Orang Majus dan Kebenaran

Hari Raya Penampakan Tuhan – Epifani [B]
7 Januari 2024
Matius 2:1-12

Masa Natal berakhir dengan perayaan Epifani. Perayaan kuno ini erat hubungannya dengan kisah orang Majus dari Timur yang mengunjungi bayi Yesus di Bethlehem. Kisah ini merupakan penutup yang tepat untuk masa Natal karena orang Majus mewakili bangsa-bangsa di dunia yang datang dan menyembah raja yang baru lahir. Yesus lahir bukan hanya sebagai Mesias bagi orang Yahudi, tetapi juga Juruselamat bagi semua bangsa.

Identitas orang Majus masih menjadi misteri besar. Lukisan paling awal di Basilika Kelahiran Yesus di Bethlehem menampilkan mereka mengenakan pakaian Persia (sekarang Iran). Namun, beberapa bapa Gereja percaya bahwa mereka adalah orang Kasdim (sekarang Irak). Yang lain berpendapat bahwa mereka berasal dari Suriah utara karena mereka dianggap sebagai keturunan Baalam (lihat Bil. 22). Alkitab menggunakan kata ‘Magos’, dan di dalam Alkitab sendiri, kata ‘Magos’ memiliki arti yang ambigu. Kata Magos dapat diasosiasikan secara negatif dengan tukang sihir, untuk mendapatkan uang dan ketenaran (lihat Kisah13:6). Namun, istilah ini juga dapat diterjemahkan sebagai orang bijak, mereka yang mendedikasikan dirinya untuk mencari Kebenaran.

Tradisi Gereja cenderung melihat orang Majus sebagai orang bijak dari Timur. Mereka adalah orang-orang yang memberikan hidup mereka untuk mencari Kebenaran. Namun, hidup dua milenium sebelum kita, mereka tidak menikmati metode ilmiah dan ilmu pengetahuan modern. Mereka harus mengandalkan sumber daya dan informasi yang terbatas, yang sering kali bercampur dengan mitos dan takhayul. Mereka belum mengenal ilmu kimia, melainkan alkimia (proto-sains yang bertujuan untuk mengubah suatu bahan menjadi bahan lain seperti emas atau obat-obatan). Mereka belum memahami prinsip-prinsip astronomi, namun mereka lebih banyak berkutat pada astrologi (ilmu semu yang membaca benda-benda langit dan bagaimana hubungannya dengan nasib manusia). Mayoritas literatur mereka mungkin lebih banyak membahas tentang ilmu gaib daripada ilmu pengetahuan yang benar.

Namun, terlepas dari keterbatasan mereka, Tuhan melihat upaya tulus mereka, dan dengan demikian menuntun mereka kepada Kebenaran sejati melalui bintang-Nya. Bagaimanapun juga, Tuhan jugalah menempatkan kehausan yang mendalam akan Kebenaran di dalam hati mereka. Mereka membuktikan komitmen mereka ketika mereka meninggalkan kenyamanan istana mereka dan memulai perjalanan yang panjang dan berbahaya. Kita juga tidak yakin apa yang sebenarnya dialami oleh Baltazar, Melkior, dan Gaspar (sebagaimana tradisi menyebutnya) ketika mereka menemukan Yesus, Sang Kebenaran. Namun, kita yakin bahwa orang Majus adalah simbol dari umat manusia yang sedang mencari Kebenaran untuk Tuhan sendiri.

Seperti orang Majus, Tuhan juga menciptakan kita sebagai makhluk yang memiliki rasa lapar yang mendalam akan Kebenaran. Sayangnya, rasa lapar akan Kebenaran ini sering kali tidak terpenuhi karena dosa. Dosa kemalasan meracuni hasrat kita akan Kebenaran dan membelenggu kita dalam zona nyaman. Dosa hawa nafsu mengubah keinginan kita akan Kebenaran menjadi keinginan daging. Dosa kesombongan membuat kita percaya bahwa kita telah memiliki kebenaran dan kita tidak membutuhkan rahmat Allah. Belajar dari orang Majus, kita menyadari bahwa ilmu pengetahuan juga merupakan bagian dari penyelenggaraan Allah untuk menuntun kita ke dalam Kebenaran yang hakiki.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Sukacita Natal

Hari Raya Kelahiran Tuhan Yesus (Natal)
25 Desember 2023
Lukas 2:1-14

Selamat Natal!
Tuhan telah lahir, dan ada sukacita besar di surga dan di bumi. Namun, apa alasan di balik sukacita Natal ini? Sukacita ini ada bukan karena kita bisa berkumpul dengan keluarga dan kerabat dan mengadakan pesta Natal yang meriah. Sukacita ini ada bukan karena kita mendapatkan hadiah dan bonus, juga bukan karena kita berlibur dan healing. Jadi, apa sebenarnya di balik sukacita ini?

Natal adalah hari kelahiran Juruselamat kita. Kelahiran ini bukan hanya sebuah proses biologis alamiah yang melibatkan seorang pria dan wanita. Kelahiran ini adalah sebuah peristiwa adikodrati yang berakar dari kasih Allah kepada kita, para pendosa. Allah memiliki banyak sekali pilihan untuk menebus kita, namun Dia memilih cara yang paling intim. Allah Bapa mengutus Putra-Nya, dan Sang Putra mengambil kodrat-Nya yang kedua, yaitu kodrat manusia dalam diri Perawan Maria. Dengan cara ini, Allah menjadi sangat dekat dengan kita, sehingga gelar-Nya, Imanuel, Allah yang bersama kita, menjadi sebuah kenyataan. Dia bersama kita tidak hanya dalam cara-cara rohani atau mistik, tetapi dalam cara yang paling manusiawi. Dia adalah bayi yang Maria susui, Yusuf peluk, dan para gembala kunjungi. Dia adalah yang wafat disalib dan bangkit pada hari ketiga. Dia adalah yang naik ke surga, dan yang hadir di setiap Ekaristi. Dia, sang Immanuel, Allah yang bersama kita sampai akhir zaman.

Namun, Natal juga memberikan kita alasan lain untuk bersukacita. Kita hidup dalam budaya dan pola pikir yang telah berubah. Banyak pasangan yang tidak lagi ingin memiliki anak. Memang, ada beberapa alasan yang sah, seperti kesulitan ekonomi yang tidak memungkinkan untuk membesarkan anak atau kondisi medis tertentu yang dapat membahayakan ibu. Namun, banyak juga yang menganggap memiliki anak hanya sebagai beban, dan dengan demikian, hanya ingin menikmati hal-hal yang menyenangkan dalam pernikahan tetapi tidak ingin terlibat dalam hal-hal yang sulit, termasuk membesarkan anak.

Namun, Natal mengingatkan kita bahwa meskipun benar bahwa memiliki anak membawa kesusahan tersendiri, namun juga membawa sukacita. Memang benar bahwa setelah menerima Yesus, Maria dan Yusuf tidak mendapatkan kehidupan yang lebih baik; bahkan mereka harus menanggung lebih banyak penderitaan. Namun, Maria dan Yusuf tetap merayakan kelahiran Anak Allah. Kita tidak boleh lupa bahwa bala malaikat yang tak terhitung jumlahnya penuh suka cita dan bernyanyi kemuliaan bagi Allah di surga, dan di bumi, para gembala bergegas menyambut Maria dan Yusuf dengan penuh sukacita [lihat Lukas 2].

Kehamilan memang merupakan proses yang menyakitkan dan melelahkan, dan mendidik anak-anak sering kali dapat menjadi tantangan secara ekonomi dan emosional. Namun, Tuhan juga menyediakan sukacita yang berlimpah bagi para orang tua. Ketika orang tua berinteraksi dengan penuh kasih dengan bayi mereka, tubuh akan memproduksi hormon ‘positif’ seperti oksitosin dan dopamin. Seorang teman yang baru saja memiliki bayi menceritakan kegembiraannya setiap kali ia melihat pertumbuhan yang sederhana namun signifikan pada bayinya. Ada kegembiraan ketika bayi mulai mengucapkan kata-kata dengan jelas. Ada sukacita ketika bayi mulai mengenali dan membedakan wajah orang tuanya dengan orang lain. Seorang teman lain juga bercerita bagaimana ada sukacita yang tak terlukiskan saat melihat wajah sang bayi yang terlahir sehat, setelah mengalami beberapa kali keguguran.

Natal mengajarkan kepada kita bahwa ada sukacita yang besar di surga ketika seorang bayi dikandung dan dilahirkan karena bayi ini adalah calon warga surga. Sekarang, adalah sukacita kita untuk membawa anak-anak yang dipercayakan kepada kita kepada Tuhan dan berbagi kepenuhan hidup dengan-Nya.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP