Fire of Jesus

20th Sunday in Ordinary Time. August 14, 2016 [Luke 12:49-53]

“I have come to set the earth on fire, and how I wish it were already blazing! (Luk 12:49)”

pentecost 1In the midst of all super-advanced digital gadgets and nano technologies, making fire seems rather archaic and a bit useless. Why will we set a fire and cause pollution, if we have energy-saving LED lamp in our house? However, making fire is the earliest and one of the most significant human invention. Fire revolutionized the lives of our ancestors and gave us substantial advantages over other creatures. Fire brings warm and comfort in chilling and unforgiving weathers. Fire protects us from bigger and fiercer predators. Fire provides light that shed off the darkness. Fire also is needed to forge other inventions and technologies, like various tools and weapons.

Yet, fire also may cause us serious headaches. Almost every year, fire sets ablaze parts of Borneo rain forest and emits global-scale smoke. Fire also is a serious problem in densely populated cities like Manila. A firefighter once conducted a seminar in our seminary. He said that it just takes less than one minute for fire to burn an entire body of a little kid. Thus, fire has become the symbol of both powerful force of nature and human ingenuity. It may bring heavy destructions as fire burns and consumes almost everything. Yet, it also gives creativity, hope and future to humanity.

When Jesus said he brought fire to the world, Luke used the Greek word ‘phur’, meaning ‘wild fire’. Now, we may understand that Jesus came to the world to bring not a warming and delightful fire, but massive transformative energy and power. This fire can consume our past and wicked ways. Yet, more importantly, this fire energizes and empowers us to be creative in our preaching and in Christian life. On the day of Pentecost, the Holy Spirit came into the form of tongues of fire. This same fire emboldened the fearful disciples in the Upper room and moved them to preach the Good News with freshness. They made a creative breakthrough as they began to speak in the different languages of their hearers.

Saints are people who are blazed by Christ’ fire. Their lives exemplify the ever-fresh and transformative Spirit. When St. Dominic de Guzman saw the need to preach the Gospel to bring back the Albigensian heretics in Southern France, he established the first preaching religious Order in the Church. When the first Spanish Missionaries came to the Philippine Islands, one of their main preoccupations was how to understand the local languages and cultures, so that their preaching may be easily understood by the native Filipinos. As early as the 16th century, the Dominican friars had produced grammar books and dictionaries of Philippine languages like Tagalog, Bisaya, and Ivatan.

It is His desire to set the world in fire, but has the fire of Christ touched our lives? Have the Eucharist and Sacrament of reconciliation renewed us? Do we feel that energy to engage in the proclamation of the Good News, or we are just fine with Sunday masses? Do we have the perseverance amidst trials of life? Do we allow the Spirit to animate our lives?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Api Yesus

 Minggu Biasa ke-20 [14 Agustus 2016] Lukas 12:49-53

 “Aku datang untuk melemparkan api ke bumi dan betapakah Aku harapkan, api itu telah menyala! (Luk 12:49)”

pentecost 2Hidup di antara gadget-gadget digital super-canggih dan berbagai teknologi nano, kegiatan membuat api tampak seperti sangat primitif dan sia-sia. Mengapa kita harus membuat api dan menyebabkan polusi jika kita memiliki lampu LED yang hemat energi di rumah kita? Namun, membuat api sebenarnya adalah salah satu penemuan manusia yang paling awal dan signifikan. Api merevolusi kehidupan nenek moyang kita dan memberi kita keuntungan besar atas makhluk lainnya. Api membawa kehangatan dan kenyamanan dalam cuaca dingin. Api melindungi kita dari predator yang lebih besar dan ganas. Api memberikan cahaya yang menghapus kegelapan. Api juga diperlukan untuk menempa penemuan dan teknologi lain, seperti berbagai alat dan senjata.

Namun, api juga dapat menimbulkan masalah serius. Hampir setiap tahun, api membakar ribuan hektar hutan Kalimantan dan menghasilkan asap berskala global. Api juga merupakan masalah serius di kota-kota padat penduduk seperti Manila. Seorang petugas pemadam kebakaran pernah melakukan seminar di seminari. Dia mengatakan bahwa api hanya membutuhkan waktu kurang dari satu menit untuk membakar seluruh tubuh anak kecil. Karena ini, api telah menjadi simbol baik dari kekuatan yang dahsyat dari alam dan juga kecerdasan manusia. Api dapat membawa kehancuran berat seperti api membakar dan mengkonsumsi hampir segala sesuatu. Namun, hal itu juga memberikan kreativitas, harapan dan masa depan kemanusiaan.

Ketika Yesus berkata ia membawa api untuk dunia, Lukas menggunakan kata Yunani ‘phur’. Jika diterjemahkan kata ini berarti api besar yang membara, bukan sekedar api yang kecil. Jadi, Yesus datang ke dunia untuk membawa energi dan kekuatan transformatif yang dahsyat. Api ini dapat menghancurkan dosa-dosa dan kebiasaan buruk kita. Namun, jauh lebih penting adalah api ini memberikan energi dan memberdayakan kita untuk menjadi kreatif dalam karya dan pewartaan dan dalam kehidupan Kristiani kita. Pada hari Pentakosta, Roh Kudus datang dalam bentuk lidah-lidah api. Api yang sama ini memberanikan para murid yang masih ketakutan, dan menggerakan mereka untuk memberitakan Kabar Baik dengan kesegaran yang baru. Mereka membuat terobosan kreatif saat mereka mulai berbicara dalam banyak bahasa, sesuai kebutuhan pendengar mereka.

Orang-orang kudus adalah orang-orang yang terbakar api Kristus. Kehidupan mereka memberikan contoh karya Roh Kudus yang selalu segar dan transformatif. Ketika St. Dominikus de Guzman melihat kebutuhan untuk memberitakan Injil dan membawa kembali para bidaah Albigensian di Perancis Selatan, iapun  mendirikan Ordo religius yang tugas utamanya adalah berkhotbah. Dan ini menjadi ordo pertama yang memiliki ke khasan ini di Gereja Katolik. Ketika para Misionaris Spanyol pertama kali datang ke Kepulauan Filipina, salah satu prioritas utama mereka adalah bagaimana memahami bahasa dan budaya lokal, sehingga pewartaan mereka dapat dengan mudah dipahami oleh orang-orang Filipina. Bahkan sejak abad ke-16, para misionaris Dominikan telah menghasilkan buku tata bahasa dan kamus berbagai bahasa di Filipina seperti Tagalog, Bisaya, dan Ivatan.

Ini adalah keinginan-Nya untuk membakar dunia dalam api, tetapi apakah api Kristus telah menyentuh kehidupan kita? Apakah Ekaristi dan Sakramen rekonsiliasi memperbaharui kita? Apakah kita merasakan energi untuk terlibat dalam pewartaan kabar baik, atau kita sudah merasa cukup dengan Misa Mingguan? Apakah kita memiliki ketekunan ditengah cobaan hidup? Apakah kita memungkinkan Roh untuk menghidupkan kehidupan kita?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Spirit Connects!

Pentecost Sunday. May 15, 2016 [John 14:15-16,23-25]

“They were all filled with the Holy Spirit and began to speak in different tongues, as the Spirit enabled them to proclaim (Acts 2:4).”

pentecost 2My first time to attend a Catholic Charismatic prayer meeting was around 10 years ago in Singapore. It was a gathering characterized by upbeat music and intensified prayers. As the prayer was getting intense, suddenly I witnessed some of participants began to experience kind of trance and utter unintelligible words. For a while I was dumbfounded, but soon realized that they may actually speak in tongue. This may refer to the one of the Holy Spirit’s charismatic gifts, described no less than St. Paul himself.  “For one who speaks in a tongue does not speak to human beings but to God, for no one listens; he utters mysteries in spirit (1 Cor 14:2)”

All the way, I thought that this speaking of tongue phenomenon was what took place on the Pentecost Sunday. When mother Mary and the disciples gathered fifty days after Jesus’ resurrection and the Holy Spirit started to descend upon them and filled them with His power. They began to speak in different languages. Yet, I was mistaken, they did not speak in tongue. The Holy Spirit bestowed on them a different kind of gift. That was the gift of understanding and language. The Apostles did speak different tongues but this gift empowered to communicate clearly the Gospel of Jesus Christ. People from different regions like Syria, Asia Minor (present-day Turkey), Arab peninsula, North Africa, even Europe, certainly speaking in multitude of languages, were able to comprehend the apostles who were native Palestinian. The Spirit enabled them to connect.

The Pentecost and the gift of language speaks deeper reality about the Holy Spirit. He is the Spirit that unites us. He heals our brokenness and cures our tendency to be selfishly autonomous. In Pentecost, the Spirit undid the curse of the Tower of Babylon in Genesis 11. This is a symbolical story on human egocentric desire to usurp God, to be equal with God, by building a super-tall tower that can reach God with their own efforts and cunningness. Yet, human ambition and greed for power brought divisions and ruins to human race itself. Perhaps, one of the modern depictions of the Tower of Babel is the best-seller novel and most-anticipated TV series Game of Thrones. The novel smartly narrates how men’s unquenchable passion for the Iron Throne moves various characters in the novel to employ various cunning and dirty tricks to destroy their rivals. The seven Kingdoms, formerly united, divided, falls and they are at each others’ throats.

John Maxwell in his book, Everyone Communicates, Few Connects, argues that everything rises and falls on leadership, and yet, leadership is only possible with the leaders’ ability to connect with others. United States president Abraham Lincoln once also said, “If you would win a man to your cause, first convince him that you are his sincere friend.”  Yet, fundamental to a genuine connecting is all about others. It means setting aside our vain ambition and untamed desire to gain all the attention to ourselves and we make others, their concerns, their struggles as ours.

The Holy Spirit comes to bring us that original connection with God and each other. It is true that often we do not get always the ‘high feeling’ of indwelling of the Spirit, just like in the charismatic prayer meetings, but it does not mean the Holy Spirit is absent. In fact, most of the time, He is working in silence and ordinary ways. He is working when we become more persevering in the sufferings of life. He is working when we are more patient in loving people who often give us problems. He gave us little joy in small realization of various blessing we receive today. I believe fruitful and meaningful reading of this reflection is His work in us.

As we celebrate the Pentecost, we pray that we may continue to open ourselves to the grace of the Holy Spirit and allow Him to make our lives ever fruitful.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Roh Koneksi

Hari Raya Pentakosta. 15 Mei 2016 [Yohanes 14: 15-16,23-25]

Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain, seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya. (Kisah Para Rasul 2: 4).”

pentecostPertama kalinya saya menghadiri pertemuan doa Karismatik Katolik adalah sekitar 10 tahun yang lalu di Singapura. Pertemuan ini ditandai dengan musik yang upbeat dan doa yang intensif. Di tengah ibadat dan disaat doa-doa semakin intens, tiba-tiba saya menyaksikan beberapa peserta mulai mengalami sesuatu yang tidak biasa dan mengucapkan kata-kata tidak jelas. Awalnya, saya tercengang, tapi saya segera menyadari bahwa mereka sedang berbicara dalam bahasa roh. Phenomena ini merujuk pada seseorang yang dipenuhi dengan kuasa Roh Kudus dan mulai bernubuat sesuai kehendak Roh. Fenomena ini sudah ada sejak Gereja berdiri. St. Paulus sendiri menulis “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, tidak berkata-kata kepada manusia, tetapi kepada Allah. (1 Kor 14: 2)”

Awalnya, saya berpikir bahwa fenomena bahasa Roh ini adalah apa yang terjadi pada hari Pentakosta pertama. Ketika Bunda Maria dan para murid berkumpul di hari ke-lima puluh setelah kebangkitan Yesus dan Roh Kudus turun atas mereka dan memenuhi mereka dengan kuasa-Nya. Mereka mulai berbicara dalam bahasa yang berbeda. Namun, saya salah, mereka tidak berbicara dalam bahasa roh. Roh Kudus menganugerahkan karunia yang berbeda. Ini adalah karunia bahasa pengertian dan pemahaman. Para Rasul tidak berbicara bahasa yang aneh tapi diberdayakan untuk mengkomunikasikan dengan jelas Injil Yesus Kristus. Umat dari berbagai daerah seperti Suriah, Asia Kecil (Turki), Semenanjung Arab, Afrika Utara, bahkan Eropa, tentu berbicara dalam banyak bahasa, tapi mereka mampu memahami para rasul yang sebenarnya orang asli Palestina. Roh memampukan mereka untuk membangun koneksi.

Pentakosta dan karunia bahasa berbicara realitas yang lebih dalam tentang Roh Kudus. Dia adalah Roh yang menyatukan kita. Dia menyembuhkan perpecahan dan kecenderungan kita untuk menjadi egois. Dalam Pentakosta, Roh menghapus kutukan Menara Babel dalam Buku Kejadian 11. Ini adalah kisah simbolis tentang keinginan egosentris manusia untuk mengalahkan Tuhan, untuk menjadi setara dengan Allah, dengan membangun sebuah menara super tinggi yang dapat mencapai Tuhan dengan upaya mereka sendiri. Namun, ambisi manusia dan keserakahan akan kekuasaan membawa perpecahan dan keruntuhan bagi umat manusia. Mungkin, salah satu pencitraan modern dari Menara Babel adalah TV series yang paling diantisipasi Game of Thrones. Seri ini dengan cerdas menceritakan bagaimana nafsu manusia untuk menjadi raja di Tahta Besi membuai berbagai karakter dalam seri tersebut untuk menggunakan berbagai trik licik dan kotor untuk menghancurkan saingan mereka. Tujuh Kerajaan, sebelumnya bersatu, terbagi, jatuh dan mereka pun saling menghancurkan.

John Maxwell dalam bukunya, Everyone Communicates, Few Connects, berpendapat bahwa kepemimpinan sejati hanya mungkin jika sang pemimpin memiliki kemampuan sang untuk membangun koneksi dengan orang lain. Presiden Amerika Serikat Abraham Lincoln pernah juga mengatakan, “Jika Anda ingin memenangkan seseorang untuk tujuan Anda, meyakinkanlah dia bahwa Anda adalah temannya yang tulus.” Namun, fondasi dari kemampuan membangun koneksi adalah kita mau menjadikan orang lain sebagai tujuan kita dan bukan diri kita sendiri. Ini berarti menyisihkan ambisi kosong dan hasrat kita untuk mendapatkan semua hal bagi diri kita sendiri dan kita membuat orang lain, kekhawatiran mereka, perjuangan mereka menjadi bagian dari hidup kita. Ini adalah karya Roh Kudus: menyembuhkan, mempersatukan dan memberdayakan kita.

Roh Kudus datang agar kita sekali lagi mampu membangun koneksi dengan Tuhan dan satu sama lain, koneksi yang rusak oleh dosa Adam dan Menara Babel. Memang benar bahwa tidak selalu kita mengalami bahasa roh atau perasaan ‘high’ seperti yang dialami pada pertemuan doa karismatik, tetapi ini tidak berarti Roh Kudus tidak berkerja. Bahkan, kebanyakan, Dia bekerja dalam keheningan dan cara-cara yang sederhana. Dia bekerja ketika kita menjadi lebih tekun dan tabah dalam penderitaan hidup. Dia bekerja ketika kita lebih sabar mengasihi mereka yang sering memberi kita masalah. Dia memberi kita kegembiraan sederhana dalam realisasi-realisasi kecil dari berbagai berkat yang kita terima saat ini. Saya percaya saat anda membaca refleksi ini dan menemukan makna, ini adalah pekerjaan-Nya di dalam kita.

Saat kita merayakan Pentakosta, kita berdoa agar kita dapat terus membuka diri kepada kasih karunia Roh Kudus dan mengijinkan Dia untuk membuat hidup kita berbuah.

  Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP