The Scribes

Reflection on the 32nd Sunday in Ordinary Time [November 11, 2018] Mark 12: 38-44

[the Scribes] devour the houses of widows and, as a pretext, recite lengthy prayers. They will receive a very severe condemnation. (Mk. 12:40)

kissing the groundIn Jesus’ time, the scribes are the well-educated Jewish men who are expert in the Law of Moses. Some of them come from the wealthy families, and others hail from the priestly clan. Being able to teach and interpret the Law, they receive the respect and honor from the ancient Jewish society. Thus, ordinary Jews will greet them and prepare them the seats of honor in the synagogues and the banquets. Surely, there is no problem with receiving greetings and sitting as honor guests. Jesus Himself is often greeted as “Teacher” or “Rabbi”, and He attends the banquets as guest of honor (see Mar 14:3). The problem comes when some of the scribes possesses “narcissistic desire” and intentionally look for these privileges.

However, not only Jesus criticizes them for this narcissistic attitude, He gravely condemns also their acts of injustice, particularly “devouring the houses of widows.” In Jesus’ time, widows (Hebrew “almanah”) is considered to be one of the poorest and weakest. They are women who do not only lose their husband, but also fall into deeper poverty because they no longer have anybody to support them. They are lucky if their family and relatives take care of them, but in difficult times, they are left to their own. The Law of Moses provides that the widows, together with the orphans and strangers should be protected (see Deu 10:18).

Since the scribes are the respected and wealthy members of the society, it is a logical choice to entrust the care of Jewish widows to them. Unfortunately, instead helping and defending the widows, some of the scribes oppress and steal from the little the widows have. To steal is evil, but to rob the poor people who place their trust in us is far greater evil. Yet, it is not yet worst. After perfectly hiding their acts of injustice, some of the scribes continue going to the Temple and reciting lengthy prayer, as if there is nothing happens. This is hypocrisy, a double-life attitude at its finest!

As my ordination day to the diaconate is drawing closer, some of my brothers in the community and friends began to call me with title of honor like “reverend” or simply, “rev”. Admittedly, I am not comfortable with it. I wish that the people remain calling me brother. However, it has become the common practice in the Catholic Church to honor her ordained ministers. It is my prayer and my sincere wish I will not be like some of the Scribes who become “narcissistic” and “covets” the people’s adulation and all the privileges it brings. George Weigel, an American Catholic author, in his recent article, traces the root of Catholic anger against the clergy in the US. He writes that while it is true that many clergymen are good and holy, it is the clerical narcissism that builds anger of the Catholic lay.

Learning from the scribes, the narcissism is the seed. The vice grows into hidden acts of injustice. And from evil of injustice, the men in white garment are turning worse as they live in hypocrisy. It is my earnest hope that we continue praying, supporting and even correcting our brothers who are ordained to become the servants of God and His people. Without God’s grace, the right dose of humility and lay people’ prayer and help, our deacons, priests and bishops may become like the scribes who earn Jesus’ condemnation.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Sang Ahli Hukum Taurat

Minggu ke-32 dalam Masa Biasa [11 November 2018] Markus 12: 38-44

[Para ahli Taurat] yang menelan rumah janda-janda, sedang mereka mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Mereka ini pasti akan menerima hukuman yang lebih berat (Markus 12:40)

jesus n scribesPada masa Yesus hidup, para ahli Taurat adalah orang Yahudi terdidik dan menjadi ahli dalam Hukum Musa. Beberapa dari mereka berasal dari keluarga kaya, dan yang lain dibesarkan dari klan imam. Mampu mengajar dan menafsirkan Hukum, mereka menerima respek dan kehormatan dari masyarakat Yahudi. Dengan demikian, orang-orang Yahudi kebanyakan akan menyapa dengan hormat para ahli Taurat ini dan mempersiapkan bagi mereka kursi kehormatan di sinagoga dan perjamuan. Tentunya, tidak ada masalah dengan menerima salam dan duduk sebagai tamu kehormatan. Yesus sendiri sering disambut sebagai “Guru” atau “Rabi”, dan Dia menghadiri perjamuan sebagai tamu kehormatan (lihat Mar 14:3). Masalah muncul ketika beberapa ahli Taurat memiliki “hasrat narsistik”, menjadi gila hormat dan dengan sengaja mencari yang kehormatan dan semua hak-hak istimewa.

Namun, Yesus tidak hanya mengkritik mereka karena sikap narsis ini, Dia dengan serius mengecam tindakan ketidakadilan mereka, terutama karena mereka “menelan rumah para janda.” Pada zaman Yesus hidup, para janda (bahasa Ibrani “almanah”) dianggap sebagai salah satu bagian masyarakat Yahudi yang paling miskin dan lemah. Mereka adalah wanita yang tidak hanya kehilangan suaminya, tetapi juga jatuh miskin karena mereka tidak lagi  memiliki sarana penopang hidup. Mereka beruntung jika keluarga dan kerabat mereka merawat mereka, tetapi pada masa-masa sulit, mereka dibiarkan terlantar. Hukum Musa menyatakan bahwa para janda, bersama dengan anak-anak yatim dan orang asing harus dilindungi (lihat Ul. 10:18).

Karena para ahli Taurat adalah salah satu anggota masyarakat yang paling dihormati dan kaya, itu adalah pilihan logis untuk mempercayakan pelayanan kepada para janda Yahudi kepada mereka. Sayangnya, alih-alih membantu dan membela para janda, beberapa ahli Taurat menindas dan mencuri dari para janda miskin ini. Mencuri itu jahat, tetapi merampas dari orang-orang yang menaruh kepercayaan mereka pada kita adalah kejahatan yang jauh lebih besar. Namun, hal ini bukanlah yang terburuk. Setelah dengan sempurna menyembunyikan tindakan ketidakadilan mereka, beberapa ahli Taurat tanpa malu pergi ke Bait Allah dan membaca doa yang panjang. Ini adalah kemunafikan!

Ketika hari pentahbisan saya semakin dekat, beberapa frater dan teman-teman mulai memanggil saya dengan sapaan kehormatan seperti “reverend” (- yang dihormati). Harus diakui, saya tidak nyaman. Saya berharap bahwa orang-orang tetap memanggil saya sebagai frater atau “Brother”. Namun, ini telah menjadi tradisi umum bagi para awam memanggil mereka yang telah tertahbis. Saya hanya bisa berdoa dan berhasrat bahwa saya tidak akan seperti beberapa ahli Taurat “narsistik” dan gila akan pujian orang-orang dan semua kenyamanan hidup. George Weigel, seorang penulis Katolik Amerika, dalam artikel terbarunya, menelusuri akar kemarahan umat Katolik terhadap para klerus di AS. Dia menulis bahwa memang benar bahwa banyak para romo dan uskup yang baik dan kudus, tetapi umat tidak lagi tahan dengan sikap narsisisme yang diperlihatkan sejumlah oknum klerus di Amerika.

Belajar dari ahli-ahli Taurat, narsisisme adalah benih yang tertanam dalam hati mereka yang tertahbis. Jika dibiarkan benih ini tumbuh menjadi tindakan-tindakan ketidakadilan yang tersembunyi. Dan dari kejahatan ketidakadilan, kaum berjubah putih bisa hidup dalam kemunafikan. Adalah harapan saya bahwa kita terus berdoa, mendukung dan bahkan mengoreksi saudara-saudara kita yang adalah hamba Allah dan umat-Nya. Tanpa rahmat Allah, kerendahan hati dan doa serta bantuan para umat awam, para diakon, imam, dan uskup kita mungkin bisa menjadi seperti ahli Taurat yang narsis dan munafik.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Fasting

First Sunday of Lent [February 18, 2018] Mark 1:12-15

“The Spirit drove him out into the desert, and he remained in the desert for forty days… (Mk 1:12-13)”

small-groupThe practice of fasting is as old as humanity itself. People from different cultures and religions have included fasting in their customs and traditions. The Brahmin and gurus of Hindu tradition fast and mortify their bodies. The Buddhist monks are known to abstain from eating any meat and fast regularly. Our Muslim brothers and sisters fast even from drinking water from before the dawn to sunset during the month of Ramadan. Scientists have proven that fasting has a lot of health benefits.

People refrain themselves from taking food and water for certain period for different reasons and motives. Some fast to subdue the carnal desires and discipline themselves. Others find it as a way to attain wisdom and enlightenment. The others are to achieve healthy and balanced lives. Others still are required to fast as medical requirements or tests. I remember once my physician-friend requires me to fast for 6 to 8 hours before my blood was extracted for the laboratory examination.

As we enter the liturgical season of Lent, the Church instructs us to do fast and abstinence, and intensify our prayer. Yet, compared to other traditions, our fasting is considered to be very light. We are only required to fast for two days, the Ash Wednesday and the Good Friday. The way we fast also is not that difficult. We are enjoined to take only one full meal within the day. Yet, why do we, Christians, have to fast? Why does the Church want us to commit ourselves to this ancient practice?

One reason is we follow the example of the great prophets before us. Moses fasts for 40 days before he receives the Law from God in the mount of Sinai (Exo 34:28). Elijah on his part fasts from food when he walks 40 days to see God in the mount of Horeb (1 King 19:8). Finally, Jesus Himself goes to the desert and fasts for 40 days in the desert just before He commences His public ministry. Why do these great persons in our faith fast? If we carefully notice, Moses and Elijah fast because they prepare themselves to see the Lord. Like them, our fasting, as simple as they may be, is linked fundamentally to our journey towards God. Often we are so proud of ourselves, feeling self-sufficient because we have achieved and accumulated a lot in our lives. Fasting makes us hunger and weak, and once again we are getting in touch with our vulnerability as human beings. It reminds us our finitude. Yet, when we feel powerless, it is the time when we realize our radical dependence on God, our true strength. Indeed being truly human is being truly connected to God, the source of our humanity and life. Fasting becomes a good means to purify our hearts to see God because only “the pure hearts can see the Lord (Mat 5:8).”

We also observe that Moses, Elijah, and Jesus fast just before they begin their big missions. Moses receives the Law and teaches it to the Israelites. Elijah is to anoint Hazael as a king of Aram, Jehu as a king of Israel, and Elisha as a prophet. Jesus is to begin His public ministry that will lead Him to the cross and resurrection, our salvation. Our fasting prepares us for our true mission as Christians. Often, we are busy with so many things, and fasting helps us to re-orient and re-focus ourselves on the mission God has given us. Reminded of our limited time here on earth, what are things that are truly important in our lives? Reminded of our mortal body, have we given enough time and effort to our missions? Is our fasting bringing us closer to God and our mission?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Puasa

Minggu Prapaskah Pertama [18 Februari 2018] Markus 1:12-15

Roh memimpin Dia ke padang gurun. Di padang gurun itu Ia tinggal empat puluh hari lamanya…(Mk. 1:12-13)”

500_F_138662338_rWVIfNLHprXXXdLiA005tfrq4pjBLxU3Berpuasa merupakan praktek yang sangat tua dalam sejarah umat kehidupan. Orang-orang dari berbagai budaya dan agama memiliki kegiatan puasa dalam tradisi mereka. Kaum Brahmana dan para pertapa di India tekun berpuasa dan bermati raga. Para biksu Buddha tidak makan daging dan berpuasa secara teratur. Saudara-saudari kita Muslim berpuasa dari sebelum fajar menyingsing sampai matahari terbenam selama bulan Ramadhan. Ilmuwan juga telah membuktikan bahwa puasa memiliki banyak manfaat kesehatan.

Kita menahan diri untuk mengkonsumsi makanan dan air dalam jangka waktu tertentu karena berbagai alasan dan motif. Beberapa orang berpuasa untuk menundukkan keinginan daging dan mendisiplinkan diri. Beberapa orang berpuasa karena melihatnya sebagai cara untuk mencapai kebijaksanaan dan pencerahan. Beberapa yang lain berpuasa untuk mencapai hidup sehat dan seimbang. Sedangkan yang lain diminta untuk berpuasa sebagai persyaratan medis atau tes kesehatan. Saya ingat seorang teman dokter mengharuskan saya untuk berpuasa selama 6 sampai 8 jam sebelum darah saya diambil untuk pemeriksaan laboratorium.

Kita sekali lagi memasuki masa Prapaskah, dan Gereja menginstruksikan kita untuk berpuasa, berpantang, dan mengintensifkan doa kita. Namun, dibandingkan tradisi-tradisi lainnya, puasa kita sebenarnya sangat ringan. Kita hanya diwajibkan berpuasa pada Rabu Abu dan Jumat Agung, dua hari saja dalam setahun! Cara kita berpuasa juga tidak terlalu sulit itu. Kita berpuasa dengan hanya makan sekali kenyang dalam sehari. Namun, pernah kita bertanya, mengapa kita, orang-orang Kristiani, harus berpuasa? Mengapa Gereja ingin kita mengikatkan diri pada praktik kuno ini?

Salah satu alasannya adalah kita mengikuti teladan para nabi besar kita. Musa berpuasa selama 40 hari sebelum dia menerima Hukum dari Tuhan di gunung Sinai (Kel 34:28). Elia berpuasa dari makanan ketika dia berjalan 40 hari untuk melihat Tuhan di gunung Horeb (1 Raja 19: 8). Akhirnya, Yesus sendiri pergi ke padang gurun dan berpuasa selama 40 hari sebelum Ia memulai misi-Nya. Mengapa para nabi besar ini dan Yesus sendiri berpuasa? Jika kita memperhatikan dengan seksama, Musa dan Elia berpuasa karena mereka mempersiapkan diri untuk bertemu Tuhan. Seperti mereka, puasa kita terkait secara fundamental dengan perjalanan kita menuju Tuhan. Seringkali kita sangat bangga dengan diri kita sendiri, merasa mandiri karena kita telah mencapai dan mengumpulkan banyak hal dalam hidup kita. Puasa membuat kita lapar dan lemah, dan sekali lagi kita diingatkan akan kerentanan dan kefanaan kita sebagai manusia. Ketika kita merasa tidak berdaya, inilah juga saat ketika kita diajak menyadari ketergantungan radikal kita terhadap Tuhan, yang adalah kekuatan sejati kita. Sungguh, menjadi seorang manusia yang sejati adalah menjadi manusia yang benar-benar terhubung dengan Tuhan, sumber kemanusiaan dan kehidupan kita. Puasa menjadi sarana yang baik untuk memurnikan hati kita untuk melihat Tuhan karena hanya ‘hati yang murni bisa melihat Tuhan.”

Kita juga mengamati bahwa Musa, Elia, dan Yesus berpuasa sesaat sebelum mereka memulai misi besar mereka. Musa menerima hukum Taurat dan mengajarkannya kepada bangsa Israel. Elia diutus untuk mengurapi Hazael sebagai raja Aram, Yehu sebagai raja Israel, dan Elisa sebagai seorang nabi. Yesus akan memulai pelayanan-Nya yang akan membawa-Nya ke kayu salib, sengsara, wafat, dan juga kebangkitan-Nya. Seperti halnya mereka, puasa kita mempersiapkan kita untuk misi sejati kita sebagai orang Kristiani. Seringkali, kita sibuk dengan banyak hal, dan puasa membantu kita untuk mengarahkan dan memfokuskan kembali diri kita pada misi yang telah Tuhan berikan kepada kita. Dengan waktu kita yang terbatas di bumi ini, apa hal-hal yang benar-benar penting dalam hidup kita? Dengan tubuh fana kita, sudahkah kita memberi cukup waktu dan usaha untuk misi kita? Apakah puasa kita membawa kita lebih dekat kepada Tuhan dan misi kita?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ash: a Biblical Reflection

Ash Wednesday 2018 [February 14, 2018] Matthew 6:1-6, 16-18

“For you are dust, and to dust, you shall return. (Gen. 3:19)”

dustAsh Wednesday is the beginning of the liturgical session of Lent in the Catholic Church. Its name derives from an ancient tradition of the imposition of the ashes. Every Catholic who attends the mass on this day will receive a sign of the cross made of ashes on his or her forehead. The ashes are ordinarily coming from the burned palm leaves blessed at the Palm Sunday of the previous year.

Why ashes? Is it in the Bible?

In the Bible, ash (or dust) symbolizes our mortal and fragile humanity. We recall how God created humanity from the dust of the earth (Gen 2:7). Indeed, after Adam committed the first act of disobedience, God reminded Adam of his finite nature, “For you are dust, and to dust, you shall return. (Gen. 3:19)” Because of sin, death upset the creation and brought Adam and all his children back to the ground. Thus, when a priest imposes ashes on our foreheads with the same formula, it becomes a poignant reminder of who we are. Human as we are, relying on our own strength and ability, despite our success, glory, and pride, will die and go back to the earth.

Ash is also a mark of grief, humility, and repentance. After the preaching of Jonah, the people of Nineveh repented, and they wore sackcloth and sat on ashes, begging forgiveness (Jon 3:5-6). Under the leadership of Nehemiah, the citizen of Jerusalem assembled and asked for God’s forgiveness. They all gathered together “while fasting and wearing sackcloth, their heads covered with dust (Neh 9:1).  That explains why the priest also says, “repent and believe in the Gospel!” while imposing the ashes on our foreheads. Just like the ancient Israelites, it is a sign and invitation for us to change our lives and seek God’s mercy and forgiveness.

The cross of ash is the sign of our finite humanity, and even death. Paradoxically, however, it also turns to be a symbol of our true strength and life. When we realize and acknowledge that we are mere ashes in God’s hands, it is also the time we become once again truly alive. Just as God breathed His spirit in the first human made of dust, so God gives us His grace that enables us to participate in His divine life. We are truly alive precisely because we are now sharing in God’s life. The cross of ashes turns to be the moment of our re-creation. As St. Paul says, it is no longer I who live, but it is Christ who lives in me.  (Gal. 2:20)

Sometimes, the ash of repentance brings us sadness and gloominess as we reflect our sinfulness and frailty. As today is the day of fasting and abstinence, we also feel hungry and lethargic. Yet, it must not stop there. It should lead us to the Gospel, the Good News. It is Good News because we are now saved and alive! When we repent, we remove all things make our lives heavy, things that turn us away from God. We become once again light and energetic. As we turn ourselves to God, who is the source of life, we cannot but become alive and full of joy. It is ash that leads us to the Gospel, the joy of the Gospel.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Abu

Rabu Abu 2018 [14 Februari 2018] Matius 6: 1-6, 16-18

pope francis ashesRabu Abu adalah awal dari Masa liturgi Pra-paskah di Gereja Katolik. Nama ini berasal dari tradisi kuno di mana setiap orang Katolik yang menghadiri misa pada hari ini akan menerima tanda salib abu di dahinya. Abu ini biasanya berasal dari daun palma yang telah diberkati pada Minggu Palma tahun sebelumnya, dan kemudian dibakar.

Mengapa  harus abu? Apakah ini sesuai dengan Kitab Suci? Dalam Alkitab, abu (atau debu) melambangkan kemanusiaan kita yang fana dan rapuh. Kita ingat bagaimana Tuhan menciptakan manusia dari debu bumi (Kej 2:7). Dan, ketika Adam jatuh dalam dosa, Tuhan mengingatkan kembali Adam akan kemanusiaannya yang fana, “Sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu (Kej 3:19).” Karena dosa, kematian masuk ke dalam hidup manusia, dan membawa Adam dan semua keturunannya kembali ke tanah. Jadi, ketika seorang imam menandai dahi kita dengan abu, kita diingatkan tentang siapa diri kita sesungguhnya. Kita adalah manusia, dan hanya mengandalkan kekuatan dan kemampuan kita sendiri, terlepas dari segala kesuksesan dan keberhasilan, kita akan mati dan kembali ke bumi.

Abu juga merupakan tanda kerendahan hati dan pertobatan. Setelah Yunus bernubuat, orang-orang Niniwe kemudian bertobat, dan sebagai bentuk pertobatan, mereka memakai kain kabung dan duduk di atas abu (Yun 3: 5-6). Di bawah pimpinan Nehemia, warga Yerusalem berkumpul dan meminta pengampunan dari Tuhan. Mereka semua berkumpul “sambil berpuasa dan memakai kain kabung, kepala mereka tertutup debu (Neh 9: 1).” Hal ini menjelaskan mengapa imam mengatakan, “bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” saat menandai kita dengan abu. Sama seperti bangsa Israel di masa lalu, abu ini adalah tanda dan ajakan bagi kita untuk mengubah hidup kita dan memohon belas kasih dan pengampunan dari Tuhan.

Salib abu adalah tanda kemanusiaan kita yang terbatas. Namun, abu ini juga adalah simbol kekuatan sejati dan sukacita kita. Ketika kita menyadari dan mengakui bahwa kita hannyalah abu di tangan Tuhan, inilah juga saat kita menjadi sekali lagi benar-benar hidup. Salib abu berubah menjadi momen penciptaan kembali bagi kita. Sama halnya seperti Tuhan yang menghembuskan roh-Nya pada manusia pertama yang terbuat dari debu, Tuhan juga menghembuskan rahmat-Nya kepada kita yang mengakui bahwa kita adalah debu, bahwa kita tidak berdaya tanpa Dia. Dengan rahmat-Nya, kita menjadi benar-benar hidup karena kita sekarang mengambil bagian dalam hidup Tuhan. St. Paulus berkata, “Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal 2:20).” Debu menjadi sebuah paradoks kepenuhan hidup.

Terkadang, abu membawa kita pada suasana sedih dan suram karena kita mulai menyadari dosa dan kelemahan kita. Karena kita menjalankan pantang dan puasa pada hari ini, kita juga merasa lapar dan lesu. Namun, kita tidak boleh berhenti di situ saja. Salib abu yang sejati harus membawa kita kepada Injil, yang adalah Kabar Baik. Saat kita bertobat, kita menghapus semua hal yang membebankan dan menjauhkan kita dari Tuhan. Kita menjadi sekali lagi ringan dan energetik. Saat kita menyerahkan diri kita kepada Tuhan, yang adalah sumber kehidupan, kita tidak bisa tidak menjadi hidup dan penuh dengan sukacita. Ini adalah abu yang membawa kita kepada Injil, sukacita Injil. Ini adalah Kabar Baik karena kita sekarang telah diselamatkan!

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Annunciations

4th Sunday of Advent [December 24, 2017] Luke 1:26-38

“…my spirit rejoices in God my savior. For he has looked upon his handmaid’s lowliness… (Luk 1:47-48).”

annunciation chinaLuke has a poignant and unique way in narrating the story of the Annunciation. He deliberately places the story of Zachariah and of Mary side by side, and lets his readers see both stories in comparison. The first story speaks of a holy man who serves in the Temple. Zachariah is a symbol of the ideal Israelite who stands at the center of the holy ground. The second story speaks of an ordinary woman who lives in Nazareth, a small town far from the center. In a patriarchal society, Mary is a symbol of the poor and marginalized Israelite who is pushed to the peripheries. Angel Gabriel appears to both, and God does marvelous deeds for both. Yet, the Annunciation to Mary turns to be far more excellent. The Angel greets Mary with the title of honor, the highly favored one, while the angel does not even greet Zachariah. The Angel makes Zachariah mute because of his doubt, but he assures Mary when she is confused. The conception of John the Baptist is done through natural means, while the conception of Jesus in the womb of Mary takes place through the supernatural way. Zachariah and Elizabeth represent the outstanding God’s marvel in the Old Testament like when God opened the womb of Sarah, the wife of Abraham, and Hannah, the mother of Samuel, despite their old age and barrenness. Yet, what happens to Mary surpasses and outshines these Old Testament miracles.

Reading through the Old Testament books and comparing to the story of Zachariah, we discover that the Annunciation to Mary stands at the summit. Never before, an angel will give honor to a mere mortal. Never before, God will highly favor an ordinary human. Yet, what makes it even marvelous is God’s choice of Mary who is a poor, young woman coming from the insignificant town. God chooses practically a “nobody” to become the mother of His Son. Therefore, Mary’s canticle or the “Magnificat” is not a cute little song, but turns to be the poignant testimony of God’s power on His lowly servant, “…my spirit rejoices in God my savior. For he has looked upon his handmaid’s lowliness… (Luk 1:47-48).”

The story of Annunciation becomes a powerful sign for all of us. We, like Mary, often feel that we are weak and hopeless with so many problems in life. We are bullied by our classmates, officemates, or even society because of our uniqueness and talent. We feel that we are insignificant because we produce so little and achieve nothing. Yet, God never abandons us. In fact, He works His wonders in time when we feel that we are nothing.

A newly ordained Dominican priest confesses that he did a lot of foolish things, he did not finish his college and squandered his life. His life was truly a mess and he was a failure. Nowhere to go, he decided to enter the seminary. Yet, things slowly began to fall into place, and he took that second chance seriously. He excelled in his studies, and became a good seminarian. Finally, he was deemed to be worthy of the priesthood. In his thanksgiving mass, he thanks the Lord for undoing his failure, and he professes that in his greatest weakness, God has shone brightly. Like Mary, we are called to discover God’s mighty deeds in our lives, and to proclaim it to the world.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kabar Sukacita

Minggu Adven ke-4 [24 Desember 2017] Lukas 1: 26-38

“… hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya… (Luk 1: 47-48).”

annunciation koreaLukas memiliki cara yang tajam dan unik dalam menulis kisah tentang Penerimaan Kabar Sukacita. Dia dengan sengaja menempatkan kisah Zakharia dan Maria secara berdampingan, dan membiarkan pembacanya melihat kedua cerita itu dalam perbandingan. Kisah pertama berbicara tentang seorang imam yang suci yang melayani di Bait Allah. Zakharia adalah simbol dari orang Israel ideal yang berdiri di pusat peribadatan bangsa Israel. Kisah kedua berbicara tentang seorang wanita sederhana yang tinggal di Nazaret, sebuah desa kecil yang jauh dari pusat pemerintahan dan keagamaan. Dalam masyarakat patriarki, Maria adalah simbol dari bangsa Israel yang miskin dan terpinggirkan dan terdorong ke pinggiran. Malaikat Gabriel menampakkan diri kepada keduanya, dan Tuhan melakukan perbuatan yang luar biasa bagi keduanya. Namun, Kabar Sukacita bagi Maria ternyata jauh lebih baik. Pertama, sang Malaikat menyapa Maria dengan gelar kehormatan, “Engkau yang dikaruniai, sementara sang malaikat tidak menyapa Zakharia sama sekali. Kedua, sang malaikat membuat Zakharia bisu karena keraguannya, tapi dia meyakinkan Maria saat Maria bertanya-tanya. Ketiga, pembuahan Yohanes Pembaptis terjadi secara alamiah, sementara Yesus di dalam rahim Maria terjadi melalui cara yang supernatural. Zakharia dan Elizabeth mewakili karya besar Tuhan dalam Perjanjian Lama seperti ketika Tuhan membuka rahim Sarah, istri Abraham, dan Hannah, ibu Samuel, meskipun sudah tua dan mandul. Namun, apa yang terjadi pada Maria melampaui segala mukjizat Perjanjian Lama ini.

Membaca buku-buku Perjanjian Lama dan membandingkan kisah Zakharia, kita menemukan bahwa Kabar Sukacita Maria berada di puncak. Belum pernah terjadi sebelumnya, malaikat akan memberi kehormatan kepada seorang manusia biasa. Belum pernah sebelumnya, Tuhan memberi karunia-Nya yang dahsyat kepada manusia biasa. Namun, yang membuat kisah ini bahkan luar biasa adalah pilihan Tuhan bagi Maria yang adalah seorang wanita muda miskin yang berasal dari desa yang tidak penting. Tuhan memilih seorang yang bukan siapa-siapa untuk menjadi ibu Putra-Nya. Oleh karena itu, kidung Maria atau “Magnificat” bukanlah sebuah lagu yang imut, namun ternyata merupakan kesaksian yang menyata tentang kekuatan Tuhan terhadap Maria, hamba-Nya, “…hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya… (Luk 1: 47-48).”

Kita, seperti Maria, sering merasa bahwa kita lemah dan putus asa dengan begitu banyak permasalah dalam hidup. Kita diintimidasi oleh teman sekelas, kerja, pelayanan, dan bahkan masyarakat karena keunikan dan bakat kita. Kita merasa bahwa kita tidak penting karena kita memiliki pencapaian apa-apa. Namun, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Dia mengerjakan karya besar-Nya pada saat kita merasa bahwa kita bukanlah apa-apa.

Seorang imam Dominikan yang baru saja ditahbiskan mengaku bahwa dia melakukan banyak hal bodoh waktu dia muda, dia tidak menyelesaikan kuliahnya dan menyia-nyiakan hidupnya. Hidupnya benar-benar berantakan dan dia adalah sebuah kegagalan. Merasa hilang, dia memutuskan untuk masuk seminari. Namun, hidupnya perlahan-lahan semakin membaik, dan dia mengambil kesempatan kedua itu dengan serius. Dia belajar dengan tekun, dan menjadi seorang frater yang baik. Akhirnya, dia dianggap layak menjadi imam. Dalam misa perdananya, dia mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena Dia telah memilihnya, hamba-Nya yang hina dan gagal, dan bahwa dalam kelemahan terbesarnya, Tuhan telah bersinar terang. Seperti Maria, kita dipanggil untuk menemukan perbuatan-perbuatan besar Allah dalam hidup kita, bahkan di dalam kegagalan hidup, dan menyatakannya kepada dunia.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

John the Witness

3rd Sunday of Advent [December 17, 2017] John 1:6-8, 19-28

“John came as a witness to testify to the light , so that all might believe through him. (Joh 1:7)”

john africanIn the Fourth Gospel, John the Baptist has an important role. It is not only to baptize, but to become a witness. He is to witness to the light, to the true Messiah, to Jesus Christ. When the priests, Levites, and Pharisees from Jerusalem, come to him , and interrogate him to clarify his identity, he makes it clear that he is not the Messiah, not even the prophet, but rather enigmatically saying “a voice that cries in the desert.” It seems it is an easy thing to do for John. Questions are thrown at him, and he simply gives straight and confident answers. Yet, looking deeper into the reality, it is actually the opposite.

John the Baptist is a highly popular and influential man. He is able to draw many people from all corners of Palestine. People listen to him and ask to be baptized. He is a charismatic preacher that changes many Jews’ lives. When afforded with so much success and praise, it is easier for John to see himself as the best and main actor. He could have said to the priests, “I am the light, the Messiah. See how many people follow and gather around me!”  He has become the epitome of successful preacher and minister. Yet, he does not claim the praise to himself , but points to the true light and Messiah.

Our modern society may be scandalized by John the Baptist’s attitude. Our societies are driven by success and achievement. We are taught to think positive, to feel good about ourselves, to shun failures. We are trained to reach our dreams, to compete to become the best , and to believe in our abilities. Books, articles, and videos about self-help, success-coaching, positive thinking, effective leadership and efficient management are flooding in our book stores , televisions, and internet. I need to admit also that I am using a time-management method “Pomodoro” to help me finish this reflection. We are living in the world that is confident of itself and believe that we can achieve anything. The sky is the limit!

No wonder if the value of our contemporary society is in conflict with John’s. We might say John should not think himself too low, he should have more self-esteem, or he should not be too pessimistic. Yet, this is not about John having low self-esteem or being too shy. John’s humble act is prophetic, not only for his own time , but also to our days. His testimony points to a radical recognition that God is the source of all our goodness and to God alone, all these perfections shall go back. I am not saying that many motivational materials produced by our generation are not good. They are in fact helpful to bring out the best of us. Yet, the danger is when we begin to think that we can do things on our own. With so many achievements, the present world begins to believe that God is not necessary, and we start playing God. We destroy the environment, manipulate human lives, and abuse ourselves. At the bottom of all of these is pride.

John’s life becomes a witness to the true light, to the true source of all goodness. His prophetic action reminds us of what matters most in our lives. The invitation for us now is not only to become humble by recognizing God’s presence in all our achievements , and give thanks to Him. Yet, like John, we and our lives are to become a sign that points to God himself. It is no longer about us, but God who works in me.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno , OP

Yohanes Sang Saksi

Minggu Adven ke-3 [17 Desember 2017] Yohanes 1:6-8, 19-28

“Yohanes datang sebagai saksi untuk bersaksi tentang terang, supaya semua orang percaya melalui Dia. (Yoh 1: 7)”

john n jesusDalam Injil Keempat, Yohanes Pembaptis memiliki peran penting: bukan hanya untuk membaptis, tapi untuk menjadi saksi. Dia bersaksi tentang sang Terang, sang  Mesias sejati, Yesus Kristus. Ketika para imam dan orang-orang Farisi dari Yerusalem datang kepadanya dan menginterogasinya untuk mengklarifikasi identitasnya, dia menjelaskan bahwa dia bukanlah Mesias, bahkan bukan seorang nabi, namun dia berseru, “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan!  (Yoh 1:23)” Sepertinya hal ini adalah hal mudah untuk Yohanes lakukan. Pertanyaan diajukan kepadanya, dan dia memberikan jawaban secara lugas dan percaya diri. Namun, melihat lebih dalam pada realitas zamannya, hal yang dilakukannya tidaklah semudah yang kita bayangkan.

Yohanes Pembaptis adalah orang yang sangat populer dan berpengaruh. Dia mampu menarik banyak orang dari segala penjuru Palestina. Orang-orang mendengarkannya dan meminta untuk dibaptis. Dia adalah seorang pengkhotbah karismatik yang mengubah banyak kehidupan orang-orang Yahudi. Dengan begitu banyak kesuksesan dan pujian, Yohanes lebih mudah melihat dirinya sebagai pemeran utama. Dia bisa saja berkata kepada para imam, “Akulah sang terang, sang Mesias. Lihatlah betapa banyak orang yang mengikuti dan berkumpul di sekitarku!” Dia telah menjadi lambang pewarta yang sukses. Namun, di saat yang paling krusial, dia tidak mengklaim pujian bagi dirinya sendiri, namun menunjuk pada sang Terang dan Mesias yang sebenarnya.

Dunia modern kita mungkin tidak sepaham dengan sikap Yohanes Pembaptis ini. Masyarakat kita sekarang termotivasi oleh kesuksesan dan prestasi. Kita diajarkan untuk berpikir positif, merasa nyaman dengan diri sendiri, dan menghindari kegagalan. Kita dilatih untuk mencapai impian kita, berkompetisi untuk menjadi yang terbaik, dan percaya pada kemampuan kita. Banyak buku, artikel, dan video tentang ‘self-help’, kesuksesan, pemikiran positif, kepemimpinan yang efektif dan manajemen yang efisien membanjiri toko buku, televisi, dan internet. Perlu saya akui juga bahwa saya menggunakan metode manajemen waktu “Pomodoro” untuk membantu saya menyelesaikan refleksi ini. Kita hidup di dunia yang sangat percaya diri dan percaya bahwa kita dapat mencapai apapun. Dunia tanpa batas!

Tak heran bila nilai dunia kontemporer kita bertentangan dengan Yohanes. Kita mungkin mengatakan bahwa Yohanes seharusnya tidak menganggap dirinya terlalu rendah, ia seharusnya memiliki kepercayaan diri yang lebih baik, atau seharusnya ia tidak terlalu pesimis. Namun, ini bukan tentang Yohanes yang memiliki kepercayaan diri rendah atau pemalu. Tindakan rendah hati Yohanes pada dasarnya adalah sebuah nubuat dan kesaksian, yang bahkan relevan sampai saat ini. Kesaksiannya menunjuk pada pengakuan radikal bahwa Allah adalah sumber dari semua kebaikan yang kita miliki dan kepada-Nya saja, semua kesempurnaan yang kita capai akan kembali. Saya tidak mengatakan bahwa berbagai bahan motivasi yang diproduksi oleh generasi kita tidak baik. Mereka sebenarnya membantu kita untuk menghasilkan yang terbaik. Namun, bahayanya adalah ketika kita mulai berpikir bahwa kita bisa melakukan semua dengan cara kita sendiri. Dengan begitu banyak prestasi, dunia saat ini mulai percaya bahwa Tuhan tidak diperlukan lagi, dan kita mulai berperan sebagai tuhan-tuhan kecil. Kita menghancurkan lingkungan hidup, memanipulasi kehidupan manusia, dan menyalahkan gunakan tubuh dan pikiran kita. Semua ini berakar pada keangkuhan manusia kita.

Kehidupan Yohanes menjadi saksi Terang sejati, sumber sejati dari semua kebaikan. Tindakan kenabiannya mengingatkan kita pada apa yang paling penting dalam hidup kita. Sekarang kita diajak tidak hanya untuk menjadi rendah hati dengan mengenali kehadiran Tuhan dalam semua pencapaian kita, dan bersyukur kepada-Nya. Namun, seperti Yohanes, kita dipanggil supaya hidup kita secara total menjadi tanda yang menunjuk pada Tuhan, dan bukan pada diri kita sendiri. Ini bukan lagi tentang kita, tapi Tuhan yang bekerja di dalam diri kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP