Unworthy, yet Called

25th Sunday in Ordinary Time. September 24, 2017 [Matthew 20:1-16a]

They answered, ‘Because no one has hired us.’ He said to them, ‘You too go into my vineyard.’ (Mat 20:1-16)

vineyard ownerJesus is the storyteller genius. The parable he shares to us today does not only surprise us with its unexpected ending, but it also creates a sense of puzzlement and wonder. We expect that the workers who labored the whole day would get the better wage compared to those who came late. Yet, it did not happen. All got the same wage regardless of their working hours. The vineyard owner was right to explain that he did not violate the agreement with his laborers, but deep inside us, there is something quite off. If we were militant enough, we would stage a rally to protest the vineyard owner’s decision.

This sense of puzzlement and perhaps discontent are born because we can easily identify ourselves with the laborers who came early and worked the whole day, perhaps under the scourging sun and bearing heavy load. Many of us are workers who spend 8 hours or more in the workplace, working hard, just to get something to eat and little to save. Or some of us are students who have to study hard for hours just to pass a subject. Surely, we will feel resentment and even anger when we know that some unqualified workers with less work hours or productivity, receive the same and even higher amount of salary. We, students, will get totally disappointed knowing some lazy students, with their substandard, “copy-paste” assignments, get higher grade than us. It just violates our sense of justice.

However, do we really have to identify ourselves with the laborers who worked the whole day? Who knows they are actually not representing us. In God’s eyes, all of us may be like those people who were standing idle the whole day perhaps because no other vineyard owners think that we deserve the job. Indeed, in the final analysis, we are all but unworthy sinners. Pope Francis is loved by many and working hard for the Church. In his visit to Colombia, when he greeted the people on the streets, he got tripped, his eyebrow was slightly cut, and blood came out. Yet, instead calling off the activity, he proceeded. After receiving quick medical treatment, he insisted to continue greeting the people. Despite the pain, he met the people of God even with brighter smile. Pope Francis is like one of the laborers who came early in vineyard. Once he was asked by reporters to describe himself in one word, he answered he was a sinner! If this loving and holy Pope considers himself a sinner, who are we to think that we are the righteous?

Too much focus on ourselves, we often miss the obvious actions of the vineyard owner. He exerts effort to look for laborers, not just once, but four times. This defies the business logic. Why would you hire more if you have enough workers for the day? Why would you spend much for those worked only for one hour? That’s perfect recipe for bankruptcy! The point is not really about business and profit, but about seeking diligently and embracing those who are the lost, the less and the last. It is about us sinners, unworthy of Him, yet God remains faithful in looking for us.

It is truly humbling experience to know that we are “the people idle on the streets” yet God wants us to be part of His family. Now, it is our duty to respond to his Mercy with commitment and love for others. Like the last workers, we have only “one hour”, and it is time to make the best of it for He who has been very merciful.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Tidak layak, namun Terpanggil

Minggu Biasa ke-25 [24 September 2017] Matius 20: 1-16a

Kata mereka kepadanya, “Karena tidak ada orang mengupah kami”. Katanya kepada mereka, “Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku.” (Mat 20:7)

francis-bruised-woundedYesus adalah seorang pencerita yang luar biasa. Perumpamaan Yesus hari ini tidak hanya mengejutkan kita dengan akhir yang tak terduga, tapi juga membuat kita bertanya-tanya. Kita berharap para pekerja yang bekerja sepanjang hari akan mendapatkan upah yang lebih baik dibandingkan dengan mereka yang terlambat datang. Namun, itu tidak terjadi. Semua mendapat upah yang sama. Pemilik kebun anggur menjelaskan bahwa dia tidak melanggar kesepakatan dengan para pekerja, tapi di dalam lubuk hati kita, kita merasa ada sesuatu yang salah.

Rasa bingung dan mungkin ketidakpuasan ini lahir karena kita dapat dengan mudah mengidentifikasi diri kita dengan pekerja yang datang lebih awal dan bekerja sepanjang hari, mungkin di bawah panas matahari dan membawa beban berat. Banyak dari kita adalah pekerja yang bekerja keras selama 8 jam atau lebih di tempat kerja hanya untuk mendapatkan sesuap nasi. Atau beberapa dari kita adalah siswa yang harus belajar berjam-jam agar bisa lulus. Atau kita kita sangat aktif selama bertahun-tahun membantu di paroki. Tentunya, kita akan marah saat mengetahui bahwa beberapa pekerja dengan jam kerja atau produktivitas rendah, menerima gaji yang lebih tinggi dari kita. Sebagai pelajar, kita akan benar-benar kecewa saat mengetahui beberapa siswa yang malas mendapatkan nilai lebih tinggi dari kita. Kita kecewa saat tidak diperhatikan sementara mereka yang baru datang dipuji oleh Romo paroki Itu melanggar rasa keadilan kita.

Namun, apakah kita benar-benar harus mengidentifikasi diri kita dengan para pekerja yang bekerja sepanjang hari? Di mata Tuhan, kita semua mungkin seperti halnya orang-orang yang menganggur sepanjang hari, mungkin karena sebenarnya kita tidak layak mendapat pekerjaan. Kenyataannya, kita semua adalah orang berdosa yang tidak pantas. Paus Fransiskus bekerja keras untuk Gereja. Dalam kunjungannya ke Kolombia, saat dia menyapa umat di jalanan, dia terjatuh, bagian mata kirinya membentur mobil kepausan, dan alisnya pun mengeluarkan darah. Namun, alih-alih menghentikan aktivitasnya, dia melanjutkan. Setelah menerima perawatan medis yang cepat, dia tak berhenti menyapa umatnya. Meski sakit, ia menemui umat Tuhan bahkan dengan senyuman yang lebih cerah. Paus Fransiskus tampak seperti buruh yang bekerja keras. Namun, suatu ketika dia diwawancara dan dia diminta untuk menjelaskan dirinya dalam satu kata. Dia menjawab bahwa dia adalah seorang berdosa! Jika Paus yang penuh kasih dan kudus ini menganggap dirinya berdosa, siapakah kita untuk berpikir bahwa kita adalah orang paling benar?

Terlalu fokus pada diri kita sendiri, kita sering tidak melihat apa yang sebenarnya sang pemilik kebun anggur lakukan di dalam perumpamaan ini. Dia berusaha untuk mencari pekerja, bukan hanya sekali, tapi empat kali. Ini bertentangan dengan logika bisnis. Mengapa kamu mempekerjakan lebih banyak jika kamu memiliki cukup banyak pekerja untuk hari ini? Mengapa kamu menghamburkan uang bagi mereka yang bekerja hanya selama satu jam? Ini adalah resep sempurna untuk kebangkrutan usahamu! Namun, inti perumpamaan ini bukanlah tentang bisnis dan keuntungan, tapi tentang mencari dengan tekun dan merangkul mereka yang tersesat dan hilang. Ini tentang kita orang berdosa, yang tidak layak untuk Dia, namun Tuhan tetap setia dalam mencari dan memanggil kita.

Sungguh sesuatu yang membahagiakan mengetahui bahwa kita adalah “orang-orang yang menganggur di jalanan”, tetapi Tuhan tetap ingin kita menjadi bagian dari keluarga-Nya. Sekarang, tugas kita untuk menanggapi rahmat-Nya dengan komitmen dan kasih bagi sesama. Seperti pekerja yang datang terakhir, kita hanya memiliki “satu jam”, dan sekarang saatnya untuk membuat yang terbaik bagi Dia yang telah sangat berbelaskasihan kepada kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Justice of God and Forgiveness

24th Sunday in Ordinary Time. September 17, 2017 [Matthew 18:21-35]

“Moved with compassion the master of that servant let him go and forgave him the loan. (Mat 18:27)”

justice-law-scaleWhy is it difficult to forgive? One of the reasons is that after we are wronged, the immediate reaction is to seek justice or even revenge. We want that the pain and the loss we experienced are also felt by those who inflicted them on us. We want “a tooth for a tooth, an eye for an eye”. Unfortunately, consumed by anger and hatred, our cry for justice can easily turn into an intense desire of revenge. If justice seeks to balance scale, revenge seeks to inflict a greater punishment, or even to destroy those who have harmed us. Unless we get what is due, unless they receive what they deserve, there is no forgiveness.

Despite this intense desire for vengeance, the good news is that the longing for justice is something that is embedded in every human soul. This sense of justice we have and we embrace is what we call human justice. This kind of justice is essential for our daily life because it propels us to reward good works and punish wrong doings. If we work hard for our companies, we deserve a good wage, but if we do not our job, the company has the right to fire us. If we study hard, we expect a good grade and learning, but if we are lazy, we expect no less that a failing mark. If we pay our taxes, we want the government to provide a dependable public service. This sense of justice regulates our daily lives, the school system, work policies and government conducts. Therefore, we are angered by the violence of this justice system. We are angered knowing our officemate who does little, gets the same salary like us. Though I do not want to focus on grade, I am usually pissed off knowing that after exerting much effort, I get a lower grade compared to those who did not study. We will be indignant if our taxes go to the corrupt and incompetent government officials. With this sense of justice, there is no place for forgiveness.

Thus, Peter’s proposal to forgive seven times sounds extraordinary. Yet, Jesus invites us to understand another sense of justice, the justice of God. The human justice begins with us, what we deserve, what is due to us, but the justice of God starts with God. Like the King in the parable, he demands the servant to pay his debt of astronomical amount. This is human justice. Yet, the king knows that he is so rich that the payment of his servant’s debt would not add much to his treasury. Thus, when the servant begs for mercy, the king could easily forgive him. The servant’s debt now turns to be his richness, and from being extremely poor because of the massive debt, he becomes instantly rich. The servant then is expected to perform his master’s justice and to forgive also his fellow servants who owe him a little. Unfortunately, he remains governed by human justice and even consumed by revenge. This brings about his own doom.

We owe God everything, our lives, all what we have, and even our redemption, yet nothing we do for Him can add to his glory. In His mercy, God forgives us. Our massive debt to God has been erased and in fact, transformed into our own richness. Mercy and forgiveness is not only possible but also the hallmark of God’s justice. As we become rich in His justice, we should forgive our brothers and sisters so that they may be also enriched. We forgive because we have been forgiven. We forgive because we are rich in His mercy. We forgive because God’s justice demands it.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Keadilan Tuhan dan Pengampunan

Minggu Biasa ke-24 [17 September 2017] Matius 18: 21-35

“Bergerak dengan belas kasihan tuan hamba itu membiarkannya pergi dan memaafkannya pinjaman. (Mat 18:27) “

unforgiving_servantMengapa sulit untuk memaafkan? Salah satu alasannya adalah bahwa setelah kita disakiti, reaksi kita adalah untuk mencari keadilan. Kita ingin apa rasa sakit yang kita alami juga dirasakan oleh orang-orang yang melakukannya pada kita. Kita ingin “gigi ganti gigi, mata ganti mata”. Terkadang, termakan oleh kemarahan dan kebencian, usaha kita untuk mencari keadilan dapat dengan mudah berubah menjadi keinginan membalas dendam. Jika rasa keadilan berusaha untuk menyeimbangkan skala, balas dendam berusaha untuk memberi hukuman yang lebih besar, atau bahkan untuk menghancurkan orang-orang yang telah merugikan kita. Jika kita tidak mendapatkan apa yang semestinya, jika mereka tidak menerima apa yang layak mereka dapatkan, tidak ada pengampunan.

Meskipun terkadang bercampur dengan keinginan untuk membalas dendam, kabar baiknya adalah bahwa rasa keadilan adalah sesuatu yang tertanam dalam setiap jiwa manusia. Rasa keadilan yang kita miliki adalah apa yang kita sebut keadilan manusia. Keadilan semacam ini sangat penting untuk kehidupan kita sehari-hari karena ini mendorong kita untuk menghargai perbuatan baik dan menghukum perbuatan salah. Jika kita bekerja keras untuk perusahaan kita, kita layak mendapatkan upah yang baik, tapi jika kita tidak melakukan pekerjaan kita, perusahaan memiliki hak untuk memecat kita. Jika kita belajar dengan giat, kita mengharapkan nilai bagus, tapi jika kita malas, jangan berharap kita berhasil. Jika kita membayar pajak, kita ingin pemerintah menyediakan layanan publik yang andal. Rasa keadilan ini mengatur kehidupan kita sehari-hari. Oleh karena itu, kita marah jika ada pelanggaran keadilan ini. Kita marah saat mengetahui rekan kerja kita yang tidak banyak bekerja, mendapat gaji yang sama. Meskipun saya tidak ingin fokus pada nilai, saya biasanya kesal mengetahui bahwa setelah mengerahkan banyak usaha, saya mendapat nilai yang lebih rendah daripada teman sekelas yang tidak belajar. Kita akan marah jika pajak kita masuk ke saku pejabat pemerintah yang korup dan tidak kompeten.

Dengan rasa keadilan ini, tidak ada tempat untuk pengampunan. Dengan demikian, usulan Petrus untuk mengampuni tujuh kali terdengar luar biasa. Namun, Yesus mengundang kita untuk memahami rasa keadilan yang berbeda, keadilan Tuhan. Keadilan manusia dimulai dengan kita, apa yang kita layak dapatkan, tapi keadilan Tuhan dimulai dengan Tuhan. Seperti raja dalam perumpamaan hari ini, dia menuntut hambanya untuk membayar hutangnya yang sangat besar. Ini adalah keadilan manusia. Namun, sang raja tahu bahwa dia begitu kaya sehingga pembayaran hutang hambanya tidak akan menambah banyak perbendaharaannya. Jadi, saat sang hamba memohon belas kasihan, raja bisa dengan mudah memaafkannya. Toh, ia tidak kehilangan apa-apa. Hutang sang hamba sekarang berubah menjadi kekayaannya, dan dari orang yang sangat miskin karena hutangnya yang besar, dia menjadi kaya secara instan. Si hamba kemudian diharapkan bisa melakukan keadilan yang sama seperti sang raja, dan juga memaafkan sesama hamba yang berutang padanya. Sayangnya, dia tetap diperintah oleh keadilan manusia dan bahkan termakan oleh dendam. Hal ini membawa malapetaka baginya.

Kita berutang kepada Tuhan segalanya, hidup kita, semua yang kita miliki, dan bahkan penebusan kita, namun segala yang kita lakukan tak akan sanggup untuk membayar-Nya atau menambah kemuliaan-Nya karena Dia itu sempurna. Dalam rahmat dan kesempurnaan-Nya, Tuhan mengampuni kita. Utang kita yang besar kepada Tuhan telah terhapus, dan faktanya, berubah menjadi kekayaan kita. Rahmat dan pengampunan tidak hanya mungkin tapi juga ciri keadilan Tuhan. Seperti sang hamba, kita harus mengampuni saudara dan saudari kita karena kita telah menjadi kaya karena keadilan-Nya. Kita memaafkan karena kita telah dimaafkan. Kita memaafkan karena kita kaya akan rahmat-Nya. Kita memaafkan karena keadilan Tuhan menuntutnya.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Name and Story

21st Sunday in Ordinary Time. August 27, 2017 [Matthew 16:13-20]

“You are the Christ, the Son of the living God (Mat 16:16)”

happy chilren 2Today’s Gospel is well known as the Confession of Peter. Jesus asks the disciples who He is, and Simon confesses that Jesus is the Christ, the Son of the living God. He gets it right, and Jesus Himself reveals that his answer does not come from his human weakness, but from the heavenly Father. I used to think that this revelation is an instant inception of divine idea inside Simon’s mind. Right there and then, like Archimedes who discovered the Law of Hydrostatic, Simon also shouts “Eureka! I have found it!”

However, I realize there is a different understanding of revelation. It is not an instant one, but a revelation that involves Simon’s entire life as well as his active participation. Simon is able to formulate his answer because God has led him to meet Jesus, and on his part, Simon decides to follow him and live as his disciple. The revelation comes through a long process of listening, witnessing and sometimes, misunderstanding his Master. Simon sees Jesus’ miracles. He hears Jesus’ teachings. He feels Jesus’ compassion for the poor and the afflicted. Simon gradually recognizes Jesus personally and intimately. Simon’s confession is born of this intimate knowledge and friendship. He knows Jesus’ story, and at the right moment, he is ready to share his story of Jesus with others.

This is not far from our daily experiences. When we address our loved ones and close friends, we do not just call them with ordinary names, but names imbued with our intimate stories. My mother simply calls me Bayu, but I know that it is a lot different from a stranger who calls my name. Often, we also have terms of endearment. Among close friends in the Philippines, we call each other as “Friend”, “Friendship”, “Best”, “Bessy” among other. These names are beautiful because we hold each other’s stories dearly. Indeed, our humanity is conceived because our ability to gather our common stories and to share them confidently.

Therefore, it is a serious offense to our humanity when we suppress other people’ stories, and address them with improper words. Our refusal to recognize the others’ stories is in fact, the root of many discriminations, like racism, sexism, and fundamentalism. The worst is when we erase all together the names and the stories behind them. Victor Frankl, the author of “Man’s Search for Meaning” was once a prisoner at Nazi’s camps. He narrated how prisoners were called by set of number as their identity, like prisoner 1234, and gradually they also lost their humanity, as they were treated, tortured and disposed as mere numbers.

The war on drug in the Philippines has been one of the bloodiest in the Philippine history. Thousands have been killed, the suspects, the law-enforcers, and even innocent civilians. Yet, many do not care, “Anyway, it is just number and statistics.” Till Kian, a teenager student, was mercilessly killed allegedly by the law-enforcers, and the event recorded in CCTV camera awakens the nation’s conscience. The investigation was held by the Senate and Kian’s parents faced the alleged killers of their son. During this hearing, the parents narrated Kian’s stories as an ordinary boy who aspired to become a policeman himself. Kian began to emerge to be a human person with stories, hopes and dreams, not just a faceless number. And the mother ended her statement by saying to the alleged perpetrators, “Ama ka rin (You are also a father).” It was not only a call to their conscience, but also reminder to all of us that we fail as humanity if we no longer listen to and share our stories.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Nama dan Cerita

Minggu Biasa ke-21 [27 Agustus 2017] Matius 16:13-20

“Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup (Mat 16:16)”

happy chilrenYesus bertanya kepada murid-murid siapakah Dia, dan Simon menjawab bahwa Yesus adalah Kristus, Anak Allah yang hidup. Simon Petrus menjawab dengan benar, dan Yesus sendiri mengungkapkan bahwa jawabannya tidak berasal dari kelemahan manusiawi, namun dari Bapa di surga. Dulu saya berpikir bahwa pewahyuan ini terjadi secara instan di dalam pikiran Simon. Seperti Archimedes yang menemukan Hukum Hidrostatis, Simon juga berteriak “Eureka! Aku telah menemukannya!”

Namun, ada juga bentuk pewahyuan yang berbeda. Ini bukan sekedar ide instan, tapi sebuah pewahyuan yang melibatkan seluruh hidup Simon Petrus dan juga partisipasi aktifnya. Simon mampu merumuskan jawabannya karena Tuhan telah menuntunnya untuk bertemu dengan Yesus, dan Simon sendiri memutuskan untuk mengikuti-Nya dan hidup sebagai murid-Nya. Wahyu datang melalui proses panjang untuk mendengarkan, menyaksikan dan memahami sang guru. Simon Petrus melihat mukjizat Yesus. Dia mendengar ajaran Yesus. Dia merasakan belas kasih Yesus bagi orang miskin dan orang-orang yang menderita. Simon secara bertahap mengenali Yesus secara pribadi dan mendalam. Pengakuan Simon terlahir dari pengenalan dan persahabatan yang mendalam. Dia tahu kisah Yesus, dan pada saat yang tepat, dia siap untuk membagikan kisahnya tentang Yesus kepada sesama.

Ini tidak jauh dari pengalaman sehari-hari kita. Ketika kita berbicara kepada orang yang kita cintai atau sahabat dekat, kita tidak hanya memanggil mereka dengan nama biasa, tapi juga nama-nama yang dijiwai oleh cerita kita yang mendalam. Ibu saya memanggil saya “Bayu”, tapi saya tahu ini sangat berbeda dari orang asing yang memanggil nama saya. Sering kali, kita juga memiliki panggilan khas yang hanya orang-orang terdekat kita yang tahu. Nama-nama ini indah karena terlahir dari sebuah cerita mendalam. Sungguh, kemanusiaan kita terlahir karena kemampuan kita untuk mengumpulkan cerita kita bersama dan untuk membagikannya dengan percaya diri.

Oleh karena itu, ini adalah sebuah pelanggaran serius terhadap kemanusiaan kita saat kita tidak memperdulikan kisah-kisah hidup sesama, dan menamai mereka dengan kata-kata yang tidak pantas. Penolakan kita untuk mengenali cerita sesama sebenarnya adalah akar dari banyak diskriminasi, seperti rasisme, seksisme, dan fundamentalisme. Yang terburuk adalah saat kita menghapus semua nama dan cerita di baliknya. Victor Frankl, penulis buku “Man’s Search for Meaning” pernah menjadi narapidana di kamp-kamp Nazi. Dia meriwayatkan bagaimana para napi kehilangan nama mereka dan angka menjadi identitas mereka, seperti tahanan 1234, dan lambat laun mereka juga kehilangan kemanusiaan mereka, karena mereka diperlakukan, disiksa dan dieksekusi sebagai angka belaka.

Perang melawan narkoba di Filipina telah menjadi salah satu yang paling berdarah dalam sejarah Filipina. Ribuan orang terbunuh, baik tersangka, aparat penegak hukum, dan bahkan warga sipil yang tidak berdosa. Namun, banyak yang tidak peduli, “Ini hanya angka dan statistik.” Sampai Kian, seorang siswa remaja, dibunuh tanpa belas kasihan oleh petugas penegak hukum, dan kejadian yang terekam di kamera CCTV membangunkan hati nurani bangsa ini. Investigasi pun diadakan oleh DPR Filipina, dan orang tua Kian bertemu para terduga pembunuh putra mereka. Dalam pertemuan ini, orang tua menceritakan kisah Kian sebagai anak laki-laki biasa dan bercita-cita menjadi polisi. Kian mulai muncul menjadi manusia dengan kisah, harapan dan impiannya, bukan hanya sekedar angka tak berwajah yang bisa dihapus kapan saja. Dan, sang ibu mengakhiri kisahnya dengan mengatakan kepada para tersangka dalam bahasa tagalog, “Ama ka rin (Anda juga seorang ayah).” Ini bukan hanya ketukan bagi hati nurani mereka, tapi juga mengingatkan kita bahwa setiap kali kita gagal mendengarkan kisah sesama, kita gagal sebagai manusia.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Metamorfosis

Pesta Yesus Menampakkan Kemuliaan-Nya. 6 Agustus 2017 [Matius 17: 1-9]

“Yesus berubah rupa di depan mata mereka; wajah-Nya bercahaya seperti matahari dan pakaian-Nya menjadi putih bersinar seperti terang. (Mat 17:2)”

transfiguration 1Minggu ini, Gereja merayakan Pesta Yesus yang menampakkan kemulian-Nya yang juga dikenal sebagai Transfigurasi. Kata “transfigurasi” adalah transliterasi dari kata Latin “transfigurare” yang digunakan oleh Alkitab Latin Vulgata. Ini adalah kombinasi dua kata “trans” yang berarti melintasi, dan “figura” yang berarti bentuk atau figur. Dengan demikian, transfigurasi secara harfiah berarti bahwa perubahan bentuk atau figur. Ini adalah kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang terjadi pada Yesus di Gunung tinggi.

Namun, jika kita menyimak bahasa Yunani yang digunakan Matius, kata yang dipilih adalah “metamorphos” yang sejatinya merupakan akar kata dari metamorfosis. Banyak dari kita memahami metamorfosis sebagai istilah biologis. Ini adalah perubahan dan perkembangan drastis yang terjadi dalam bentuk atau struktur anatomi hewan. Contohnya adalah transformasi dari ulat pemakan daun menjadi kupu-kupu yang indah, atau kecebong yang hidup di air menjadi katak yang mampu hidup di daratan. Metamorfosis merupakan perubahan yang radikal, namun kita tidak menggunakan istilah ini untuk menggambarkan apa yang terjadi pada Yesus di Gunung Tabor mungkin karena kita tidak ingin membatasi transformasi Yesus pada sisi biologis saja. Ini adalah sesuatu yang lebih mendasar, spiritual dan bahkan ilahi.

Di zaman modern ini, teknologi medis telah berkembang pesat, dan ini memungkinkan kita juga mengalami “metamorphosis”. Kita bisa terlihat lebih muda meski sudah berusia. Kita bisa mengurangi kelebihan lemak kita dalam waktu singkat. Kita bahkan bisa membuat wajah kita cerah dan bahkan bersinar seperti matahari. Saya harus mengakui bahwa seringkali saya tidak terlalu memperhatikan perbaikan fisik dan wajah saya, namun saya percaya bahwa usaha kita untuk merawat tubuh kita adalah bagian dari menghargai ciptaan Tuhan. Masalah terjadi saat kita menjadi berlebihan dan bahkan obsesif. Menghabiskan sejumlah besar uang hanya untuk produk kecantikan dan bedah kosmetik sementara sesama kita kelaparan karena tidak ada makanan adalah sikap yang sama sekali tidak kristiani. Menghabiskan kekayaan kita untuk perusahaan yang menyebabkan kerusakan lingkungan atau penderitaan orang banyak juga membuat kita turut berpartisipasi dalam ketidakadilan.

Namun, kita dipanggil tidak hanya untuk bermetamorfosis tapi juga ber-transfigurasi. Sementara perubahan dan perbaikan dalam tubuh kita adalah baik dan indah, transfigurasi bukan hanya soal perubahan fisik. Kita perlu berubah dengan cara yang lebih mendasar, spiritual dan bahkan ilahi. Ini adalah perubahan yang menyenangkan hati Allah Bapa karena kita menjadi seperti Yesus, kita menjadi putra dan putri-Nya. Melalui sakramen pembaptisan, kita telah dijadikan anak-anak Allah, dan sekarang misi kita adalah untuk bertindak dan berperilaku seperti anak-anak-Nya. Seperti Yesus, kita perlu lebih sadar akan penderitaan di sekitar kita dan berbelas kasihan kepada saudara dan saudari kita yang miskin. Seperti Yesus, kita berjuang melawan ketidakadilan yang terjadi di sekitar kita. Seperti Yesus, kita mendidik keluarga, teman dan sesama kita dalam iman dan kebenaran.

Akhirnya, Matius menempatkan peristiwa Transfigurasi sebelum Yesus pergi ke Yerusalem dan mempersembahkan hidup-Nya bagi keselamatan kita. Transfigurasi yang sejati memungkinkan kita untuk menjadi tidak egois dan memberdayakan kita untuk berkorban bagi orang-orang yang kita cintai. Kita dipanggil untuk menjadikan dunia tempat yang lebih baik bagi kita dan semua anak-anak Allah. Seperti Yesus, kita dipanggil untuk ber-transfigurasi dan berkenan kepada Bapa.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Jesus, We and Human Work

17th Sunday in Ordinary Time. July 30, 2017 [Matthew 13:44-52]

“…out of joy he goes and sells all that he has and buys that field (Mat 13:44).”

parable of hidden treasureFrom today’s parables, we learn that Jesus appreciates human labor, the use of technology, and economic activities. The parables speak of men buying and selling land, merchants making transactions, and fisher folk catching and selecting the fish. Yet, the appreciation comes with a particular condition: the activities have to be honest and just.

I used to question why the man in the parable has to buy the land first before he takes the hidden treasure.  He could have taken the treasure away even without buying the land. I realize that the buried treasure might be in a massive quantity that to unearth it requires a lot of effort, but it is also something to do with a right ownership. In ancient times, burying or hiding one’s wealth is not uncommon, especially in time of war and chaos. The treasure must have been hidden for a long period of time and the original owners are no longer alive to claim it. It also does not belong to the current landowner because he is oblivious to its presence in his land. Thus, by selling everything he has, and buying the field, he wants to make sure that he becomes the rightful owner of the land and all that is in it.

The second parable speaks of a merchant, and being a merchant is a profession that many people hate in ancient Israel. They do not like merchants because this work is susceptible to deceit and dishonesty. Yet, today’s parable gives us a merchant who is willing to sell everything he has, just to buy the fine pearl. It is a risky and even dangerous move since he is left with nothing and a serious possibility that he will not profit from the rare pearl, but instead employing some illegal tricks, he makes sure that he will become a true owner of that precious gem.

To be involved in various kinds of economic activities and works is not only necessary for human survival but also part of God’s plan for our flourishing. Our intellectual capacity that God gives empowers us to create professions that do not only sustain our lives, but also build up human society and even the Kingdom of God. With the advances of science and technology, new occupations that did not exist ten years ago now are part of our daily lives. IT experts, software developers and men and women working in robotic industries are few examples of these. Yet, traditional works remain essential. Teachers, farmers, fishermen, business men and women, and many others are still the backbone of healthy society. Jesus appreciates all of this.

One thing, however, that corrupts this human capacity to work is greed, an inordinate passion to gain more profit at the expense of others. One of the basic economic laws is the principle of efficiency, that is to get the maximum benefit with minimum amount of resources. This law is balanced by the principle of equity, that is to distribute the economic prosperity fairly among the members of the society. Unfortunately, greed destroys this balance and corrupts people to sacrifice other people and nature just to gain more profit. Jesus calls us not only to be involved in the economic activities, but also to uphold honesty and justice. Only with these two virtues, do we find true satisfaction in labor and contribute to the greater good of society, and in fact, give glory God.

Br. Valentinus  Bayuhadi Ruseno, OP

 

Yesus, Kita dan Kerja

Minggu Biasa ke-17 [30 Juli 2017] Matius 13: 44-52

“Oleh sebab sukacitanya pergilah ia menjual seluruh miliknya lalu membeli ladang itu.(Mat 13:44).”

parable of merchantDari perumpamaan-perumpamaan hari ini, kita menyadari bahwa Yesus sejatinya menghargai kerja, kemampuan mengunakan teknologi dan kegiatan ekonomi manusia. Perumpamaan-perumpamaan tersebut berbicara tentang seseorang yang membeli dan menjual tanah, pedagang melakukan transaksi, dan nelayan menangkap dan memilih ikan mengunakan jaring. Namun, apresiasi Yesus hadir dengan sebuah kondisi: aktivitas manusia ini harus jujur ​​dan juga adil.

Dulu saya sempat bertanya mengapa pria dalam perumpamaan ini harus membeli tanah terlebih dahulu sebelum dia mengambil harta karunnya. Dia bisa saja mengambil harta karun itu pada malam hari, tanpa harus membeli tanah tersebut. Kemudian saya menyadari bahwa ia ingin menjadi pemilik yang sah dari harta tersebut dan bukan pencuri. Dahulu kala, mengubur atau menyembunyikan kekayaan di dalam tanah bukanlah hal yang jarang terjadi, terutama pada masa perang dan kekacauan. Harta tersebut sepertinya telah disembunyikan dalam jangka waktu yang lama dan sang pemilik aslinya dan keturunannya tidak lagi hidup untuk mengklaimnya. Harta ini juga bukan milik pemilik tanah sebelumnya karena dia tidak menyadari keberadaan harta tersebut di tanahnya. Jadi, dengan menjual semua yang dimilikinya, dan membeli ladang tersebut, dia ingin memastikan bahwa dia menjadi pemilik tanah yang sah dan semua yang ada di dalamnya.

Perumpamaan kedua berbicara tentang seorang pedagang, dan menjadi pedagang adalah profesi yang dibenci banyak orang Israel di zaman Yesus. Mereka tidak menyukai profesi ini karena pekerjaan ini rentan terhadap penipuan dan ketidakjujuran. Namun, perumpamaan hari ini berbicara tentang seorang pedagang yang bersedia menjual semua yang dimilikinya, hanya untuk membeli mutiara yang indah. Ini adalah tindakan berisiko dan berbahaya karena dia kehilangan segalanya dan menghadapi kemungkinan besar bahwa dia tidak akan mendapatkan keuntungan dari mutiara langka itu. Namun, dia memastikan bahwa dia akan menjadi pemilik sah permata berharga itu tanpa mengunakan trik-trik licik.

Terlibat dalam berbagai kegiatan ekonomi dan pekerjaan tidak hanya diperlukan untuk kelangsungan hidup kita tapi juga bagian dari rencana Tuhan untuk kemajuan umat manusia. Kemampuan intelektual yang Tuhan berikan memberdayakan kita untuk menciptakan profesi yang tidak hanya menopang hidup kita, tapi juga membangun masyarakat manusia dan bahkan Kerajaan Allah di dunia. Dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, profesi-profesi baru yang tidak ada sepuluh tahun yang lalu, kini merupakan bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Pakar TI, pengembang perangkat lunak dan para pekerja di industri robotik adalah beberapa contohnya. Namun, profesi tradisional tetap penting. Guru, petani, nelayan, pelaku bisnis, dan masih banyak lagi menjadi tulang punggung masyarakat yang sehat. Yesus menghargai dan memberkati semua ini.

Namun, jika ada satu hal yang merusak kemampuan manusia untuk bekerja, ini adalah keserakahan. Salah satu dasar hukum ekonomi adalah prinsip efisiensi, yaitu mendapatkan keuntungan maksimal dengan jumlah sumber daya minimum. Hukum ini diimbangi dengan prinsip keadilan, yaitu untuk mendistribusikan kemakmuran ekonomi secara adil di antara anggota masyarakat. Sayangnya, keserakahan menghancurkan keseimbangan ini dan merusak orang untuk mengorbankan orang lain dan alam lingkungan hidup hanya untuk mendapatkan keuntungan lebih banyak. Yesus memanggil kita tidak hanya untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi, tetapi juga untuk menegakkan kejujuran dan keadilan. Hanya dengan dua keutamaan ini, kita menemukan kebahagian sejati dalam usaha dan pekerjaan kita. Kita juga berkontribusi pada kebaikan masyarakat yang lebih besar dan memuliakan Tuhan.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Jesus, Nature and Us

16th Sunday in Ordinary Time. July 23, 2017 [Matthew 13:24-43]

“The kingdom of heaven is like a mustard seed that a person took and sowed in a field. (Mat 13:31)”

 parable mustard seedFrom the several parables that Jesus tells us in today’s Gospel, we learn that Jesus is keen on how nature works. He observes how seeds of wheat and weed grow, and how the yeast would affect the dough in the process of baking. Jesus also is observant of human ingenuity in working with nature for the benefit of the human community. Men and women till the land, are observant to the cycle of nature, sow the well-prepared seeds, take care of the growth and then harvest the result for the good of community. The use of yeast for baking is a very ancient method of cooking. Women would place yeast in dough, and the microorganism would interact with the carbohydrate in the flour, creating carbon dioxide, and as an effect, the leaven dough would expand. Though unleavened bread will last longer, this yeast would make the bread softer and tastier, making it more enjoyable for human consumption.

By mentioning the beauty of nature and the human creativity, Jesus acknowledges the greatness of God, the creator of all as well as the goodness of creation. He sees harmony between nature and human, and when both work together, all will manifest the beauty of creation. Yet, Jesus also reminds that the evil one is working to destroy this harmony, by planting the seed of greed, hatred and injustice in our hearts. Instead of using our God-given talent and reason to nurture nature, we choose to manipulate it and exploit it for our own benefits and pleasures.

We are proud with our cellular phone. It has become a modern lifestyle, and we often keep changing for the latest and more advanced models. Yet, we are not aware that men, women and even children are working under terrible conditions somewhere in long chain of production. A single cellular phone is a complex combination of metals, and extracting these minerals from earth seems easy yet at the same time most problematic. For example, the greater part of a cellphone’s battery is made of cobalt, and the mining of cobalt does not only cause massive environmental problems, but also fuel arm conflicts in Congo, causing loss of human lives, and great refugee problems. Other materials are coming from developing countries like Indonesia, Chile and the Philippines. That is just a cellular phone; other gadgets like laptop, personal computers, and other electronic devices, require even more of these raw materials.

I myself am participating in this environmental problems, as I am writing this reflection in my old laptop, and sending this reflection through my cellphone. I do believe that many of us want to follow Jesus in preserving the harmony between nature and human creativity, and we are just caught up in this global web of disharmony. Yet, we must not be hopeless. We do not have to throw away our gadgets, but at least, we should be aware of the massive injustice done to nature and fellow human. We are also invited to be more conscious with what we have, like cloths, food and electricity, and how their creation often has upset nature. To have Jesus as our God, means following His example of being observant to nature’s work and appreciative of human ingenuity. Moreover, we are following His footsteps in caring for the creations which have been beautifully created by His Father as well as our Father.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP