Hari Raya dari Tritunggal Mahakudus [27 Mei 2018] Matius 28: 16-20
“Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. (Mat. 28:19)”

Hari ini kita merayakan Misteri Tritunggal Mahakudus. Misteri ini tepat disebut misteri dari semua misteri karena Tritunggal Mahakudus merupakan inti dari iman Kristiani kita. Namun, kebenaran mendasar ini tidak hanya sangat sulit untuk dimengerti, tetapi juga pada kenyataannya, melampaui penalaran manusiawi kita. Bagaimana mungkin kita bisa percaya pada tiga Pribadi Ilahi yang berbeda, Bapa, Putra dan Roh Kudus, namun mereka tetap satu Allah? Beberapa tokoh besar seperti St. Agustinus, St. Thomas Aquinas dan Paus Emeritus Benediktus XVI telah berusaha untuk memberi sedikit cahaya pada misteri ini. Namun, dihadapan kebenaran maha besar ini, penjelasan terbaik pun akan tampak seperti setetes air di samudra raya
Saya sendiri tidak memiliki ilusi bahwa saya dapat menjelaskan misteri ini dengan baik, tetapi kita mungkin merefleksikan bersama maknanya dalam kehidupan sehari-hari kita. Masa Paskah yang penuh sukacita berakhir dengan perayaan hari Pentakosta Minggu lalu, dan kitapun melanjutkan masa biasa tahun liturgi. Ketika kita melanjutkan masa biasa, Gereja mengundang kita untuk merayakan Hari Raya Tritunggal Mahakudus. Gereja tampaknya mengajarkan kita bahwa misteri Trinitas yang melebihi segala nalar sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia, dengan perjuangan kita sehari-hari, dengan rasa sakit dan sukacita kita sehari-hari. Bagaimana iman kita dalam misteri terbesar dari semua misteri ini dapat terhubung dengan kehidupan sehari-hari dan bahkan duniawi kita?
Kita sering memiliki gambaran salah tentang Tuhan. Kita kadang berpikir bahwa Tuhan atau Allah Tritunggal adalah pribadi terbesar (atau tiga pribadi terbesar) di antara hal-hal yang ada. Dia seperti seorang CEO universal yang mengelola semua hal dari lokasi yang dirahasiakan atau makhluk super besar dan super kuat yang mengendalikan hampir segalanya. Namun, gambaran ini tidak sepenuhnya benar. Ia bukan sekedar “satu” di antara makhluk yang tak terhitung jumlahnya. Tuhan adalah dasar dari segala yang ada. Dia adalah alasan mengapa sesuatu ada, daripada tidak ada sama sekali. Jadi, penciptaan bukanlah yang terjadi pada “Big Bang” 13,7 miliar tahun lalu. Penciptaan pada dasarnya adalah karunia keberadaan dari Allah bagi kita. Menjadi makhluk ciptaan berarti keberadaan kita tidak mutlak. Kita ada fana. Namun, saat kita tahu bahwa kita sungguh ada di dunia, kita menyadari bahwa setiap saat dalam hidup kita adalah karunia Tuhan.
Kitab Suci mengungkapkan misteri Allah kita. Dia bukan Tuhan yang menyendiri dan mementingkan diri sendiri, tetapi Tuhan kita adalah satu Tuhan dalam tiga pribadi ilahi. Tuhan kita adalah komunitas yang berdasarkan pada kasih hidup dan kreatif dan pada pemberian diri yang total dan konstan. Oleh karena itu, perciptaan kita bukanlah sekedar ketidaksengajaan semata, tetapi tindakan kreatif Allah dan karunia kasih-Nya. Kita ada karena kita adalah bagian dari rencana kasih-Nya. Kita ada di dunia karena Tuhan tidak dapat tidak mengasihi kita dan ingin kita berbagi dalam kehidupan yang sempurna dalam Tritunggal. St Thomas Aquinas pun mengatakan bahwa kita hanya percaya dua ajaran dasar, dua “credibilia”: pertama, Tuhan itu ada, dan kedua, kita dikasihi dalam Yesus Kristus.
Kita sering menerima begitu saja hidup kita dan terlarut dalam masalah sehari-hari; kita jarang bertanya apa tujuan dan makna kehidupan ini. Namun, hal ini tidak mengurangi kebenaran bahwa Tuhan dengan penuh kasih menopang keberadaan, bahkan sampai ke bagian terkecil dari atom kita, dan peduli kepada kita, setiap detik dari hidup kita. Apakah kita sibuk melakukan pekerjaan, fokus pada urusan keluarga, atau hanya menikmati hobi, Tuhan terlibat dan memperhatikan. Jadi, terlepas dari Tuhan, hidup kita, kerja harian kita, dan kekhawatiran, kesedihan dan sukacita kita tidak ada artinya dan bahkan kembali ke ketiadaan. Merayakan Tritunggal Mahakudus berarti bersuka-cita dalam keberadaan kita sebagai karunia, dan memuliakan Tuhan yang sangat mengasihi kita.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP



Ash Wednesday is the beginning of the liturgical session of Lent in the Catholic Church. Its name derives from an ancient tradition of the imposition of the ashes. Every Catholic who attends the mass on this day will receive a sign of the cross made of ashes on his or her forehead. The ashes are ordinarily coming from the burned palm leaves blessed at the Palm Sunday of the previous year.
Rabu Abu adalah awal dari Masa liturgi Pra-paskah di Gereja Katolik. Nama ini berasal dari tradisi kuno di mana setiap orang Katolik yang menghadiri misa pada hari ini akan menerima tanda salib abu di dahinya. Abu ini biasanya berasal dari daun palma yang telah diberkati pada Minggu Palma tahun sebelumnya, dan kemudian dibakar.
Today, the Church is celebrating the feast of the Holy Family. Saint Joseph and the Blessed Virgin Mary are man and woman regarded as the holiest among mortals. And the center of their family is Jesus, the Son of God. They are not only one holy family among others, but they are the perfection of the Holy Family. Looking at our own families, we realize we are nothing to compare to this Holy Family. We are called to be holy like them, but we continue to struggle and fail. Nobody among us is immaculately conceived like the Virgin Mary. No woman among us gives birth to the Son of God through the power of the Holy Spirit. Many of us surely love to sleep, but who among us like St. Joseph, receive genuine appearance of the Angel in our dream? Despite our best efforts, we keep hurting each other, failing each other, and are far from the ideal example of the Holy Family.
Hari ini, Gereja merayakan Pesta Keluarga Kudus. Santo Yusuf dan Perawan Maria adalah pria dan wanita adalah paling kudus di antara manusia, dan pusat keluarga mereka adalah Yesus, Putra Allah. Sungguh tidak ada keluarga lain yang dapat menyamai keluarga kudus yang satu ini. Melihat keluarga kita sendiri, kita sadar bahwa kita tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Keluarga Kudus ini. Benar bahwa kita semua dipanggil untuk menjadi kudus seperti mereka, tapi kita terus bergulat dan gagal. Tidak ada di antara kita yang dikandung tanpa noda seperti Perawan Maria. Tidak ada wanita di antara kita yang melahirkan Putra Allah melalui kuasa Roh Kudus. Banyak dari kita pasti suka tidur, tapi siapa di antara kita seperti St. Yusuf, yang menerima kabar dari Malaikat Allah dalam mimpi kita? Terlepas dari upaya terbaik kita, kita terus saling menyakiti, gagal, jatuh, dan jauh dari contoh ideal Keluarga Kudus.
Have you seen a spirit? When the word ‘spirit’ is mentioned, what image does appear in your mind? Perhaps, scary ghosts from some urban legends or Hollywood horror movies. The word ‘spirit’ conjures terrifying and often creepy images because it is related with the dead, the afterlife, and unexplained paranormal phenomenon. The Church herself warrants the existence of evil spirit or the demons, as the Church fights them through the ministry of exorcism.
Pernahkah kamu melihat roh? Atau, jika anda kata roh disebutkan, gambaran apa yang muncul di benak Anda? Mungkin, hantu-hantu menakutkan dari beberapa cerita-cerita atau film horor Hollywood, atau sesuatu yang diluar kekuatan manusia dan tidak bisa dijelaskan. Kata ‘roh’ seringkali memunculkan gambaran yang mengerikan dan menyeramkan karena selalu berhubungan dengan kematian, dunia akhirat, dan fenomena paranormal yang tidak dapat dijelaskan.
My first time to attend a Catholic Charismatic prayer meeting was around 10 years ago in Singapore. It was a gathering characterized by upbeat music and intensified prayers. As the prayer was getting intense, suddenly I witnessed some of participants began to experience kind of trance and utter unintelligible words. For a while I was dumbfounded, but soon realized that they may actually speak in tongue. This may refer to the one of the Holy Spirit’s charismatic gifts, described no less than St. Paul himself. “For one who speaks in a tongue does not speak to human beings but to God, for no one listens; he utters mysteries in spirit (1 Cor 14:2)”