Hosanna

Palm Sunday of the Lord’s Passion

April 5, 2020

Matthew 21:1-11 and Matthew 26:14—27:66

palm at homeToday, we are celebrating the Palm Sunday of the Lord’s Passion. In many countries, today is a big celebration where people excitedly throng the Church. I remember when I was still studying in the Philippines, the faithful would pack almost all the 11 masses in our Church, Santo Domingo Church. It was a festive celebration as many people were carrying palm branches of a coconut tree.

However, something bizarre takes place this year. The churches in many countries are temporarily closed, the faithful are asked to avoid gathering, including the Holy Eucharist, and people are confused about what to do with the Celebration of the Holy Week. A parishioner once painfully asked me, “Father, since the Church is closed, what shall I do with the palm branches I have?” Surely, there is always a pastoral solution to any problem that the faithful have. Yet, the real issue is not so much about how to clear up the confusion, but how to deal with the deep pain of losing what makes us Catholics. No palm in our hands, no kissing of the crucifix, and no Body of Christ.

Reflecting on our Gospels’ today, we are somehow like the people of Jerusalem who welcomed Jesus and shouted, “Hosanna!” The Hebrew word “Hosanna” literally means “save us!” or “give us salvation!” It is a cry of hop `e and expectation. We need to remember that the people of Israel during this time was were under the Roman Empire’s occupations. Commonly, lives were hard and many people endured heavy taxation under severe punishment. Many faithful Jews were anticipating the promised Messiah, who like David, would restore the lost twelve tribes of Israel, deliver them from the grip of the Romans and bring them into a glorious kingdom. They saw Jesus as a charismatic preacher, miraculous healer, and nature conqueror, and surely, Jesus could be the king that would turn the Roman legions upside down. We need to remember also the context of the Gospel that in few days, the Jewish people would celebrate the great feast of Passover, and thousands of people were gathered in Jerusalem. With so much energy and euphoria, a small incident could ignite a full-scale rebellion. And Jesus was at the center of this whirlpool.

Jesus is indeed a king and savior, but He is not the kind of king that many people would expect. He is a peaceful king, rather than a warmonger, that is why He chose a gentle ass rather than a strong horse. His crown is not shining gold and diamond, but piercing thorns. His robe is not purple and fine-linen, but skin full of scars. His throne is neither majestic nor desirable, but a cross.

We may be like people of Jerusalem, and we shout “Hosanna!” to Jesus, expecting Him to save us from this terrible pandemic, to bring our liturgical celebrations back, and to solve all our problems. However, like people of Jerusalem, we may get it wrong. Jesus is our Savior, but He may save us in the way that we do not even like.

The challenge is whether we lose patience and dismiss Jesus as a preacher of fake news, rather than good news, or endure the humiliation with Him; whether we get discouraged and begin to shout, “Crucify Him!” or we stand by His cross. The challenge is whether we get bitter and start mocking the church authorities for their incompetence handling the crisis or we continue to support them in time of trial; whether we are cursing the grim situations or we begin to spread the light however small it is.

Why does God allow us to endure this terrible experience, or to be more precise, why does God allow Himself to endure this terrible experience? Let us wait at the Good Friday.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hosanna

Minggu Palma Mengenang Sengsara Tuhan

5 April 2020

Matius 21: 1-11 dan Matius 26: 14—27: 66

palm n crossHari ini, kita merayakan Minggu Palma. Di banyak negara, hari ini adalah perayaan besar dan umat dengan penuh semangat memenuhi Gereja. Saya ingat waktu masih kecil saya selalu paling semangat ikut perarakan romo yang memasuki Gereja dan kami mengikutinya dengan membawa daun palma kami masing-masing.

Namun, sesuatu yang memilukan terjadi tahun ini. Gereja-gereja di banyak negara ditutup sementara, umat beriman diminta untuk tidak berkumpul, termasuk menghadiri Ekaristi suci, dan orang-orang bingung apa yang harus dilakukan dengan Perayaan Pekan Suci. Seorang umat paroki bertanya dengan sedih kepada saya, “Romo, karena Gereja ditutup, apa yang harus saya lakukan dengan cabang-cabang palma yang saya petik?” Tentunya, selalu ada solusi pastoral untuk hal-hal ini, tetapi masalah sebenarnya bukan tentang bagaimana mengatasi kebingungan, tetapi bagaimana menghadapi kepedihan yang mendalam karena kehilangan apa yang membuat kita menjadi Katolik. Tidak ada palma di tangan kita, tidak ada ciuman kaki salib, dan tidak ada Tubuh Kristus.

Orang-orang Yerusalem yang menyambut Yesus dan berteriak, “Hosanna!” Kata Ibrani “Hosanna” secara harfiah berarti “selamatkan kami!” atau “beri kami keselamatan!” Itu adalah seruan harapan. Kita perlu ingat bahwa orang-orang Israel pada masa ini berada di bawah pendudukan Kekaisaran Romawi. Umumnya, kehidupan itu sulit dan banyak orang menanggung pajak berat dan peraturan yang membebankan. Banyak orang Yahudi yang setia mengharapkan Mesias yang dijanjikan, yang seperti Daud, akan memulihkan dua belas suku Israel yang hilang, membebaskan mereka dari cengkeraman bangsa Romawi dan membawa mereka ke kerajaan yang mulia. Mereka melihat Yesus sebagai pewarta karismatik, penyembuh ajaib, dan penakluk alam yang ganas, dan tentunya, Yesus bisa menjadi raja yang akan menjungkirbalikkan pasukan Romawi. Kita perlu mengingat juga konteks Injil hari ini, bahwa dalam beberapa hari, orang-orang Yahudi akan merayakan pesta besar Paskah, dan ribuan orang berkumpul di Yerusalem. Dengan begitu banyak energi dan euforia, insiden kecil bisa memicu pemberontakan skala besar. Dan Yesus berada di pusat pusaran ini.

Yesus memang seorang raja dan penyelamat, tetapi Ia bukan raja yang diharapkan banyak orang. Dia adalah raja damai, bukan jendral perang, itulah sebabnya Dia memilih keledai yang lembut daripada kuda yang kuat. Mahkotanya bukan emas dan berlian yang bersinar, tetapi duri yang tajam. Jubahnya bukan kain halus ungu, tetapi kulit yang penuh luka. Takhta-Nya tidak megah, tetapi sebuah salib yang hina.

Kita mungkin seperti orang-orang di Yerusalem, dan kita berteriak “Hosanna!” kepada Yesus, mengharapkan Dia untuk menyelamatkan kita dari pandemi yang mengerikan ini, untuk mengembalikan perayaan liturgi kita, dan untuk menyelesaikan semua masalah kita. Namun, seperti orang-orang Yerusalem, kita mungkin keliru. Yesus adalah Juru Selamat kita, tetapi Dia mungkin menyelamatkan kita dengan cara yang bahkan tidak kita sukai.

Tantangannya adalah apakah kita kehilangan kesabaran dan mengatakan bahwa Yesus sebagai pewarta hoax, dan bukan kabar baik, atau menanggung penghinaan dengan-Nya; apakah kita berkecil hati dan mulai berteriak, “Salibkan Dia!” atau kita berdiri di dekat salib-Nya. Tantangannya adalah apakah kita menjadi pahit dan mulai mengejek otoritas gereja karena ketidakmampuan mereka menangani krisis, atau kita terus mendukung mereka pada masa pencobaan; apakah kita mengutuk situasi yang suram, atau kita mulai menyebarkan cahaya sekecil apa pun itu.

Mengapa Tuhan membiarkan kita menanggung pengalaman mengerikan ini, atau lebih tepatnya, mengapa Allah membiarkan diri-Nya menanggung pengalaman mengerikan ini? Mari kita tunggu jawabannya di Jumat Agung.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

God’s Loving Touch

Fifth Sunday of Lent [A]

March 29, 2020

John 11:1-45

Daniel Bonnell, "Jesus Wept." Oil on canvas, 34 x 46 in. Tags: LazarusAmong the five human senses, the sense of touch is the most basic and foundation to other senses. The sense of sight needs to be in touch with the light spectrum. The sense of taste requires to be in contact with the chemical in the food. The sense of hearing must receive air vibration or sound waves. This sense makes us a human being, a bodily being. No wonder that many traumatic experiences [even mental problems] are rooted in the lack (or excess) of touch.

God, our creator, understands our fundamental need of touch. Thus, to fulfill our deepest desire, He made a radical choice and became a man like all of us. Because Jesus is true God and true man, the disciples were able to see, hear, touch and feel Him. Yet, He gave a more radical gesture as He offered Himself as food to eat and drink to eat, “for my flesh is true food and my blood is true drink [Jn 6:55].” While the pagan deities were feasting on the human blood and sacrifice, our God does the opposite. He gave up His life so that we may live and feel His love.

Following the example of our Savior, the Church is filled with tangible means and bodily gestures as a sign and symbols of the divine presence. No wonder our churches are equipped with beautiful crucifixes, adorned with flowers, and mystified by the burning candle and incense. A sacrament is no other than the visible sign of the invisible grace, and sacraments really intend to connect to our bodies, like blessed water and oil that touch our forehead, the bread that we consume, and words of forgiveness that we need to hear. Amazingly, the Church is called the body of Christ, and our call is to unite as one people of God around this table of Eucharist.

However, the terrible thing befalls our Church. The pandemic caused by the Covid-19 is basically reversing the movement of our faith. We are facing a reality that touching can mean illness, the gathering may bring disaster, and worship may mean death. For the good of the flock, our leaders are forced to close the churches. We now feel the pain of separation from the Body of Christ.

Perhaps, we are like Lazarus who are experiencing spiritual suffering and death. Perhaps, we are like Martha who is asking the Lord, “why are you not coming sooner?” Perhaps, we are like Mary who cannot do anything but mourns and is reduced into silence.

The Gospel of John tells us that Jesus loves Lazarus, Martha and Mary as His close friends. Yet, Jesus did not rescue Lazarus when he got gravely ill, and even Jesus visited them after Lazarus died four days. Jesus allowed terrible things to take place in the life of Lazarus, Martha, and Mary, not because He wanted to punish them, or He does not care, but because He loves them.

In His love, God allows us to endure the sense of losing God, and experience suffering and even death. God knows too well that through suffering, we may love even deeper, we grow in faith, and re-discover God, alive and even closer. After all, there is no true resurrection, unless we enter the darkness of the tomb.

My deepest gratitude and prayer for our medical personal who give their all in to fight the disease and save lives.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Sentuhan Kasih Allah

Minggu Kelima Masa Prapaskah [A]

29 Maret 2020

Yohanes 11: 1-45

lazarus africanDi antara lima indra manusia, indra peraba [sentuhan] adalah yang paling dasar dan fondasi bagi indra yang lainnya. Indra penglihatan perlu bersentuhan dengan spektrum cahaya. Indra perasa perlu bersentuhan dengan bahan kimia dalam makanan. Indra pendengaran harus menerima getaran suara di udara. Sentuhan menjadikan kita manusia, makhluk yang bertubuh. Tidak mengheran jika banyak pengalaman traumatis [bahkan masalah mental] berakar pada sentuhan yang kurang diterima atau tidak seharusnya diterima.

Tuhan, pencipta kita, memahami kebutuhan mendasar kita akan sentuhan. Dengan demikian, untuk memenuhi hasrat terdalam kita, Dia membuat pilihan radikal, dan menjadi manusia seperti kita semua. Karena Yesus adalah sungguh Allah dan sungguh manusia, para murid dapat melihat, mendengar, menyentuh dan merasakan Dia. Namun, Dia memberi sesuatu yang lebih radikal ketika Dia mempersembahkan diri-Nya sebagai makanan dan diminum, “karena dagingku adalah makanan yang benar dan darahku adalah minuman yang benar [Yohanes 6:55].” Sementara para dewa berhala menikmati darah manusia dari menjadi korban, Tuhan kita melakukan yang sebaliknya. Dia menyerahkan hidup-Nya sehingga kita dapat hidup dan merasakan kasih-Nya.

Mengikuti contoh Juruselamat kita, Gereja dipenuhi dengan sarana jasmani sebagai tanda dan simbol kehadiran ilahi. Tidak heran gereja-gereja kita dilengkapi dengan salib yang indah, dihiasi dengan bunga, dan diagungkan dengan lilin dan dupa. Sakramen tidak lain adalah tanda yang terlihat dari rahmat yang tak terlihat, dan sakramen benar-benar bermaksud untuk menyentuh tubuh kita, seperti air dan minyak suci yang menyentuh dahi kita, hosti yang kita santap, dan kata-kata pengampunan yang perlu kita dengar. Bahkan, Gereja sendiri disebut sebagai tubuh Kristus, dan panggilan kita adalah untuk bersatu sebagai satu umat Allah di sekitar meja Ekaristi ini.

Namun, hal yang mengerikan menimpa Gereja kita. Pandemi yang disebabkan oleh Covid-19 pada dasarnya membalikkan gerakan dasar iman kita. Kita menghadapi kenyataan bahwa menyentuh dapat berarti penyakit, berkumpul dapat membawa bencana, dan ibadah dapat berarti kematian. Demi kebaikan umat, para pemimpin kita dipaksa untuk menutup gereja. Kita sekarang merasakan sakitnya perpisahan dari Tubuh Kristus.

Mungkin, kita seperti Lazarus yang mengalami penderitaan dan kematian rohani. Mungkin, kita seperti Marta yang bertanya kepada Tuhan, “seandainya Engkau datang, hal ini tidak perlu terjadi?” Mungkin, kita seperti Maria yang tidak bisa berbuat apa-apa selain berduka dan berdiam.

Yesus tidak menyelamatkan Lazarus ketika dia sakit parah, dan bahkan Yesus mengunjungi mereka setelah Lazarus meninggal empat hari. Kenapa Yesus membiarkan hal-hal buruk terjadi dalam kehidupan Lazarus, Marta dan Maria? Apakah Yesus ingin menghukum mereka atau tidak peduli dengan mereka? Injil Yohanes menyatakan bahwa Yesus mengasihi Lazarus, Marta dan Maria sebagai sahabat dekat-Nya. Yesus mengizinkan hal buruk terjadi terhadap sahabat-sahabat-Nya justru karena Dia mengasihi mereka.

Dalam kasih-Nya, Allah mengijinkan kita untuk merakan Tuhan yang jauh, dan mengalami penderitaan dan bahkan kematian. Tuhan tahu betul bahwa melalui penderitaan, kita dapat mencintai lebih dalam, kita tumbuh dalam iman, dan menemukan kembali Tuhan, yang lebih hidup dan bahkan lebih dekat. Kita perlu mengingat bahwa tidak ada kebangkitan sejati, kecuali kita berani memasuki kegelapan makam.

Terima kasih dan doa terdalam saya untuk pribadi medis kami yang telah memberikan segalanya untuk memerangi penyakit dan menyelamatkan nyawa.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus, Mempelai Pria Kita

Hari Minggu Prapaskah Ketiga [A]

15 Maret 2020

Yohanes 4: 5-42

jesus n samaritan womanKita melihat Yesus sebagai beberapa figur. Beberapa orang menganggap Dia sebagai guru, beberapa memanggilnya sebagai sahabat, dan beberapa yang lain hanya akan menyatakan Dia sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Namun, sedikit yang kita ketahui bahwa Injil memperkenalkan Dia sebagai mempelai laki-laki.

Gagasan bahwa Yesus sebagai mempelai kita agak canggung dan sulit diterima. Seseorang mungkin berpikir, “Jika saya single, tidak apa-apa menikah dengan Yesus. Tetapi jika saya sudah menikah, apakah itu berarti Yesus akan menjadi suami kedua saya, atau haruskah saya menceraikan suami pertama saya?” Kekhawatiran semacam ini tentu saja valid, namun ini berakar pada pemahaman manusiawi dan bahkan seksual kita tentang pernikahan. Lalu, mempelai laki-laki macam apa Yesus ini?

Untuk menjawab ini, kita perlu memahami beberapa simbol dalam Injil hari ini. Yesus pergi ke sebuah sumur dan Yohanes sang penginjil menegaskan bahwa itu bukan hanya sumur biasa, tetapi sumur Yakub. Seorang wanita Samaria kemudian datang untuk mengambil air, dan bertemu Yesus di sana. Bagi kita, itu hanya kisah biasa tentang pertemuan Yesus dengan seorang wanita, seperti ketika Yesus mengunjungi Maria dan Marta, atau Yesus membantu seorang wanita yang terjebak dalam perzinaan. Namun, ketika kita mengetahui Alkitab kita, pertemuan itu jauh dari biasa. Adegan di sumur adalah saat seorang pria menemukan pengantin wanitanya. Dalam Kejadian 29, Yakub menemukan Rahel di dekat sumur ketika dia akan memberi minum domba. Dalam Kel 3, setelah Musa melarikan diri dari Mesir, ia pergi ke tanah Midian, dan di dekat sumur, ia membela para wanita yang diganggu oleh para gembala. Salah satu dari wanita ini akhirnya akan menjadi istrinya.

Namun, Injil dengan jelas menunjukkan bahwa Yesus tidak mencari istri atau menikahi wanita Samaria itu. Yesus juga tetap sendiri selama seluruh hidupnya, tetapi sekali lagi, kita tidak berbicara di tingkat manusia dan literal. Jika Yesus adalah Mempelai Pria yang ilahi, wanita Samaria juga melambangkan mempelai wanita Kristus yang sejati. Tidak heran, para Bapak Gereja, akan mengidentifikasi wanita Samaria sebagai simbol dari Gereja. Seperti wanita Samaria yang bukan Yahudi, Gereja juga datang dari banyak bangsa. Seperti wanita Samaria yang bergumul dengan kehidupan pernikahannya, Gereja juga bergumul dengan banyak dosa dan kelemahan. Seperti wanita Samaria yang sedang menunggu Mesias, Gereja juga membutuhkan seorang Juru Selamat.

Sungguh aneh melihat Yesus sebagai pengantin laki-laki kita terutama ketika kita terbiasa dalam pemahaman yang terlalu manusiawi. Namun, dalam tingkat spiritual, untuk memiliki Yesus sebagai mempelai laki-laki kita berarti kita memiliki seseorang yang sangat mengasihi kita, seseorang yang akan melindungi dan merawat kita, seseorang yang akan menerima ketidaksempurnaan kita dan seseorang yang akan rela menyerahkan hidupnya demi kita.

Virus Covid-19 hanya dalam waktu tiga bulan telah mendatangkan malapetaka di dunia. Apa yang mengerikan dengan virus ini bukan hanya sangat menular dan belum memiliki obat yang pasti, tetapi juga memaksa manusia untuk menunjukkan naluri bertahan hidup dasarnya: ketakutan dan bahkan keegoisan. Namun, ini adalah juga kesempatan terbaik untuk bertumbuh dalam iman. Iman kita tidak kosong karena kita berpegang pada seseorang, dan Dia adalah Yesus, Mempelai Pria kita yang akan memberikan hidup-Nya bagi kita.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Temptations

First Sunday of Lent

February 26, 2020

Matthew 4:1-11

Jesus is tempted - Matthew 4:1-11

The first Sunday of Lent begins the story of Jesus in the desert, fasting and being tempted by the devil. St. Matthew gives us more details in the story temptations, and from Matthew, we discover the threefold temptations of Christ. Why did Satan tempt Jesus? Why three temptations?

The temptation of Jesus took place after the baptism of Jesus and right before His public ministry of Jesus. His temptation brings us back to the first temptation in the garden of Eden. As Satan engineered the fall of humanity in deceiving the first Adam, the same evil agent executed the same assault to Jesus, the new Adam.

Why three? The ancient Jewish rabbis believe that the serpent who represented the Devil tempted Adam and Eve with three things. “..when the woman saw that the tree was good for food, and that it was a delight to the eyes, and that the tree was to be desired to make one wise [Gen 3:6].” Firstly, the devil made the fruit as something good to eat. Secondly, the devil made Eve perceive that the fruit was a sight to behold. Lastly, the devil made Eve believe that the fruit is the source of wisdom. The first temptation is called the sin of the belly since it attacks our weak flesh [gluttony and sexual sins]. The second is the sin of the sight because through the eyes, we see things we do not have, and we desire to possess them [envy, possessiveness, and stealing]. Lastly, but most potent is the sin of pride. This temptation makes people think that they can dethrone God and put themselves as the new gods.

When dealing with Jesus, the devil applied the same technique. The devil offered Jesus to use His power to satisfy His hunger. The devil brought Jesus to see all the beautiful things in the world to possess. And, the devil asks Jesus to demonstrate His power to show His divinity and authority to the people. However, Jesus did not fall into the temptation, and thus, undid the first Adam’s failure.

How did Jesus counter the devil’s attack? Three things: fasting and abstinence, almsgiving, and prayer. Fasting and abstinence have been an ancient practice to moderate one’s desires. While the devil wants us to fall into the sin of the flesh and enjoy the bodily pleasures, fasting and abstinence put in check our passions. While the devil influences us to get more and possess things even at the expense of other people, almsgiving enables us to be generous and feel sufficient with what we have.  While the devil tries to convince us that we can be the master of our lives, prayers remind us that there is God, and we are not Him.

This Lenten season is precisely a time for us to be aware of our human weaknesses and how the devil exploits them. Yet, we are not without hope; Jesus gives us His grace to counter this temptation and three Lenten practices [fast, abstinence, almsgiving and prayer] as our weapons.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Godaan

Hari Minggu Prapaskah Pertama

26 Februari 2020

Matius 4:1-11

temptation of jesus 2Hari Minggu Prapaskah pertama dimulai dengan kisah Yesus di padang gurun, berpuasa dan dicobai oleh iblis. Matius memberi kita lebih banyak perincian dalam kisah pencobaan, dan dari Matius, kita menemukan tiga pencobaan Kristus. Mengapa Setan menggoda Yesus? Kenapa tiga godaan?

Pencobaan Yesus terjadi setelah pembaptisan Yesus dan tepat sebelum Yesus memulai karya-Nya. Pencobaan-Nya membawa kita kembali ke pencobaan pertama di taman Eden. Ketika Setan merekayasa kejatuhan umat manusia dengan menipu Adam yang pertama, Setan yang sama melakukan serangan yang sama kepada Yesus, sang Adam yang baru.

Mengapa tiga? Para rabi Yahudi kuno percaya bahwa ular yang mewakili Iblis menggoda Adam dan Hawa dengan tiga hal. “… ketika wanita itu melihat bahwa pohon itu baik untuk makanan, dan buah itu menyenangkan mata, dan bahwa pohon itu diinginkan untuk membuat orang bijak [Kej 3: 6].” Pertama, iblis menjadikan buah sebagai sesuatu yang baik untuk dimakan. Kedua, iblis membuat Hawa merasakan bahwa buah itu adalah pemandangan yang harus dilihat. Terakhir, iblis membuat Hawa percaya bahwa buah adalah sumber kebijaksanaan. Pencobaan pertama disebut dosa perut karena ia menyerang kedagingan kita yang lemah [kerakusan dan dosa seksual]. Yang kedua adalah dosa penglihatan karena melalui mata, kita melihat hal-hal yang tidak kita miliki, dan kita berhasrat untuk memilikinya [iri, posesif, dan mencuri]. Terakhir, tetapi yang paling ganas adalah dosa kesombongan. Godaan ini membuat orang berpikir bahwa mereka dapat melengserkan Tuhan dan menempatkan diri mereka sebagai tuhan-tuhan baru.

Ketika berhadapan dengan Yesus, iblis menerapkan teknik yang sama. Iblis menawarkan Yesus untuk menggunakan kuasa-Nya untuk memuaskan rasa lapar-Nya. Iblis membawa Yesus untuk melihat semua hal indah di dunia untuk dimiliki. Dan, iblis meminta Yesus untuk menunjukkan kuasa-Nya untuk menunjukkan keilahian dan otoritas-Nya kepada orang-orang. Namun, Yesus tidak jatuh ke dalam pencobaan, dan dengan demikian, membatalkan kegagalan Adam yang pertama.

Bagaimana cara Yesus melawan serangan iblis? Tiga hal: puasa dan pantang, amal, dan doa. Puasa dan pantang telah menjadi praktik kuno untuk mengontrol hasrat kita. Sementara iblis ingin kita jatuh ke dalam dosa kedagingan dan menikmati kesenangan tubuh, puasa dan pantang mengendalikan nafsu kita. Sementara iblis memengaruhi kita untuk mendapatkan lebih banyak dan memiliki barang-barang bahkan dengan mengorbankan orang lain, amal memungkinkan kita untuk bermurah hati dan merasa cukup dengan apa yang kita miliki. Sementara iblis berusaha meyakinkan kita bahwa kita dapat menjadi penguasa dalam hidup kita, doa mengingatkan kita bahwa Tuhan itu ada, dan kita bukan Dia.

Masa Prapaskah ini adalah saat yang tepat bagi kita untuk menyadari kelemahan manusia kita dan bagaimana iblis mengeksploitasi mereka. Namun, kita bukannya tanpa harapan; Yesus memberi kita rahmat-Nya untuk melawan pencobaan ini dan tiga praktik Prapaskah [puasa, pantang, amal, dan doa] sebagai senjata kita.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Salt of Christ

Fifth Sunday in Ordinary Time [A]

February 9, 2020

Matthew 5:13-16

salt makingReading carefully, we may wonder, “Is it possible if the salt loses it, saltiness?” In everyday experience, we never experience tasteless salt. However, when we go back to the time of Jesus, we will be surprised that a salt losing its taste is a daily reality. In ancient Israel, the people would go to the Dead Sea, the saltiest body of water on earth, and gathered the “pillar of salt” formed surrounding the lake. Then, they would put inside a small bag, like a teabag”, and when it was needed for seasoning, the bag would be dipped into the water or soup. After some repeated use, the salt would lose its saltiness due to the chemical impurities. It turned to be nothing but an ordinary pebble, and shall be thrown away and trampled underfoot.

Salt is potent seasoning, but because of its small quantity, we hardly notice it. When I was still in the minor seminary, one of our Lenten observances was to eat our meals cooked without salt. The taste was totally awful. I forced myself to swallow the food, but it just made me feel terrible and feel like vomiting. I never thought that food without salt could hardly be edible.

For many of us, salt is just nothing but seasoning that we can add if lacking, or we only complain to the cooks if the menu is too salty. Yet, for some people, salt literally means life and death. From time to time, we have experienced diarrhea or a loose bowel movement. The sickness itself is easily treatable, but if left untreated, it can be deadly as it causes people to severe dehydration. One of the traditional ways to treat it is “oralit” or oral rehydration solution. It involves drinking the right quantity of water with added sugar and salt. How tiny salt saves people’s lives!

Yet, salt is seasoning and not the real menu. One cannot survive just salt alone. Too much salt in our body will lead to higher blood pressure, and high blood pressure can be fatal to many human organs. Jesus calls us “salt” because we are called to give an excellent flavor to the Bread of Life. When I was still studying in Manila, I was introduced to one of the favorite breakfasts of the Filipinos, “pan de sal.” It is Spanish for the bread of salt because a small amount of salt was added into the final phase of making the dough. The shape of the bread is simple, yet tasty, and make people crave more.

Like salt in Pan de Sal, our mission as Christians is to bring Jesus to others and to make people to long for Jesus more. It is a tough job because our lives and actions shall be right, not too salty, and not to bland. The more we draw attention to ourselves, the more people will just feel “too salty.” Yet, without making our effort, Christ will appear as rather “bland.”

Every time we go to the Mass, we receive the Body of Christ in the form of white, small, and tasteless bread, a host. Why is it flavorless? Because as we go home, we need to become the taste of this Bread of life. So, it is no longer we, but Christ who lives in us (see Gal 2:20).

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

 

 

Garam Kristus

Minggu Kelima dalam Waktu Biasa [A]

9 Februari 2020

Matius 5: 13-16

salt making 2Membaca dengan teliti, kita mungkin bertanya-tanya, “Apakah mungkin jika garam kehilangan rasa asinnya?” Dalam pengalaman sehari-hari, kita tidak pernah menemukan garam yang hambar. Namun, ketika kita kembali ke zaman Yesus, kita akan terkejut bahwa garam yang kehilangan rasanya adalah kenyataan sehari-hari. Di Israel kuno, orang-orang akan pergi ke Laut Mati, laut yang memiliki kadar garam paling tinggi di bumi, dan mengambil bongkahan-bongkahan garam yang terbentuk di sekitar danau. Kemudian, mereka akan dimasukkan ke dalam kantong kecil, seperti kantong teh, dan ketika dibutuhkan untuk bumbu, kantong itu akan dicelupkan ke dalam air atau sup. Setelah digunakan berulang-ulang, garam akan kehilangan rasa asinnya karena kandungan kimia yang tidak sempurna. Bongkahan garam pun berubah menjadi batu biasa, dan akan dibuang dan diinjak-injak.

Garam adalah bumbu yang sangat penting, tetapi karena jumlahnya sedikit, kita tidak menghiraukannya. Ketika saya masih di seminari menengah, salah satu pantang Prapaskah di seminari adalah makan makanan yang dimasak tanpa garam. Rasanya benar-benar ngak enak. Saya memaksakan diri untuk menelan makanan, tetapi itu hanya membuat saya merasa ingin muntah. Saya tidak pernah berpikir bahwa makanan tanpa garam hampir tidak bisa dimakan.

Bagi banyak dari kita, garam hanyalah bumbu yang biasa saja. Namun, bagi sebagian orang, garam berarti hidup dan mati. Dari waktu ke waktu, kita mengalami diare. Penyakit itu sendiri sebenarnya mudah diobati, tetapi jika tidak cepat ditangani, hal ini bisa mematikan karena menyebabkan orang mengalami dehidrasi parah. Salah satu cara tradisional untuk mengobatinya adalah “oralit” atau larutan rehidrasi oral. Ini adalah minum air dalam jumlah yang tepat dengan tambahan gula dan garam. Bagaimana garam kecil menyelamatkan nyawa orang!

Namun, kita perlu mengingat bahwa garam adalah bumbu dan bukan menu utama. Seseorang tidak dapat bertahan hidup hanya dengan garam saja. Terlalu banyak garam dalam tubuh kita akan menyebabkan tekanan darah tinggi, dan tekanan darah tinggi bisa berakibat fatal bagi banyak organ tubuh kita. Yesus menyebut kita “garam” karena kita dipanggil untuk memberikan citarasa yang pas pada sang Roti Kehidupan. Ketika saya masih belajar di Manila, saya diperkenalkan dengan salah satu sarapan favorit orang Filipina, “pan de sal.” Ini adalah bahasa Spanyol untuk “roti garam” karena sedikit garam ditambahkan ke tahap akhir pembuatan adonan roti ini. Bentuk rotinya sederhana, namun enak dan gurih, dan membuat orang ketagihan.

Seperti garam di Pan de Sal, misi kita sebagai umat Kristiani adalah membawa Yesus kepada orang lain dan menjadikan orang lebih merindukan Yesus. Ini adalah pekerjaan yang sulit karena hidup dan tindakan kita harus pas, tidak terlalu asin, dan tidak hambar. Semakin kita menarik perhatian pada diri kita sendiri, semakin banyak orang akan merasa “terlalu asin.” Namun, tanpa melakukan upaya kita, Kristus akan tampak “hambar.”

Setiap kali kita pergi ke Misa, kita menerima Tubuh Kristus dalam bentuk roti putih, kecil, dan tanpa rasa, sebuah hosti. Mengapa tidak berasa? Karena saat kita pulang, kita perlu menjadi rasa bagi Roti hidup ini. Jadi, bukan lagi kita, tetapi Kristus yang hidup di dalam kita (lihat Gal 2:20).

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Beauty of Christmas

Christmas Vigil – December 24, 2019 – Luke 2:1-14

nativity scene 1Today is Christmas, the day of Jesus was born in Bethlehem, and it is a traditional practice that in every Church or Christian family, there is a nativity scene. Usually, the baby Jesus was born in a kind of stable or shed, and He was placed on the wooden manger (a place where animals eat). Surely, Mary and Joseph are intently watching on the Baby, while other animals like sheep and cows become the silent witnesses of this most beautiful moment in human history. The scene will not be complete without the shepherds and the angel.

The nativity scene is indeed beautiful and always remains us of the simplicity of Christmas that we often miss.

However, if we go back to the time of Joseph and Mary, to first-century Palestine, we will discover a slightly different yet have a deeper meaning. Most probably, Joseph and Mary were not resting in a wooden stable, but inside a stone cave since this is a common feature in hill country Judea. Inside the stone cave is warm and sometimes spacious, and the shepherds use them as a safe and warm shelter for their sheep at night. The mangers provided for sheep were not made of wood, but stone. Sometimes, we see Baby Jesus half-naked on the manger, but Luke describes that Jesus was wrapped in a swaddling cloth. It is normal practice that a new-born baby will be cleansed, and then be enclosed by the cloth to keep the baby warm, protected and comfortable.

We discover that Jesus was born in a stone cave, rested on a stone manger and swaddled in cloth. These three things point to an even greater reality in the life of Christ: His death and resurrection. After the crucifixion, his body was enclosed in cloth, put inside the cave tomb, and rested on the large stone. Yet, it is also the same stone tomb where Jesus rose from death. From the very beginning of Jesus’ life here on earth, His destiny has been foretold: by His death and resurrection, He will save us.

However, there is something even more remarkable. Jesus was placed on a manger, and a manger is none other than a place for animal’s feed. From the beginning, Jesus is already presented to us as a food that will satisfy those who come to Him. Then, what “kind of food” is He? It is not a coincidence that Jesus was born in Bethlehem. The word Bethlehem comes from two Hebrew words: “Beth” meaning “house” and “Lehem” meaning “bread”; thus, Bethlehem is a house of bread. Jesus is given to us as bread, and indeed, Jesus calls Himself as the bread of life [Jn 6:35]. It is interesting also to ask why the shepherds were the first persons invited to see Jesus. One of the possible answers is that the shepherds are the first men who are aware of the birth of a lamb. The shepherds recognized that this holy Baby is a new-born lamb. Indeed, later, Jesus would be called as the Lamb of God [John 1:29]. In ancient Israel, lambs were also the main sacrificial animal in the Temple. Baby Jesus came to feed us, and He came as the bread of life and sacrifice that saves us.

While it is good to spend Christmas with vacation or festive celebration, the best way to celebrate Christmas is none other than to celebrate the Eucharist, to mediate the simplicity and humility of God who came to us as little baby, and to ponder His infinite love that He offered Himself to feed us. This is the beauty of Christmas, that God has chosen to love us to the end.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP