Learn to Be Humble

22nd Sunday in the Ordinary Time [C] – September 1, 2019 – Luke 14: 1, 7-14

humus 1Humility is actually being simple and doing simple, yet it is so simple that many of us find it difficult to be and do.  It seems paradoxical but it is the reality that we experience in our day to day life. It is because we are living in the world that is so proud with itself and it continuously influences us to become proud as well. We can practically be proud of anything. We can be proud of our personality, family and clan, personal achievements, successful careers and status in life. We can be proud of the good things we have done or even the bad things we have committed. Eventually, the awful irony in our life is when we are even proud of our humility.

Pride occupies a prominent place among the seven deadly sins or vices. It seduces people believe that we are self-sufficient and we do not need others and God. We are our own god. The Bible says that the angel of light has fallen from heaven [see Isa 14:12], and according to the Latin tradition, his name is Lucifer, the brightest angel in heaven. He and some other angels revolted against God since they were too proud to serve God that would become man. If lust aligns us with animals, pride makes us coequal with the fallen angels.

To remedy this terrible pride, humility is then chiefly necessary. But, it is simply difficult to become one since it leads us to acknowledge our true nature that we own nothing and everything we have is a gift. Humility is derived from Latin word humus which means soil. Humility brings back us to the ground after the air of pride lifts us our nose up.

Humility is also primarily important since it enables us to listen and through listening we are able to be obedient (Latin word ob-audire means to listen attentively). With pride just around the corner, it is difficult to listen since we start believing that we are the center of the universe and everything else revolves around us. Simon Tugwell, OP writes that humble prayer is just to take a break from our tyrannical and dictatorial self that occupies the center of our life and let God be God. In the same line of thought, Henry Nouwen writes that a sincere prayer is just like opening our tightly closed fist.

St. Augustine believes that humility is one of the most fundamental virtues especially in our relationship with God. He says, “Are you thinking of raising the great fabric of spirituality? Attend first of all to the foundation of humility.” It is because humility is the virtue that facilitates us in listening to God’s words and in following them. In humility, we participate in Mary’s words, “I am the servant of the Lord. Be it done to me according to your word.” And not, “I am the boss here. Be it done to me and to you according to my word.” In humility, we pray in Jesus’ prayer, “Your will be done.” And not, “Your will be changed”.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, O.P

Spiritual Director of Presidium Refugis Peccatorum

Belajar untuk Rendah Hati

Minggu Biasa ke-22 Pada Masa Biasa [C] – 1 September 2019 – Lukas 14:1, 7-14

humus 2Kerendahan hati sebenarnya adalah melakukan hal yang sederhana dan menjadi orang yang sederhana, tetapi karena hal ini sangat sederhana, banyak dari kita merasa sulit untuk melakukannya. Inilah adalah paradoks yang kita alami dalam kehidupan kita sehari-hari. Hal ini dikarenakan kita hidup di dunia yang begitu sombong dengan dirinya sendiri, dengan segala kemajuan, kejayaan, kekayaan, dan dunia ini terus memengaruhi kita untuk menjadi angkuh. Kita bisa jadi sombong karena banyak hal. Kita bisa sombong karena kepribadian, keluarga dan klan kita, prestasi pribadi, karier dan status yang sukses dalam hidup. Kita bisa menyombongkan hal-hal baik yang telah kita lakukan atau bahkan hal-hal buruk yang telah kita lakukan. Akhirnya, ironi mengerikan dalam hidup kita adalah ketika kita bahkan menyombongkan kerendahan hati kita.

Dalam tradisi Gereja, keangkuhan atau tinggi hati menempati tempat yang menonjol di antara tujuh dosa yang mematikan. Keangkuhan membuat kita percaya bahwa kita bisa menjadi independen dan kita tidak membutuhkan orang lain dan Tuhan. Kita adalah tuhan bagi diri kita sendiri. Kitab Suci berbicara tentang seorang malaikat cahaya yang jatuh dari surga [Lih Yes 14:12]. Menurut tradisi dia bernama Lucifer, malaikat paling bercahaya di surga. Dia dan bersama komplotannya memberontak melawan Tuhan karena mereka terlalu angkuh untuk melayani Tuhan yang akan menjadi manusia. Jika hawa nafsu menyejajarkan kita dengan para binatang, kesombongan membuat kita setara dengan malaikat, tetapi malaikat yang jatuh.

Untuk mengalahkan kesombongan yang mengerikan ini, kerendahan hati sangat dibutuhkan. Tetapi, sulit untuk menjadi rendah hati karena hal ini menuntun kita untuk mengakui siapa diri kita sejatinya, bahwa kita tidak memiliki apa pun dan semua yang kita miliki adalah berkat. Kerendahan hati dalam Bahasa Latin adalah “humilitas” yang berasal dari akar kata “humus” yang berarti tanah. Kerendahan hati membawa kita kembali ke tanah setelah kita terbang dan lupa daratan.

Kerendahan hati juga sangat penting karena memungkinkan kita untuk mendengarkan dan melalui mendengarkan kita dapat taat. Dengan keangkuhan di dalam hati kita, sulit untuk mendengarkan karena kita mulai percaya bahwa kita adalah pusat alam semesta dan segala sesuatu yang lain berputar di sekitar kita. Simon Tugwell, OP menulis bahwa doa yang rendah hati memampukan kita untuk mengambil jeda dari tirani diri dan kediktatoran kita yang menempati pusat kehidupan kita, dan membiarkan Tuhan menjadi Tuhan. Sejalan dengan pemikiran ini, Henry Nouwen menulis bahwa doa yang tulus dan rendah hati sama seperti membuka kepalan tangan kita yang tertutup rapat.

Kerendahan hati adalah keutamaan yang memfasilitasi kita dalam mendengarkan kata-kata Tuhan dan mengikuti-Nya. Dalam kerendahan hati, kita berperan serta dalam kata-kata Mary, “Aku adalah hamba Tuhan. Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu.” Dan tidak, “Saya bos di sini. Jadilah kepadaku dan kepadamu sesuai dengan kata-kata saya.” Dalam kerendahan hati, kita mampu berdoa dalam doa Yesus sendiri, “terjadilah kehendak-Mu.” Dan bukan, “Kehendak-Mu akan diubah sesuai denga kehendakku.”

Tak salah jika saat St. Agustinus ditanya apakah tiga syarat untuk masuk surga, Dia menjawab, “Yang pertama adalah kerendahan hati, yang kedua adalah kerendahan hati, dan yang ketiga adalah kerendahan hati.”

Valentinus Bayuhadi Ruseno, O.P

Seventy

14th Sunday in Ordinary Time [C] – July 7, 2019 – Luke 10:1-12, 17-20

by twoIn today’s Gospel, Jesus is sending His seventy disciples for a mission. Yes, we are reading it correctly; it is not just twelve disciples, but seventy. While we are used to the celebrated mission of the Twelve, Luke informs us about the less famous mission of the seventy. We are not sure who are these people, but for sure, these are people who have the same commitment, dedication, and passion like the big names like Peter, John, Andrew, and Matthew. They follow Jesus, leave everything and are willing to be dispatched into a difficult mission to preach the Kingdom, to heal the sick, and to drive out the demons. The story of the seventy disciples gives us a hint about those dedicated and more numerous disciples of Jesus and yet somehow forgotten. While the Twelve represents the well-known figures of the Church like the pope and the bishops, the seventy bring to mind the nameless yet countless priests, religious men and women, and laity who are tirelessly building up the Body of Christs.

We might also ask why seventy? If Twelve apostles represent the twelve tribes of Israel, what will the seventy signify? Surprisingly, when we go back to the Old Testament, seventy is also a significant figure. It is the sum number of the descendants of Jacob who migrated to Egypt [Gen. 46:27]. It was the number of the elders who were elected to help Moses in his task in leading Israel and to offer sacrifice in the wilderness [Exo 24:1]. Thus, seventy become the symbol of both Israel itself and the leaders of Israel. According to Jewish tradition, seventy is also the number of nations that came down from Noah [see Gen 11]. By choosing and commissioning His seventy disciples, Jesus sends His message to the world that He is establishing His New Israel with its leaders, and this Israel will include all people from all nations.

One powerful lesson we can learn from these seventy is humility. When the disciples return in joy for the successful tasks, Jesus tells about enigmatic words, “I saw Satan fall like lightning from the sky!” One possible interpretation is that the disciples have rendered demons powerless in the name of Jesus. The disciples’ success is the failure of Satan. Another explanation is the temptation of pride. According to Christian tradition, Satan was formerly the highest angel who fell from heaven because he is too proud to serve God who became a man. Thus, Jesus reminds the disciples that their mission is essentially Jesus’ mission, and they are nothing without Christ. It is much important that their names are written in heaven instead of being boastful about their success.

Humility is a principal virtue of all disciples’ identity, while ambition and pride kill our identity as disciples. Lucifer used to be one of the seraphim, the highest ranks of angels, and the name Lucifer means “the bearer of Light.” Surely, there is no problem with serving God, but when Lucifer knew about the plan of God the Son to become man, and be born of a woman, and die for the salvation of humanity, he could not accept it. How can be God as well as spiritual beings like angel serve lowly and sinful creatures like humans? In his pride, he declined God’s plan; he refused to serve God. “Non Serviam.” I will not serve. He and his cohorts were then banished from heaven, and Lucifer turns to be Satan, the chief of demons.

When we serve God in humility, we do not get the medals, we do not receive the glory, and we are forgotten, but we are sure that our names are written in heaven.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tujuh Puluh

Minggu ke-14 dalam Waktu Biasa [C] – 7 Juli 2019 – Lukas 10: 1-12, 17-20

two disciplesDalam Injil hari ini, Yesus mengirim tujuh puluh murid-Nya untuk bermisi. Bukan hanya dua belas murid, tetapi tujuh puluh. Sementara kita terbiasa dengan misi Dua Belas Rasul yang lebih terkenal, Lukas memberi tahu kita tentang misi tujuh puluh murid yang kurang terkenal. Kita tidak yakin siapa orang-orang ini, tetapi yang pasti, mereka adalah orang-orang yang memiliki komitmen, dedikasi, dan semangat yang sama seperti Petrus, Yohanes, Andreas dan Matius. Mereka mengikuti Yesus, meninggalkan segalanya dan bersedia dikirim ke misi yang sulit untuk memberitakan Kerajaan Allah, menyembuhkan orang sakit, dan mengusir setan. Kisah tujuh puluh murid memberi kita petunjuk tentang murid Yesus yang berdedikasi dan lebih banyak secara jumlah, namun terlupakan. Sementara Dua Belas Rasul mewakili tokoh-tokoh terkenal dari Gereja seperti paus dan para uskup, tujuh puluh murid mengingatkan kita akan para imam, biarawan-biarawati, kaum awam yang tak terkenal namun tak terhitung jumlahnya, dan yang tanpa lelah membangun Tubuh Kristus.

Kita mungkin juga bertanya mengapa tujuh puluh? Jika Dua Belas rasul mewakili dua belas suku Israel, apa yang akan dilambangkan dengan tujuh puluh? Ketika kita kembali ke Perjanjian Lama, tujuh puluh juga merupakan angka penting. Ini adalah jumlah total keturunan Yakub atau Israel yang bermigrasi ke Mesir [Kej. 46:27]. Tujuh puluh adalah jumlah para penatua yang dipilih untuk membantu Musa dalam memimpin Israel dan untuk mempersembahkan korban saat mereka masih di padang gurun [Kel 24: 1]. Menurut tradisi Yahudi, tujuh puluh juga merupakan jumlah bangsa yang turun dari nabi Nuh [lihat Kej 11]. Dengan memilih dan menugaskan tujuh puluh murid-Nya, Yesus mengirimkan pesan-Nya kepada dunia bahwa Ia sedang membangun Israel yang Baru, lengkap dengan para pemimpinnya, dan Israel ini akan mencakup semua orang dari segala bangsa.

Satu pelajaran penting yang dapat kita dapat dari tujuh puluh murid ini adalah kerendahan hati. Ketika para murid kembali dengan sukacita karena misi mereka berhasil, Yesus memberi mereka kata-kata yang cukup aneh, “Saya melihat Setan jatuh seperti kilat dari langit!” Salah satu interpretasi adalah bahwa para murid telah menjadikan Setan dan kerajaannya tidak berdaya dalam nama Yesus. Keberhasilan murid adalah kegagalan Setan. Penjelasan kedua adalah godaan kesombongan. Menurut tradisi Bapa Gereja, Setan dulunya adalah malaikat tertinggi yang jatuh dari surga karena dia terlalu sombong untuk melayani Tuhan yang menjadi manusia. Dengan demikian, Yesus mengingatkan para murid bahwa misi mereka pada dasarnya adalah misi Yesus, dan mereka bukan apa-apa tanpa Kristus. Yang jauh lebih penting adalah nama-nama mereka dituliskan di surga daripada sekedar menyombongkan keberhasilan mereka.

Kerendahan hati adalah kebajikan utama dari identitas semua murid Yesus, sementara ambisi dan keangkuhan membunuh identitas kita sebagai murid. Lucifer dulunya adalah salah satu dari seraphim, malaikat tertinggi di surga, dan nama Lucifer sendiri berarti “pembawa Cahaya.” Tentunya, tidak ada masalah dengan melayani Tuhan, tetapi ketika Lucifer tahu tentang rencana Allah untuk menjadi manusia, dan dilahirkan dari seorang wanita, dan mati untuk keselamatan umat manusia, dia tidak bisa menerimanya. Bagaimana bisa Tuhan dan makhluk spiritual seperti malaikat melayani makhluk rendahan dan berdosa seperti manusia? Dalam kesombongannya, dia menolak rencana Tuhan; dia menolak untuk melayani Tuhan. “Non Serviam.” Dia dan para pengikutnya kemudian diusir dari surga, dan Lucifer berubah menjadi Setan, kepala para roh jahat.

Ketika kita melayani Tuhan dalam kerendahan hati, seringkali kita tidak mendapatkan penghargaan, kita tidak menerima kemuliaan, dan kita dilupakan, tetapi kita yakin bahwa nama kita tertulis di surga.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hearing His Voice

Fourth Sunday of Easter [May 12, 2019] Jn 10:27-30

“My sheep hear my voice; I know them, and they follow me. (Jn. 10:27)”

jesus shepherdFew of us have a direct encounter with a sheep, let alone shepherding sheep. When Jesus says, “My sheep hear my voice.” I thought it was a kind exaggeration. After all the sheep is not that intelligent compared to the Golden Retriever or Labrador who would listen to their owners. However, one time, I watched a video on YouTube about a group of tourists who visited the vast hill in the countryside of Judea where the flock was grazing. They were asked to call the attention of the sheep. One by one, the tourists shouted to the top of their lungs, but they got not even the slightest response. Yet, when the true shepherd came forward and called them out, all the scattered sheep immediately rushed toward the shepherd! It was an eye-opener. Jesus was right. The sheep literally hear the voice of His shepherd.

The sheep in Judea are raised both for wool and for sacrifice. Especially those intended for wool production, the shepherd shall live together with his flock for years. No wonder if he knows well each sheep, its characters, and even its unique physical features. He will call them by name like ‘small-feet’ or ‘large-ears.’

Modern men and women, especially the Millennials, are heavily visual creatures. Thanks to smartphones, TV, and computers, our span of attention becomes shorter and shorter. One scientist even says that our span of attention is one second shorter than of the goldfish! The teachers or speakers must use all the visual aids to catch the attention of young listeners. PowerPoint presentation is a minimum requirement nowadays, and the teachers need to move all their body’s parts, to crack a joke, to sing, to dance, even to summersault! Simply listening to a plain talk is tedious, and to read a bare and long text like this reflection is boring. This is also one of the reasons why young people are leaving the Church because they experience the Church, especially her preachers, as boring and dry. After five minutes listening to the preacher, we begin to be restless, checking our watch, scratching our heads, and dozing off!

However, hearing remains fundamental because hearing is the key to following Jesus. We call ourselves, Christians, the follower of Christ, and how can we follow Christ if we do not recognize His voice? While the sense of sight attracts us, sense of hearing remains signs of intimacy and love. Like a sheep that identifies the shepherd’s voice because the shepherd takes care of it, so we recognize the voice of someone we love. I have been hearing the voice of my mother since I was inside her womb, and even when I close my eyes, I can still acknowledge her voice. I can even identify whether she is happy, sad, or angry when she calls my name.

One time, a young man asked me, “Brother, how do we know God’s will?” I replied, “Do you hear His voice?” He immediately said, “I pray, but I never heard a voice.” I said in reply, “Ah, how are you going to hear His voice if you talk all the time? And how are you going to know His voice, if you seldom give your time with Him?” To follow Jesus means that we are able to hear Jesus, and to recognize His voice presupposes we have a loving and strong relationship with Him

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mendengar Suara-Nya

Minggu Paskah keempat [12 Mei 2019] Yoh 10: 27-30

“Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, (Yoh 10:27)”

jesus shepherd 2Ketika Yesus berkata, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku.” Saya pikir itu agak berlebihan. Kita tahu domba-domba adalah hewan yang tidak secerdas anjing Golden Retriever atau Labrador yang bisa mendengarkan instruksi dari pemiliknya. Namun, suatu kali, saya menonton video di YouTube tentang sekelompok wisatawan yang mengunjungi bukit luas di pedesaan Yudea di mana kawanan domba sedang merumput. Mereka diminta untuk menarik perhatian domba. Satu demi satu, para wisatawan berteriak dengan lantang, tetapi mereka tidak mendapat tanggapan sedikit pun. Namun, ketika sang gembala maju dan memanggil mereka, semua domba yang tercerai-berai segera bergegas menuju gembala itu dan mengerumuni dia! Sungguh menakjubkan! Yesus sungguh benar. Domba-domba sungguh mendengar suara gembala-Nya.

Domba-domba di Yudea dibesarkan untuk wol dan sebagai hewan korban. Khususnya untuk jenis domba-domba yang diperuntukkan bagi produksi wol, mereka akan hidup bersama-sama dengan sang gembala selama bertahun-tahun. Tidak heran jika sang gembala mengenal dengan baik setiap domba, karakternya, dan bahkan fitur fisiknya yang unik. Dia akan memanggil mereka dengan nama seperti ‘si kaki kecil’ atau ‘si telinga besar.’ Dan kawanan domba pun mengenal suara sang gembala.

Berbeda dengan domba, pria dan wanita modern, terutama kaum Millennial, adalah makhluk yang sangat visual. Berkat smartphone, TV, dan komputer, rentang perhatian kita menjadi lebih pendek setiap harinya. Seorang ilmuwan bahkan mengatakan bahwa rentang perhatian kita satu detik lebih pendek daripada ikan mas! Para guru atau pembicara harus menggunakan semua alat bantu visual untuk menarik perhatian pendengar muda. Presentasi PowerPoint adalah persyaratan minimum saat ini, dan para guru perlu menggerakkan semua bagian tubuh mereka, membuat lelucon, bernyanyi, menari, bahkan jungkir balik! Hanya mendengarkan pembicaraan biasa itu membosankan, dan membaca teks yang panjang dan panjang seperti refleksi ini boring. Ini juga salah satu alasan mengapa kaum muda meninggalkan Gereja karena mereka mengalami Gereja, terutama para pengkhotbahnya, membosankan dan kering. Setelah lima menit mendengarkan homili, kita mulai gelisah, memeriksa jam tangan, mengaruk-garuk kepala, dan akhirnya tertidur!

Namun, indera pendengaran tetap mendasar karena pendengaran adalah kunci untuk mengikuti Yesus. Kita menyebut diri kita sendiri, Kristiani, artinya pengikut Kristus, dan bagaimana kita dapat mengikuti Kristus jika kita tidak mengenali suara-Nya? Sementara indera penglihatan menarik kita, indera pendengaran tetap menjadi tanda keintiman dan kasih. Seperti seekor domba yang mengidentifikasi suara gembala karena gembala menjaganya, kitapun mengenali suara seseorang yang kita cintai. Saya telah mendengar suara ibu saya sejak saya di dalam rahimnya, dan bahkan ketika saya menutup mata, saya masih bisa mengenali suaranya dari jauh. Saya bahkan dapat mengidentifikasi apakah dia bahagia, sedih, atau marah ketika dia memanggil nama saya.

Suatu kali, seorang pemuda bertanya kepada saya, “Frater, bagaimana kita tahu kehendak Tuhan?” Saya menjawab, “Apakah kamu mendengar suara-Nya?” Dia segera berkata, “Saya banyak berdoa, tetapi saya tidak pernah mendengar suara.” Saya berkata dalam jawab, “Ah, bagaimana kamu akan mendengar suara-Nya jika kamu yang berbicara sepanjang waktu? Dan bagaimana kamu akan mengetahui suara-Nya, jika kamu jarang memberikan waktumu bersama-Nya?” Mengikuti Yesus berarti bahwa kita dapat mendengar Yesus, dan untuk mengenali suara-Nya, kita perlu memiliki hubungan yang penuh kasih dan kuat dengan-Nya.

 Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Broken Enough

Third Sunday of Advent [December 16, 2018] Luke 3:10-18

kneelingThe second question that Archbishop Socrates Villegas of Lingayen-Dagupan asked us during our ordination was, “Are you broken enough?” Once again his question raised eyebrows and was, indeed, counter-intuitive. We want to be flawless, whole and perfect. We desire to achieve more in life, to be wealthy, healthy and pretty. We wish to be socially accepted, respected and gain certain prominence. We want to become somebody, and not nobody. We like others to call us as the famous doctors, the creative entrepreneurs, or successful lawyers. Or for us, people in the Church, we like people to consider us well-sought preachers, generous and builder-priests, or skillful and well-educated sisters.

However, we often forget that the people we serve are broken people. They are broken in many aspects of life. Some are broken financially, some are struggling with health problems, and many are crushed by traumatic experiences in the families. Some are dealing with anger and emotional instability, and some are confronting depression and despair. Some are hurt, and some other are forced to hurt. Many fall victims to injustice and violations of human rights. And all of us are broken by sin. We are serving broken people, and unless we are broken enough like them, our ministry is nothing but superficial and even hypocritical.

Therefore, as the ministers of the Church, we ask ourselves: are we disciplined enough in our study and allow the demands of academic life to push us hard to kiss the ground and continually beg the Truth to enlighten us? Are we patient enough in our life in the community and allow different personalities and conflicts in the seminary, convent or community to shape us up, to make us realize that life is much bigger than ourselves, and to enrich us? Are we resilient enough in our ministry and allow different people in our ministries to challenge our small world, to confront us with failures, and to face a reality that it is not them being served, but us? Are we humble enough in our prayer and allow God to take control of our lives?

In the center of our Eucharistic liturgy are the Word and the Body being broken. The Word of God in the scriptures is read, and the preacher ‘stretches’ and ‘breaks’ it into more relevant and meaningful words for the people of God. The Body of Christ in the consecrated hosts is literally broken, and so this may be enough for everyone. These Word and Body of Christ are broken for the broken people of God. Jesus saves and makes us holy by being one with us, by being broken for us. He is a broken Lord for His broken brothers and sisters.

We the ministers of God are like Jesus Christ, and thus, the questions are: Are we willing to recognize and accept our own imperfections? Are we strong enough to admit that we are weak? Are broken enough that we may share our total selves to our brothers and sisters? Are we like Christ who is broken for others to live?

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Terpecah

Hari Minggu Ketiga dalam Masa Adven [16 Desember 2018] Lukas 3: 10-18

kneeling 2Pertanyaan kedua yang diajukan uskup agung Socrates Villegas dari Lingayen-Dagupan saat saya ditahbiskan adalah, “Apakah kamu sudah cukup terpecah dan remuk?” Sekali lagi pertanyaannya ini mengherankan. Kita ingin menjadi utuh dan sempurna. Kita ingin mendapatkan lebih banyak dalam hidup, menjadi kaya, sehat dan cantik. Kita ingin diterima secara sosial, dan dihormati dan memiliki pencapaian yang dapat dibanggakan. Kita ingin menjadi seseorang. Kita ingin orang lain menyebut kita sebagai dokter terkenal, pengusaha kreatif, atau pengacara yang sukses. Atau bagi kita, orang-orang yang melayani di Gereja, kita suka orang-orang menganggap kita sebagai pengkhotbah yang disukai, imam pembangun, atau suster yang terampil dan berpendidikan.

Namun, kita sering lupa bahwa orang yang kita layani adalah orang-orang yang terpecah dan remuk. Mereka terpecah dalam banyak aspek kehidupan. Ada yang remuk secara finansial, ada yang bergulat dengan masalah kesehatan, dan banyak yang dihancurkan oleh pengalaman traumatis dalam keluarga. Ada yang berurusan dengan kemarahan dan ketidakstabilan emosi, dan ada pula yang menghadapi depresi dan keputusasaan. Beberapa terluka, dan beberapa lainnya dipaksa untuk melukai. Banyak menjadi korban dari ketidakadilan dan pelanggaran hak asasi manusia. Dan kita semua diremukkan oleh dosa. Kita melayani orang-orang yang terpecah dan remuk, dan kecuali kita cukup remuk seperti mereka, pelayanan kita sekedar superfisial dan bahkan menjadi sebuah kemunafikan.

Oleh karena itu, sebagai pelayan Gereja, kita bertanya pada diri kita sendiri: apakah kita cukup disiplin dalam hidup studi dan membolehkan tuntutan kehidupan akademis memaksa kita untuk berlutut dan terus memohon kepada sang Kebenaran untuk menerangi kita? Apakah kita cukup sabar dalam kehidupan di komunitas dan memungkinkan berbagai kepribadian dan konflik di seminari, biara atau komunitas untuk membentuk kita, untuk membuat kita menyadari bahwa hidup jauh lebih besar daripada diri kita sendiri, dan memperkaya kita? Apakah kita cukup ulet dalam pelayanan kita dan memungkinkan orang-orang yang kita layani untuk menantang dunia kecil kita, untuk menghadapkan kita dengan kegagalan, dan kenyataan bahwa bukan mereka yang dilayani, tetapi kita? Apakah kita cukup rendah hati dalam doa kita dan membiarkan Tuhan mengendalikan hidup kita?

Di ditengah-tengah liturgi Ekaristi kita adalah Firman dan Tubuh yang dipecah-pecah. Firman Tuhan dalam kitab suci dibaca, dan sang pewarta ‘memecah-mecah’ sang Sabda menjadi kata-kata yang lebih relevan dan bermakna bagi umat Allah. Tubuh Kristus dalam hosti putih yang dikuduskan dipecah-pecah agar menjadi cukup untuk semua orang. Ini adalah Firman Allah dan Tubuh Kristus yang dipecah-pecah untuk umat-Nya yang juga terpecah dan remuk. Yesus menyelamatkan dan menjadikan kita kudus dengan menjadi satu dengan kita, dengan diremukan bagi kita. Dia adalah Tuhan yang terpecah bagi saudara-saudari-Nya yang remuk redam.

Kita adalah para pelayan Tuhan, dan pertanyaannya sekarang adalah: Apakah kita mau mengakui dan menerima ketidaksempurnaan kita sendiri? Apakah kita cukup kuat untuk mengakui bahwa kita lemah? Apakah cukup terpecah dan remuk sehingga kita dapat berbagi diri kita secara total kepada saudara-saudari kita? Apakah kita mau seperti Kristus yang diremukan agar banyak orang bisa memiliki hidup?

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Weak Enough

Second Sunday of Advent [December 9, 2018] Luke 3:1-6

prayingDuring my ordination, Archbishop Socrates Villegas of Lingayen-Dagupan asked this question to us who would receive the sacred order, “Are you weak enough?” The question was mind-blogging and unexpected because often we have strength, power, and talents as our favorite subjects, and even obsession. We like to show to the world that we are achievers and conquerors. We parade our good education, high-earning job, or a beautiful face. The ‘superior’ mentality does not only affect the lay people traversing in the ordinary world, but also people dressed in white walking through the corridors of the Church. The clergy, as well as religious men and women, are not immune to this hunger for approval and sense of worthiness.

I have to admit also that our formation in the religious life is colored with this kind of ‘spirit.’ The study is important in our Dominican tradition, and we are struggling to meet the academic demands of philosophy and theology. Those who are excelling are honored, but those who are falling, are facing expulsion. Prayer and community life are basic in our spirituality, and we are living to meet the expectations in the seminary or convent, like regular prayers and various community activities. Those who meet the standards may pass the evaluation for ordination or religious profession, but those who are often late or absent, are deemed to have no vocation. Preaching is our name, and we give our all in our ministries. Those who are successful in their apostolate are exemplary, but those who are not able to deliver a good speech may wonder whether they are in the Order or ‘out of order.’

The ordination is for the worthy ones, meaning for those who ace all the requirements. However, the good archbishop reminds us that relying too much on our strength and goodness, we may hamper the work of God in us. When we become too handsome, the people begin focusing on us, rather than the beauty of the liturgy. When we preach too brilliantly, the people start admiring us rather than the Truth of the Word. When we teach too brightly, we outshine the Wisdom made flesh. We forget that all power and talents we have, belong to God, not ours. What we have, are weaknesses.

However, it is only in our weakness that God’s strength is shining brightly. He called Moses who was a murderer and a fugitive, to liberate Israel from the slavery. He called Jonah, a reluctant prophet, to save Nineveh. He chose Simon Peter, who betrayed Jesus, to be the leader of His Church. He appointed Paul, the Pharisee and the persecutor of Christians, to be the greatest apostle. He elected Mary, a poor and insignificant young woman, to be the mother of God.

Are we weak enough to allow God’s strength working in us? Are we enough to allow God’s beauty shining through us? Are we weak enough to let other people see God’s wisdom in us? Are we strong enough to admit that we are weak?

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Lemah

Minggu Kedua dalam Masa Adven [9 Desember 2018] Lukas 3: 1-6

processionSaat pentahbisan saya, Uskup Agung Socrates Villegas dari Lingayen-Dagupan bertanya kepada saya, “Apakah kamu cukup lemah?” Pertanyaannya tidak terduga dan bahkan membalikan nalar karena sering kita merasa bahwa kekuatan dan talenta yang kita miliki adalah hal yang penting dalam hidup kita, dan menunjukan siapa diri kita sesungguhnya sebagai milik kita. Kita ingin menunjukkan kepada dunia bahwa kita adalah orang yang berprestasi. Kita memamerkan bahwa kita memiliki pendidikan yang baik, pekerjaan yang berpenghasilan tinggi, atau rupa yang cantik. Mental ‘superior’ ini tidak hanya mempengaruhi orang awam yang bergulat dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga orang-orang berjubah yang putih berjalan di koridor Gereja. Para klerus, serta biarawan dan biarawati, tidaklah kebal terhadap hasrat untuk mendapatkan persetujuan dan rasa kelayakan.

Saya harus mengakui juga bahwa formasi kami dalam kehidupan religius diwarnai dengan ‘roh’ semacam ini juga. Studi adalah penting dalam tradisi Dominikan, dan kami berjuang untuk memenuhi tuntutan akademis baik di bidang filsafat, teologi dan ilmu lainnya. Mereka yang cerdas dan mendapat nilai tinggi, akan mendapat menghargai, tetapi mereka yang nilainya buruk, harus siap mundur dari formasi. Doa dan kehidupan komunitas adalah dasar dalam spiritualitas kami, dan kami hidup untuk memenuhi ekspectasi di seminari atau biara, seperti mengikuti doa dan berbagai kegiatan komunitas secara regular. Mereka yang memenuhi standar bisa lulus evaluasi untuk pentahbisan atau pengucapan kaul, tetapi mereka yang sering terlambat atau tidak hadir, dianggap tidak memiliki panggilan. Pewartaan adalah identitas kami, dan kami memberikan segalanya dalam pelayanan kami. Mereka yang berhasil dalam kerasulan menjadi teladan, tetapi mereka yang tidak mampu dan banyak mengalami kegagalan mungkin bertanya-tanya apakah mereka sungguh bagian dari Ordo Pewarta.

Pentahbisan adalah bagi yang layak, yang berarti bagi mereka yang memenuhi semua persyaratan. Namun, uskup agung Socrates yang baik mengingatkan kita bahwa terlalu mengandalkan kekuatan dan kebaikan kita sendiri, kita dapat menghambat rahmat Allah dalam diri kita. Ketika kita menjadi terlalu tampan, orang-orang mulai memusatkan perhatian pada kita, daripada keindahan liturgi. Ketika kita berkhotbah terlalu lihai, orang-orang mulai mengagumi kita daripada Kebenaran Firman. Ketika kita mengajar dengan begitu cemerlang, kita lebih bersinar dari Kebijaksanaan yang menjadi manusia. Kita lupa bahwa semua kekuatan dan bakat yang kita miliki adalah milik Tuhan, bukan milik kita. Apa yang kita miliki, adalah kelemahan.

Namun, hanya dalam kelemahan kita bahwa kekuatan Tuhan bersinar terang. Dia memanggil Musa yang adalah seorang pembunuh dan buronan, untuk membebaskan Israel dari perbudakan. Dia memanggil Yunus, seorang nabi yang pemberontak, untuk menyelamatkan Niniwe. Dia memilih Simon Petrus, yang mengkhianati Yesus, untuk menjadi pemimpin Gereja-Nya. Dia menunjuk Paulus, orang Farisi dan penganiaya Gereja perdana, untuk menjadi rasulnya yang hebat. Dia memilih Maria, seorang wanita muda yang miskin dan tidak penting, untuk menjadi bunda dari Tuhan.

Apakah kita cukup lemah untuk membiarkan kekuatan Allah bekerja di dalam kita? Apakah kita cukup agar keindahan Tuhan bersinar melalui kita? Apakah kita cukup lemah supaya orang lain melihat kebijaksanaan Tuhan di dalam kita? Apakah kita cukup lemah untuk mengakui bahwa kita lemah?

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP