Rosary and Family

Reflection on the 27th Sunday in Ordinary Time – Feast of the Holy Rosary [October 7, 2018] Mark 10:2-16

rosaryIf there is one prayer that can change the course of world history, it is the earnest recitation of the holy rosary.  In 1571, through the unceasing prayer of the rosary, a league of Christian nations called by Pope Pius V was able to stop the military advancement of the mighty Ottoman empire to western Europe in the Gulf of Patras, near Lepanto, Greece. In 1917, Our Lady appeared to three little children in Fatima, and one of her messages was to pray the rosary for the peace of the world. Through nation-wide recitation of the rosary, Austria was freed from the communist regime in 1955. In 1960, led by Catholic women marching the streets while praying the rosary, Brazil was also spared from communism.

For the Catholics in the Philippines, the recitation of the rosary has conquered the impossible. In 1646, the Dutch armada attempted to take over the Philippines from the weakened Spanish authority. With only three modified galleons, the combined Spanish and Filipino forces defended the country from Dutch warships in a series of sea battles. The eyewitness narrated how the soldiers prayed the rosary while the battle was being waged. The miracle took place. The three galleons were practically unharmed, while the enemy’s ships either were sunk or sustained heavy damages. The miracle was attributed to the intercession of Our Lady of the Rosary, La Naval de Manila. The rosary is believed to have made the People Power revolution in 1986 a peaceful event.

These are several among many historical events in which the recitation of the rosary has played a significant role in the lives of nations. However, the praying of the rosary does not only affect the nations but more meaningfully the lives of ordinary people and families.

Today’s Gospel speaks about the sanctity of marriage and family. In marriage, husband and wife promise each other something that they cannot fulfill, namely perfect happiness. We are imperfect creatures and wounded by sin, and it is just beyond our natural ability to achieve our genuine happiness. Left to our own strength, we are bound to fail or face meaninglessness. We are emotionally unstable, we want things for ourselves, and we just hurting each other. No wonder Bishop Fulton Sheen once said, “Marriage is not difficult. It is just humanly impossible.”

Jesus reminds us that man and woman are created for each other to be “one flesh,” and immediately Jesus teaches, “what God has joined together, no human being must separate.”  We often forget that the one who unites man and woman is God Himself. Marriage and family are primarily the work of God, not just human beings. God wants a true joy for us, and this can be achieved by the paradox of love. It is not by accumulating things for ourselves but giving up ourselves totally to others. Marriage becomes one way that God designs to achieve this self-giving. Husband gives himself totally to his wife, and the wife gives herself wholly to her husband. As they are losing themselves, they gain everything they cannot humanly gain, namely genuine self-growth, meaningful life, and true happiness. Thus, prayer together turns out to be an unassuming yet powerful way to remind the couples of this God’s work in their midst.

Fr. Patrick Payton once said, “A family that prays together stays together.” As the founder of Family Rosary Crusade, the prayer he means in this classic line is no other than the recitation of the rosary. At first, it sounds cliché, but on a personal note, I can say it is indeed a powerful prayer for the family. I still could remember how my parents taught me the rosary, and it was within the context of family and community prayer. I do believe that my family has survived a lot of storms because we do not forget to pray together. I also believe countless families, and communities have conquered the difficulties and challenges because they have prayed the rosary faithfully.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Rosario dan Keluarga

Renungan untuk Minggu ke-27 dalam Masa Biasa – Pesta Bunda Rosario [7 Oktober 2018] Markus 10: 2-16

teaching rosaryJika ada satu doa yang mampu mengubah jalannya sejarah dunia, itu adalah pendarasan rosario. Pada 1571, melalui doa rosario tanpa henti, liga negara-negara Katolik yang dipanggil oleh Paus Pius V mampu menghentikan kemajuan militer dari kerajaan Ottoman ke Eropa Barat di perang Lepanto, dekat Yunani. Pada tahun 1917, Bunda Maria menampakkan diri kepada tiga anak kecil di Fatima, dan salah satu pesannya adalah berdoa rosario untuk kedamaian dunia. Melalui pendarasaan rosario secara nasional, Austria terbebas dari rezim komunis pada tahun 1955. Pada tahun 1960, dipimpin oleh wanita-wanita Katolik yang turun ke jalan sambil berdoa rosario, Brasil juga terhindar dari komunisme.

Bagi umat Katolik di Filipina, pendarasan rosario telah menaklukkan hal-hal yang mustahil. Pada 1646, pasukan Belanda yang datang dari Hindi Belanda berusaha mengambil alih Filipina dari otoritas Spanyol yang lemah. Dengan hanya galleon [kapal dagang], pasukan gabungan Spanyol dan Filipina menghadapi  kapal-kapal perang Belanda dalam serangkaian pertempuran laut. Saksi mata menceritakan bagaimana para prajurit berdoa rosario saat pertempuran berlangsung. Mujizat pun terjadi. Ketiga galleon praktis tidak mengalami kerusakan berarti, sementara kapal-kapal musuh tenggelam atau rusak berat. Mujizat ini terjadi karena perantaraan Bunda Maria Rosario, La Naval de Manila. Rosario diyakini juga menjadikan revolusi “People Power” pada tahun 1986 sebagai peristiwa yang berhasil dan damai.

Ini adalah beberapa dari banyak peristiwa sejarah di mana pendarasan rosario telah memainkan peran penting dalam kehidupan bangsa-bangsa. Namun, berdoa rosario tidak hanya mempengaruhi bangsa tetapi lebih berarti kehidupan orang biasa dan keluarga.

Injil hari ini berbicara tentang kekudusan pernikahan dan keluarga. Dalam pernikahan, suami dan istri saling berjanji memberi sesuatu yang tidak dapat mereka penuhi, yaitu kebahagiaan sempurna. Kita adalah makhluk yang tidak sempurna dan terluka oleh dosa, dan di luar kemampuan alami kita untuk mencapai kebahagiaan sejati. Berpegang pada kekuatan kita sendiri, kita pasti gagal atau kehilangan makna. Secara emosional kita tidak stabil, kita menginginkan hal-hal untuk diri kita sendiri, dan kita saling menyakiti. Tidak heran, Uskup Fulton Sheen pernah berkata, “Pernikahan tidaklah sulit, hanya saja mustahil secara manusiawi. ”

Yesus mengingatkan kita bahwa pria dan wanita diciptakan untuk satu sama lain untuk menjadi “satu daging,” dan segera Yesus mengajarkan, “apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.” Kita sering lupa bahwa yang menyatukan pria dan wanita adalah Allah Sendiri. Pernikahan dan keluarga adalah karya Allah, bukan hanya manusia. Tuhan menginginkan sukacita sejati bagi kita, dan ini dapat dicapai dengan paradoks kasih. Bukan dengan mengumpulkan hal-hal untuk diri sendiri tetapi menyerahkan diri sepenuhnya kepada sesama. Pernikahan menjadi salah satu cara yang Tuhan rancang untuk mencapai pemberian diri ini. Suami memberikan dirinya sepenuhnya kepada istrinya, dan sang istri menyerahkan dirinya seutuhnya kepada suaminya. Ketika mereka kehilangan diri, mereka mendapatkan segala yang tidak bisa mereka dapatkan secara manusiawi, yakni pertumbuhan yang otentik, kehidupan yang bermakna, dan kebahagiaan sejati. Dengan demikian, doa bersama menjadi cara yang sederhana namun berdaya untuk mengingatkan para suami-istri akan karya Allah ini di tengah-tengah mereka.

Romo Patrick Payton pernah berkata, “Keluarga yang berdoa bersama tetap bersama.” Doa yang dia maksudkan tidak lain adalah pendarasan rosario. Pada awalnya, kedengarannya hal ini biasa-biasa saja, tetapi saya dapat mengatakan ini memang doa yang kuat bagi keluarga. Saya masih ingat bagaimana orang tua saya mengajari saya rosario, dan itu dalam konteks doa keluarga dan komunitas lingkungan. Saya percaya bahwa keluarga saya selamat dari banyak badai karena kami tidak lupa untuk berdoa bersama. Saya juga percaya banyak keluarga-keluarga, dan komunitas telah menaklukkan kesulitan dan tantangan karena mereka telah berdoa rosario dengan setia.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

True Greatness

Reflection on the 25th Sunday in Ordinary Time [September 23, 2018] Mark 9:30-37

“Whoever wants to be first must be last of all and servant of all.” (Mk. 9:35)

ordination 1While I was reflecting on this Sunday’s Gospel, I was able to discover some news about our Church. Good News! The Catholic Church in the Philippines is preparing herself for the 500 years of the arrival of Christianity in this archipelago. The first baptism and Eucharist were taking place in 1521 as the Spanish missionaries began their evangelization mission. As part of this grand preparation, the Bishops of the Philippines have decided to celebrate this year as the year of the clergy and the consecrated persons. The major theme of this year is the renewed servant-leaders for the new evangelization. In view of this, many programs and activities are organized to help both the ordained ministers and the religious brothers and sisters to deepen their commitment to God and their service to the people.

Not so good news. It is also true, however, that today the Church is also facing a deep crisis. In many countries and places, the clergy, as well as the religious persons, are caught in scandals and shameful things. One among the worst is the sexual abuses involving the minors done by priests and even bishops, and the massive cover-up staged to tolerate this structural evil. Yet, this is not the only thing that plagues the Church. Some ordained ministers are dishonest and having double-standard lives. Some are secretly enriching themselves. Others may not commit any scandal, but are lacking in compassion and enthusiasm in serving the people of God. Many stories are circulating of priests refusing to hear confession or anointing the dying because they like to prioritize their scheduled hobbies or religious persons who are grumpy and easily irritated with others. These attitudes simply drive people away from the Church. The rest of us perhaps are just nothing but mediocre clergy or religious. This reminds me of Pope Francis who points that holiness as opposed to ‘bland and mediocre existence.’

Our Gospel narrates Jesus who in private teaches the disciples, who will be the first and models of Church’s leaders. The Gospel itself can be divided into two parts. The first part speaks of Jesus foretelling his impending suffering and death in Jerusalem. Here, reacting to Jesus’ words, the disciples drop silence. Perhaps, the memory of Jesus scolding Peter and calling him “Satan” is still fresh in the mind of the disciples and nobody wants to repeat the same embarrassment. The second part of the Gospel tells us of the topic of greatness. This time, the disciples have a different reaction. Not only do they initiate the discussion, but they are also passionately arguing among themselves. We can imagine Peter boasting himself as the leader among the apostles, or John telling everyone that he is the closest to Jesus, or Matthew being proud of his richness. After all, these are our first Pope and first bishops. Yet, when Jesus asks them, they once again fall silent.

The apostles seem to forget that Jesus’ disciples have to carry their cross and follow Jesus to Jerusalem. Jesus, however, understands that human desire for excellence is a gift from God. Jesus does not forbid His apostles to have dreams and strive for greatness, but He makes a radical twist. He directs this powerful energy from achieving one selfish interests into serving others. Thus, Jesus’ unforgettable line: “Whoever wants to be first must be last of all and servant of all.” (Mk. 9:35) Indeed, they need to excel, but not any worldly measures, but in serving and empowering others. In his exhortation, Gaudete et Exsultate, Pope Francis calls this “the Logic of the Cross.” True happiness is a paradox. If the clergy, the religious and all of us want to be genuinely happy, then it is not so much on the wealth and success we have gained, but from our service and sacrifice for others.

We continue to pray for our priests and bishops, as well as our religious brother and sisters. We pray not only that they may avoid scandals, but they may be holy. As Pope Benedict XVI puts it, “holiness is nothing other than charity lived to the full.”

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kekudusan dalam Keagungan

Renungan untuk Minggu ke-25 dalam Masa Biasa [22 September 2018] Markus 9: 30-37

“Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mrk. 9:35)

ordination 2Ketika saya merenungkan Injil hari Minggu ini, saya membaca beberapa berita tentang Gereja. Ada Kabar baik. Gereja Katolik di Filipina mempersiapkan diri untuk perayaan 500 tahun kedatangan iman Kristiani di negara ini. Baptisan dan Ekaristi pertama terjadi pada tahun 1521 sewaktu para misionaris Spanyol memulai misi evangelisasi mereka. Sebagai bagian dari persiapan besar ini, para Uskup Filipina memutuskan untuk merayakan tahun ini sebagai tahun para klerus [daikon, imam, dan uskup] dan rohaniwan. Dengan demikian, banyak program dan kegiatan diselenggarakan di berbagai keuskupan di Filipina untuk membantu para klerus dan biarawan untuk memperdalam komitmen mereka pada Allah dan pelayanan mereka kepada umat dan bangsa.

Tetapi, ada juga berita yang tidak begitu baik. Saat ini, Gereja juga menghadapi krisis yang mendalam. Di banyak negara dan tempat, para klerus dan biarawan, terlibat dalam skandal dan hal-hal yang memalukan. Salah satu yang terburuk adalah pelecehan seksual yang melibatkan anak di bawah umur yang dilakukan oleh beberapa imam dan bahkan uskup, dan ada usaha untuk menutup-nutupi hal ini sehingga kejahatan struktural ini berkembang subur. Namun, ini bukan satu-satunya hal yang mengganggu Gereja. Beberapa klerus tidak jujur ​​dan memiliki kehidupan ganda. Beberapa diam-diam memperkaya diri mereka sendiri. Beberapa mungkin tidak melakukan skandal apa pun, tetapi kurang berbelas kasih dan tidak miliki semangat dalam melayani umat Allah. Banyak cerita yang beredar tentang pastor yang menolak untuk mendengar pengakuan dosa atau mengurapi orang yang sakit karena mereka memprioritaskan hobi mereka atau para biarawan yang gampang marah terhadap orang lain. Sikap-sikap ini hanya membuat umat menjauh dari Gereja.

Injil kita Minggu ini berkisah tentang Yesus yang mengajar para murid, yang kemudian akan menjadi pemimpin Gereja perdana. Injil ini sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berbicara tentang Yesus menubuatkan penderitaan dan kematian yang akan datang di Yerusalem. Di sini, para murid hanya terdiam. Mungkin, memori akan Yesus yang menegur Petrus dan memanggilnya “Setan” masih segar di pikiran para murid dan tidak ada yang ingin mengulangi peristiwa pemalukan yang sama. Bagian kedua dari Injil berbicara tentang tema kebesaran dan kepemimpinan. Kali ini, para murid memiliki reaksi yang berbeda. Tidak hanya mereka yang memulai diskusi, tetapi mereka juga dengan penuh semangat berdebat di antara mereka sendiri. Kita dapat membayangkan Petrus membanggakan dirinya sebagai pemimpin di antara para rasul, atau Yohanes mengatakan kepada semua orang bahwa ia adalah yang paling dekat dengan Yesus, atau Matius bangga akan kekayaannya. Bagaimanapun, mereka adalah Paus pertama dan para uskup pertama kita. Namun, ketika Yesus bertanya kepada mereka, mereka sekali lagi terdiam.

Para rasul sepertinya lupa bahwa murid-murid Yesus yang sejati harus memikul salib mereka dan mengikuti Yesus ke Yerusalem. Namun, Yesus memahami bahwa keinginan manusia untuk menjadi yang terbaik adalah karunia dari Allah juga. Yesus tidak melarang rasul-rasul-Nya untuk bermimpi dan berusaha untuk mencapai kebesaran, tetapi Dia membuat perubahan radikal. Dia mengarahkan energi yang kuat ini dari sekedar untuk mencapai kepentingan pribadi, berubah menjadi untuk melayani orang lain. Lalu, Yesus pun berkata, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mrk. 9:35) Memang, mereka perlu menjadi unggul, tetapi tidak dala ukuran duniawi, tetapi dalam melayani dan memberdayakan sesama.

 Dalam dokumen terbarunya, Gaudete et Exsultate, Paus Fransiskus berbiacara tentang “Logika Salib.” Kebahagiaan sejati adalah sebuah paradoks. Jika para klerus, biarawan dan kita semua ingin bahagia, bukanlah kejayaan dan kesuksesan duniawi yang kita kejar, tetapi pelayanan dan pengorbanan kita untuk orang lain.

Kita terus berdoa bagi para imam dan uskup kita, serta para biarawan. Kita berdoa tidak hanya agar mereka dapat menghindari dosa, tetapi mereka mungkin menjadi kudus. Sebagaimana dikatakan Paus Benediktus XVI, “kekudusan tidak lain adalah kasih yang dihidupi sampai penuh.”

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ups and Downs of Life

Palms Sunday of the Lord’s Passion [March 25, 2018] Mark 11:1-10; Mk 14:1—15:47

“Though he was in the form of God…Rather, he emptied himself, taking the form of a slave…” (Phil. 2:6-7)

friends
photo by Harry Setianto, SJ

We are celebrating the Palm Sunday of the Lord’s Passion. In today’s celebration, we have the only liturgical celebration in which two different Gospel readings are read. The first Gospel, usually read outside the Church, is about the triumphal entry of Jesus into Jerusalem, and the second Gospel narrates the Passion of Jesus Christ. Reflecting on the two readings, we listen to two different and even opposing themes: triumph and defeat. These are two fundamental themes, not only in the life of Jesus, but in our lives as well.

 

The triumphal entry into Jerusalem represents our times of success and great joy. It is when we achieve something precious in our lives. These are moments like when we accomplish our studies, when we gain new and promising work, or when we welcome the birth of a family’s newest member. These are the “Up” events of life. While the Passion story speaks of times of defeat and great sorrow. It is when we experience great losses in our lives. There are moments like when we fail decisive examinations or projects, whenwe lose our jobs, or we experience death in the family. These are the “Down” events of life. Passing through these Upsand Downs of life, Jesus teaches us valuable lessons.  In times of triumph, like Jesus riding on the colt, we are challenged to remain humble and grateful. In moments of defeat, like Jesus who embraces His sufferings, we are invited to patiently bear these moments and offer them to the Lord.

However, there is something more than this. If we read the second reading from the letter of Paul to the Philippians (2:6-11), we listen to one of the most beautiful hymns in the New Testament that affirms both the divinity and humanity of Christ. If we believe that Jesus is God become man , then God does not only give us success or allow us to undergo suffering but in Jesus, God experiences what it means to be successful as well as to fail. This point is a radical departure from an image of God that is distant yet controlling, or a kind of a teddy bear that we can hug during crying moments, or a trophy we can parade in our victorious time. Our God is one with us in all our experience of joy and sadness, of triumph and defeat.

In the Book of Genesis chapter 3, we read the first story of human failure. Adam and Eve were deceived by the serpent and disobeyed God. It is true that our first parents failed God, and they had to leave the Garden of Eden. Yet, God did not cease to care for them. God made them garments of skin to cloth them, as to cover their nakedness and give them protection. God prepared them to face the harsh life outside the Garden. However, there is something even more remarkable. After Genesis 3, we will never read again about the Garden and what happens inside, but rather the stories of Adam, Eve and their descendants. Why? Because God did not choose to stay in the Garden, and just watch things through a giant LCD monitor, but rather He followed our first parents and walked with them. He accompanied them, struggled with them, cried with them and shared their happiness. Truly, the Bible is a book about God and His people.

As we enter the Holy Week, may we find time to reflect: How is God sharing in our ups and downs? Have we become a good companion to our friends in their ups and downs? Do we accompany Jesus in his way of the cross and resurrection?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pasang Surut Kehidupan

Minggu Palma, Mengenang Sengsara Tuhan [25 Maret 2018] Markus 11: 1-10; Markus 14: 1—15: 47

walaupun dalam rupa Allah…melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia (Fil. 2: 6-7)”

cross afar
foto oleh Harry Setianto SJ

Kita merayakan Minggu Palma. Hari ini adalah satu-satunya perayaan liturgis di mana dua Injil yang berbeda dibacakan. Injil pertama, biasanya dibacakan di luar Gereja, adalah tentang masuknya Yesus ke Yerusalem, dan Injil kedua menceritakan tentang sengsara dan wafatnya Yesus. Merenungkan pada dua bacaan ini, kita mendengarkan dua tema yang berbeda dan bahkan bertentangan, yakni tentang kemenangan dan kekalahan. Ini adalah dua tema dasar, tidak hanya dalam kehidupan Yesus, tetapi dalam kehidupan kita juga.

 

Yesus yang disambut saat Ia masuk ke Yerusalem melambangkan saat-saat kesuksesan dan sukacita kita. Itu adalah ketika kita meraih sesuatu yang berharga dalam hidup kita. Ini adalah saat-saat ketika kita menyelesaikan sekolah kita, ketika kita mendapatkan pekerjaan baru, atau ketika kita menyambut kelahiran anggota keluarga terbaru. Ini adalah peristiwa “pasang” kehidupan. Sementara, kisah sengsara Yesus berbicara tentang saat-saat kekalahan dan kesedihan kita. Saat inilah kita mengalami kehilangan besar dalam hidup kita. Ada saat-saat seperti ketika kita gagal dalam ujian atau proyek yang menentukan, kita kehilangan pekerjaan kita, dan kita mengalami kematian dalam keluarga. Ini adalah peristiwa “surut” kehidupan. Melewati masa-masa pasang dan surut kehidupan, Yesus mengajarkan kita pelajaran berharga. Pada masa kemenangan, kita ditantang untuk tetap rendah hati dan bersyukur, seperti Yesus yang naik keledai. Di saat-saat kekalahan, kita diajak untuk dengan sabar menanggung saat-saat ini dan mempersembahkannya kepada Tuhan, seperti Yesus yang merangkul salib-Nya.

Namun, ada sesuatu yang lebih dari ini. Jika kita membaca bacaan kedua dari surat Paulus kepada jemaat di Filipi (2: 6-11), kita mendengarkan salah satu madah yang paling indah dalam Perjanjian Baru. Madah ini menegaskan keilahian dan kemanusiaan Kristus. Jika kita percaya bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia, Allah tidak hanya memberi kita kesuksesan atau mengizinkan kita mengalami penderitaan, tetapi di dalam Yesus, Allah mengalami sendiri apa artinya menjadi sukses dan juga gagal. Ini menjadi titik perubahan radikal dari citra Allah sebagai Tuhan yang jauh, tapi tidak tersentuh. Dia juga bukan seperti boneka teddy bear yang dapat kita peluk saat kita sedih. Dia juga bukan piala yang kita pamerkan di saat kemenangan kita. Allah kita adalah satu dengan kita dalam semua pengalaman kita, baik sukacita maupun kesedihan, baik kemenangan maupun kekalahan.

Dalam Kitab Kejadian bab 3, kita membaca kisah pertama tentang kegagalan manusia. Adam dan Hawa ditipu oleh ular dan merekapun tidak taat kepada Tuhan. Memang benar bahwa mereka gagal, dan mereka harus meninggalkan Taman Eden. Namun, Tuhan tidak berhenti mengasihi mereka. Tuhan membuatkan mereka pakaian dari kulit untuk menutupi ketelanjangan mereka dan memberi mereka perlindungan. Tuhan mempersiapkan mereka untuk menghadapi kehidupan yang keras di luar Taman. Namun, ada sesuatu yang bahkan lebih luar biasa. Setelah Kejadian bab 3, kita tidak akan pernah membaca lagi tentang Taman Eden dan apa yang terjadi di dalam, melainkan kisah-kisah Adam, Hawa dan keturunan mereka. Mengapa? Karena Tuhan tidak memilih untuk tinggal di Taman Eden, dan memisahkan diri dari para manusia yang lemah, tetapi Dia mengikuti Adam dan Hawa dan berjalan bersama mereka. Dia menemani mereka, bergulat bersama, menangis bersama dan berbagi kebahagiaan mereka. Sungguh, Kitab Suci adalah buku tentang Tuhan dan umat-Nya.

Sata kita memasuki Pekan Suci, semoga kita menemukan waktu untuk merefleksikan: Bagaimana Tuhan menjadi bagian dalam pasang surut kehidupan kita? Sudahkah kita menjadi teman berbagi bagi saudara-saudari dalam pasang surut kehidupan mereka? Apakah kita sungguh menemani Yesus di jalan salib dan kebangkitannya?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Magi

The Epiphany of the Lord [January 7, 2018] Matthew 2:1-12

“Then they opened their treasures and offered him gifts of gold, frankincense, and myrrh. (Mat 2:11)”

magi shadowBalthazar, Melchior, and Gaspar, as the tradition called them, were neither Jews nor baptized Christians. In Greek ancient manuscripts of the Gospel, the word used to describe them is ‘magos’, meaning ‘someone with magical power’ or ‘magicians’, and practicing magic is detestable in the eyes of the Jews (2 Chro 33:6).  Even the Catholic Church herself prohibits our engagement with any kind of magic (CCC 2116). Yet, we cannot be sure what kind of magic they craft, but one thing is certain that these Magi read the sign of times and follow the star. Because of this, they are called as one of those ancient astrologers, star-readers who predict the human behaviors and the future.

Surprisingly, today’s Gospel presents these three Magi as our protagonists. Why should these practitioners of magic turn to be the good guys here? If we examine closely the story of the Gospel, we discover that these Magi stand in contrast with Herod together with his chief priests and scribes. Unlike the Magi who are reading the star to find the new-born king, Herod and his religious associates are examining the Scriptures to locate the Messiah. Indeed, the Scriptures, as the Word of God, is the lawful means to seek Jesus. Unfortunately, despite its valid method, Herod’s intention is to annihilate Jesus, his threat to his throne. Herod embodies those people who use the Scriptures to achieve his own agenda, to confuse the people and to destroy God. Meanwhile the Magi, despite their illegitimate method, sincerely seek Jesus, the true King, and indeed, God leads them to Jesus.

The encounter with Jesus brings real transformation. The Magi offer Jesus gold, frankincense, and myrrh. Traditionally, the three gifts are symbols of kingship, priesthood and suffering of Jesus, but further studies suggest that the three gifts are the usual items used for practicing magic in the ancient time. Thus, when the Magi offer the three gifts, this symbolizes their giving-up of their old profession. When they see the true King, they have found the true meaning of life, the fullness of happiness. They realize that their former profession, powerful it might be, is not true. Their journey has come to a conclusion, and it is the time for them to decide whether to stay in their old way or to embrace Christ fully. And, they made the right choice.

The story of the Magi reminds me of the story of Bartolo Longo. Growing up in the troubled time of Italy and the Church, young Bartolo loses faith in Papacy, and entered a satanic group. He goes all the way and he becomes the satanic priest. Yet, despite the power and wealth he gains from the devil, he continues to be restless. Deep inside, he longs for the true peace. Driven by his desire for truth, and helped by his friend and a Dominican priest, he returns to the faith that he has abandoned. He becomes an ardent devotee of our Lady and zealous promoter of the rosary. He initiates the restoration of a dilapidated church in Pompey, and places the image of Our Lady of the Rosary. Through his effort, now the church has become a revered pilgrim site in Italy. His holiness is acknowledged by the Church, and he is beatified in 1980 by John Paul II.

Like the Magi and Bartolo Longo, are we ready to recognize Christ as our true happiness? Are we willing to look for Jesus in our lives’ journey? And, when the moment comes, are we willing to give up our former lives and to embrace Jesus fully?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno , OP

 

Majus

Hari Raya Penampakan Tuhan [7 Januari 2018] Matius 2:1-12

“Merekapun membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur (Mat 2:11)”

three magiMenurut tradisi, nama tiga orang Majus adalah Balthazar, Melchior, dan Gaspar. Dalam bahasa Yunani, kata yang digunakan untuk Majus adalah ‘magos’, yang berarti ‘seseorang dengan kekuatan magis atau sihir’, dan mempraktekkan ilmu magis adalah sebuah kesalahan besar di mata orang-orang Yahudi (2 Taw 33: 6). Bahkan Gereja Katolik sendiri melarang kita memiliki kontak dengan praktek magis atau sihir apa pun (Katekismus 2116). Namun, kita tidak bisa memastikan bentuk magis apa yang digunakan oleh orang Majus ini, tapi satu hal yang pasti bahwa mereka membaca tanda zaman dan mengikuti bintang. Karena itu, mereka bias disebut sebagai astrolog kuno, pembaca bintang yang memprediksi perilaku manusia dan masa depan.

Anehnya, Injil hari ini mempersembahkan ketiga orang Majus ini sebagai protagonis. Mengapa para praktisi magis ini bisa menjadi orang baik di sini? Jika kita memeriksa dengan seksama kisah Injil, kita menemukan bahwa orang-orang Majus ini dikontraskan dengan Herodes bersama dengan imam-imam kepala dan ahli-ahli Tauratnya. Berbeda dengan orang Majus yang membaca bintang untuk menemukan raja yang baru lahir, Herodes dan para pembantunya meneliti Kitab Suci untuk menemukan Mesias. Memang, Kitab Suci, sebagai Firman Allah, adalah cara yang benar untuk mencari Yesus. Sayangnya, meski memiliki metode yang benar, maksud Herodes adalah untuk memusnahkan Yesus, yang merupakan ancaman terhadap takhtanya. Herodes menjadi lambang bagi orang-orang yang menggunakan Kitab Suci untuk mencapai agendanya sendiri, untuk membingungkan orang-orang dan untuk menghancurkan Tuhan. Sementara orang Majus, terlepas dari metode yang tidak benar, dengan tulus mencari Yesus dan sungguh, Tuhan membawa mereka kepada Yesus.

Pertemuan dengan Yesus membawa transformasi yang nyata. Orang Majus menawarkan Yesus emas, kemenyan, dan mur. Secara tradisional, ketiga hadiah itu adalah simbol kerajaan, imamat dan penderitaan Yesus, namun penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa ketiga hadiah itu adalah barang yang biasanya digunakan untuk mempraktekkan sihir di zaman kuno. Jadi, ketika orang Majus menawarkan tiga hadiah, ini melambangkan penyerahan profesi lama mereka. Ketika mereka melihat Raja sejati, mereka telah menemukan arti sebenarnya dari kehidupan dan kebahagiaan. Mereka menyadari bahwa profesi lama mereka walaupun memberi mereka kekuatan, tidaklah benar. Perjalanan mereka telah sampai pada puncaknya, dan inilah saatnya bagi mereka untuk memutuskan apakah akan bertahan dengan cara lama atau untuk menerima Kristus sepenuhnya. Dan, mereka membuat pilihan yang tepat.

Kisah orang Majus mengingatkan saya akan kisah Bartolo Longo. Tumbuh dalam masa sulit di Italia dan Gereja, Bartolo muda kehilangan kepercayaan pada Paus, dan memasuki sebuah kelompok pemuja setan, sampai pada akhirnya, dia menjadi imam dari kelompok tersebut. Namun, terlepas dari kekuatan dan kekayaan yang ia dapatkan dari setan, ia terus resah. Jauh di lubuk hatinya, ia merindukan kedamaian sejati. Didorong oleh keinginannya untuk mendapatkan kebenaran, dan dibantu oleh seorang imam Dominikan, dia kembali ke iman yang telah ditinggalkannya. Dia menjadi seorang yang mencintai Bunda Maria dan promotor rosario yang penuh semangat. Dia memulai pemulihan gereja yang rusak di kota Pompey, dan menempatkan lukisan Maria Ratu Rosario di sana. Melalui usahanya, kini gereja tersebut telah menjadi situs peziarahan yang dihormati di Italia. Kekudusannya diakui oleh Gereja, dan dia dibeatifikasi pada tahun 1980 oleh Yohanes Paulus II.

Seperti orang Majus dan Bartolo Longo, apakah kita siap untuk mengenali Kristus sebagai kebahagiaan sejati kita? Apakah kita bersedia untuk mencari Yesus dalam perjalanan hidup kita? Dan, ketika saatnya tiba, apakah kita rela melepaskan hidup kita yang lama dan untuk merangkul Yesus sepenuhnya?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Access  

 

Fourth Sunday of Easter. May 7, 2017 [John 10:1-10]

 “I am the gate. Whoever enters through me will be saved, and will come in and go out and find pasture (Joh 10:1)”

gate of the sheep 1Jesus is not the gatekeeper, but Jesus is the gate Himself. A gate or a door gives a passage or access to a sheepfold, a house, a building or a room. It both separates and connects the insiders and the outsiders. In fact, the gate is as essential as the house itself. What is the building without a door or an entry point? It is either a construction error or it is not a sheepfold or a house at all. The gate is not only an accessory to the house, but it also defines the house itself. Is it an accessible house, locked house or not a house at all?

 Being part of the digital generation, we have our own ‘gateway’. In our familiar terms, this is the access, the connection or the networking. We use this access to communicate, to work and even to make important decisions. It turns to be part of who we are, as we crave for it, demand it, and fight for it. Sometimes, I get upset because the connection is poor inside the formation house that I cannot communicate with my family in Indonesia. A child as young as one year old knows how to manipulate an iPhone, and cries loudly when the parents try to take it away from him. Many researchers conclude that Facebook has become another new kind of addiction, as more and more millennials are spending more time on FB.  Lesley Alderman of The New York Times said that we check our cellular phone at an average of 47 to 82 times a day precisely because the access it gives us to almost everything.

Yet, it is not only about addiction or having fun. It is about our lives. A lot companies, jobs and workers are now dependent on this access, something which did not exist twenty years ago. Better connection means faster transaction, the richer the company becomes. The same access is used to control remotely unmanned machines, like drone. Some drones are used for photography, fun and researches, but others can be used to carry powerful explosives. Now, the access can either make us or destroy us.

In today’s Gospel, Jesus introduces Himself as the gate, the access or the connection to the fullness of life. Now, it is up to us whether we enter this gate and use this access, or refuse to enter and waste the connection. If we examine our daily lives, how many hours do we avail of this divine access? We might be upset if we lose our internet connection, but do we get the same feeling when we miss the connection with God? How many hours do we spend for browsing the internet, and eagerly chat with our online friends, compared to the time we use to read the Bible and worship Jesus in the Eucharist? We might be surprised that we actually only remember God on Sunday. And in fact, within the Mass, we are also preoccupied with what inside our phone!

It is one of the fundamental reasons why many of us are unhappy, restless, and at a lost despite the success, riches and other access we possess. Perhaps, it is good to disconnect first from the many connections we have, and connect to the true source of joy. If we are not finding lives meaningful, it is because we are not entering that gate that leads us to the fullness of life.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Akses

Minggu Paskah keempat. 7 Mei 2017 [Yohanes 10: 1-10]

“Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput (Yoh 10: 1).”

gate of the sheep 2Yesus bukanlah sekedar penjaga pintu gerbang, tetapi Yesus adalah sang pintu gerbang. Pintu gerbang atau pintu memberi jalan atau akses ke kandang domba, rumah, bangunan atau ruangan. Pintu memisahkan sekaligus menghubungkan orang dalam dan orang luar. Pintu sama pentingnya dengan rumah itu sendiri. Apa jadinya jika bangunan tanpa pintu masuk? Ini adalah kesalahan konstruksi atau bukan sebuah gedung sama sekali. Pintu bukan hanya aksesori dari sebuah rumah, tapi adalah definisi sebuah rumah. Melalui pintunya, kita bisa menilai apakah rumah ini yang mudah diakses, rumah terkunci atau bukan rumah sama sekali?

 Menjadi bagian dari generasi digital, kita memiliki ‘pintu gerbang’ kita sendiri. Dalam istilah harian kita, inilah akses, koneksi atau jaringan. Kita menggunakan akses untuk berkomunikasi, bekerja dan bahkan membuat keputusan penting. Koneksi telah menjadi bagian dari diri kita, karenanya kita menginginkannya, menyanyanginya, dan memperjuangkannya. Terkadang, saya kesal karena koneksi buruk di dalam rumah formasi sehingga saya tidak dapat berkomunikasi dengan keluarga saya di Indonesia. Seorang anak berumur satu tahun bahkan sudah tahu bagaimana cara memanipulasi iPhone, dan menangis saat orang tuanya mencoba untuk mengambil iPhonenya tersebut. Banyak peneliti menyimpulkan bahwa Facebook telah menjadi jenis kecanduan baru, karena semakin banyak kaum milenial menghabiskan lebih banyak waktu di FB lebih dari hal-hal esensial lainnya. Lesley Alderman dari The New York Times mengatakan bahwa kita mengecek telepon seluler kita rata-rata 47 sampai 82 kali per hari. Ini karena akses yang diberikan bagi kita ke hampir semua hal.

Namun, bukan hanya tentang kecanduan atau bersenang-senang. Akses adalah hidup kita. Banyak perusahaan, profesi dan pekerja sekarang bergantung pada akses internet ini, sesuatu yang tidak terbayangkan dua puluh tahun yang lalu. Adik saya bekerja sebagai coordinator lapangan di sebuah perusahan nasional, dan dia mengkoordinasi anak buahnya, mengecek perkerjaan mereka, dan membeli kebutuhan di lapangan. Semua ini dilakukan di depan laptopnya! Koneksi yang lebih baik berarti transaksi lebih cepat, semakin kaya perusahaan tersebut. Akses yang sama digunakan untuk mengendalikan mesin tak berawak jarak jauh, seperti drone. Beberapa drone digunakan untuk fotografi, hobi dan penelitian, namun beberapa lainnya membawa bahan peledak yang kuat. Sekarang, akses ini bisa membantu kita atau menghancurkan kita.

Dalam Injil hari ini, Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai pintu, akses atau koneksi menuju kepenuhan hidup. Sekarang, terserah kita apakah kita mau masuk ke pintu ini dan menggunakan akses ini, atau menolak untuk memasuk dan menyia-nyiakan koneksi ini. Jika kita memeriksa kehidupan kita sehari-hari, berapa jam kita memanfaatkan akses ilahi ini? Kita mungkin kesal jika kita kehilangan koneksi internet, tapi apakah kita kesal saat kita kehilangan koneksi dengan Tuhan? Berapa jam kita habiskan untuk browsing internet, dan dengan penuh semangat chatting dengan teman-teman online kita? Tetapi berapa jam kita gunakan untuk membaca Alkitab dan menyembah Yesus dalam Ekaristi? Kita mungkin terkejut bahwa kita sebenarnya hanya mengingat Tuhan pada hari Minggu. Dan faktanya, dalam Misa, kita juga sibuk dengan apa yang ada di dalam HP kita!

Ini adalah salah satu alasan mendasar mengapa banyak dari kita tidak bahagia, gelisah, dan tersesat meski sukses, kaya, dan akses lainnya yang kita miliki. Mungkin, sebaiknya lepaskan dulu banyak koneksi yang kita miliki, dan hubungkan diri kita kembali ke sumber sukacita sejati. Jika kita tidak menemukan hidup bermakna, ini karena kita tidak memasuki pintu yang membawa kita pada kepenuhan hidup.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP