Leprosy

Sixth Sunday in Ordinary Time [B]

February 14, 2021

Mark 1:40-45

Leprosy in the time of Jesus is not only physically and mentally deadly, but also spiritually incapacitating. Leprosy or currently known as the Hansen’s disease is horrifying sickness because it does not kill the person slowly, but it gradually deforms and incapacitates the person. The bacteria cause terrible damage in peripheral nervous to the point that the person is no longer feeling the sensation, especially pain. Without this sensation, the person fails to recognize and avoid bodily injuries. Losing limbs is shared among the victims with advanced stages of leprosy.

Since the sickness was incurable and highly contagious in ancient time, it was a natural reaction for the people to exclude the infected persons from the community. We can imagine the effects of exclusion suffered by the victims. They were cut from the bare necessities, separated from their family and friends, and aware that they will die a horrible death. People could quickly become insane. This awareness that they would not survive outside society pushes the people with leprosy to gather and form their community. Thus, lepers’ colonies were deemed a practical solution to support one another in the face of the bleak reality of life.

In the Jewish context, skin diseases, especially leprosy, are about biological and mental problems, but it is a religious issue. The Book of Leviticus states that people with certain skin diseases, including leprosy, have to present themselves to the priest and have their bodies examined. The priest may declare that persons as unclean. After the verdict, the persons have to go out from the community, wear rent cloth, and let their hair dishevel. These become visible signs that they are with contagious diseases and unclean. Yet, if a person remains going closer to them, they shall shout, “Unclean! Unclean!” This is to make sure healthy and clean persons will not come nearer. Being declared unclean means the person is not fit for the religious service and cannot enter the holy ground like the temple. Thus, for a Jew who contracted leprosy, he was excluded physically and mentally and religiously. The sickness also cut them from God they serve and worship.

In the Gospel, we see the leper who took the initiative to approach Jesus, thus breaking the most fundamental prohibition to stay away from people and God. The leper’s request was not to be healed, but rather to be ‘clean.’ The deepest desire of this leper is not physical healing, but to worship his God. The real healing comes only when we can approach and worship the true God. Looking at his courage and deepest longing, Jesus was moved by pity and made him clean.

The leper in the Gospel teaches us a lot about the genuine desire for healing. Perhaps, many of us look for God because we wish to be cured of diseases, seek financial success, or free from other problems. Yet, we seldom desire to see God because we want to be healed spiritually, liberated from sins, and be one with Him. The Gospel teaches us that true healing is more than physical health and economic stability, but the union with God.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Photocredit: Claudio Schwartz

Jesus, Healer of Our Souls

Fifth Sunday in Ordinary Time [B]

February 7, 2021

Mark 1:29-39

Jesus cannot be separated from His healing ministries. Some of the healings are remarkable, like the healing of a woman with the hemorrhage and Jarius’ daughter [Mark 5:321-43]. They are astonishing because these are practically impossible cases. The woman has suffered for twelve years without sign of hope, and Jarius’ daughter is as good as dead. Yet, Jesus does heal not only those with grave illness but also those with curable sickness.

Jesus is at the house of Simon, and He discovers that Simon’s mother-in-law has a fever. Fever is a symptom that points to an infection, from ordinary flu to covid-19. In the case of Simon’s mother-in-law, we can safely assume that she has a curable sickness. Without proper rest and treatment, she will get back to her usual activities. Yet, despite this fact, and even without a particular request from the person, Jesus decides to heal her anyway. Jesus understands that sickness, no matter insignificant it is, remains improper in our lives. To be a healthy person is God’s plan for us.

If we see our lives, we quickly recognize that getting sick is part of our life. Sickness becomes a constant reminder that our bodies are limited and fragile. Indeed, we have an immune system, but often this potent protection is not enough. With the pandemic caused by covid-19, we realize that human beings are not powerful as we think. As we struggle to find the cures, the virus, bacteria, and other sickness causes are also evolving and getting deadlier. The illness causes pain and suffering, and these weaknesses remind us of our death. Yet, despite this realization, deep down, we know that sickness is not the real deal, and it is a privation rather than perfection. We desire to be healthy. We fight to be healthy, and only by being healthy, we may achieve our potentials.

This is why we go to the doctors if we are sick, hit the gym, do other exercises, and live a healthy lifestyle. It is the same reason that the persons with the gift of healing are sought for. It is the same reason that many people want to see Jesus. 

We may ask, why does not Jesus heal all of us? The answer might not be that simple, but we can say that Jesus first comes to heal our broken relationship with God. He saves us from our sins. His miraculous healings are signs of this redemption. Even in His providential way, God can use our illness and suffering to make us even spiritually closer to Him. St. Dominic de Guzman is known to have very rigid mortification practices, and a witness said that a cord of chains was tied in his tight and just removed when he died. Mortification is one of the favorites ways of the saints to seek God. They do not want that their healthy bodies become a hindrance to seek God. Meanwhile, Beato Carlo Acutis, who got sick of leukemia, a severe illness that eventually took his life, offered his suffering to the Lord. He said, “I offer all the suffering I will have to suffer for the Lord, for the Pope, and the Church.”

Jesus brings us healing to our souls and bodies. Yet, in His providential care, our bodily weakness can lead us even closer to God.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photo credit: jonathan-borba

Yesus, Penyembuh Jiwa Kita

Minggu Kelima dalam Masa Biasa [B]

7 Februari 2021

Markus 1: 29-39

Yesus tidak dapat dipisahkan dari pelayanan penyembuhan-Nya. Beberapa kisah kesembuhan merupakan kejadian yang luar biasa seperti kesembuhan seorang wanita dengan pendarahan dan juga anak perempuan Jarius [Markus 5: 321-43]. Penyembuhan ini adalah mujizat karena kasus-kasus yang dihadapi Yesus adalah hal-hal mustahil disembuhkan pada zaman-Nya. Sang wanita telah menderita pendarahan selama dua belas tahun tanpa harapan, dan putri Jarius sebenarnya sudah meninggal. Di sisi lain, Yesus tidak hanya menyembuhkan orang yang sakit parah, tapi juga mereka yang sakitnya tergolong tidak membahayakan.

Yesus ada di rumah Simon, dan Dia melihat bahwa ibu mertua Simon sedang demam. Demam adalah gejala yang biasanya terjadi karena adanya infeksi, bisa karena flu biasa hingga covid-19. Dalam kasus ibu mertua Simon, kita dapat berasumsi bahwa dia mengalami penyakit yang sebenarnya tidak berat. Dengan istirahat dan obat yang tepat, sang ibu mertua akan kembali beraktivitas dengan normal. Namun, walaupun sakitnya tergolong tidak membahayakan dan bahkan tanpa permintaan khusus dari sang wanita, Yesus memutuskan untuk menyembuhkannya. Yesus memahami bahwa penyakit, entah seberapa kecilnya, tetap sebuah hal yang tidak tepat bagi hidup kita. Menjadi orang yang sehat adalah rencana Tuhan bagi kita.

Jika kita melihat hidup kita, kita dengan mudah menyadari bahwa sakit adalah bagian dari hidup kita. Penyakit selalu menjadi pengingat bahwa tubuh kita terbatas dan rapuh. Memang, kita memiliki sistem kekebalan, tetapi seringkali perlindungan alami ini tidak cukup. Dengan pandemi yang disebabkan oleh Covid-19, kita menyadari bahwa manusia tidak sekuat yang kita pikirkan. Saat kita berjuang untuk menemukan berbagai obat dan alat-alat kesehatan, virus, bakteri, dan penyebab penyakit lainnya juga berkembang dan semakin mematikan. Penyakit menyebabkan rasa sakit dan penderitaan, dan kelemahan ini mengingatkan kita pada kematian kita. Namun, terlepas dari realisasi ini, jauh di lubuk hati, kita tahu bahwa penyakit ini adalah sesuatu yang tidak wajar, sebuah kekurangan, bukan kesempurnaan. Kita ingin sehat, kita berjuang untuk menjadi sehat dan hanya dengan sehat, kita dapat mencapai potensi kita sebagai manusia.

Inilah alasan mengapa kita pergi ke dokter jika kita sakit, kita melakukan olahraga lain, dan kita menjalani gaya hidup sehat. Inilah alasan yang sama yang dicari orang dengan karunia kesembuhan. Ini adalah alasan yang sama mengapa banyak orang ingin disembuhkan Yesus.

Kita mungkin bertanya, mengapa Yesus tidak menyembuhkan kita semua? Jawabannya tidak mudah, tetapi kita dapat mengatakan bahwa Yesus pertama-tama datang untuk menyembuhkan hubungan kita yang rusak dengan Allah Bapa. Dia menyelamatkan kita dari dosa-dosa kita, sebuah penyakit rohani. Kesembuhan ragawi adalah tanda-tanda penebusan ini. Bahkan dalam misteri penyelenggaraan-Nya, Tuhan dapat menggunakan penyakit dan penderitaan kita untuk membuat kita semakin dekat secara rohani dengan-Nya. Kita bisa belajar dari para kudus.

St. Dominikus de Guzman dikenal melakukan mati raga yang sangat berat. Seorang saksi mata mengatakan bahwa tali rantai diikat erat-erat di pahanya dan baru dilepas ketika dia meninggal. Mortifikasi atau mati raga adalah salah satu cara favorit orang-orang kudus untuk mencari Tuhan. Mereka tidak ingin tubuh mereka yang sehat menjadi penghalang untuk mencari Tuhan. Sementara itu, Beato Carlo Acutis yang sakit leukemia, penyakit yang sangat menyakitkan yang akhirnya merenggut nyawanya, mempersembahkan penderitaannya kepada Tuhan. Dia berkata, “Saya mempersembahkan semua penderitaan yang harus saya derita untuk Tuhan, untuk Paus, dan Gereja”

Yesus memberi kita kesembuhan bagi jiwa dan raga kita. Namun, dalam misteri penyelenggaraan-Nya, kelemahan tubuh kitapun dapat membawa kita lebih dekat kepada Tuhan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photocredit: Jonathan-borba

Keluarga-Keluarga Kudus

Pesta Keluarga Kudus [B]

27 Desember 2020

Lukas 2: 22-40

Kita merayakan pesta Keluarga Kudus, namun kita tidak hanya merayakan keluarga Yesus, Maria dan Yusuf, tetapi setiap keluarga di dunia. Melalui perayaan liturgi hari ini, Gereja mengundang kita untuk menyadari pentingnya dan berharganya keluarga kita. Tidak hanya menghargai nilai dasar keluarga, kita diundang untuk merangkul dan merayakan kehidupan keluarga.

Di tingkat manusia, banyak ahli sosial telah memahami bahwa masyarakat yang sehat dan berkembang dimulai dari keluarga yang kokoh. Keluarga tidak hanya mengisi komunitas dengan populasi manusia, tetapi juga menyediakan lingkungan di mana anak-anak dapat tumbuh menjadi pria dan wanita yang dewasa secara fisik dan psikologis. Manusia-manusia dewasa yang sehat dan mapan menjadi aset masyarakat dan bangsa.

Dari perspektif iman, Gereja selalu memandang keluarga sebagai unit dasar tidak hanya masyarakat tetapi Gereja itu sendiri. Dalam Seruan Apostoliknya, Familiaris Consorsium, Paus St. Yohanes Paulus II menegaskan peran fundamental keluarga sebagai “komunitas hidup dan kasih”. Dalam keluarga, suami dan istri belajar untuk saling mencintai semakin dalam setiap harinya. Dalam keluarga, orang tua memberikan kasih tanpa pamrih dan pengorbanan untuk anak-anak mereka. Di dalam keluarga, anak-anak belajar untuk menghormati dan menyayangi orang tua serta saudara-saudara mereka. Karena hanya dalam kasih, manusia menemukan pemenuhan sejatinya sebagai citra Tuhan yang adalah Kasih.

Alkitab juga sangat menghargai kehidupan keluarga. Menghormati ibu dan ayah kita adalah salah satu perintah tertinggi dalam Hukum Taurat [Kel 20]. Sirach bahkan mengklaim bahwa menghormati orang tua kita dapat menghapus dosa-dosa kita [Sir 3:3]. St. Paulus sendiri dalam suratnya kepada jemaat di Kolose, memberikan instruksinya kepada setiap anggota keluarga tentang bagaimana berperilaku yang baik sebagai anggota keluarga [lihat Kol 3: 12-21].

Kembali kepada Yesus, kita menemukan bahwa bagi Dia, keluarga memang sangat esensial. Sebagai Tuhan, Yesus bisa saja datang kepada kita langsung dari surga. Dia tidak membutuhkan bantuan manusia untuk menebus manusia. Namun, Dia memilih untuk dilahirkan dari perawan Maria, dan melalui malaikat, Dia menginstruksikan Yusuf untuk menjadi suami Maria dan dengan demikian, menjadi ayah angkat-Nya. Ketika Yesus menjadi manusia, Dia memasuki keluarga manusia, dan tumbuh melalui bimbingan dan perlindungan Yusuf dan Maria. Yesus telah menjadi bagian dari sebuah keluarga, dan kehadiran-Nya menguduskan keluarga manusia-Nya. Ini adalah pesan penting bagi semua keluarga bahwa keluarga akan menjadi sekolah kekudusan karena Yesus hadir.

Kita akui juga bahwa kehidupan keluarga tidak selalu mulus dan manis. Saat-saat frustrasi, kesalahpahaman, amarah dan kesedihan seringkali datang dan menghantam kita dengan keras. Berbagai masalah mulai dari stabilitas ekonomi hingga ketidakdewasaan emosional melanda hubungan kekeluargaan kita. Namun, situasi buruk ini dapat diubah menjadi sarana kekudusan jika Yesus hadir di antara kita. Membesarkan anak bisa jadi sulit dan bahkan menjengkelkan, tetapi kita bisa mempersembahkan salib ini kepada Tuhan sebagai doa. Hubungan dengan pasangan kita dapat dipenuhi dengan kesalahpahaman, tetapi sebelum kita melampiaskan emosi kita, kita mungkin berhenti sejenak dan bertanya kepada Tuhan tindakan terbaik yang akan kita ambil. Dengan demikian, melalui kesulitan-kesulitan ini, kita menjadi lebih dekat dengan Tuhan.

Kita berterima kasih atas karunia kehidupan, kasih dan keluarga.

Selamat Pesta Keluarga Kudus!

 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Wheat among the Weeds

16th Sunday in Ordinary Time [A]

July 19, 2020

Matthew 13:24-43

wheat n weed 1The parable of the wheat and weed is one of a kind. If we survey the details, we are supposed to raise our eyebrows. Firstly, if you become a person who will destroy your opponent’s field of wheat, you know that there are several other effective ways to accomplish that. We can simply set a small fire on the wheat, and the entire field will eventually turn to be an inferno. But, the enemy chose unorthodox tactic: to sow seeds of weed during the planting period. While the weed may disturb the growth of the wheat, they will not sufficiently damage and stop the harvest.  So, what is the purpose? What is surprising is that the decision of the field’s owner. When he was notified about the presence of the weed, he immediately knew the culprit, and instead to act promptly and protect their wheat, he decided to allow the weeds to thrive among his wheat.

As expected, the disciples were puzzled by the parable, and when the disciples asked the meaning of this parable, they found another mind-blogging answer. The owner of the field is God Himself and He allowed the children of the evil one to grow among the children of God both in the world and in the Church. Yes, God allows that! He allows His children will not have a smooth journey and growth in the world. God allows His children to be harassed, bullied, and even persecuted by the evil one. God allows His children to experience trials and difficult moments. The question is why?

We may take the cue from St. Paul. He once magnificently wrote, “We know that all things work together for good for those who love God, who are called according to his purpose [Rom 8:28].” God allows bad things to happen because these are for our good! What kind of goodness why we may ask? From our human perspective, perhaps it is nothing but absurd, but from His vantage point, things fall into its proper places.

Jesus invites us to call God as Father, and letter to the Hebrews reminds us, “for the Lord disciplines those whom he loves, and chastises every child whom he accepts [Heb 12:6].” Trials and difficulties are God’s pedagogy toward whom He loves. As parents, we know care and discipline have to work hand in hand. We are well aware that true discipline is also a way of loving. If we want our children to succeed in their lives, we need to teach them to delay their gratification. We allow them to experience pain and difficulty first before we give them a reward. My parents used to ask me to study and finish their homework first before I could enjoy watching television. It resulted not only in good grades, but also my acquired habit not to run from problems, but to endure it.

I do believe that it is also the same as our Father in heaven. He loves us by allowing us to endure the pain in this world so that we may truly appreciate the spiritual gifts. Allow me to end this reflection, by quoting St. Paul, “We also boast in our sufferings, knowing that suffering produces endurance, and endurance produces character [as children of God], and character produces hope, and hope does not disappoint us..” [Rom 5:3-5]

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Gandum di antara Ilalang

Minggu ke-16 di Masa Biasa [A]

19 Juli 2020

Matius 13: 24-43

wheat 1Perumpamaan tentang gandum dan ilalang adalah sangat unik. Jika kita meneliti detailnya, kita seharusnya terkejut. Pertama, jika kita menjadi orang yang akan menghancurkan ladang gandum lawan kita, kita tahu bahwa ada beberapa cara lain yang lebih efektif untuk mencapainya. Kita cukup membakar beberapa gandum, dan seluruh ladang pada akhirnya akan berubah menjadi api raksasa. Tetapi, musuh ini memilih taktik yang tidak lazim: menabur benih ilalang selama masa tanam. Sementara ilalang dapat mengganggu pertumbuhan gandum, mereka tidak akan cukup merusak dan menggagalkan panen. Jadi, apa tujuannya? Yang mengejutkan adalah keputusan pemilik ladang. Ketika dia diberitahu tentang keberadaan ilalang, dia segera tahu pelakunya, dan bukannya bertindak cepat untuk melindungi gandumnya, dia memutuskan untuk membiarkan ilalang tumbuh subur di antara gandumnya.

Seperti minggu lalu, para murid bingung dengan perumpamaan itu, dan ketika para murid menanyakan arti dari perumpamaan ini, mereka menemukan jawaban yang sekali lagi mencengangkan. Pemilik ladang adalah Allah Sendiri dan Dia mengizinkan anak-anak si jahat tumbuh di antara anak-anak Allah, baik di dunia maupun di Gereja. Tuhan sungguh mengizinkan hal itu! Dia mengizinkan anak-anak-Nya tidak akan memiliki perjalanan dan pertumbuhan yang mulus di dunia. Tuhan mengizinkan anak-anak-Nya diganggu dan bahkan dianiaya oleh si jahat. Tuhan mengizinkan anak-anak-Nya mengalami cobaan dan saat-saat sulit. Pertanyaannya adalah mengapa?

Kita dapat mengambil petunjuk dari St Paul. Dia pernah menulis, “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. [Rom 8:28].” Tuhan mengizinkan hal-hal buruk terjadi karena ini untuk kebaikan kita! Kebaikan macam apa ini? Dari sudut pandang manusiawi kita, mungkin ini tidak masuk akal, tetapi dari sudut pandang-Nya, segala sesuatunya terjadi dengan sangat indah bagaikan sebuah simfoni.

Yesus mengundang kita untuk memanggil Allah sebagai Bapa, dan surat kepada orang-orang Ibrani mengingatkan kita, “karena Tuhan mendisiplinkan orang yang dikasihi-Nya,  dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” Pencobaan dan kesulitan adalah pedagogi Tuhan terhadap siapa yang Dia kasihi. Sebagai orang tua, kita tahu bahwa kepedulian dan disiplin harus berjalan bersamaan. Kita sangat menyadari bahwa disiplin sejati juga adalah cara mencintai. Jika kita ingin anak-anak kita berhasil dalam kehidupan mereka, kita perlu mengajar mereka untuk menunda kepuasan mereka. Kita membiarkan mereka mengalami rasa sakit dan kesulitan terlebih dahulu sebelum kita memberi mereka hadiah. Orang tua saya biasanya meminta saya untuk belajar dan menyelesaikan PR terlebih dahulu, sebelum saya dapat menikmati televisi. Ini menghasilkan tidak hanya nilai baik di sekolah, tetapi juga kebiasaan saya untuk tidak lari dari masalah, tetapi untuk bersabar menghadapinya.

Saya percaya bahwa hal ini juga sama dengan Bapa kita di surga. Dia mengasihi kita dengan mengizinkan kita menanggung rasa sakit di dunia ini sehingga kita dapat benar-benar menghargai karunia rohani. Izinkan saya mengakhiri refleksi ini, dengan mengutip St. Paulus, “Kita malah bermegah juga dalam kesengsaraan kita , karena kita tahu, bahwa kesengsaraan itu menimbulkan ketekunan,  dan ketekunan menimbulkan tahan uji [karakter sebagai anak-anak Allah-ed] dan tahan uji menimbulkan pengharapan. Dan pengharapan  tidak mengecewakan…”[Rom 5:3-5]

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yoke of Jesus

14th Sunday in Ordinary Time [A]

July 5, 2020

Matthew 11:25-30

finding cross 2From the previous two Sundays, we learn that Jesus lays down the cost of following Him, how to become His disciples. And they are extremely tough. One has to follow Jesus wherever He goes. One must love Jesus above anyone else. One must be ready to suffer persecutions and hardships, carry his cross, and give up his life for Jesus. It is Jesus or nothing at all. However, following Jesus is not all about hardship and sacrifice. Today we hear that to walking with Him, we receive certain “perks” that others cannot even dare to offer.

Today’s Gospel is one of my personal favorites. Here, Jesus is presenting His other side. Last Sundays, we witness Jesus, who is firm and resolve in following the Father’s will, and He demands the same thing from His disciples. Now, He is showing Himself as one who is gentle and humble. He even promises to give rest to those who come to Him. Yet, there is an interestingly powerful point that Jesus makes: that in order to have rest, we need to carry the yoke of Jesus. A yoke is a device placed on the shoulders to carry weight. For Jesus, rest is not throwing away the yoke. We need to carry our yoke, our daily responsibilities, and mission in life. Yet, despite carrying the yoke, it will be easy. How is that possible?

We remember that Jesus is a carpenter’s son and Himself a carpenter. He knows well that a yoke that does not fit the shoulder will only add more burden and hurt. Yet, the yoke that is designed perfectly to fit the shoulder, will feel easy and even comfortable. This is the yoke of Jesus, a yoke that fits each of us.

The second point is that there is a kind of yoke that can be shouldered by two animals or persons, “a double yoke.” I do believe that this is a kind of yoke that Jesus offers to us. Why double yoke? Because Jesus will bring together yoke with us. He shoulders the yoke with us. And when we feel exhausted, that’s the time He takes over and we find rest.

But, wait, there is more! In the Gospel of Matthew, twice Jesus instructs His disciples to carry something in their shoulders. The first one is to carry the cross [Mat 10:38, and the second thing is the yoke [Mat 11:29]. Jesus seems to make a real connection between the two: His yoke is our cross. If this is true, then the implication is massive. Our daily cross is actually easy because it perfectly fits us and even, Jesus is carrying it with us. I do believe most of the time, it is Jesus who carries our crosses. At first, Jesus sounds exceedingly tough with His nearly impossible demands, especially to carry our cross, but looking our Gospel deeper, we realize that most the time, it is Jesus who shoulders our crosses. That is the reason only His cross, we find the true rest and consolation.

If we find ourselves still burdened and exhausted with our lives, we may ask: Are we carrying the cross of Jesus? Are we bringing the yoke alone and relying solely on our strength? Are we shouldering unnecessary burdens that should be unloaded a long time ago?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kuk Yesus

Minggu ke-14 dalam Waktu Biasa [A]

5 Juli 2020

Matius 11: 25-30

jesus carry crossDari dua hari Minggu sebelumnya, Yesus menunjukkan apa yang harus kita serahkan untuk menjadi murid-Nya. Dan hal-hal yang harus kita lepaskan demi Yesus sanggatlah sulit. Kita harus mengikuti Yesus ke mana pun Dia pergi. Kita harus mengasihi Yesus lebih dari yang lain bahkan orang tua kita. Kita harus siap untuk menderita, menanggung  kesulitan, memikul salib, dan menyerahkan hidup bagi Yesus. Pilihannya adalah Yesus atau tidak sama sekali. Namun, mengikuti Yesus tidak semua tentang kesulitan dan pengorbanan. Hari ini kita mendengarkan bahwa menjadi murid-Nya, kita menerima “hal-hal baik” yang hanya Yesus bisa berikan.

Injil Hari Ini adalah salah satu favorit pribadi saya. Di sini, Yesus menunjukkan sisi yang lain. Hari Minggu terakhir, kita menyaksikan Yesus, yang teguh dan teguh dalam mengikuti kehendak Bapa, dan Dia menuntut hal yang sama dari para murid-Nya. Sekarang, Dia menunjukkan diri-Nya sebagai orang yang lembut dan rendah hati. Dia bahkan berjanji untuk memberi kelegaan atau istirahat kepada mereka yang datang kepada-Nya. Namun, ada satu hal menarik dari apa yang Yesus katakan: bahwa untuk beristirahat, kita perlu memikul kuk Yesus. Kuk adalah alat yang diletakkan di atas bahu untuk membawa beban. Bagi Yesus, istirahat bukanlah membuang kuk. Kita perlu memikul kuk kita, tanggung jawab kita sehari-hari, dan misi dalam hidup. Namun, meski membawa kuk, justru kita akan mendapatkan kelegaan. Bagaimana mungkin?

Kita ingat bahwa Yesus adalah putra seorang tukang kayu dan dia sendiri seorang tukang kayu. Dia tahu betul bahwa kuk yang tidak pas di bahu hanya akan menambah beban dan membuat sakit. Namun, kuk yang dirancang sempurna dan pas dengan bahu akan terasa mudah dan bahkan nyaman diangkat. Ini adalah kuk Yesus, kuk yang cocok untuk kita masing-masing, karena Dia adalah tukang kayu yang baik.

Poin kedua adalah bahwa ada semacam kuk yang bisa dipikul oleh dua binatang secara bersamaan, atau kita sebut “kuk ganda.” Saya percaya bahwa ini adalah jenis kuk yang ditawarkan Yesus kepada kita. Mengapa kuk ganda? Karena kita tidak pernah sendirian membawa kuk ini, dan Yesus akan membawa kuk bersama kita. Dan ketika kita merasa lelah, itulah saatnya Dia mengambil alih dan kita menemukan istirahat dan kelegaan.

Dalam Injil Matius, Yesus memerintahkan murid-murid-Nya untuk membawa dua hal di pundak mereka. Yang pertama adalah memikul salib [Mat 10:38], dan yang kedua adalah kuk [Mat 11:29]. Yesus tampaknya membuat hubungan nyata antara keduanya: kuk-Nya adalah salib kita. Jika ini benar, maka implikasinya sangat besar. Salib harian kita sebenarnya tidak seberat yang kita duga karena sangat cocok untuk kita dan bahkan, Yesus membawanya bersama kita. Saya percaya bahwa dalam banyak momen dalam hidup kita, Yesuslah yang membawa salib kita. Pada awalnya, Yesus terdengar sangat tegas dengan tuntutan-Nya yang hampir mustahil, terutama untuk memikul salib kita, tetapi melihat Injil kita lebih dalam, kita menyadari bahwa tidak hanya salib kita ini pas buat kita, Yesus juga yang memikul salib kita. Itulah alasan kenapa memanggul salib-Nya, kita menemukan istirahat dan penghiburan sejati.

Jika kita menemukan diri kita masih terbebani dan kelelahan dengan hidup kita, kita bisa bertanya: Apakah kita memikul salib Yesus atau salib yang lain? Apakah kita membawa kuk sendirian dan hanya mengandalkan kekuatan kita? Apakah kita memikul beban yang tidak perlu yang seharusnya diturunkan sejak lama?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Jesus or Nothing

13th Sunday in Ordinary Time

June 28, 2020

Matthew 10:37-42

Processed with VSCO with p5 preset

In many cultures like Indonesia, Filipino, and Chinese, to honor our parents is of prime importance. In Indonesia, to highlight the value, a folklore “Malin Kudang” was taught even in elementary. In essence, Malin not only failed to respect his parents, but also deliberately ignored them. Thus, his mother cursed him into a stone. it is just unforgivable to disrespect someone who gave your life and raise you to life.

Respecting the parents is also one of the highest values for the Jewish people. What is remarkable is that they are not honoring their parents because it is something natural to do, but because it is a divine commandment. Going back to the Decalogue, to honor our mothers and fathers is, in fact, the fourth commandment, highest among the commandments regulating the human community. Even the Hebrew word used is “kabad”, which can mean “to honor” but may mean also to glorify. Thus, God instructed the Israelites and Christians as well not simply honor but to glorify our parents.

However, today’s Gospel tells us that Jesus demands even something unthinkable, that if we love our parents more than Jesus, we are not worthy of Him. Peter, Andrew, and John and the rest of the disciples have left their stable jobs and the comfort of their home to follow Jesus, but Jesus even lays down a more radical requirement. To follow Him is not just physically be present with Him, but the disciples have to give their total love for Jesus above everyone else. Who is this Jesus who requires His followers the love beyond our parents?

The answer is not that complicated. Jesus deserves all the love and loyalty we have simply because He is God. In Book of Deuteronomy [6:4-5], Moses instructed Israelites how to love and honor God, “Hear, O Israel! The Lord is our God, the Lord alone! Therefore, you shall love the Lord, your God, with your whole heart, and with your whole being, and with your whole strength.”

And how did Jesus know that His disciples love Him more than anybody else, and not merely lips service? As proof of their love, Jesus asks them to show this: “take up your cross and follow me!” In Jesus’ time, the cross is a most gruesome torture and execution method and is designed to prolong the agony. In essence, Jesus tells His disciples if they really love Him above all else, they need to be ready to endure prolonged suffering and even die a horrible death for Him. When we face Jesus, the choice is: all for Jesus or none at all.

Does it mean we shall stop loving our parents and children? Does it mean we no longer do good works for others and just stay in prayers for as long as we can? Not at all. Loving God above other things places us in the right perspective and orients us to the right destination. Now we may love others including our family for the love of God. It means that when we love them, we bring them closer to God. Now we may do our works and service for God, not for the sake of gaining personal benefits. When we work hard and we are blessed with success, the first thing we remember is to give praise to the Lord. And, if we encounter roadblocks in our lives or if we need to endure suffering, we are not losing hope because this is also an opportunity to love God even more.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus atau Tidak Sama Sekali

Minggu ke-13 dalam Masa Biasa

28 Juni 2020

Matius 10: 37-42

simon cyreneDalam banyak budaya seperti di Indonesia, Filipina dan Cina, menghormati orang tua kita adalah hal yang sangat penting. Di Indonesia, untuk mendidik nilai ini, cerita rakyat “Malin Kudang” diajarkan bahkan di sekolah dasar. Intinya, Malin tidak hanya gagal menghormati orang tuanya, tetapi juga sengaja mengabaikan ibunya yang sudah tua. Karena itu, dia dikutuk menjadi batu. Adalah sesuatu yang tidak termaafkan untuk tidak menghormati seseorang yang telah memberikan hidup kita dan mendidik kita untuk  hidup.

Menghargai orang tua juga merupakan salah satu nilai tertinggi bagi bangsa Yahudi. Yang luar biasa adalah bahwa mereka tidak menghormati orang tua mereka karena itu adalah sesuatu yang wajar untuk dilakukan, tetapi karena itu adalah perintah Ilahi. Kembali ke Sepuluh Perintah Allah, untuk menghormati ibu dan ayah kita sebenarnya adalah perintah keempat, tertinggi di antara perintah-perintah yang mengatur komunitas manusia. Bahkan kata Ibrani yang digunakan adalah “kabad”, yang dapat berarti “untuk menghormati” tetapi bisa juga berarti “memuliakan”. Karena itu, Tuhan memerintahkan baik orang Israel dan maupun umat Kristiani untuk tidak hanya menghormati tetapi juga untuk memuliakan orang tua kita.

Namun, Injil hari ini mengatakan bahwa Yesus menuntut bahkan sesuatu yang tidak terpikirkan, bahwa jika kita mengasihi orang tua kita lebih daripada Yesus, kita tidak layak bagi-Nya. Petrus, Andreas, dan Yohanes serta murid-murid lainnya telah meninggalkan pekerjaan mereka yang stabil dan kenyamanan rumah mereka untuk mengikuti Yesus, tetapi Yesus bahkan menetapkan persyaratan yang lebih radikal. Untuk mengikuti-Nya tidak hanya secara fisik hadir bersama-Nya, tetapi para murid harus memberikan kasih total mereka kepada Yesus di atas semua orang. Siapakah Yesus ini sehingga Dia patut menerima kasih para pengikut-Nya lebih dari orang tua kita?

Jawabannya tidak terlalu rumit. Yesus pantas mendapatkan semua cinta dan kesetiaan yang kita miliki hanya karena Dia adalah Allah. Dalam Kitab Ulangan [6:4-5], Musa menginstruksikan orang Israel cara untuk mengasihi dan menghormati Allah, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Hanya Allah yang layak menerima segalanya dari kita.

Dan bagaimana Yesus tahu bahwa murid-murid-Nya mengasihi Dia lebih dari yang lain, dan bukan hanya sekedar kata-kata saja? Sebagai bukti kasih mereka, Yesus meminta mereka untuk menunjukkan ini: “Pikullah salibmu dan ikuti aku!” Pada zaman Yesus, salib adalah metode penyiksaan dan eksekusi yang paling mengerikan, dan dirancang untuk memperpanjang penderitaan. Intinya, Yesus memberi tahu para murid-Nya jika mereka benar-benar mencintai-Nya di atas segalanya, mereka harus siap untuk menanggung penderitaan yang berkepanjangan dan bahkan mati bagi-Nya. Ketika kita menghadapi Yesus, pilihannya adalah: semua untuk Yesus atau tidak sama sekali.

Apakah itu berarti kita akan berhenti mencintai orang tua dan anak-anak kita? Apakah itu berarti kita tidak lagi melakukan pekerjaan baik untuk orang lain dan hanya berdoa selama yang kita bisa? Tentu saja tidak. Mengasihi Tuhan di atas hal-hal lain menempatkan kita dalam perspektif yang benar dan mengarahkan kita ke tujuan yang benar. Sekarang kita dapat mengasihi orang lain termasuk keluarga kita sebagai bentuk kasih kita  bagi Tuhan. Ini berarti bahwa ketika kita mencintai mereka, kita membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan. Sekarang kita dapat melakukan pekerjaan dan pelayanan kita untuk Tuhan, bukan demi mendapatkan keuntungan pribadi. Ketika kita bekerja keras dan kita diberkati dengan kesuksesan, hal pertama yang kita ingat adalah untuk memuji Tuhan. Dan, jika kita menghadapi hambatan dalam hidup kita atau jika kita perlu menanggung penderitaan, kita tidak kehilangan harapan karena ini juga merupakan kesempatan untuk lebih mengasihi sesama dan Tuhan lebih dalam.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP