Ketamakan

Minggu ke-18 dalam Waktu Biasa [C] – 4 Agustus 2019 – Lukas 12: 13-21

fool rich manKita semua dilahirkan tanpa membawa apa-apa, dan sama ketika kita mati, kita tidak akan membawa apa pun. Ayub pernah berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!” (Ayub 1:21). Namun, seiring bertambahnya usia, kita mulai memperoleh banyak hal dan harta benda. Ketika kita mulai mengakumulasi, kita mulai terikat pada barang-barang materi ini. Beberapa dari kita terobsesi dalam mengumpulkan tas, sepatu, dan baju, beberapa lainnya dengan barang-barang yang lebih mahal seperti perangkat elektronik, mobil dan bahkan mobil. Kita mulai percaya ini adalah milik kita, dan kita dapat memilikinya bahkan sampai kita masuk surga.

Keterikatan semacam ini berakar pada sifat buruk yang lebih besar dan lebih jahat: ketamakan. St Thomas Aquinas mendefinisikan keserakahan atau ketamakan sebagai “keinginan yang tidak teratur akan kekayaan atau uang”. Keinginan untuk kekayaan dan kepemilikan bukanlah sesuatu yang jahat karena pada dasarnya, uang dan barang adalah sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi dalam hidup. Namun, masalah muncul ketika kita mulai tidak bisa melihat mana yang sarana dan mana yang tujuan. Keserakahan memasuki hidup kita ketika kita membuat uang sebagai tujuan kita dan bukan lagi sarana. Kita mulai mengukur kebahagiaan dan arti hidup kita dalam hal kekayaan yang kita akumulasikan. Ketika kita menempatkan kekayaan sebagai tolok ukur kebahagiaan kita, semua masalah lain akan membanjiri hidup kita. Ketika kita tidak memiliki cukup uang, kita menjadi khawatir, tetapi ketika kita memiliki lebih dari cukup uang, kita juga cemas bagaimana agar orang lain tidak mencurinya. Kita berpikir bahwa semakin banyak kita miliki, semakin bahagialah kita, tetapi kebenaran adalah semakin banyak yang kita dapatkan, semakin kita merasa kurang. Sebuah pepatah Romawi kuno pernah mengatakan bahwa hasrat akan kekayaan seperti minum air laut; semakin banyak Anda minum, semakin Anda haus.

Yang memuakkan tentang ketamakan ini adalah hal ini membawa dosa-dosa lain. St. Thomas menyebutkan pengkhianatan, korupsi, penipuan, kecemasan, ketidak pekaan terhadap sesama, dan bahkan kekerasan sebagai anak-anak keserakahan. Film Slumdog Millionaire (2008) menceritakan kepada kita kisah Salim dan Jamal Malik yang menjadi korban ketidakadilan dan keserakahan ini. Setelah pembunuhan ibu mereka karena kebencian religius di daerah kumuh di India, mereka terpaksa tinggal di TPA. Kemudian, mereka diadopsi oleh sindikat ‘pengemis profesional’. Satu adegan khusus yang mengungkapkan manifestasi mengerikan dari keserakahan adalah seorang bocah lelaki dengan suara bagus, Arwind, dibutakan. Jamal kemudian berkomentar, “Penyanyi tunanetra mendapat gaji dua kali lipat.” Bagian terburuk dari film ini adalah bahwa film tersebut tidak sepenuhnya fiksi, tetapi banyak peristiwa yang terjadi dalam kehidupan.

Jadi bagaimana kita akan menyembuhkan ketamakan ini? Jika keserakahan membuat kita membalikkan antara sarana dan tujuan, respons kita haruslah mengembalikan urutan yang benar: menjadikan kekayaan sebagai sarana kita untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi. Jika kita diberkati dengan banyak uang, kita memuji Tuhan, dan menggunakan harta ini untuk lebih memuji Tuhan. Jika kita tidak memiliki cukup uang, kita dipanggil untuk lebih percaya kepada pemeliharaan Allah. Ini adalah waktu untuk menggunakan kepemilikan duniawi kita untuk melakukan “investasi surgawi” yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat. (Luk. 12:33)

Rm. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Gifts of Mercy

laying of handsOne of the greatest as well as most humbling realization is that my life and existence is a gift from God. All that exist, from the sub-atomic particle to the purest seraphim owe their being from the Lord. If St. Thomas Aquinas defines justice as to give what is due, then existence is neither due to me nor to all of us. I cannot demand the Lord that He should create me to be the handsomest of all, the richest of all, and the brightest of all. Not even I can ask from Him to possess a face like a Korean actor! Then why did God create me?

The answer lies beyond the justice of God, and what is beyond his justice? It is His Mercy. If His justice asks for “tooth for a tooth” and “eye for an eye”, His Mercy enables one to “give to the one who asks of you, and do not turn your back on one who wants to borrow. (Matt. 5:42)”. If justice is to “love your neighbor and hate your enemy,” (Matt. 5:43), mercy is to “love your enemies, and pray for those who persecute you (Matt. 5:44 NAB).” If God simply exercises His justice, I would not have had my being, but a God is “gracious and merciful, slow to anger and abounding in love and fidelity (Exo 34:6).” And I am here now, alive and kicking, because of God’s mercy. It is a gift precisely because it does not come from my merit and achievement, but freely given.

However, the first gift of life is not the only gift He grants me. The precious gifts keep coming: the gift of family, the gift of faith, the gift of (Dominican) vocation.

This series of precious gifts are leading me to another even more precious gift: the gift of priesthood. Looking into myself, I am aware that I am far from worthy. I have been sinful man, a broken in many possible ways, and I have hurt a numberless people. Often, I am ungrateful for tremendous gifts and blessing God has showered me. And yet, here I am, quoting the motto of Pope Francis, “miserando atque eligendo” – by God’s merciful choice, in front of the great mystery of faith. As I am ordained by the laying hands of Most. Rev. Antonius Subianto, OSC, DD, I will be, as Bishop Robert Barron would point out, “the bearer of the divine mystery”. This gift does not simply add some sacramental works in my sleeves, but it transforms my very being and identity into the image and likeness of Christ the Head [in persona Christi Capitis]. I participate in the identity and mission of the bishops and fellow priests as bridge-maker [pontifex] between God and humanity, to allow the people of God to embrace the divine mystery.

Every time I celebrate Eucharist [thanksgiving], I shall give thanks to the Lord for the gifts of Mercy. As I have received the gifs, it is now my turn to share these gifts to others so that people of God may feel His Mercy. At the heart of the Eucharist is the thanksgiving over the most precious gift of all, the body and blood of Jesus Christ, being blessed, broken and shared. As I receive this precious gift, my lips proclaim the Word of God, and my hands lift the bread of life and the chalice of salvation, I shall offer my life, like the life of Jesus, to be broken and shared to nourish the people of God.

However, despite tremendous power and privilege the ordination brings, I keep confessing that I am weak, sinful, and not worthy. Thus, as I begin this new chapter of my life, I implore for God’s Mercy and yours.

 

 

The Gift of Ordination

First Sunday of Advent [December 2, 2018] Luke 21:25-28, 34-36

ordinationI have been in the Dominican formation for more than 12 years, and if I add four years of my minor seminary formation in Indonesia, it stretches to 16 years! It is insanely long that it occupies a more than half of my life. If we believe that everything has a purpose, I can ask myself, “what is the point of this extremely lengthy formation?” Why should I stay through thick and thin of formation life, through hours of assiduous study, through various programs, through daily rigor of prayer life?

The answer is surprisingly not difficult to see. It is because I want to become a priest and not any priest, it is a Dominican priest, and not only any Dominican priest, but it is a holy, faithful and holistically mature Dominican priest. It looks a simple answer, but every word in that answer carries certain enormous understanding and consequences. Having this so noble aim perhaps explains why the formation is incredibly extensive and long.

However, after passing through literally more than 5 thousand days in the formation, battling many tough examinations, attending countless prayers and spiritual exercise, involving myself in community activities, I am now standing before the threshold of the being-transforming rite what we call the ordination. Looking back, I am aware that I have reached that unprecedented improvements and growth. However, it is also true that I have come short in many aspects. I have committed untold stupidities, things that 14-year-old Bayu would not dare to contemplate. Thank God, that despite these shortcomings, I am still alive!

Honestly evaluating these things, I realize that I am not worthy of this ordination. I could boast some of my achievements, both in academic and non-academic fields. I could show myself as a brother who lives a religious life with certain regularity. I could boast the numbers of talks and lectures I prepared and gave. I could boast the Latin honor I received in every graduation. However, these things are just a bunch of straws!

However, why does this ordination remain within my reach despite my unworthiness? I realize that the vocation to the diaconate is a gift. In Philosophy expounded by St. Thomas Aquinas, I learn my essence is not my existence, meaning to exist is not even my right. Yet, the mere fact, I exist, means God, who is the source of all existence, has willed that I should live. Fundamentally my life is not right or a must, but a gift. My existence is an utter gift of God and so also my ordination. It is not a gift based on a merit system, otherwise, it is called a reward. It is not a gift I could demand because it is my right. It is neither a gift coming from my inheritance nor a gift that I could purchase in the Church. It is a free, absolutely free. God in the mystery of His infinite mercy and wisdom, has decided to grant me this beautiful gift. As I receive this gift despite my unworthiness, I cannot be forever grateful.

The gift does not only speak of me, the recipient. Ultimately it points to the giver. The gift represents how the giver values the recipient. The more valuable the gift is, the more precious the recipient to the giver. The ordinary gift may symbolize the goodwill of the giver, but the gift that hurts the giver is certainly extraordinary because it bears the sacrificial love of the giver. The gift of ordination reveals who my God is. He is God who sees beyond my weakness and flaws, who considers me as His precious own, who dares to share His own life and mission with me. Thus, I am forever grateful.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Karunia Pentahbisan

Hari Minggu Pertama Adven [2 Desember 2018] Lukas 21: 25-28, 34-36

prostrationSaya telah berada di formasi Ordo Dominikan di Filipina selama lebih dari 12 tahun, dan jika saya menambahkan empat tahun formasi seminari kecil saya di Indonesia, totalnya sampai 16 tahun! Ini sangat panjang karena lebih dari separuh hidup saya berada di formasi. Jika kita percaya bahwa semuanya memiliki tujuan, saya bertanya pada diri sendiri, “apa tujuan dari formasi yang sangat panjang ini?” Mengapa saya harus tetap berada dalam kehidupan formasi dengan suka dan dukanya? Mengapa saya harus menghabiskan banyak waktu dalam belajar? Mengapa saya harus bertekun dalam doa?

Jawabannya ternyata tidak sulit untuk ditemukan. Ini karena saya ingin menjadi imam secara khusus seorang imam Dominikan. Namun, tidak hanya sekedar imam Dominikan, tetapi seorang imam Dominika yang kudus, setia  dan juga dewasa. Jawabannya tampak sederhana, tetapi setiap kata dalam jawaban ini membawa pemahaman dan konsekuensi yang sangat besar. Memiliki tujuan yang begitu mulia ini mungkin menjelaskan mengapa formasi saya harus sangat panjang.

Namun, setelah melewati lebih dari 16 tahun dalam formasi, berjuang menghadapi banyak ujian yang sulit, menghadiri doa dan latihan rohani yang tak terhitung jumlahnya, melibatkan diri dalam kegiatan komunitas, saya sekarang berdiri di depan ambang pintu yang akan merubah hidup saya selamanya, yakni pentahbisan. Melihat ke belakang, saya sadar bahwa saya telah berkembang dan bertumbuh. Namun, benar juga bahwa saya mengalami banyak kegagalan dan bahkan melakukan kebodohan yang tak terkatakan. Puji Tuhan, bahwa meskipun kekurangan ini, saya masih hidup!

Dengan jujur mengevaluasi hidup saya, saya menyadari bahwa saya tidak layak untuk pentahbisan ini. Saya dapat membanggakan beberapa pencapaian saya, baik di bidang akademik maupun non-akademik. Saya bisa menunjukkan diri sebagai seorang frater yang menjalani kehidupan religius dengan baik. Saya bisa membanggakan berbagai kerasulan yang saya berikan. Saya bisa membanggakan penghargaan yang saya terima di setiap kelulusan. Namun, hal-hal ini hanyalah sekedar angin yang datang dan pergi!

Namun, mengapa pentahbisan ini tetap berada dalam jangkauan saya meskipun ketidaklayakan saya? Saya sadar bahwa panggilan ke menjadi seorang daikon ataupun imam adalah sebuah karunia. Dalam Filosofi yang diuraikan oleh St. Thomas Aquinas, manusia bukanlah mahkluk yang mutlak. Keberadaan bukanlah hak manusia dan kapan saja manusia bisa kehilangan eksistensinya. Semua tergantung pada sang sumber dari segala kehidupan, Tuhan sendiri. Pada dasarnya hidup saya bukan hak atau keharusan, tapi karunia. Keberadaan saya adalah anugerah Tuhan dan begitu juga tahbisan saya. Ini bukan karunia berdasarkan sistem point, jika tidak, itu disebut upah. Ini bukan karunia yang saya bisa tuntut berdasarkan hak saya. Itu bukanlah karunia yang datang dari warisan saya atau yang dapat saya beli di Gereja. Ini adalah karunia yang sungguh cuma-cuma. Tuhan dalam misteri belas kasih dan kebijaksanaan-Nya yang tak terbatas, telah memutuskan untuk memberikan saya karunia yang indah ini. Menerima karunia ini walaupun ketidaklayakan saya, saya hanya bisa bersyukur.

Karunia ini tidak hanya berbicara tentang saya, sang penerima. Akhirnya ini menunjuk pada sang pemberi. Karunia menunjukkan bagaimana sang pemberi menghargai sang penerima. Semakin berharga karunianya, semakin berharga sang penerima bagi sang pemberi. Sebuah hadiah yang sederhana melambangkan niat baik dari sang pemberi, tetapi karunia yang menuntut pengorbanan sang pemberi, tentu saja luar biasa. Karunia pentahbisan mengungkapkan siapa Allah saya. Dia adalah Tuhan yang melihat di luar kelemahan dan kekurangan saya, yang menganggap saya sebagai milik-Nya yang berharga, yang berani berbagi kehidupan dan misi-Nya dengan saya. Sungguh, saya senantiasa bersyukur memiliki Allah yang adalah kasih.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tough Love

Reflection on the 28th Sunday in Ordinary Time [October 14, 2018] Mark 10:17-30

Jesus, looking at him, loved him and said to him, “You are lacking in one thing. Go…follow me.” (Mk. 10:21)

agape crossWe discover at least three instances in the Bible in which Jesus explicitly expresses that He loves someone. The first instance is that Jesus loves the young rich man who seeks the eternal life (Mrk 10:21). The second is Jesus loves Martha, Mary, and Lazarus (Jn 11:5). The third is Jesus’ love for His disciples, especially His beloved disciple (Jn 13:34).

In these three accounts, Jesus’ love is not simply an emotional kind of affection. It is not the love that causes an adrenalin rush, heart’s palpitation, and an explosion of imagination. It is not fickle love that comes in the morning but dies in the afternoon. The love of Jesus is a love rooted in free will and firm decision. No wonder the Greek word used to describe this love is “agape.” Neither it is “eros,” an emotional and sexual love, nor “philia,” an affection for friends. St. Thomas Aquinas succinctly yet powerfully describes “love” as willing the good of the others. When Jesus loves them, Jesus freely chooses that the good things may happen in their lives even though this means Jesus has to forgo His own goodness and benefits. It is the tough love that entails giving up oneself, sacrifice and even pain. It is the love that thrives even when life has turned sour, and feelings have become bitter.

Going back to the story of the rich young man who asks Jesus on how to inherit the eternal life, he is basically a good guy. He has done a lot of good deeds and been faithful to God and the Law of Moses. Jesus Himself gives him score nine out of ten. Only one thing is still lacking. When Jesus invites the young man to sell what he has, to give them to the poor, and follow Jesus, the man goes away sad. Why? The Evangelist gives us the answer: he has many “ ktemata ,” landed properties. This guy is not ordinarily rich, but super rich. Perhaps, the young man thinks that eternal life is something that can be added to his properties, something that is acquired by doing good and avoiding evil or something that can make him even richer. Yet, this is not eternal life, but a mere shopping in the mall.

Eternal life is a gratuitous gift from God given to those whom He loves. This young man is truly blessed because Jesus loves him. The eternal life is just a step away from this good young man. Yet, though the gift is free, it is never cheap. Jesus wants the young man to follow Him because He wishes to teach the young man how to love like Him. Jesus wants him to will the good of the others, and this begins with selling his precious properties and helping the poor. Here comes again the paradox of love: unless we give ourselves for others, we never have ourselves fully. In the words of St. Francis of Assisi, “For it is in giving that we receive, it is in pardoning that we are pardoned, and it’s in dying that we are born to eternal life.”

I have been in the formation for more than 16 years, more than half of my life. I used to get frustrated because I have done well and fulfilled the requirements, and yet the ordination never comes. However, I realize that I was thinking like the rich young man. I forget that the vocation, as well as ordination, are gifts, not reward. This perspective frees me from my pride and makes me humble and grateful. Jesus loves me, and He loves me tough .

Jesus loves us and yet, it is not an easy and pampering love. It is tough love. It is love that challenges us to grow beyond; it is love that dares us to remain in truth, it is love that propels us to love like Jesus.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

.

Kasih yang Tangguh

Renungan untuk Minggu ke-28 pada Masa Biasa [14 Oktober 2018] Markus 10: 17-30

“Yesus memandang dia dan menaruh kasih kepadanya…” (Markus 10:21)

agapeKita menemukan setidaknya tiga episode dalam Alkitab di mana Yesus secara eksplisit menyatakan bahwa Dia mengasihi seseorang. Yang pertama adalah Yesus yang mengasihi Marta, Maria, dan Lazarus (Yohanes 11: 5). Yang kedua adalah kasih Yesus bagi murid-murid-Nya (Yohanes 13:34). Yang ketiga dan menjadi fokus kita hari ini adalah Yesus yang mengasihi orang muda kaya yang mencari kehidupan kekal (Mrk 10:21).

Dalam ketiga kisah ini, kasih Yesus bukan sekadar kasih sayang yang emosional. Bukan cinta yang menyebabkan meningkatnya kadar adrenalin dan jantung yang berdebar-debar. Bukan cinta yang yang datang di pagi hari tetapi lenyap di sore hari. Kasih Yesus adalah kasih yang berakar dalam kehendak bebas dan keputusan yang tegas. Kata Yunani yang digunakan untuk menggambarkan kasih ini adalah “agape.” Bukan “eros”, cinta emosional dan seksual, ataupun “philia,” kasih sayang di antara sahabat. St. Thomas Aquinas secara ringkas dan tepat menjelaskan “kasih” sebagai menghendaki yang baik bagi sesama. Ketika Yesus mengasihi mereka, Yesus dengan bebas memilih bahwa hal-hal yang baik dapat terjadi dalam kehidupan mereka meskipun ini berarti Yesus harus melupakan diri-Nya sendiri. Ini adalah cinta kasih yang kuat yang memerlukan pengorbanan diri, komitmen dan bahkan rasa sakit. Ini adalah kasih yang tumbuh subur bahkan ketika hidup semakin hambar dan pahit.

Kembali lagi ke kisah pemuda kaya yang bertanya kepada Yesus tentang bagaimana cara mewarisi kehidupan kekal, pada dasarnya dia adalah pria yang baik. Dia telah melakukan banyak perbuatan baik dan setia kepada Tuhan dan Hukum Musa. Yesus sendiri memberinya nilai sembilan. Hanya satu hal yang masih kurang. Ketika Yesus mengajak pemuda itu untuk menjual apa yang dia miliki, memberikannya kepada orang miskin, dan mengikuti Yesus, sang pemuda pun meninggalkan Yesus dengan sedih. Mengapa? Penginjil memberi kita jawaban: ia memiliki banyak “ktemata,” atau properti. Pemuda ini tidak hanya kaya, tapi super kaya. Mungkin, sang pemuda itu berpikir bahwa kehidupan kekal adalah sesuatu yang dapat ditambahkan ke dalam barang-barang koleksinya, sesuatu yang bisa diperoleh dengan melakukan hal-hal baik dan menghindari kejahatan, atau sesuatu yang dapat membuatnya semakin kaya. Namun, ini bukanlah hidup yang kekal, tetapi hanya shopping di mal.

Kehidupan kekal adalah karunia dari Tuhan yang diberikan kepada mereka yang Dia kasihi. Sang pemuda ini sejatinya sungguh diberkati karena Yesus mengasihi dia. Hidup yang kekal sudah ada dalam jangkauannya. Namun, meskipun karunia itu cuma-cuma, itu tidak berarti murahan. Yesus ingin agar pemuda itu mengikuti Dia karena Dia ingin mengajarkan pria muda itu bagaimana mengasihi. Yesus ingin dia melakukan kebaikan bagi orang lain, dan ini dimulai dengan menjual properti berharganya dan membantu orang miskin. Di sinilah terletak paradoks kasih: kecuali kita memberikan diri kita untuk sesama, kita tidak pernah akan mendapatkan diri kita yang sepenuhnya. Dalam kata-kata Santo Fransiskus dari Asisi, “Karena dalam memberi yang kita menerima, dalam mengampuni, kita diampuni, dan  dalam kematian, kita dilahirkan kembalik dalam hidup yang kekal.”

Saya telah menjalani di formasi selama lebih dari 16 tahun, lebih dari separuh hidup saya! Saya sempat frustrasi karena saya telah memenuhi berbagai persyaratan dengan baik, namun tahbisan tidak kunjung datang. Namun, saya menyadari bahwa saya sebenarnya berpikir seperti orang muda yang kaya. Saya lupa bahwa panggilan, serta tahbisan, adalah karunia, bukan hak atau upah. Perspektif ini membebaskan saya dari keangkuhan dan membuat saya rendah hati dan selalu bersyukur. Yesus mengasihi saya, dan Dia mengasihi saya dengan tegar.

Yesus mengasihi kita namun, ini bukan kasih yang mudah dan memanjakan. Ini kasih yang tangguh dan tegar. Ini adalah kasih yang menantang kita untuk tumbuh; itu adalah kasih yang menantang kita untuk tetap hidup dalam kebenaran, itu adalah kasih yang mendorong kita untuk mengasihi seperti Yesus.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

A Child as a Gift

Solemnity of the Nativity of John the Baptist [June 24, 2018] Luke 1:57-66, 80

“The Lord had shown his great mercy toward her, and they rejoiced with her.” (Lk. 1:58)

child in churchToday we are celebrating the birth of John the Baptist. Two figures emerge as the protagonists of our today’s Gospel, Elizabeth, and Zachariah. Luke describes the couple as “righteous in the eyes of God, observing all the commandments and ordinances of the Lord blamelessly. (Luk 1:6)”. But, they have no child. The possibility to have a child is close to zero as Elizabeth is perceived to be barren and Zachariah is already old. In ancient Jewish society, children are considered to be a blessing of the Lord and a source of honor, and barrenness is a curse and shame.

However, the archangel Gabriel appears to Zachariah and tells him that his wife will get pregnant despite her barrenness and his advanced age. Paying close attention to their names, we may discover even richer meaning. Zachariah, from the Hebrew word “Zakar” means to remember, and Elizabeth, a compound Hebrew words, “Eli,” and “Sabath” means God’s oath or promise. Thus, both names may mean God remembers His promise. In the Bible, when God remembers, it does simply mean God recalls something from memory, but it means God fulfills what He has promised. As God has fulfilled His promise to Zachariah’s ancestors, so God also remembers His promise to Elizabeth. The story of Elizabeth reverberate the stories of great women in the Old Testament: Sarah (Gen 15:3; 16:1), Rebekah (Gen 25:21), Rachel (Gen 29:31; 30:1), the mother of Samson and wife of Manoah (Jdg 13:2-3), and Hannah (1Sa 1:2).

What is God’s promise to Elizabeth and Zachariah, and eventually to all of us? St. Luke the evangelist points to us that God’s promise is to show His great mercy to Elisabeth and Zachariah (see Luk 1:58). The birth of John the Baptist is a sign of God’s mercy towards the righteous couple. Thus, the birth of every child is a sign of God’s promise fulfilled, a sign of God’s mercy to every parent. We recall that mercy is not something we deserve. Mercy is the embodiment of gratuitous love, the gift of love. Mercy is an utter gift. Through every child, God shows His great mercy to us, and together with Elizabeth and Zachariah, we shall rejoice because of this gift.

We are living in the world that is increasingly uncomfortable with the presence of the little children around us. There is this new fundamentalist mentality creeping into millennial generation. It is a mentality that promotes individual success as the prime and absolute value of happiness. Thus, anything that stands in its way has to be eradicated. This includes marriage, family life and finally children. They are no longer seen as a gift to be received with gratitude, but liabilities to be avoided. When I visited South Korea last year, my Dominican Korean friend told me that young generation of Korea is working very hard to the point that they longer consider marriage and having children as their priorities. Indeed, unlike in the Philippines or Indonesia, it was not easy to spot little children playing freely. I guess the decline in population growth is a problem in many progressive countries.

We deny neither the fact that it is a backbreaking responsibility to raise children nor the reality that not all of us are called to become parents. However, it is also true that children are a gift not only to the particular family, but to the entire humanity, and thus, every one of us has the sacred call to protect and take care of the wellbeing of our children. We shall protect our children from any form of child abuse, from the debilitating effects of poverty, from the egocentric and contraceptive mentality and from evil of abortion. To honor a gift is to honor the giver, and thus, to honor every child is to honor the God who gives them to us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Anak Sebagai Tanda Belas Kasih Allah

Hari Raya Kelahiran Yohanes Pembaptis [24 Juni 2018] Lukas 1:57-66.80

“Tuhan telah menunjukkan rahmat-Nya yang begitu besar kepadanya, bersukacitalah mereka bersama-sama dengan dia.” (Lk. 1:58)

child in church 2Hari ini kita merayakan kelahiran Yohanes Pembaptis. Ada dua tokoh protagonis pada Injil kita hari ini, Elizabeth, dan Zakharia. Santo Lukas mendeskripsikan pasangan itu sebagai “orang benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat.” (Luk 1: 6) ”. Tapi, mereka tidak memiliki anak. Kemungkinan memiliki anak juga mendekati nol karena Elizabeth adalah mandul dan Zakharia sudah tua. Dalam masyarakat Yahudi kuno, anak dianggap sebagai berkat Tuhan dan sumber kehormatan, dan kemandulan adalah kutukan dan rasa malu.

Namun, malaikat Gabriel menampakkan diri kepada Zakharia dan mengatakan kepadanya bahwa istrinya akan hamil meskipun usia mereka yang lanjut. Melihat lebih dekat makna dari nama pasangan ini, kitapun bisa berefleksi lebih dalam. Zakharia dalam bahasa Ibrani berarti “mengingat”, dan Elisabet berasal dari dua kata Ibrani, “Eli” dan “Sabath” berarti janji Tuhan. Dengan demikian, kedua nama itu bisa berarti Tuhan mengingat janji-Nya. Dalam Kitab Suci, ketika Tuhan mengingat, ini bukan sekedar berarti Tuhan mengingat kembali sesuatu dari memori, tetapi ini berarti Tuhan memenuhi apa yang pernah dijanjikan-Nya. Karena Allah telah memenuhi janji-Nya kepada leluhur Zakharia, maka Allah juga mengingat janji-Nya kepada Elisabet. Kisah Elizabeth menggemakan kisah-kisah para wanita hebat dalam Perjanjian Lama: Sarah (Kej 15: 3; 16: 1), Ribka (Kej 25:21), Rahel (Kej 29:31; 30: 1), ibu dari Simson dan istri Manoah (Hak 13: 2-3), dan Hana (1 Sam 1: 2).

Apa janji Tuhan kepada Elizabeth dan Zakharia, dan juga bagi kita semua? St. Lukas menunjukkan kepada kita bahwa janji Allah adalah Dia akan menunjukkan rahmat dan belas kasihan-Nya kepada Elisabeth dan Zakharia (lihat Luk 1:58). Kelahiran Yohanes Pembaptis menjadi tanda rahmat dan belas kasihan Allah terhadap pasangan yang saleh ini. Dengan demikian, kelahiran setiap anak adalah tanda bahwa janji Allah digenapi, tanda belas kasihan Allah kepada setiap orang tua. Kita ingat bahwa rahmat belas kasihan bukanlah sesuatu yang pantas kita terima. Belas kasih adalah berkat dan anugerah. Melalui setiap anak, Tuhan menunjukkan belas kasihan-Nya kepada kita, dan bersama-sama dengan Elizabeth dan Zakharia, kita juga akan bersukacita.

Namun, hal ini tidak mudah. Kita hidup di dunia yang semakin merasa tidak nyaman dengan kehadiran anak-anak kecil di sekitar kita. Ada mentalitas jahat yang merayap ke generasi zaman now. Ini adalah mentalitas yang mempromosikan kesuksesan individu sebagai nilai kebahagiaan yang utama. Jadi, apa pun yang menghalangi kesuksesan harus diberantas. Ini termasuk pernikahan, kehidupan berkeluarga dan akhirnya anak-anak. Mereka tidak lagi dilihat sebagai anugerah yang diterima dengan rasa syukur, tetapi beban yang harus dihindari. Ketika saya mengunjungi Korea Selatan tahun lalu, sahabat saya dari negeri tersebut mengatakan bahwa generasi muda Korea bekerja sangat keras sampai mereka tidak lagi membuat pernikahan dan memiliki anak sebagai prioritas mereka. Memang, tidak seperti di Filipina atau Indonesia, tidak mudah menemukan anak-anak kecil bermain dengan bebas di Seoul. Saya kira penurunan pertumbuhan penduduk adalah masalah di banyak negara yang maju.

Kita tidak menyangkal fakta bahwa untuk membesarkan anak-anak adalah tanggung jawab yang melelahkan, dan kita juga tidak menyangkal kenyataan bahwa tidak semua dipanggil untuk menjadi orang tua. Namun, adalah sebuah kebenaran bahwa anak-anak adalah anugerah tidak hanya bagi keluarga tertentu, tetapi untuk seluruh umat manusia, dan dengan demikian, kita semua memiliki panggilan suci untuk melindungi dan menjaga kesejahteraan anak-anak kita. Kita akan melindungi anak-anak kita dari segala bentuk pelecehan, dari efek melemahkan kemiskinan, dan dari mentalitas egosentris dan kontrasepsi. Menghargai sebuah pemberian berarti menghormati sang pemberi, dan dengan demikian, menghormati setiap anak berarti menghormati Tuhan yang memberi mereka kepada kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Trinity and Us

The Solemnity of the Most Holy Trinity [May 27, 2018] Matthew 28:16-20

“Go, therefore, and make disciples of all nations, baptizing them in the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit, (Matt. 28:19)”

big bang
photo by Harry Setianto, SJ

This Mystery of Trinity is rightly called the mystery of all the mysteries because the Holy Trinity is at the core of our Christian faith. Yet, the fundamental truth we believe is not only extremely difficult to understand, but in fact, it goes beyond our natural reasoning. How is it possible that we believe in three distinct Divine Persons, the Father, the Son and the Holy Spirit, and yet they remain One God? Some of the greatest minds like St. Augustine, St. Thomas Aquinas and Pope Emeritus Benedict XVI have attempted to shed a little light on the mystery. However, in the face of such immense truth, the best explanations would seem like a drop of water in the vast ocean.

 

I have no illusion that I could explain the mystery better than the brightest minds of the Church, but we may reflect on its meaning in our ordinary lives. The joyful Easter season ended with the celebration of the Pentecost Sunday last week, and we resume the liturgical season of the year or simply known as the ordinary season. As we begin once again the ordinary season, the Church invites us to celebrate the Solemnity of the Most Holy Trinity or the Trinity Sunday. The Church seems to tell us that the unfathomable mystery of Trinity is in fact intimately closed to our day-to-day living, to our daily struggles and triumphs, to our everyday pains and joys. How is our faith in the greatest mystery of all connected to our ordinary and mundane lives?

We often have false images of God. We used to think that God or Trinity is the greatest person (or three persons) among things that exist He is like a universal CEO that manages things from an undisclosed location or a super big and powerful being that controls practically everything. Yet, this is not quite right. He is not just one among countless beings. God is the ground of our existence. He is the very reason why anything exists rather than nothing. Thus, the act of creation is not what happened at the Big Bang 13.7 billion years ago. It is fundamentally God’s gift of existence to us. To be created means that we do not necessarily exist. Every single moment of our life is God’s gratuitous gift.

The Scriptures reveals the mystery of our God. He is not solitary and self-absorbed God, but our God is one God in three divine persons. Our God is a community founded on creative mutual love and constant self-giving. Therefore, our creation is not a mere accident, but God’s creative act and His gift of love. We exist in the world because God cannot but love us and wants us to share in the perfect life of the Trinity. St. Thomas Aquinas rightly says that we only believe two fundamental teachings, two credibilia : first, God exists, and second, we are loved in Jesus Christ.

We often take for granted our lives and immerse in daily concern of life; we rarely ask what the purpose of this life is. Yet, it does not diminish the truth that God lovingly sustains our existence and cares for us, even to the tiniest fraction of our atom. Whether we are busy doing our works, focus on our family affairs, or simply enjoying our hobbies, God is intimately involved. Thus, apart from God, our lives, our daily toils, and concerns, our sorrows and joys are meaningless and even revert to nothingness. Celebrating the Trinity Sunday means to rejoice in our existence as a gift, and to glorify God who is immensely loving and caring for us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Allah Tritunggal dan Kita

Hari Raya dari Tritunggal Mahakudus [27 Mei 2018] Matius 28: 16-20

Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. (Mat. 28:19)”

star gazing
photo by Harry Setianto, SJ

Hari ini kita merayakan Misteri Tritunggal Mahakudus. Misteri ini tepat disebut misteri dari semua misteri karena Tritunggal Mahakudus merupakan inti dari iman Kristiani kita. Namun, kebenaran mendasar ini tidak hanya sangat sulit untuk dimengerti, tetapi juga pada kenyataannya, melampaui penalaran manusiawi kita. Bagaimana mungkin kita bisa percaya pada tiga Pribadi Ilahi yang berbeda, Bapa, Putra dan Roh Kudus, namun mereka tetap satu Allah? Beberapa tokoh besar seperti St. Agustinus, St. Thomas Aquinas dan Paus Emeritus Benediktus XVI telah berusaha untuk memberi sedikit cahaya pada misteri ini. Namun, dihadapan kebenaran maha besar ini, penjelasan terbaik pun akan tampak seperti setetes air di samudra raya

 

Saya sendiri tidak memiliki ilusi bahwa saya dapat menjelaskan misteri ini dengan baik, tetapi kita mungkin merefleksikan bersama maknanya dalam kehidupan sehari-hari kita. Masa Paskah yang penuh sukacita berakhir dengan perayaan hari Pentakosta Minggu lalu, dan kitapun melanjutkan masa biasa tahun liturgi. Ketika kita melanjutkan masa biasa, Gereja mengundang kita untuk merayakan Hari Raya Tritunggal Mahakudus. Gereja tampaknya mengajarkan kita bahwa misteri Trinitas yang melebihi segala nalar sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia, dengan perjuangan kita sehari-hari, dengan rasa sakit dan sukacita kita sehari-hari. Bagaimana iman kita dalam misteri terbesar dari semua misteri ini dapat terhubung dengan kehidupan sehari-hari dan bahkan duniawi kita?

Kita sering memiliki gambaran salah tentang Tuhan. Kita kadang berpikir bahwa Tuhan atau Allah Tritunggal adalah pribadi terbesar (atau tiga pribadi terbesar) di antara hal-hal yang ada. Dia seperti seorang CEO universal yang mengelola semua hal dari lokasi yang dirahasiakan atau makhluk super besar dan super kuat yang mengendalikan hampir segalanya. Namun, gambaran ini tidak sepenuhnya benar. Ia bukan sekedar “satu” di antara makhluk yang tak terhitung jumlahnya. Tuhan adalah dasar dari segala yang ada. Dia adalah alasan mengapa sesuatu ada, daripada tidak ada sama sekali. Jadi, penciptaan bukanlah yang terjadi pada “Big Bang” 13,7 miliar tahun lalu. Penciptaan pada dasarnya adalah karunia keberadaan dari Allah bagi kita. Menjadi makhluk ciptaan berarti keberadaan kita tidak mutlak. Kita ada fana. Namun, saat kita tahu bahwa kita sungguh ada di dunia, kita menyadari bahwa setiap saat dalam hidup kita adalah karunia Tuhan.

Kitab Suci mengungkapkan misteri Allah kita. Dia bukan Tuhan yang menyendiri dan mementingkan diri sendiri, tetapi Tuhan kita adalah satu Tuhan dalam tiga pribadi ilahi. Tuhan kita adalah komunitas yang berdasarkan pada kasih hidup dan kreatif dan pada pemberian diri yang total dan konstan. Oleh karena itu, perciptaan kita bukanlah sekedar ketidaksengajaan semata, tetapi tindakan kreatif Allah dan karunia kasih-Nya. Kita ada karena kita adalah bagian dari rencana kasih-Nya. Kita ada di dunia karena Tuhan tidak dapat tidak mengasihi kita dan ingin kita berbagi dalam kehidupan yang sempurna dalam Tritunggal. St Thomas Aquinas pun mengatakan bahwa kita hanya percaya dua ajaran dasar, dua “credibilia”: pertama, Tuhan itu ada, dan kedua, kita dikasihi dalam Yesus Kristus.

Kita sering menerima begitu saja hidup kita dan terlarut dalam masalah sehari-hari; kita jarang bertanya apa tujuan dan makna kehidupan ini. Namun, hal ini tidak mengurangi kebenaran bahwa Tuhan dengan penuh kasih menopang keberadaan, bahkan sampai ke bagian terkecil dari atom kita, dan peduli kepada kita, setiap detik dari hidup kita. Apakah kita sibuk melakukan pekerjaan, fokus pada urusan keluarga, atau hanya menikmati hobi, Tuhan terlibat dan memperhatikan. Jadi, terlepas dari Tuhan, hidup kita, kerja harian kita, dan kekhawatiran, kesedihan dan sukacita kita tidak ada artinya dan bahkan kembali ke ketiadaan. Merayakan Tritunggal Mahakudus berarti bersuka-cita dalam keberadaan kita sebagai karunia, dan memuliakan Tuhan yang sangat mengasihi kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP