Pajak

Hari Minggu Biasa ke-29 [22 Oktober 2017] Matius 22: 15-22

“… Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah.” (Mat 22:21)

ceasar coinBenjamin Franklin pernah berkata, “Di dunia ini tidak ada yang pasti, kecuali kematian dan pajak.” Sungguh, pajak adalah fakta yang tidak menyenangkan dan juga tidak dapat dihindari dalam hidup kita sebagai warga negara. Sebagian dari penghasilan yang diperoleh dari jerih payah kita tiba-tiba diambil, dan hanya Tuhan yang tahu ke mana itu pergi. Praktek perpajakan sebenarnya sudah terjadi sejak komunitas manusia pertama di bumi. Ide dasarnya adalah bahwa pajak akan menyediakan sumber daya yang untuk kemajuan bersama, seperti membangun jalan, pendidikan dan perawatan kesehatan berkualitas. Namun, hal ini sering disalahgunakan. Di zaman dulu, para raja dan kepala suku menarik pajak agar mereka bisa membangun istana megah mereka dari pada membangun rakyatnya. Sayangnya, situasi tersebut tidak banyak berubah di zaman sekarang. Para pejabat korup menarik pajak hanya untuk membangun “istana” mereka yang megah, dan bukannya membangun rakyat.

Pada masa Yesus, pajak adalah isu yang sangat sensitif. Orang-orang Yahudi sederhana dikenai pajak oleh penjajah Romawi, dan bagi mereka yang tidak mampu membayar, mereka akan dipenjara, harta-benda mereka akan disita dan bahkan menghadapi hukuman mati. Ini membuat para petani dan pekerja Yahudi sederhana semakin miskin dan tak berdaya. Baik Yesus maupun orang Farisi juga menjadi korban dari sistem perpajakan yang menindas dan tidak adil ini.

Tidak ada yang suka membayar pajak kepada penjajah Romawi, namun sebagian besar orang Yahudi akan memilih untuk mematuhi peraturan dan membayar pajak karena mereka tidak menginginkan masalah datang. Orang-orang Farisi dan orang-orang Yahudi saleh lainnya membenci menggunakan koin Romawi karena di dalamnya, ada gambar Kaisar yang diukir sebagai dewa. Seluruh sistem perpajakan adalah penyembahan berhala. Namun, banyak orang Farisi tetap membayar pajak agar mereka tetap hidup.

Pesan yang biasanya kita dengar dari Injil hari ini adalah Yesus yang cerdik mengalahkan para Farisi dan Herodian yang ingin menjebak Dia dengan pertanyaan yang rumit. Namun, sebenarnya, ada banyak hal yang dipertaruhkan di sini. Meskipun pertanyaan itu ditujukan kepada Yesus, pertanyaan yang sama berlaku untuk semua orang Yahudi yang terpaksa membayar pajak kepada bangsa Romawi. Dengan demikian, jika mereka menuduh Yesus sebagai penyembah berhala, mereka juga menuduh mayoritas orang Yahudi untuk membayar pajak.

Jawaban Yesus bukanlah jawaban kategoris ya atau tidak, tetapi ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak hanya menyelamatkan-Nya dari perangkap, tapi juga menyelamatkan setiap orang yang terpaksa membayar pajak dari tuduhan sebagai penyembah berhala. Orang-orang Yahudi yang sederhana harus bekerja sangat keras bagi keluarga mereka, dan terpaksa membayar pajak demi keselamatan diri mereka. Tidak cukup, para Farisi menuduh mereka sebagai penyembah berhala karena membayar pajak. Ini sungguh kejam karena para Farisi ini yang seharusnya menjadi contoh kekudusan, justru menjauhkan banyak orang jadi Tuhan. Syukurlah, jawaban Yesus menyingkirkan rasa bersalah ini dari orang-orang Yahudi yang berjuang untuk memberi makan keluarga mereka. Ini bukanlah sekedar membayar pajak, tetapi sungguh menjadi kudus di hadapan Tuhan.

Dalam hidup kita sehari-hari, kita mungkin taat membayar pajak kita kepada pemerintah dan hidup sebagai warga negara yang patuh hukum, tetapi sekali lagi Injil hari ini bukanlah sekedar tentang membayar pajak. Apakah kita, seperti orang-orang Farisi, hanya mau menjadi suci sendiri dengan menjadi sangat aktif di Gereja dan memberi kolekte besar, tetapi malah menghalangi sesama yang ingin menjadi kudus? Apakah kita sekedar menghakimi dan mencibir mereka yang tidak bisa aktif di Gereja karena harus bekerja keras menghidupi keluarga mereka? Apakah kita membawa orang lain lebih dekat kepada Tuhan atau malah melakukan hal yang sebaliknya?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Rosary and Us

October 7, 2016 – Mary, Queen of the Holy Rosary

rosary-1October is the month of the rosary. Allow me to reflect on this ancient yet ever new form of prayer. Why October? It all started when Pope Pius V, a Dominican, dedicated October 7 as the feast of Mary Our Lady of the Rosary after the battle of Lepanto. In this naval battle of October 7, 1571, the smaller Christian army fought the much larger and powerful Ottoman Turks’ forces that planned to invade Europe at the Gulf of Lepanto in Greece. While the battle was being waged, the Holy Pontiff and all Christians prayed the rosary asking the intercession of Our Lady. After hours of confrontation, the enemy’s fleet was roundly defeated.

However, the devotion to the rosary itself began even much earlier. In fact, the prayer was a product of a long evolution. The devotion actually began as a lay spiritual movement. In the early middle ages, the monks and nuns in the monasteries recited 150 Psalms of the Old Testament as part of their daily prayer. The practice was ideal to sanctify the entire day as the recitation of the Psalms was distributed during the important hours of the day (thus, Liturgy of the Hours). Yet, this was not for the lay people. They had no copy of the Bible, least the ability to read it. Thus, the lay people who desired to make their day holy, started to recite 150 ‘Our Father’. To keep track of the prayer, they also made use of a long cord with knots on it. After some time, they prayed 50 Our Father at three different times of the day.

In the 12th century, the Angelic salutation formula “Hail Mary, full of grace, the Lord is with you. Blessed you among women and blessed is the fruit of your womb” became part of this 150 ‘Our Father’ prayer. Shortly after this, the meditation on mysteries of the life of Jesus and Mary began to be incorporated into this devotion. Gradually, it evolved into 150 ‘Hail Mary’. St. Dominic de Guzman and his Order of Preachers received special mandate from the Virgin herself to promote this ‘Psalter of Mary’. In the 15th century, that devotion acquired the name Rosarium (rose garden). In 1569, the same Pope Pius V issued the papal decree ‘Consueverunt Romani Pontifices’ that regulated and standardized the praying of the Rosary, taking into account its long history and its Dominican tradition. He also affirmed the efficaciousness of the rosary as one of the many means to obtain graces and indulgence. The praying of the rosary continues to evolve even to this day. The latest major innovation was from Saint John Paul II who added five mysteries of Light.

October then turns to be a fitting time to intensify our praying of the rosary and to remember the role of Mary and her rosary in the life of the Church and our lives. I guess more importantly we remember that rosary was born from the desire of lay people to be holy. The rosary came from the simple hands of ordinary people who recited the Our Father and Hail Mary and meditated on the mysteries of salvation. We pray the rosary because it is a devotion that comes from the hearts of the laity. When we pray the rosary, we pray together with Mary who is a lay woman. When we pray the rosary, because we, just like countless people, desire to be closer to God in a simplest and humblest way.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Rosario dan Kita

7 Oktober 2016, Maria Ratu Rosari

rosary-2Oktober adalah bulan rosario. Izinkan saya untuk menulis tentang  doa yang sebenarnya kuno tetapi selalu baru. Mengapa Oktober adalah bulan rosario? Semuanya berawal ketika Paus Pius V, seorang Dominikan, mendedikasikan 7 Oktober sebagai pesta Maria Ratu Rosario setelah pertempuran Lepanto. Pada 7 Oktober, 1571, di Teluk Lepanto di Yunani, tentara Eropa berjuang melawan armada laut Ottoman Turki yang jauh lebih besar dan kuat, yang merencanakan untuk menyerang Eropa. Sementara pertempuran sedang berlangsung, sang Paus dan semua umat berdoa rosario meminta perantaraan Bunda Maria. Setelah berjam-jam konfrontasi, armada musuh pun dikalahkan.

Namun, devosi kepada Rosario sendiri bermula jauh lebih awal dari Paus Pius V. Doa ini adalah produk dari evolusi yang panjang. Devosi ini sebenarnya dimulai sebagai sebuah gerakan spiritual awam. Pada abad pertengahan awal, para rahib di pertapaan mendaraskan 150 Mazmur sebagai bagian dari doa harian mereka. Praktek ini sangat ideal untuk menguduskan seluruh hari mereka sebagai pembacaan Mazmur didistribusikan pada jam-jam penting pada hari itu. Namun, ini tidak berlaku bagi orang awam. Mereka tidak memiliki salinan Alkitab, apalagi kemampuan untuk membacanya. Dengan demikian, orang-orang awam yang mendambakan untuk menguduskan hidup harian mereka, mulai mendaraskan 150 ‘Bapa Kami’. Agar tidak hilang dalam meditasi, mereka juga menggunakan tali panjang dengan simpul sebanyak jumlah doa ‘Bapa Kami’. Setelah beberapa waktu, mereka berdoa 50 Bapa Kami tiga kali sehari.

Pada abad ke-12, Formula Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu. Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu” menjadi bagian dari doa 150 ‘Bapa Kami’ ini. Tak lama setelah ini, meditasi pada ‘misteri’ kehidupan Yesus dan Maria mulai menjadi bagian dari devosi ini. Secara bertahap, doa ini berkembang menjadi 150 ‘Salam Maria.’ St. Dominikus de Guzman dan Ordo Pengkhotbahnya menerima mandat khusus dari Bunda Maria untuk mempromosikan  ‘Mazmur Maria’ ini. Pada abad ke-15, devosi kepada Yesus dan Maria ini memperoleh nama Rosarium (taman mawar). Pada tahun 1569, Paus Pius V mengeluarkan dekrit Consueverunt Romani Pontifices’ yang mengatur bagaimana berdoa Rosario, dengan mempertimbangkan sejarahnya panjang dan tradisi Dominikan yang ia miliki. Dia juga menegaskan bahwa rosario sebagai salah satu dari banyak cara untuk mendapatkan rahmat dan indulgensia. Doa rosario terus berkembang bahkan sampai hari ini. Inovasi terbaru adalah dari Santo Yohanes Paulus II yang menambahkan lima Misteri of Cahaya.

Bulan Oktober menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk mengintensifkan devosi rosario dan merenungkan peran Maria dan rosarionya dalam kehidupan Gereja dan kehidupan kita. Saya kira yang lebih penting adalah kita diingatkan bahwa rosario sebenarnya lahir dari hasrat para awam untuk menjadi kudus. Rosario berasal dari tangan-tangan sederhana para awam yang mendaraskan Bapa Kami dan Salam Maria, dan juga merenungkan misteri keselamatan di dalamnya. Kita berdoa rosario karena kita ingin untuk lebih dekat dengan Allah dengan cara yang paling sederhana. Kita berdoa rosario karena doa ini merupakan devosi yang berasal dari hati kaum awam. Ketika kita berdoa rosario, kita berdoa bersama-sama dengan Maria yang adalah seorang wanita awam. Rosario adalah hidup kaum awam, dan hati kaum awam adalah Rosario.

 Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Becoming Whole

25th Sunday in Ordinary Time. September 18, 2016 [Luke 16:1-13]

“Make friends for yourselves with dishonest wealth, so that when it fails, you will be welcomed into eternal dwellings (Luk 16:9).”

unjust-steward1We were created in the image of God. Thus, our true happiness is only in God. As St. Augustine would say, “You have created us for Yourself, O God, and our hearts are restless until they rest in You.” St. Teresa of the Avilla would echo the same truth when she simply said, “God alone suffices.” But, we were also born into the real human body within a complex and concrete world. As we journey toward God, we cannot totally separate our soul from the various mundane concerns. Even the monks and nuns living in monasteries will still work hard to fulfill their daily and basic needs.

Our humanity and temporal aspects of our life are integral part of who we are. They are blessing and gift of God. We must not be enslaved by money, wealth and other material possessions. Certainly, easier said than done. Who among us are concerned with the latest version of our cellular phone? Who among us spending hours just to choose most fashionable dress? In a bigger scale, corruption, injustice and exploitation are the offshoots of this attachment to this temporal aspect of our lives. Thus, the proper and prudent thing to do is to place the gift of our body and temporal dimension of our life in the service of God and others. I do believe that in order to preach well, it is imperative for the preachers to take care of their health. As an ancient Latin proverbs goes, ‘Mens sana in corpore sano’ (healthy mind in healthy body).

Learning from the parable of the dishonest steward, Jesus taught us to be like the steward in dealing with worldly things. In ancient Israel, for a master entrusting the business to his steward was a common practice. Some stewards would manipulate their position and raise wealth by practice of usury. They charged the borrowers of his masters’ property with high interest. Unfortunately, the steward was caught with this usurious practice as well as squandering his master’s wealth. To save his life, he chose to be smart. He met the debtors and to ask them to rewrite the debt’s notes. He decided to erase the interest that would go to him and let them pay the original amount. The borrowers would be indebted to him, and he might save himself. Like the steward, we need to know what truly matters for our happiness and salvation, as well as well aware of the place of worldly goods in the totality of our lives.

Jesus becomes a splendid example for all us. He is divine and spiritual being. He controlled the forces of nature, He overpowered the evil spirits, and He forgave sins. Though, He was divine, He did not disregard his humanity as useless. He, in fact, was humanly practical and respectful of His own Jewish culture. He observed Jewish traditions and customs, He worshipped God in the synagogues and He taught using the language that His original listeners would understand. Thus, He is truly God and truly man.  Indeed, our salvation rest in this balance and unity of this spiritual and bodily aspects of our humanity.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Menjadi Manusia yang Utuh

Minggu Biasa dalam Pekan ke-25 [18 September 2016] Lukas 16: 1-13

 Ikatlah persahabatan dengan mempergunakan Mamon yang tidak jujur, supaya jika Mamon itu tidak dapat menolong lagi, kamu diterima di dalam kemah abadi (Luk 16:9).

dishonest-stewardKita diciptakan menurut citra Allah, dan dengan demikian, kebahagiaan sejati kita hanya pada Allah. Seperti yang St. Agustinus katakan, Engkau menciptakan kami untuk untuk diri-Mu, ya Allah, dan hati kami gelisah sampai mereka menemukan-Mu.” St. Teresa dari Avilla mengemakan kebenaran yang sama ketika ia mengatakan, Allah mencukupi.” Tapi, kita juga lahir sebagai manusia yang memiliki tubuh dan ke dalam dunia yang kompleks. Saat kita berziarah menuju Allah, kita tidak bisa benar-benar memisahkan jiwa kita dari berbagai urusan duniawi. Bahkan para Rahim yang tinggal di pertapaan tetap bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan dasar mereka.

Kemanusiaan dan aspek temporal kehidupan kita adalah bagian integral dari siapa kita. Ini semua adalah berkat dan karunia Allah juga. Hal yang tepat dan bijaksana adalah untuk mengunakan tubuh dan dimensi temporal kehidupan kita dalam pelayanan kepada Tuhan dan sesama. Saya percaya bahwa untuk bisa mewartakan dengan efektif dan efisien, sangat penting bagi para pewarta untuk menjaga kesehatan mereka. Sebagai peribahasa Latin kuno berkata, ‘Mens sana in corpore sano’ (pikiran yang sehat dalam tubuh yang sehat).

Kita tidak boleh diperbudak oleh uang, kekayaan dan harta benda lainnya. Tentu saja, lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Siapa di antara kita yang mengejar-ngejar HP versi terbaru? Siapa di antara kita menghabiskan berjam-jam hanya untuk memilih pakaian yang paling modis? Dalam skala yang lebih besar, korupsi, ketidakadilan dan eksploitasi adalah bentuk-bentuk dari ektreme keterikatan kita pada hal-hal duniawi.

Dari perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur, Yesus mengajarkan kita untuk menjadi cerdas dalam menangani hal-hal duniawi. Di Israel, bagi tuan rumah untuk mempercayakan bisnis kepada bendaranya adalah praktek yang umum. Beberapa bendahara memang memanipulasi posisi mereka dan mencari keuntungan sendiri dengan praktek riba. Mereka memberi bunga yang besar kepada para peminjam dari tuan mereka. Sayangnya, ada satu bendahara yang tertangkap tangan dengan praktik riba ini, dan juga menghambur-hamburkan kekayaan tuannya. Lalu, untuk menyelamatkan dirinya, sang bendahara melalukan hal yang cerdik. Ia bertemu dengan debitur dan meminta mereka untuk menulis ulang catatan utang mereka. Dia memutuskan untuk menghapus bunga yang akan menjadi keuntungan pribadinya, dan membiarkan mereka membayar sesuai jumlah aslinya. Peminjam akan berhutang budi kepadanya, dan ia menyelamatkan dirinya sendiri. Seperti bendahara dalam perumpamaan hari ini, kita perlu tahu apa yang benar-benar penting untuk kebahagiaan dan keselamatan kita, serta menyadari letak kemanusian dan berbagai aspek temporal dalam totalitas kehidupan kita.

Yesus menjadi contoh yang tepat bagi kita. Dia adalah ilahi dan spiritual. Dia mengendalikan kekuatan alam, dia menaklukkan roh-roh jahat, dan Dia juga memiliki kuasa untuk mengampuni dosa. Meskipun, Dia adalah ilahi, Dia tidak mengabaikan kemanusiaan. Dia, pada kenyataannya, sangatlah manusiawi, praktis dan menghormati budaya Yahudi-Nya sendiri. Dia menghidupi tradisi dan adat istiadat Yahudi, ia menyembah Allah dalam rumah-rumah ibadat Yahudi, dan ia mengajar menggunakan bahasa Aram yang mudah dimengerti oleh orang-orang Yahudi pada zaman-Nya. Tidak salah jika Dia adalah benar-benar Allah dan benar-benar manusia. Sungguh, keselamatan dan kebahagian kita berada pada keseimbangan dan kesatuan berbagai aspek spiritual dan duniawi yang kita miliki.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP