Allah Tritunggal dan Kita

Hari Raya dari Tritunggal Mahakudus [27 Mei 2018] Matius 28: 16-20

Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. (Mat. 28:19)”

star gazing
photo by Harry Setianto, SJ

Hari ini kita merayakan Misteri Tritunggal Mahakudus. Misteri ini tepat disebut misteri dari semua misteri karena Tritunggal Mahakudus merupakan inti dari iman Kristiani kita. Namun, kebenaran mendasar ini tidak hanya sangat sulit untuk dimengerti, tetapi juga pada kenyataannya, melampaui penalaran manusiawi kita. Bagaimana mungkin kita bisa percaya pada tiga Pribadi Ilahi yang berbeda, Bapa, Putra dan Roh Kudus, namun mereka tetap satu Allah? Beberapa tokoh besar seperti St. Agustinus, St. Thomas Aquinas dan Paus Emeritus Benediktus XVI telah berusaha untuk memberi sedikit cahaya pada misteri ini. Namun, dihadapan kebenaran maha besar ini, penjelasan terbaik pun akan tampak seperti setetes air di samudra raya

 

Saya sendiri tidak memiliki ilusi bahwa saya dapat menjelaskan misteri ini dengan baik, tetapi kita mungkin merefleksikan bersama maknanya dalam kehidupan sehari-hari kita. Masa Paskah yang penuh sukacita berakhir dengan perayaan hari Pentakosta Minggu lalu, dan kitapun melanjutkan masa biasa tahun liturgi. Ketika kita melanjutkan masa biasa, Gereja mengundang kita untuk merayakan Hari Raya Tritunggal Mahakudus. Gereja tampaknya mengajarkan kita bahwa misteri Trinitas yang melebihi segala nalar sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia, dengan perjuangan kita sehari-hari, dengan rasa sakit dan sukacita kita sehari-hari. Bagaimana iman kita dalam misteri terbesar dari semua misteri ini dapat terhubung dengan kehidupan sehari-hari dan bahkan duniawi kita?

Kita sering memiliki gambaran salah tentang Tuhan. Kita kadang berpikir bahwa Tuhan atau Allah Tritunggal adalah pribadi terbesar (atau tiga pribadi terbesar) di antara hal-hal yang ada. Dia seperti seorang CEO universal yang mengelola semua hal dari lokasi yang dirahasiakan atau makhluk super besar dan super kuat yang mengendalikan hampir segalanya. Namun, gambaran ini tidak sepenuhnya benar. Ia bukan sekedar “satu” di antara makhluk yang tak terhitung jumlahnya. Tuhan adalah dasar dari segala yang ada. Dia adalah alasan mengapa sesuatu ada, daripada tidak ada sama sekali. Jadi, penciptaan bukanlah yang terjadi pada “Big Bang” 13,7 miliar tahun lalu. Penciptaan pada dasarnya adalah karunia keberadaan dari Allah bagi kita. Menjadi makhluk ciptaan berarti keberadaan kita tidak mutlak. Kita ada fana. Namun, saat kita tahu bahwa kita sungguh ada di dunia, kita menyadari bahwa setiap saat dalam hidup kita adalah karunia Tuhan.

Kitab Suci mengungkapkan misteri Allah kita. Dia bukan Tuhan yang menyendiri dan mementingkan diri sendiri, tetapi Tuhan kita adalah satu Tuhan dalam tiga pribadi ilahi. Tuhan kita adalah komunitas yang berdasarkan pada kasih hidup dan kreatif dan pada pemberian diri yang total dan konstan. Oleh karena itu, perciptaan kita bukanlah sekedar ketidaksengajaan semata, tetapi tindakan kreatif Allah dan karunia kasih-Nya. Kita ada karena kita adalah bagian dari rencana kasih-Nya. Kita ada di dunia karena Tuhan tidak dapat tidak mengasihi kita dan ingin kita berbagi dalam kehidupan yang sempurna dalam Tritunggal. St Thomas Aquinas pun mengatakan bahwa kita hanya percaya dua ajaran dasar, dua “credibilia”: pertama, Tuhan itu ada, dan kedua, kita dikasihi dalam Yesus Kristus.

Kita sering menerima begitu saja hidup kita dan terlarut dalam masalah sehari-hari; kita jarang bertanya apa tujuan dan makna kehidupan ini. Namun, hal ini tidak mengurangi kebenaran bahwa Tuhan dengan penuh kasih menopang keberadaan, bahkan sampai ke bagian terkecil dari atom kita, dan peduli kepada kita, setiap detik dari hidup kita. Apakah kita sibuk melakukan pekerjaan, fokus pada urusan keluarga, atau hanya menikmati hobi, Tuhan terlibat dan memperhatikan. Jadi, terlepas dari Tuhan, hidup kita, kerja harian kita, dan kekhawatiran, kesedihan dan sukacita kita tidak ada artinya dan bahkan kembali ke ketiadaan. Merayakan Tritunggal Mahakudus berarti bersuka-cita dalam keberadaan kita sebagai karunia, dan memuliakan Tuhan yang sangat mengasihi kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Resurrection and Love

Easter Sunday [April 1, 2018] John 20:1-10

… he saw and believed (Jn. 20:8)

light and child
photo by Harry Setianto, SJ

Today is the Easter morn! Today is the day the Lord has risen! Today is the day death has been defeated! Today is the day of resurrection! Yet, how do we understand Jesus’ resurrection and our resurrection? What does it mean when we say that death has been conquered?

 

We all know that we are going to die. We just do not know when, where and how, but we are sure that death will come. We remain anxious and afraid of the reality of suffering and death. It seems that death has not been defeated? It is true that sometimes death can be a liberation. A pious lady in her fifties once told a priest that she prayed that the Lord would take her when she was still beautiful. Then, the priest remarked, “How come you are still here!”

The usual occasion preachers speak of resurrection is the funeral mass! The resurrection has become a kind of pain reliever for the bereaved families and relatives. We are assured that the death of our beloved ones is not the final destiny. There is the blissful afterlife waiting, and we shall join our Lord in the resurrection. Though our preachers speak the consoling truth, the way we preach it tends to reduce the eternal life as a permanent retirement place, and the resurrection as extremely remote reality. Another priest once admitted that he was not that handsome, and thus he planned that in the day of resurrection, he would quickly snatch the body of handsome Canadian singer, Justin Bieber! The resurrection is only good for the dead, and it does not mean much for us the living. But, resurrection is really for all of us, here and now.

Going back to the first resurrection in the garden, no Gospel describes how the resurrection takes place. It simply cannot. Yet, there is an empty tomb, and Jesus’ body is missing. Peter is greatly puzzled. Mary Magdalene is weeping bitterly. Only one disciple understands. He is the disciple who loves dearly Jesus and whom Jesus loves. Despite death and emptiness, love endures. Through the eyes of love, the disciple is able to see the resurrection.

Love and its relation to the resurrection go back to the story of human creation in the book of Genesis. We are created in the image of God (Gen 1:26). If God is love (1 Jn 4:8), then we are made in the image of love. More than other creatures, we are designed with the ability to love and to receive love. Not only having the ability to love one another, our nature is even gifted with the ability to be loved by God and to love God. No other creation on earth is able to participate in this most beautiful love affair with the Lord. Unfortunately, sin destroys this love relationship with God and seriously damages our ability to love and be loved. The history of humankind turns to be the history of sins, suffering, and death. Husband and wife hurt each other, brothers kill each other, men exploit women, women sell their children, and men destroy nature. We need redemption.

Out of His immense love, God becomes man so that He may begin His work of redemption. This redemption culminates in Jesus’ resurrection. One of the greatest graces of resurrection is our ability to love God and to receive God’s love is restored. Thus, John the Beloved Disciple is able to see through the empty tomb and believe in the risen Lord. Just as the grace of resurrection heals John, so the same grace heal us and restore our ability to love God. In the midst of emptiness of life, we are empowered to see the risen Lord. Despite the absurdity of life, we are enabled to transform our sorrows and pains into the opportunity to love more and serve better. Despite pain and death, love endures.

Blessed Easter! Happy Resurrection!

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Arti Kebangkitan bagi Kita yang Hidup

Minggu Paskah [1 April 2018] Yohanes 20: 1-10

… dia melihat dan percaya (Yoh 20: 8)

jump of joy
Photo by Harry Setianto, SJ

Tuhan telah bangkit! Kematian telah dikalahkan! Paskah adalah kemenangan kita semua! Ini adalah sukacita Hari Raya Paskah, dan pada hari ini, kita diajak untuk merenungkan bagaimana kita memahami arti sebuah kebangkitan? Apa artinya ketika kita mengatakan bahwa kematian telah ditaklukkan?

 

Walaupun maut telah dikalahkan, kita semua tetap akan mati. Kita hanya tidak tahu kapan, di mana dan bagaimana, tetapi kita yakin bahwa kematian akan datang. Kita tetap cemas dan takut akan realitas penderitaan dan kematian. Tampaknya kematian belum sungguh-sungguh dikalahkan? Memang benar bahwa terkadang kematian bisa menjadi sebuah pembebasan. Seorang wanita paruh baya yang saleh bercerita kepada pastor parokinya bahwa dia berdoa agar Tuhan akan memanggilnya ketika dia tampak masih cantik dan sebelum dia terlihat tua, keriput dan jelek. Kemudian, sang pastor pun berkomentar, “Lalu, kenapa kamu masih di sini!”

Jika kita perhatikan, para imam biasanya berkhotbah tentang kebangkitan saat misa arwah! Kebangkitan telah menjadi semacam penghilang rasa sakit bagi keluarga dan kerabat yang berduka. Kita yakin bahwa kematian mereka yang kita cintai bukanlah akhir dari segalanya. Ada kehidupan baru yang menanti, dan kita akan bergabung dengan Allah kita dalam hari kebangkitan. Meskipun para pastor kita berkhotbah tentang kebenaran yang menghibur, cara kita mewartakan kebangkitan cenderung menjadikan kehidupan kekal sebagai tempat pensiun yang permanen, dan kebangkitan sebagai realitas yang sangat jauh dari kehidupan yang sekarang. Seorang imam pernah menyatakan bahwa dia diciptakan tidak begitu tampan, dan karena itu dia merencanakan bahwa pada hari kebangkitan, dia akan segera mengambil tubuh penyanyi Kanada yang terkenal, Justin Bieber! Kebangkitan itu hanya untuk mereka yang sudah meninggal, dan itu tidak berarti banyak bagi kita yang masih hidup. Namun, kebangkitan Yesus di hari Paskah benar-benar untuk kita semua yang masih hidup di dunia.

Jika kita membaca kembali ke kebangkitan Yesus, Injil tidak menjelaskan bagaimana kebangkitan itu terjadi. Namun, ada kubur yang kosong, dan tubuh Yesus hilang. Petrus sangat bingung. Maria Magdalena menangis dengan sedih. Hanya ada satu murid yang mengerti. Dia adalah murid yang sangat mengasihi Yesus dan yang dikasihi Yesus. Meskipun menghadapi kematian dan kekosongan, cinta kasih tidak pernah hilang. Melalui mata kasih, murid ini dapat melihat kebangkitan.

Kasih dan kebangkitan memiliki hubungan yang erat, bahkan jejaknya kembali ke kisah penciptaan manusia dalam kitab Kejadian. Kita diciptakan menurut citra Allah (Kej 1:26). Jika Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8), kita diciptakan menurut citra kasih. Oleh karena itu, melebihi makhluk-makhluk lain, kita dirancang dengan kemampuan untuk mengasihi dan dikasihi. Tidak hanya memiliki kemampuan untuk mengasihi satu sama lain, kita juga dikaruniai kemampuan untuk dikasihi oleh Tuhan dan untuk mengasihi Tuhan. Tidak ada ciptaan lain di bumi yang dapat berpartisipasi dalam kisah kasih paling indah dengan Tuhan. Sayangnya, dosa menghancurkan kisah kasih dengan Tuhan ini, dan secara serius merusak kemampuan kita untuk mengasihi dan dikasihi. Sejarah umat manusia berubah menjadi sejarah dosa, penderitaan, dan kematian. Suami dan istri saling menyakiti, saudara saling membunuh, pria mengeksploitasi wanita, wanita menjual anak-anak mereka, dan manusia merusak alam. Manusia membutuhkan penebusan.

Sungguh, Allah dalam kasih-Nya menjadi manusia untuk memulai karya penebusan, dan penebusan Yesus ini mencapai puncaknya dalam kebangkitan-Nya. Salah satu anugerah yang terbesar dari kebangkitan adalah kemampuan kita untuk mengasihi Allah dan dikasihi Allah dipulihkan. Saat Yohanes sang murid terkasih mampu melihat lebih jauh dari sekedar kubur yang kosong, dan percaya kepada Tuhan yang bangkit, Injil memberikan kita sebuah tanda bahwa rahmat kebangkitan telah bekerja. Jika Yohanes disembuhkan, karunia yang sama menyembuhkan kita juga dan memulihkan kemampuan kita untuk mengasihi Allah. Di tengah-tengah kekosongan hidup, kita diberdayakan untuk melihat Tuhan yang bangkit. Terlepas dari absurditas kehidupan, kita dimampukan untuk mengubah kesedihan dan rasa sakit kita menjadi kesempatan untuk mencintai lebih banyak dan melayani dengan lebih baik. Meskipun sakit dan mati, cinta tetap bertahan. Ini adalah kebangkitan Tuhan dalam hidup kita, Ini adalah hari Paskah!

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ash: a Biblical Reflection

Ash Wednesday 2018 [February 14, 2018] Matthew 6:1-6, 16-18

“For you are dust, and to dust, you shall return. (Gen. 3:19)”

dustAsh Wednesday is the beginning of the liturgical session of Lent in the Catholic Church. Its name derives from an ancient tradition of the imposition of the ashes. Every Catholic who attends the mass on this day will receive a sign of the cross made of ashes on his or her forehead. The ashes are ordinarily coming from the burned palm leaves blessed at the Palm Sunday of the previous year.

Why ashes? Is it in the Bible?

In the Bible, ash (or dust) symbolizes our mortal and fragile humanity. We recall how God created humanity from the dust of the earth (Gen 2:7). Indeed, after Adam committed the first act of disobedience, God reminded Adam of his finite nature, “For you are dust, and to dust, you shall return. (Gen. 3:19)” Because of sin, death upset the creation and brought Adam and all his children back to the ground. Thus, when a priest imposes ashes on our foreheads with the same formula, it becomes a poignant reminder of who we are. Human as we are, relying on our own strength and ability, despite our success, glory, and pride, will die and go back to the earth.

Ash is also a mark of grief, humility, and repentance. After the preaching of Jonah, the people of Nineveh repented, and they wore sackcloth and sat on ashes, begging forgiveness (Jon 3:5-6). Under the leadership of Nehemiah, the citizen of Jerusalem assembled and asked for God’s forgiveness. They all gathered together “while fasting and wearing sackcloth, their heads covered with dust (Neh 9:1).  That explains why the priest also says, “repent and believe in the Gospel!” while imposing the ashes on our foreheads. Just like the ancient Israelites, it is a sign and invitation for us to change our lives and seek God’s mercy and forgiveness.

The cross of ash is the sign of our finite humanity, and even death. Paradoxically, however, it also turns to be a symbol of our true strength and life. When we realize and acknowledge that we are mere ashes in God’s hands, it is also the time we become once again truly alive. Just as God breathed His spirit in the first human made of dust, so God gives us His grace that enables us to participate in His divine life. We are truly alive precisely because we are now sharing in God’s life. The cross of ashes turns to be the moment of our re-creation. As St. Paul says, it is no longer I who live, but it is Christ who lives in me.  (Gal. 2:20)

Sometimes, the ash of repentance brings us sadness and gloominess as we reflect our sinfulness and frailty. As today is the day of fasting and abstinence, we also feel hungry and lethargic. Yet, it must not stop there. It should lead us to the Gospel, the Good News. It is Good News because we are now saved and alive! When we repent, we remove all things make our lives heavy, things that turn us away from God. We become once again light and energetic. As we turn ourselves to God, who is the source of life, we cannot but become alive and full of joy. It is ash that leads us to the Gospel, the joy of the Gospel.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Abu

Rabu Abu 2018 [14 Februari 2018] Matius 6: 1-6, 16-18

pope francis ashesRabu Abu adalah awal dari Masa liturgi Pra-paskah di Gereja Katolik. Nama ini berasal dari tradisi kuno di mana setiap orang Katolik yang menghadiri misa pada hari ini akan menerima tanda salib abu di dahinya. Abu ini biasanya berasal dari daun palma yang telah diberkati pada Minggu Palma tahun sebelumnya, dan kemudian dibakar.

Mengapa  harus abu? Apakah ini sesuai dengan Kitab Suci? Dalam Alkitab, abu (atau debu) melambangkan kemanusiaan kita yang fana dan rapuh. Kita ingat bagaimana Tuhan menciptakan manusia dari debu bumi (Kej 2:7). Dan, ketika Adam jatuh dalam dosa, Tuhan mengingatkan kembali Adam akan kemanusiaannya yang fana, “Sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu (Kej 3:19).” Karena dosa, kematian masuk ke dalam hidup manusia, dan membawa Adam dan semua keturunannya kembali ke tanah. Jadi, ketika seorang imam menandai dahi kita dengan abu, kita diingatkan tentang siapa diri kita sesungguhnya. Kita adalah manusia, dan hanya mengandalkan kekuatan dan kemampuan kita sendiri, terlepas dari segala kesuksesan dan keberhasilan, kita akan mati dan kembali ke bumi.

Abu juga merupakan tanda kerendahan hati dan pertobatan. Setelah Yunus bernubuat, orang-orang Niniwe kemudian bertobat, dan sebagai bentuk pertobatan, mereka memakai kain kabung dan duduk di atas abu (Yun 3: 5-6). Di bawah pimpinan Nehemia, warga Yerusalem berkumpul dan meminta pengampunan dari Tuhan. Mereka semua berkumpul “sambil berpuasa dan memakai kain kabung, kepala mereka tertutup debu (Neh 9: 1).” Hal ini menjelaskan mengapa imam mengatakan, “bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” saat menandai kita dengan abu. Sama seperti bangsa Israel di masa lalu, abu ini adalah tanda dan ajakan bagi kita untuk mengubah hidup kita dan memohon belas kasih dan pengampunan dari Tuhan.

Salib abu adalah tanda kemanusiaan kita yang terbatas. Namun, abu ini juga adalah simbol kekuatan sejati dan sukacita kita. Ketika kita menyadari dan mengakui bahwa kita hannyalah abu di tangan Tuhan, inilah juga saat kita menjadi sekali lagi benar-benar hidup. Salib abu berubah menjadi momen penciptaan kembali bagi kita. Sama halnya seperti Tuhan yang menghembuskan roh-Nya pada manusia pertama yang terbuat dari debu, Tuhan juga menghembuskan rahmat-Nya kepada kita yang mengakui bahwa kita adalah debu, bahwa kita tidak berdaya tanpa Dia. Dengan rahmat-Nya, kita menjadi benar-benar hidup karena kita sekarang mengambil bagian dalam hidup Tuhan. St. Paulus berkata, “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal 2:20).” Debu menjadi sebuah paradoks kepenuhan hidup.

Terkadang, abu membawa kita pada suasana sedih dan suram karena kita mulai menyadari dosa dan kelemahan kita. Karena kita menjalankan pantang dan puasa pada hari ini, kita juga merasa lapar dan lesu. Namun, kita tidak boleh berhenti di situ saja. Salib abu yang sejati harus membawa kita kepada Injil, yang adalah Kabar Baik. Saat kita bertobat, kita menghapus semua hal yang membebankan dan menjauhkan kita dari Tuhan. Kita menjadi sekali lagi ringan dan energetik. Saat kita menyerahkan diri kita kepada Tuhan, yang adalah sumber kehidupan, kita tidak bisa tidak menjadi hidup dan penuh dengan sukacita. Ini adalah abu yang membawa kita kepada Injil, sukacita Injil. Ini adalah Kabar Baik karena kita sekarang telah diselamatkan!

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Behind the Holy Family

Feast of the Holy Family [December 31, 2017] Luke 2:22-40

“They took him up to Jerusalem to present him to the Lord (Luk 2:22 NAB)”

holy family 1Today, the Church is celebrating the feast of the Holy Family. Saint Joseph and the Blessed Virgin Mary are man and woman regarded as the holiest among mortals. And the center of their family is Jesus, the Son of God. They are not only one holy family among others, but they are the perfection of the Holy Family. Looking at our own families, we realize we are nothing to compare to this Holy Family. We are called to be holy like them, but we continue to struggle and fail. Nobody among us is immaculately conceived like the Virgin Mary. No woman among us gives birth to the Son of God through the power of the Holy Spirit. Many of us surely love to sleep, but who among us like St. Joseph, receive genuine appearance of the Angel in our dream? Despite our best efforts, we keep hurting each other, failing each other, and are far from the ideal example of the Holy Family.

However, the point of the Holy Family is not so much on the goodness of individual members. It is not about the greatness of Mary who is blessed among women. It is not about the righteousness of Joseph who faithfully follows the Law of Moses. Yet, it is about the grace and mercy of God, and how they open themselves to these gifts of God. If we examine carefully the Bible and the socio-historical context of the first century Palestine, we discover that Joseph and Mary are hardly capable and prepared parents for Jesus. Despite coming from David’s clan, Joseph is a poor carpenter from Nazareth. Mary is a very young woman, and just barely ready for pregnancy, let alone for childbearing and child-raising. God makes a very risky choice to entrust His only Son to this couple.

Joseph is indeed a righteous man because he knows and lives by the Law of Moses, yet when he learns that Mary is with a child that is not his, he must have felt betrayal and deep pain. To satisfy his anger, he could have openly accused Mary of adultery and let the public stone her, but his mercy prevails, he decides to secretly divorce Mary as to save her life and the baby. However, adding salt to the wound, the Angel orders Joseph to take Mary as his wife. This means Joseph will have to acknowledge the child as his own, and he will live with a dishonor as one who violates a virgin before the marriage. The same thing with Mary. Despite her inability to understand the virginal conception of Jesus, she is aware that having a child outside marriage means shame and even death. Thus, this means their lives become easier. Hardly! Simeon warns Mary that a sword will pierce her soul. Mary will see her own son treated like an animal and crucified. Joseph has to work harder to provide for Jesus and Mary, and continue to bear the stigma. Holy spouses do not have a convenient life even with Jesus in their midst. Yet, both Mary and Joseph agree to the plan of God, and let the grace of God fill their lives, and this makes them holy.

We realize that building a holy family is a tough vocation. Like Joseph and Mary, we are going to face difficult problems, from financial instability to personal disagreements, and relying on our own strength, we will surely fall. Yet, like Mary and Joseph, we open ourselves to the grace of God, because when God calls us to holiness in the family, He surely will bring us all to the perfection.

Dasar dari Keluarga Kudus

Pesta Keluarga Kudus [31 Desember 2017] Lukas 2: 22-40

“Mereka membawa Dia ke Yerusalem untuk menyerahkan-Nya kepada Tuhan (Luk 2:22).”

holy familyHari ini, Gereja merayakan Pesta Keluarga Kudus. Santo Yusuf dan Perawan Maria adalah pria dan wanita adalah paling kudus di antara manusia, dan pusat keluarga mereka adalah Yesus, Putra Allah. Sungguh tidak ada keluarga lain yang dapat menyamai keluarga kudus yang satu ini. Melihat keluarga kita sendiri, kita sadar bahwa kita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Keluarga Kudus ini. Benar bahwa kita semua dipanggil untuk menjadi kudus seperti mereka, tapi kita terus bergulat dan gagal. Tidak ada di antara kita yang dikandung tanpa noda seperti Perawan Maria. Tidak ada wanita di antara kita yang melahirkan Putra Allah melalui kuasa Roh Kudus. Banyak dari kita pasti suka tidur, tapi siapa di antara kita seperti St. Yusuf, yang menerima kabar dari Malaikat Allah dalam mimpi kita? Terlepas dari upaya terbaik kita, kita terus saling menyakiti, gagal, jatuh, dan jauh dari contoh ideal Keluarga Kudus.

Namun, kekuatan yang sesungguhnya dari Keluarga Kudus tidaklah terletak pada kebaikan Yusuf atau Maria. Ini bukan tentang kehebatan Maria yang diberkati di antara wanita. Ini bukan tentang ketaatan Yusuf yang dengan setia mengikuti Hukum Musa. Namun, ini adalah karena rahmat dan belas kasih Allah, dan bagaimana mereka membuka diri mereka terhadap rahmat Allah ini. Jika kita meneliti dengan saksama Alkitab dan konteks sosio-historis Palestina pada abad pertama, kita menemukan bahwa Yusuf dan Maria adalah orang tua yang sesungguhnya tidak mampu untuk Yesus. Meskipun datang dari klan Daud, Yusuf adalah seorang tukang kayu miskin dari Nazaret. Maria adalah wanita yang sangat muda, dan hampir tidak siap untuk hamil, apalagi untuk melahirkan dan mengasuh anak.

Yusuf memang orang yang taat karena dia tahu dan hidup menurut hukum Musa, namun ketika dia mengetahui bahwa Maria mengandung anak yang bukan miliknya, pastilah dia merasa dikhianati dan sangat terluka. Untuk memuaskan kemarahannya, dia bisa secara terbuka menuduh Maria melakukan perzinahan dan membiarkan masyarakat merajam dia, namun akhirnya, dia memutuskan untuk secara diam-diam menceraikan Maria dan menyelamatkan nyawanya dan bayinya. Namun, tidak hanya itu, Malaikat memerintahkan Yusuf untuk mengambil Maria sebagai istrinya. Ini berarti Yusuf harus mengakui anak itu sebagai miliknya sendiri, dan dia akan hidup dengan penghinaan sebagai orang yang bersetubuh dengan perawan sebelum menikah. Hal yang sama dengan Maria. Meskipun dia tidak dapat memahami tentang bayinya yang ada di rahim, dia sadar bahwa memiliki anak di luar nikah berarti aib dan bahkan kematian. Dengan kehadiran Yesus bukan berarti hidup mereka menjadi lebih mudah. Simeon memperingatkan Maria bahwa pedang akan menembus jiwanya. Maria akan melihat anaknya sendiri diperlakukan seperti binatang dan disalibkan. Yusuf harus bekerja lebih keras untuk menyediakan bagi Yesus dan Maria, dan terus menanggung aib di tengah masyarakat. Pasangan kudus sesungguhnya tidak memiliki kehidupan yang nyaman bahkan dengan Yesus di tengah-tengah mereka. Namun, baik Maria maupun Yusuf menerima rencana Allah, dan membuka diri terhadap kasih karunia Allah yang memenuhi hidup mereka, dan inilah yang membuat mereka sungguh kudus.

Kita menyadari bahwa membangun keluarga kudus adalah panggilan yang sulit. Seperti Yusuf dan Maria, kita akan menghadapi masalah yang sulit, mulai dari ketidakstabilan finansial sampai kepribadian yang berbeda, dan bergantung pada kekuatan kita sendiri, kita pasti jatuh. Namun, seperti Maria dan Yusuf, kita membuka diri terhadap anugerah Tuhan, karena ketika Tuhan memanggil kita dalam kekudusan dalam keluarga, Dia pasti akan membawa kita kepada kesempurnaan dan buah berlimpah.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Meet the Holy Spirit

Sixth Sunday of Easter. May 21, 2017 [John 14:15-21]

“I will ask the Father, and he will give you another Advocate to be with you always, (Joh 14:15)”

paraclete 2Have you seen a spirit? When the word ‘spirit’ is mentioned, what image does appear in your mind? Perhaps, scary ghosts from some urban legends or Hollywood horror movies. The word ‘spirit’ conjures terrifying and often creepy images because it is related with the dead, the afterlife, and unexplained paranormal phenomenon. The Church herself warrants the existence of evil spirit or the demons, as the Church fights them through the ministry of exorcism.

However, in the bible, spirit is not frightening, and in fact, it is a fundamental concept and reality. In Hebrew language, spirit is ‘ruah’. This word ‘ruah’ is closely related to breath, air or wind. Spirit is like an air. It is formless and invisible, but all things are filled and surrounded by it. Spirit is like a wind. It cannot be controlled, but it is a powerful force that shapes nature. And spirit is like a breath. We cannot see and touch it, yet it fills us with life. Early in the story of creation, the Spirit of God was already introduced, as this Spirit swept over the waters (Gen 1:2). This ‘breath’ appeared once again in the story of human creation. God then breathed to his nostril the breath of life and man came to life (Gen 2:7). Then, when men and women became wicked, God would take away His ‘spirit’ from them and they would go back to earth (see Gen 6:3). From here, we can learn that the spirit is the power behind creation. It is the source of life in us. Moreover, it connects us with the Divine. Yet, because of sins, it might be lost, and man and woman shall go back to earth.

In today’s Gospel, Jesus taught that this Spirit of God is not just an inanimate force, but He is also a person. Jesus introduced Him as another Advocate. The word ‘another’ is significant, because the first Advocate is actually Jesus Himself (see 1 John 2:1). When Jesus went to the Father, the Spirit shall continue the works of Jesus and stand as His witness. As the divine Advocate, He will help, defend, strengthen, console and teach those who have faith in Jesus. It is important also to note that the Spirit is given in the context of keeping Jesus’ commandment. What is the new and greatest commandment of Jesus? “Love one another. As I have loved you, so you also should love one another (Jn 13:34).” The Spirit aids us in loving God and one another. In fact, He is our very power and capacity to love. Without Him, it is just impossible to love like Jesus.

Now we learn that the presence of the Holy Spirit is not only during the charismatic prayer meetings where someone begins to speak in tongue, but His presence and activity are permeating our lives. When we wake up in the morning and we are reminded to pray, He is in us. When we are hated and persecuted, yet we still proclaim the truth, He is in us. When living becomes laborious and painful, but we continue to love, He is in us. He is our Advocate, the third person in the holy Trinity, the Holy Spirit

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP.

Inilah Roh Kudus

Minggu Paskah keenam. 21 Mei 2017 [Yohanes 14: 15-21]

Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya (Yoh 14:15).

paraclete3Pernahkah kamu melihat roh? Atau, jika anda kata roh disebutkan, gambaran apa yang muncul di benak Anda? Mungkin, hantu-hantu menakutkan dari beberapa cerita-cerita atau film horor Hollywood, atau sesuatu yang diluar kekuatan manusia dan tidak bisa dijelaskan. Kata ‘roh’ seringkali memunculkan gambaran yang mengerikan dan menyeramkan karena selalu berhubungan dengan kematian, dunia akhirat, dan fenomena paranormal yang tidak dapat dijelaskan.

Namun, dalam Alkitab, roh sejatinya tidak menakutkan, dan faktanya, ini adalah konsep dan kenyataan yang mendasar. Dalam bahasa Ibrani, roh adalah ‘ru’ah’. Kata ‘ru’ah’ ini erat kaitannya dengan nafas, udara atau angin. Roh itu seperti udara. Ini tidak berbentuk dan tak terlihat, tapi semua benda terisi dan dikelilingi olehnya. Roh itu seperti angin. Ini tidak bisa dikendalikan, tapi adalah kekuatan dahsyat yang membentuk alam. Dan roh itu seperti nafas. Kita tidak bisa melihat dan menyentuhnya, namun ini memenuhi kita dengan kehidupan. Pada awal kisah penciptaan, Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air (lih. Kej 1: 2). ‘Nafas ilahi’ ini muncul juga dalam kisah penciptaan manusia. Tuhan kemudian menghembuskan nafas kehidupan ke dalam lubang hidungnya dan manusia menjadi hidup (lih. Kej 2:7). Kemudian, ketika pria dan wanita menjadi jahat, Tuhanpun mengambil kembali ‘roh’-Nya dari mereka dan mereka akan kembali menjadi debu (lih. Kej 6: 3). Dari sini, kita bisa mengerti bahwa roh adalah kekuatan di balik ciptaan. Roh adalah sumber kehidupan kita. Selain itu, roh juga menghubungkan kita dengan Yang Ilahi. Namun, karena dosa, roh akan diambil, dan manusia akan kembali menjadi debu.

Dalam Injil hari ini, Yesus mengajarkan bahwa Roh Allah ini bukan hanya sebuah kekuatan alamiah yang tak bernyawa, tapi Roh Allah ini adalah juga pribadi yang hidup. Yesus memperkenalkan Dia sebagai Penolong yang lain. Kata ‘yang lain’ sangat penting, karena Sang Penolong pertama sebenarnya adalah Yesus sendiri (lih. 1 Yoh 2: 1). Ketika Yesus pergi kepada Bapa, Roh Kudus akan melanjutkan misi Yesus dan menjadi saksi-Nya. Sebagai Penolong ilahi, Dia akan membantu, membela, menguatkan, menghibur dan mengajarkan kita yang memiliki iman kepada Yesus. Penting juga untuk dicatat bahwa Roh ini diberikan untuk membantu kita mematuhi perintah Yesus. Apakah perintah Yesus yang baru dan terbesar? “supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi (Yoh 13:34).” Roh Kudus ada untuk membantu kita dalam mengasihi Allah dan sesama. Sesungguhnya, Dia adalah kekuatan dan kemampuan kita untuk mengasihi. Tanpa Dia, tidak mungkin bagi kita untuk mengasihi seperti Yesus.

Sekarang kita mengerti bahwa kehadiran Roh Kudus tidak hanya selama pertemuan doa karismatik di mana seseorang mulai berbicara dalam bahasa roh, namun kehadiran dan aktivitas-Nya memenuhi kehidupan kita. Saat kita bangun di pagi dan kita diingatkan untuk berdoa, Dia ada di dalam kita. Bila kita dibenci dan dianiaya, namun kita terus menyatakan kebenaran, Dia ada di dalam kita. Saat mencintai menjadi sulit dan menyakitkan, tapi kita terus mencintai, Dia ada di dalam kita. Dia adalah Penolong kita, pribadi ketiga dalam Tritunggal Mahakudus, Sang Roh Kudus.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP.

The Spirit Connects!

Pentecost Sunday. May 15, 2016 [John 14:15-16,23-25]

“They were all filled with the Holy Spirit and began to speak in different tongues, as the Spirit enabled them to proclaim (Acts 2:4).”

pentecost 2My first time to attend a Catholic Charismatic prayer meeting was around 10 years ago in Singapore. It was a gathering characterized by upbeat music and intensified prayers. As the prayer was getting intense, suddenly I witnessed some of participants began to experience kind of trance and utter unintelligible words. For a while I was dumbfounded, but soon realized that they may actually speak in tongue. This may refer to the one of the Holy Spirit’s charismatic gifts, described no less than St. Paul himself.  “For one who speaks in a tongue does not speak to human beings but to God, for no one listens; he utters mysteries in spirit (1 Cor 14:2)”

All the way, I thought that this speaking of tongue phenomenon was what took place on the Pentecost Sunday. When mother Mary and the disciples gathered fifty days after Jesus’ resurrection and the Holy Spirit started to descend upon them and filled them with His power. They began to speak in different languages. Yet, I was mistaken, they did not speak in tongue. The Holy Spirit bestowed on them a different kind of gift. That was the gift of understanding and language. The Apostles did speak different tongues but this gift empowered to communicate clearly the Gospel of Jesus Christ. People from different regions like Syria, Asia Minor (present-day Turkey), Arab peninsula, North Africa, even Europe, certainly speaking in multitude of languages, were able to comprehend the apostles who were native Palestinian. The Spirit enabled them to connect.

The Pentecost and the gift of language speaks deeper reality about the Holy Spirit. He is the Spirit that unites us. He heals our brokenness and cures our tendency to be selfishly autonomous. In Pentecost, the Spirit undid the curse of the Tower of Babylon in Genesis 11. This is a symbolical story on human egocentric desire to usurp God, to be equal with God, by building a super-tall tower that can reach God with their own efforts and cunningness. Yet, human ambition and greed for power brought divisions and ruins to human race itself. Perhaps, one of the modern depictions of the Tower of Babel is the best-seller novel and most-anticipated TV series Game of Thrones. The novel smartly narrates how men’s unquenchable passion for the Iron Throne moves various characters in the novel to employ various cunning and dirty tricks to destroy their rivals. The seven Kingdoms, formerly united, divided, falls and they are at each others’ throats.

John Maxwell in his book, Everyone Communicates, Few Connects, argues that everything rises and falls on leadership, and yet, leadership is only possible with the leaders’ ability to connect with others. United States president Abraham Lincoln once also said, “If you would win a man to your cause, first convince him that you are his sincere friend.”  Yet, fundamental to a genuine connecting is all about others. It means setting aside our vain ambition and untamed desire to gain all the attention to ourselves and we make others, their concerns, their struggles as ours.

The Holy Spirit comes to bring us that original connection with God and each other. It is true that often we do not get always the ‘high feeling’ of indwelling of the Spirit, just like in the charismatic prayer meetings, but it does not mean the Holy Spirit is absent. In fact, most of the time, He is working in silence and ordinary ways. He is working when we become more persevering in the sufferings of life. He is working when we are more patient in loving people who often give us problems. He gave us little joy in small realization of various blessing we receive today. I believe fruitful and meaningful reading of this reflection is His work in us.

As we celebrate the Pentecost, we pray that we may continue to open ourselves to the grace of the Holy Spirit and allow Him to make our lives ever fruitful.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP