… ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. (Luk 1:44).”

Santa Elisabet tampaknya memiliki keahlian khusus yang sering luput dari mata kita. Dia memiliki kemampuan untuk melihat bahwa Maria, saudaranya, sedang mengandung. Kunjungan Maria adalah pertemuan pertama mereka setelah bertahun-tahun. Tidak ada yang memberi tahu Elisabet tentang kehamilan Maria, dan pasti, ponsel dan Facebook yang belum tersedia pada zaman ini untuk berkomunikasi dengan cepat. Kehamilan Maria belum secara fisik tampak jelas karena itu baru saja beberapa minggu sesuah Maria menerima Kabar Baik dari Malaikat Gabriel. Namun, Elisabet bisa mengetahuinya. Kita ingat bahwa tujuan utama dari kunjungan Maria adalah untuk membuktikan pesan Gabriel bahwa Elisabet sedang mengandung, tapi ternyata Elisabet menjadi orang pertama yang memahami kehamilan Maria.

Dihadapan Maria dan sang Bayi di dalam rahimnya, reaksi Elisabet sungguh menakjubkan. Dia tidak menginvestigasi Maria dengan pertanyaan seperti ‘Siapa ayah sang bayi?’ atau ‘Mengapa kamu melanggar Hukum Taurat?’ Begitu pula dia tidak memendam kebencian kepada Maria karena dia melanggar hukum suci Yahudi, atau melaporkan Maria ke otoritas untuk diadili. Dia memilih untuk merangkul Maria dan bersukacita dengan dia di dalam Tuhan. Elisabet tidak hanya memiliki kemampuan untuk melihat kehamilan Maria, tetapi yang jauh lebih penting, kemampuannya untuk menemukan Kabar Baik.

Dunia kita penuh dengan berita buruk. Perang dan kekerasan berdarah yang mengamuk dari gurun Sahara ke hutan tropis di Asia Tenggara, dari Amerika Utara ke Suriah. Berbagai sumber berita kita penuh dengan informasi yang mengerikan: pembunuhan di dalam keluarga, pelecehan terhadap perempuan dan anak-anak, dan bencana alam maupun buatan manusia. Apa yang mengerikan adalah bahwa kita justru membayar untuk berita semacam ini dan menyuguhkan sebagai sarapan pagi kita. Kitapun bisa dengan mudah melihat masalah dan isu-isu dalam kehidupan kita. Kesulitan keuangan, masalah kesehatan, hubungan yang rusak, dan masih banyak lagi. Tanpa sadar kitapun dilatih untuk melihat berita buruk dan tinggal di dalamnya. Dengan demikian, kita berubah menjadi penyiar kabar buruk atau pengeluh atau tukang gosip.

Namun, menggemakan kata-kata dari Kardinal Antonio Tagle, Uskup Agung Manila, dalam pembukaan Pintu Jubilee Dominikan di Gereja Santo Domingo, Metro Manila, Kita tidak perlu tambahan penyebar kabar buruk. Dunia kita memiliki sudah banyak berita buruk. Yang kita sangat butuhkan adalah pengkhotbah kabar baik.Tak heran jika St. Dominikus de Guzman disebut sebagai pewarta rahmat, karena adalah misi utama setiap pengkhotbah untuk menemukan karya Allah di tengah-tengah kita. Sebagaimana Maria Catherine Hilkert OP pernah berkata ‘berkhotbah adalah mengartikulasikan rahmat.’

Mas Adven memberi kita santa Elisabet. Kemampuannya untuk melihat rahmat di antara peristiwa-peristiwa yang biasa dan bahkan di antara keadaan yang tidak terduga menjadikan dia seorang model dari pengkhotbah dari Kabar Baik. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa kemampuan Elisabet ini bukan sekedar usaha manusia biasa, tetapi sebuah rahmat Allah. Dia berada di bawah pengaruh Roh Kudus, ketika ia mampu menemukan Yesus. Sungguhnya, ini adalah rahmat Allah dalam diri kita yang memungkinkan kita untuk mengenali rahmat di sekitar kita. Dan pada gilirannya, rahmat di sekitar kita membawa sukacita dan makna dalam kehidupan kita serta memperkuat rahmat dalam diri kita. Ini adalah semua tentang rahmat Allah.

Untuk melihat rahmat dan menjadi bahagia bukan hanya soal pilihan pribadi kita, tetapi pada dasarnya buah dan karunia Roh Kudus. Kita terus berdoa kepada Tuhan untuk memberikan rahmat dan berkat-Nya sehingga di tengah-tengah berbagai permasalahan dan kepentingan duniawi, kita tidak kehilangan Yesus di Natal ini.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP