Yesus, Alam dan Kita

Minggu Biasa ke-16. 23 Juli 2017 [Matius 13: 24-43]

“Hal Kerajaan Sorga itu seumpama biji sesawi, yang diambil dan ditaburkan orang di ladangnya (Mat 13:31).”

parable yeastDari beberapa perumpamaan yang Yesus katakan kepada kita di dalam Injil hari ini, kita belajar bahwa Yesus sangat peka dengan bagaimana alam bekerja. Dia mengamati bagaimana biji gandum, lalang dan sesawi tumbuh, dan bagaimana ragi akan mempengaruhi adonan roti. Yesus juga memperhatikan kecerdasan manusia dalam bekerja dengan alam bagi kepentingan dan kebaikan komunitas manusia. Pria dan wanita mengolah tanah, mematuhi siklus alam, menabur benih yang disiapkan dengan baik, menjaga pertumbuhan dan kemudian memanen hasilnya untuk kebaikan komunitas. Penggunaan ragi adalah metode masak yang sangat kuno. Wanita akan menempatkan ragi dalam adonan, dan mikroorganisme ini akan berinteraksi dengan karbohidrat dalam tepung, menciptakan karbon dioksida, dan sebagai akibatnya, adonan ragi akan berkembang. Meski roti tidak beragi akan bertahan lebih lama, ragi ini akan membuat roti lebih lembut dan lebih nikmat untuk dikonsumsi.

Dengan menyebutkan keindahan alam dan kreativitas manusia, Yesus mengakui kehebatan Tuhan, sang pencipta dan juga kebaikan dari ciptaan-Nya. Dia melihat harmoni antara alam dan manusia, dan ketika keduanya bekerja sama, semua akan mewujudkan keindahan dan kemuliaan Tuhan. Namun, Yesus juga mengingatkan bahwa sang jahat bekerja untuk menghancurkan keselarasan ini, dengan menanam benih keserakahan, kebencian dan ketidakadilan di dalam hati kita. Alih-alih menggunakan bakat dan akal yang diberikan Tuhan untuk memelihara alam, kita memilih untuk memanipulasinya dan memanfaatkan alam untuk keuntungan dan kesenangan kita sendiri.

Sebagai contoh, kita bangga dengan telepon selular kita. HP telah menjadi gaya hidup modern, dan kita terus memburu model terbaru yang lebih canggih. Namun, kita tidak sadar bahwa ada pria, wanita dan bahkan anak-anak bekerja dalam kondisi mengerikan di dalam rantai produksi yang panjang ini. Sebuah ponsel adalah kombinasi logam yang kompleks, dan salah penambangan adalah cara mudah namun pada saat bersamaan paling bermasalah untuk mengambil mineral-mineral ini dari perut bumi. Misalnya, sebagian besar baterai ponsel terbuat dari kobalt, dan penambangan kobalt tidak hanya menyebabkan masalah lingkungan yang besar, tapi juga memicu konflik bersenjata di Kongo, menyebabkan hilangnya nyawa manusia, dan masalah pengungsi yang hebat. Bahan lainnya seperti tembaga dan alumunium berasal dari negara berkembang seperti Indonesia, Chile dan Filipina, dan menyebabkan permasalahan lingkungan hidup. Itu hanya sebuah HP; Gadget lain seperti laptop, komputer, dan perangkat elektronik lainnya, memerlukan lebih banyak lagi bahan-bahan baku ini.

Saya sendiri ikut serta dalam masalah lingkungan ini, karena saya menulis refleksi ini di laptop tua saya, dan mengirimkannya melalui komputer atau ponsel saya. Saya percaya bahwa banyak dari kita ingin mengikuti Yesus dalam melestarikan keharmonisan antara alam dan kreativitas manusia, tetapi kita terjebak dalam jaring ketidakharmonisan global ini. Namun, kita tidak boleh putus asa. Kita tidak perlu membuang gadget kita, tapi setidaknya kita harus sadar akan ketidakadilan besar yang dilakukan terhadap alam dan sesama manusia. Kita juga diajak untuk lebih sadar dengan apa yang kita miliki, seperti pakaian, makanan dan listrik, dan bagaimana proses pengolahan mereka seringkali telah merusak alam. Untuk mengakui Yesus sebagai Tuhan kita, berarti mengikuti teladan-Nya untuk memperhatikan bagaimana alam bekerja dan menghargai kecerdasan manusia. Selain itu, kita diajak untuk mengikuti jejak-Nya dalam merawat ciptaan-ciptaan yang telah diciptakan dengan indah oleh Bapa-Nya dan juga Bapa kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Eucharist and Justice

The Solemnity of the Body and Blood of Jesus Christ. June 18, 2017 [John 6:51-58]

“Whoever eats my flesh and drinks my blood has eternal life, and I will raise him on the last day. (Joh 6:51)”

Sharing Bread 2Eating is essential to our life. Nobody would deny that eating is a matter of life and death, but there is always significant different between a beggar sitting by the gate of St. Domingo church and most of us who can enjoy a full meal three times a day. The beggar will ask himself, “How can I eat today?” While, we will inquire ourselves, “Where am I going to eat today? Is the ambience of the restaurant welcoming? Is the food as tasty as Filipino delicacy? Is the food safe from any cancer-causing substance?” For some, eating is about survival, but for some other, this phenomenon has evolved into something mechanically sophisticated. The society provides us with almost unlimited options of what we are going to eat, and seemingly we are masters of these foods as we possess the authority to choose what we like and shun what we don’t. But, we actually are slowly turning to be slaves of our appetite as we shift our focus not on the essential but on the trivial, like how we satisfy our fickle cravings.

 What we eat, how we eat, and where we eat reflect who we are, as well as our society, our world. While we can afford to eat at fine-dining restaurants, yet some of our brothers and sisters can only have one instant noodle for the whole day, it means there is something wrong with us, with our world. Once I watched a movie about two young ladies eating fried chicken in one of the fast food restaurants. They were not able to consume everything and threw the leftover at the garbage can. After some time, a poor man came and took that leftover. He brought that home and served it as the dinner for his small impoverished family. Yet, before they ate, they prayed and gave thanks for the food!

 Jesus offered Himself as food in the Eucharist, and this offer becomes the sign of the radical justice and mercy of God. It is mercy because despite nobody of us deserve His most holy body and blood, and attain the fullness of life and the resurrection of the body, He continues to give this profound grace to us. It is justice because He does not discriminate. All of us, whether we are men or women, whether rich or poor, whether healthy or sick, are created in His image and likeness and thus, invited to this sacred banquet. Yes, in the Eucharist, we only receive Jesus in a tiny and tasteless host, yet the small bread that scarcely fills our biological needs, is given to all who are coming to Him seeking rest and joy.

St. Paul in his first letter to the Corinthians rebuked the Christians there. One of the major reasons was that some (presumably rich) Christians refused to share the Eucharistic meal with other (presumably poor) Christians, and they let them without food. “When you meet in one place, then, it is not to eat the Lord’s supper, for in eating, each one goes ahead with his own supper, and one goes hungry while another gets drunk. (1 Cor 11:20-21). For Paul, this was a gross injustice and an offence against the Eucharist, because as Jesus gave His body and blood for all, so Eucharist has to symbolize this God’s radical self-giving.

Are we like the Corinthians who take the Eucharist yet neglect our hungry brothers and sisters around us? Are we living our identity as God’s image, and thus, reflect God’s radical justice? Do we become more like Christ, and manifest His boundless mercy? Do the body and blood of Christ in the Eucharist have effect in us?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ekaristi dan Keadilan

Hari Raya Tubuh dan Darah Yesus Kristus. 18 Juni 2017 [Yohanes 6: 51-58]

“Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman (Yoh 6:54).”

Sharing BreadTidak ada yang menyangkal bahwa makan adalah masalah hidup dan mati, tapi selalu ada perbedaan yang signifikan antara seorang pengemis yang duduk di gerbang gereja dan kebanyakan dari kita yang dapat menikmati makanan lengkap tiga kali sehari. Pengemis itu akan bertanya pada dirinya sendiri, “Bagaimana saya bisa makan hari ini?” Sementara, kita akan bertanya kepada diri sendiri, “Ke mana saya akan makan hari ini? Apakah suasana restoran nyaman? Apakah makanannya lezat sesuai cita rasa Indonsia? Apakah makanannya aman dari zat penyebab kanker?” Bagi sebagian orang, makan adalah tentang kelangsungan hidup, namun untuk beberapa dari kita, fenomena ini telah berkembang menjadi sesuatu rumit. Pasar memberi kita pilihan yang hampir tak terbatas tentang apa yang akan kita makan, dan tampaknya kita adalah raja dari makanan ini karena kita memiliki kekuasaan untuk memilih apa yang kita sukai. Tapi, kita sebenarnya perlahan berubah menjadi budak nafsu makan kita saat kita mengalihkan fokus bukan pada hal yang esensial tapi pada hal-hal sepele seperti bagaimana kita memuaskan hasrat kita yang terus berubah-ubah.

 Apa yang kita makan, bagaimana kita makan, dan di mana kita makan mencerminkan siapa diri kita, masyarakat kita, dan dunia kita. Sementara kita bisa makan di restoran mahal, beberapa saudara-saudari kita hanya bisa memiliki satu mi instan untuk sepanjang hari. Ini artinya ada yang tidak beres dengan kita, dengan dunia kita. Suatu ketika saya menonton film pendek tentang dua wanita muda yang sedang makan ayam goreng di salah satu fast food. Mereka tidak mengkonsumsi semuanya dan membuang sisa makanan ke tong sampah. Setelah beberapa lama, seorang pria miskin datang dan mengambil sisa makanan itu. Dia membawanya pulang dan menyajikannya sebagai makan malam untuk keluarga kecilnya yang miskin. Namun, sebelum mereka makan, mereka berdoa dan mengucap syukur atas makanan tersebut!

 Yesus mempersembahkan diri-Nya sebagai makanan dalam Ekaristi, dan ini menjadi tanda keadilan dan kerahiman Allah. Ini adalah tanda kerahiman karena walaupun kita tidak layak mendapatkan tubuh dan darah-Nya yang kudus, Dia terus memberikan rahmat yang luar biasa ini kepada kita. Ini adalah tanda keadilan karena Dia tidak melakukan diskriminasi. Kita semua, apakah kita laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, sehat atau sakit, diciptakan menurut citra-Nya dan dengan demikian, kita semua diundang ke perjamuan suci-Nya ini. Ya, dalam Ekaristi, kita hanya menerima Yesus di hosti yang mungil dan tawar, namun roti kecil ini diberikan kepada semua orang yang datang kepada-Nya untuk menemukan kepenuhan hidup dan sukacita.

Santo Paulus dalam surat pertamanya kepada jemaat di Korintus menegur jemaat di sana. Salah satu alasan utamanya adalah bahwa beberapa jemat (terutama yang kaya) menolak untuk berbagi perjamuan Ekaristi dengan jemaat lain (yang lebih miskin), dan bahkan mereka membiarkan mereka tanpa makanan. “Apabila kamu berkumpul, kamu bukanlah berkumpul untuk makan perjamuan Tuhan. Sebab pada perjamuan itu tiap-tiap orang memakan dahulu makanannya sendiri, sehingga yang seorang lapar dan yang lain mabuk (1 Kor 11: 20-21).” Bagi Paulus, ini adalah ketidakadilan dan pelanggaran berat terhadap Ekaristi, karena sama seperti Yesus memberikan tubuh dan darah-Nya untuk semua orang, maka Ekaristi harus melambangkan pemberian diri Allah yang radikal ini.

Apakah kita seperti jemaat Korintus yang ikut Ekaristi namun menelantarkan saudara-saudari kita yang lapar dan miskin di sekitar kita? Apakah kita menjalani identitas kita sebagai citra Allah, dan dengan demikian, mencerminkan keadilan radikal Allah? Apakah kita menjadi lebih seperti Kristus, dan mewujudkan kerahiman-Nya yang tak terbatas? Apakah tubuh dan darah Kristus dalam Ekaristi sungguh mengubah kita?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Spirit of Pentecost

Pentecost Sunday. June 4, 2017 [John 20:19-23]

“Receive the Holy Spirit. Whose sins you forgive are forgiven them… (Jn 20:22-23)”

pentecost holy spiritPentecost is the commemoration of the descent of the Holy Spirit upon the first disciples in the upper room. The usual images we have in our mind are usually dramatic and vivid. The disciples gathered in the upper room, suddenly the strong wind filled the room, followed by the appearance of the tongues of fire. Inspired by the Holy Spirit, the disciples began to speak various languages, and proclaimed the Gospel. This depiction of Pentecost comes from the Acts of Apostles (our first reading today). The same Acts tells us that Pentecost took place 50 days after Easter Sunday (Pentecost itself simply means ‘50’ in Greek).

However, the outpouring of the Holy Spirit in today’s Gospel from John gives us a slightly different image from that of the Acts. It is less dramatic, less lively, and less miraculous. There was no strong wind, no tongues of fires that rested on the disciples’ heads, no awesome ability to speak various languages. Only Jesus and His disciples. Yet, if we look closely on Jesus’ actions and words as well as the context of the story, the Pentecost that it represents is a poignant and transformative image.

The disciples locked themselves inside the room because of fear of the Jews. Their master just was executed, and they were afraid that the Jewish authorities and the Roman soldiers would also arrest them. But, it is also possible that they were actually afraid that risen Jesus would get back on them. They deserted Jesus when He was seized, persecuted and sentenced to death. They ran away when He was humiliated on the cross and died as a shameful criminal. It was a payback time, and Jesus could throw them to fire of hell in an instant. Yet, Jesus came not to exact vengeance, but to offer peace. He came not to satisfy His wrath, but to give them the Holy Spirit. This Spirit is the spirit of forgiveness, the power to heal, and the energy to unity. It also the Spirit of mission, of their being sent by Jesus. Indeed, Jesus bore the wounds in His body, but despite His wounds and pains, Jesus forgave them and empowered them to forgive in His Holy Spirit. Jesus showed them that violence only breeds violence, and vengeance causes more harm, and only forgiveness can bring true peace.

In our world today, many of us are hurt by violent words and actions of others, aggravated by the silence of good people. The natural tendency is to be angry and seek for justice. Yet, often, what happens is that we nurture the anger and hatred, and wait until the right time to vent this wrath in even more violent ways. But, keeping anger and hatred destroys nobody except ourselves. We become restless, stressed, and sick. Without realizing it, we become just like those who have hurt us. Pentecost is not just a commemoration of what happened in early Christianity, we need Pentecost right now and here. We pray for the Holy Spirit who empowers us to forgive others and ourselves, for the Spirit of Jesus who brings true peace and justice, for the Spirit of God who heals our brokenness.

Blessed Pentecost!

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Roh Pentakosta

Hari Raya Pentakosta. 4 Juni 2017 [Yohanes 20: 19-23]

Terimalah Roh Kudus. Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni (Yoh 20: 22-23).”

apperance of jesusPentakosta adalah peringatan turunnya Roh Kudus atas para murid di ruang atas. Gambaran yang ada di dalam pikiran kita biasanya dramatis dan nyata. Murid-murid berkumpul di ruang atas, tiba-tiba angin kencang memenuhi ruangan, diikuti oleh munculnya lidah-lidah api. Terinspirasi oleh Roh Kudus, para murid mulai berbicara dalam berbagai bahasa, dan memberitakan Injil. Gambaran Pentakosta ini benar adanya karena ini berasal dari Kisah Para Rasul (bacaan pertama kita hari ini). Sebenarnya, Kisah Para Rasul juga mengatakan bahwa Pentakosta terjadi 50 hari setelah hari Minggu Paskah (Pentakosta sendiri berarti ’50’ dalam bahasa Yunani).

Namun, pencurahan Roh Kudus dalam Injil hari ini yang berasal dari Injil Yohanes memberi kita gambaran yang sedikit berbeda dengan Kisah Para Rasul. Gambarannya kurang dramatis, kurang hidup, dan kurang menakjubkan. Tidak ada angin kencang, tidak ada lidah api yang melayang di kepala murid-murid, tidak ada kemampuan mengagumkan untuk berbicara dalam berbagai bahasa. Hanya Yesus dan murid-murid-Nya. Namun, jika kita melihat secara dekat tindakan dan kata-kata Yesus serta konteks cerita ini, Pentakosta dalam Injil Yohanes adalah sangat kuat dan transformatif.

Para murid mengunci diri di dalam ruangan karena takut pada orang Yahudi. Guru mereka baru saja dieksekusi, dan mereka takut bahwa penguasa Yahudi dan tentara Romawi juga akan menangkap mereka. Tapi, mungkin saja mereka benar-benar takut karena Yesus yang bangkit akan kembali kepada mereka dan membuat perhitungan. Mereka meninggalkan Yesus saat Ia ditangkap, dianiaya dan dijatuhi hukuman mati. Mereka lari dan menyangkal-Nya saat Dia dipermalukan di kayu salib dan mati sebagai penjahat yang memalukan. Itu adalah saatnya bagi Yesus untuk menuntut balas, dan Yesus bisa saja melemparkan mereka ke api neraka dalam sekejap. Namun, Yesus datang tidak untuk membalas dendam, tapi untuk membawa kedamaian. Dia datang untuk tidak memuaskan murka-Nya, tetapi untuk memberi mereka Roh Kudus. Roh ini adalah roh pengampunan, kekuatan untuk menyembuhkan, dan energi yang menyatukan kesatuan. Memang, Yesus menanggung luka-luka di tubuh-Nya, namun terlepas dari luka dan penderitaan-Nya, Yesus mengampuni mereka dan memberdayakan mereka untuk mengampuni diri-sendiri dan satu sama lain di dalam kekuatan Roh Kudus-Nya. Yesus menunjukkan kepada mereka bahwa kekerasan hanya melahirkan kekerasan, dan balas dendam menyebabkan lebih banyak kerugian, dan hanya pengampunan yang dapat membawa kedamaian sejati.

Di dunia kita saat ini, banyak dari kita terluka oleh kata-kata dan tindakan orang lain. Kecenderungan alamiah kita adalah marah dan mencoba mencari keadilan. Namun, seringkali, yang terjadi adalah kita menumbuhkan kemarahan dan kebencian, dan menunggu sampai waktu yang tepat untuk melampiaskan kemarahan ini dengan cara yang lebih jahat lagi. Tapi, sesungguhnya menyimpan kemarahan dan kebencian tidak menghancurkan siapa pun kecuali diri kita sendiri. Kita menjadi gelisah, stres, dan sakit. Tanpa disadari, kita menjadi seperti orang yang telah menyakiti kita.

Pentakosta bukan hanya peringatan tentang apa yang terjadi di awal Gereja, kita membutuhkan Pentakosta sekarang. Kita berdoa agar Roh Kudus memberdayakan kita untuk mengampuni orang lain dan diri kita sendiri, karena hanya Roh Yesus yang membawa kedamaian dan keadilan yang sejati, karena hanya Roh Allah yang menyembuhkan luka-luka kita. Kita berdoa agar Roh Kudus memampukan kita menjadi murid-murid-Nya yang juga membawa pengampunan dan damai, karena hanya dengan Roh Kebenaran, keluarga kita, lingkungan kita, masyarakat kita, bangsa kita dan dunia kita akan menjadi tempat yang lebih baik.

Salam Pentakosta!

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Jesus and the Samaritan Woman

Third Sunday of Lent. John 4:5-42 [March 19, 2017]

“Many of the Samaritans of that town began to believe in him because of the word of the woman (Jn 4:39)”

samaritan-woman-at-the-wellMany of us will see Jesus’ conversation with the Samaritan woman as something ordinary, a chat between a man and a woman. But, if we go back to the time of Jesus, we will discover it as unthinkable. This Samaritan woman embodied what the Jews hated most. Firstly, despite their common ancestry, the Samaritans and the Jews were excommunicating each other. Despite worshipping the same God, they condemned one another as religious heretics and they proclaimed their own religion as the true one. No wonder, sometimes, the encounter between the two turned violent and the Romans had to quell the riots.

Secondly, this Samaritan is a woman. The ancient Jewish society, just like many ancient cultures, placed women as second class citizens. They were treated as objects, either owned by the patriarch or the husband. They could be easily divorced by their husbands if they could not bear a child. Despite some outstanding and exceptional women due to their noble birth and wealth, women generally were discriminated from the public and religious sphere. Many could neither study the Torah nor have a voice of their own. No wonder, many Jews praised the Lord because they were born not as a woman!

However, in today’s Gospel, Jesus talked to a Samaritan woman. Not only talking, He asked for water. Not only did he asked for water, He revealed Himself for the first time as the Living Water as well as the Messiah. The conversation transformed her.  While many Jews refused to believe in Jesus, the Samaritan woman believed. Not only did she become a believer, she turned to be a preacher of faith. She spread the Good News to her townsfolk and they came to Jesus because of her. The Gospel of John narrates to us that even a Samaritan and a woman can be chosen by Jesus to be His preacher. The effects of her preaching were unprecedented. The Samaritans began to make peace with other Jews, the disciples who also believe in Jesus.

We are living in a better world. Women can enjoy the same rights that men enjoy almost in all aspects. Indonesia, a country with the largest Muslim population in the world, used to have a woman president. In the Philippines, many major positions are occupied by women, like Chief Justice, Senators, and even military general. Yet, still many women are subject to various forms of exploitation: human trafficking, prostitution, domestic violence, and abuses. Following Jesus means standing up against injustice against women.

The Gospel also points out to us that women are capable of preaching the faith. Surely, women cannot preach in the pulpit, but many of them are responsible for faith growth in many Christ-centered communities. I still remember how my mother taught me the basic prayers and the rosary. She also encouraged me as an altar server to love the Eucharist. In Indonesia, it is a practice in many parishes for priests to receive their daily meals from the people, and many women are doing their best to provide for the priests. Some religious sisters and lay women have contributed to my philosophical and theological formation, and they were great professors. Over and above these, many women have generously supported the Church and her Evangelization mission, through their resources, time, effort and prayer. From the depth of our hearts, we thank them.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus dan Perempuan Samaria

Minggu Prapaskah Ketiga. Yohanes 4: 5-42 [19 Maret 2017]

 “Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu (Yoh 4:39)”

 Banyak dari kita akan melihat percakapan antara Yesus dengan perempuan Samaria sebagai sesuatu yang biasa, percakapan antara seorang pria dan seorang wanita. Tapi, jika kita kembali ke zaman Yesus, kita akan menemukan hal ini sebagai hal yang tak terbayangkan. Perempuan Samaria ini menjadi symbol dari apa yang orang-orang Yahudi paling benci. Pertama, walaupun berasal dari nenek moyang yang sama, orang-orang Samaria dan Yahudi saling mengucilkan satu sama lain. Meskipun menyembah Tuhan yang sama, mereka mengutuk satu sama lain sebagai bidah dan mereka mengklaim bahwa agama mereka sendirilah sebagai yang benar. Tidak heran, kadang-kadang, pertemuan antara keduanya berubah menjadi kekerasan dan tentara Romawi harus turun tangan untuk menghentikan kerusuhan ini.

Kedua, orang Samaria ini adalah seorang wanita. Masyarakat Yahudi tempo dulu, seperti banyak kebudayaan kuno, menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Mereka diperlakukan sebagai objek, baik yang dimiliki oleh bapak keluarga atau suami. Mereka bisa dengan mudah diceraikan oleh suami mereka jika mereka tidak bisa memiliki anak. Meskipun ada beberapa pengecualian, wanita umumnya didiskriminasi dari ruang publik dan agama. Banyak perempuan tidak mempelajari Taurat atau memiliki suara mereka sendiri untuk menentukan masa depan mereka. Tak heran, banyak orang Yahudi tempo dulu memuji Tuhan karena mereka dilahirkan bukan sebagai seorang wanita!

Namun, dalam Injil hari ini, Yesus berbicara dengan seorang perempuan Samaria. Tidak hanya berbicara, Dia meminta air. Tidak hanya dia meminta air, Ia menyatakan diri-Nya untuk pertama kalinya sebagai Air Kehidupan serta Mesias. Percakapan ini mengubah sang perempuan. Sementara banyak orang Yahudi menolak untuk percaya kepada Yesus, wanita Samaria percaya. Tidak hanya percaya, ia berubah menjadi seorang pewarta iman. Dia menyebarkan Kabar Baik kepada warga di desanya dan mereka datang kepada Yesus karena dia. Injil Yohanes menceritakan kepada kita bahwa bahkan seorang Samaria dan seorang wanita dapat dipilih oleh Yesus untuk menjadi pewarta iman-Nya. Buah dari pewartaanya pun luar biasa. Orang Samaria mulai berdamai dengan orang-orang Yahudi, secara khusus para murid yang juga percaya pada Yesus.

Kita hidup di dunia yang lebih baik. Perempuan dapat menikmati hak yang sama seperti laki-laki hampir dalam semua aspek kehidupan. Indonesia, negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, pernah memiliki seorang presiden perempuan. Di Filipina, banyak posisi utama diduduki oleh perempuan, seperti Ketua MA, Senator, dan bahkan jenderal militer. Namun, masih banyak wanita yang tunduk pada berbagai bentuk eksploitasi: perdagangan manusia, prostitusi, kekerasan dalam rumah tangga, dan kejahatan seksual. Mengikut Yesus berarti kita berdiri melawan ketidakadilan terhadap perempuan.

Injil juga menunjukkan kepada kita bahwa perempuan mampu memberitakan iman. Tentunya, perempuan tidak bisa berkhotbah di mimbar, tapi banyak dari mereka yang bertanggung jawab dalam pertumbuhan iman di banyak komunitas. Saya masih ingat bagaimana ibu saya mengajarkan saya doa-doa dasar dan rosario. Dia juga mendorong saya aktif di Gereja dan mencintai Ekaristi. Di Indonesia, di banyak paroki, para imam menerima ‘rantangan’ dari umat, dan banyak wanita yang terlibat dalam menyediakan makanan bagi para imam ini. Beberapa suster dan awam perempuan telah memberikan kontribusi bagi formasi filosofis dan teologis saya, dan mereka ada para guru yang handal. Akhirnya, banyak perempuan telah bermurah hati untuk mendukung Gereja dan misi Evangelisasi, melalui sumber daya mereka, waktu, tenaga dan doa. Dari kedalaman hati kita, kita berterima kasih kepada para perempuan ini.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mammon

8th Sunday in Ordinary Time (Year A). February 26, 2017 [Matthew 6:24-34]

 “You cannot serve God and mammon (Mat 6:24)”

liberationMammon in Aramaic, the native language of Jesus, means riches, money or even properties. And nobody can serve both the true God and Mammon. In original Greek, Mathhew chose a stronger word than “to serve” Mammon, but it is to ‘become slave’ of Mammon. A slave is someone who no longer possesses freedom of his or her own; the lives are dependent on their master’s whim. Interesting to note is that the Mammon is not even a living being, and yet, people are freely laying their freedom to be its slave. It is irrational and in fact, unthinkable, but the reality narrates countless stories of people being possessed by riches and do inhuman things.

It is not an uncommon story that in many nations government officials are involved in large-scale corruptions, while ordinary citizens have to break their bones working and paying taxes. In Brazil, the Philippines and other countries, small farmers are violently evicted from their homes and lands by the greedy landowners. The grim reality of human trafficking is covert yet enormous. The children and women are abducted and traded as commodities, used as drug mules or sex objects. While others face immediate death as their bodily organs are harvested and sold in black market. Our beautiful forest and mountains are destroyed because of massive illegal logging and mining. This leads to nothing but ecological destruction, the animals are endangered, the rivers and seas become giant dumped sites of toxic waste, and our land is sorely barren and dead.

The mammon-worship does not only take place outside our fence, but without realizing it, it also plagues our own house and families. Who among us are addicted to work and begin to sideline our responsibilities in the family and neglect our health? Who among us start to think that giving money to our children is enough for their growth? Sometimes, the clergy and the religious are caught in the same mentality. We do our ministry as if there will be no tomorrow. We begin putting aside the basics like prayers, study, and community.

St. Thomas Aquinas makes it clear that riches and money cannot satisfy our deepest longing. He argues that wealth’s purpose is to meet our temporal human needs, but never to fulfill our spiritual and supreme desire. The real problem happens when we mistakenly accept riches as the fulfillment of our infinite desire for the infinite God. We make Mammon a god. We dethrone the true God and all serious problems start flooding in.

Jesus calls us to once again go back to true God. Other forms of gods, like wealth, money, gadgets, properties, cars, sex, prestige, works only drag us into slavery and misery. Just like the Hebrews in Egypt, only when they followed Yahweh, were they liberated from the slavery and marched toward the Promised Land. Yet, it was not easy. Like the Israelites who wanted to go back to Egypt after some time in the desert, we also cling to our Mammon firmly. It took 40 years for Israelites to struggle with their faithfulness to God, and perhaps we need years to before we rediscover the true God in your lives. Difficult indeed, yet, it is necessary because only God can bring us true happiness and liberation. We are liberated from the illusion of self-sufficiency, from the excessive ego-centrism. Not only we are freed, but also our family and our society, our environment and our earth. Want to make our world a better place? Let God be your God!

 Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mamon

Minggu pada Pekan Biasa ke-8 (Tahun A) 26 Februari 2017 [Matius 6:24-34]

Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon (Mat 6:24)

slaveMamon dalam bahasa Aram, bahasa asli Yesus, berarti kekayaan, uang atau bahkan properti. Dan tidak ada yang dapat melayani Allah yang benar dan Mamon bersamaan. Dalam bahasa Yunani, Matius memilih kata yang lebih kuat dari “melayani” Mamon, tapi ia mengunakan untuk ‘menjadi budak’ Mamon. Seorang budak adalah seseorang yang tidak lagi memiliki kebebasan dan kehidupannya tergantung pada kemauan tuannya. Menarik untuk dicatat adalah bahwa Mamon itu bukan makhluk hidup, namun, banyak orang mau meletakkan kebebasan mereka untuk menjadi budaknya. Hal ini tidak rasional dan pada kenyataannya, tak terpikirkan, tetapi kenyataannya banyak orang yang memilih kekayaan dan melakukan hal-hal yang tidak manusiawi demi Mamon.

Bukan hal baru di banyak negara, pejabat pemerintah terlibat dalam korupsi besar-besaran, sementara warga biasa harus bekerja keras dan membayar pajak. Di Brazil, Filipina dan negara-negara lain, petani-petani kecil diusir dari rumah dan tanah mereka oleh tuan tanah yang serakah. Kita juga menghadapi Realitas suram perdagangan manusia yang terselubung namun  sangat besar. Anak-anak dan perempuan diculik dan diperdagangkan sebagai komoditas, digunakan sebagai pengantar narkoba atau objek seks. Sementara yang lain menghadapi kematian karena organ tubuh mereka dijual di pasar gelap. Hutan dan pegunungan yang indah hancur karena penebangan liar dan pertambangan ilegal. Hal ini menyebabkan kehancuran ekologi, satwa terancam punah, sungai dan laut menjadi situs limbah beracun raksasa, dan tanah menjadi sangat tandus dan mati.

Penyembahan Mamon tidak hanya berlangsung di luar sana, tapi tanpa disadari, hal ini juga menjadi malapetaka di rumah dan keluarga kita sendiri. Siapa di antara kita yang kecanduan kerja dan mulai mengesampingkan tanggung jawab kita dalam keluarga dan mengabaikan kesehatan kita? Siapa di antara kita mulai berpikir bahwa memberikan uang kepada anak-anak kita sudah cukup untuk pertumbuhan mereka? Kadang-kadang, para imam dan rohaniawan terjebak dalam mentalitas yang sama. Kami melakukan pelayanan seolah-olah tidak ada hari esok. Kita mulai menyisihkan dasar-dasar seperti doa, studi, dan komunitas.

St. Thomas Aquinas menjelaskan bahwa kekayaan dan uang tidak dapat memuaskan kerinduan terdalam kita. Dia berpendapat bahwa tujuan kekayaan adalah untuk memenuhi kebutuhan duniawi kita yang fana, tetapi tidak bisa memenuhi kebutuhan spiritual dan tertinggi kita. Masalah sebenarnya terjadi ketika kita keliru dan menjadikan kekayaan sebagai pemenuhan keinginan kita yang tak terbatas. Kita membuat Mamon tuhan. Kita meninggalkan Allah yang benar dan semua masalah serius pun dating karena kita mulai menjadi seperti Mamon, tidak rasional, tidak berpikir dan tidak hidup.

Yesus memanggil kita untuk kembali ke Allah yang benar. Bentuk lain dari mamon, seperti kekayaan, uang, gadget, properti, mobil, sex, prestise, pekerjaan hanya menyeret kita ke dalam perbudakan dan kesengsaraan. Sulit memang karena kenikmatan instan yang kita terima, namun, hal ini perlu karena hanya Tuhan yang bisa membawa kita kebahagiaan sejati dan pembebasan. Kita dibebaskan dari ilusi keperkasaan kita, dari berlebihan ego-sentrisme kita. Tidak hanya kita dibebaskan, tetapi juga keluarga dan masyarakat kita, lingkungan kita dan bumi kita juga terbebaskan. Ingin membuat dunia kita menjadi tempat yang lebih baik? Lepaskanlah mamon dan biarkan Allah menjadi Allah kita!

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

What Jesus Learned from Joseph?

4th Sunday of Advent. December 18, 2016. Matthew 1:18-24

“Joseph her husband, since he was a righteous man, yet unwilling to expose her to shame, decided to divorce her quietly. (Mat 1:19)”

 jesus-n-joseph-2If there is one important person in the life of Jesus, but gets very little attention, this person is no other than Joseph, Jesus’ foster father. He was absent in the Gospel of Mark. In John, he was mentioned only by name. In Luke, his presence was felt, but he was overshadowed by Mary and her unique mission. Only in Matthew, Joseph had a more active role in the beginning of Jesus’ life. Yet, again, he remained a voiceless character, and simply disappeared as Jesus began his mission. Still, Joseph had significantly influenced the life of Jesus.

One of the recognizable influences was that Jesus inherited the profession of Joseph. His father was a carpenter, then Jesus was also called as the carpenter (see Mark 6:3). However, the influence of Joseph is not limited in terms of profession. There was something more. In today’s Gospel, Joseph was called as the ‘righteous man’. In Jewish society, the title ‘righteous man’ means a respectable man who faithfully follows the Law of God or Torah. He was not only well educated in the Law, but Joseph also cherished the Law dearly. Now, if we put ourselves in the shoes of Joseph when he received the news of Mary’s pregnancy, what was probably Joseph’s feeling? As an ordinary man, he must be deeply hurt, felt betrayed, by his soon-to-be wife. As a respectable person in town, he had to endure shame.

As a person who was well versed in the Law, he knew Mary had committed adultery and this sin deserved death (see Lev 20:10). Consumed by his pain and anger, Joseph could have made a public accusation and thrown the first stone on Mary. He had all the right to stone Mary and satisfy his vengeance. But, Joseph chose a different path. Instead using the Law for retaliation, Joseph decided to use the Law to save the life of Mary, and consequently, the life of Jesus. His decision is even more significant because he opted to save Mary even before the Angel Gabriel appeared to him and explained the cause of pregnancy. Despite pain of betrayal and shame, he chose to apply the Law in merciful and loving manner. And this was what Joseph taught Jesus to do.

Jesus argued a lot with the Pharisees and the Scribes on the interpretation of the Law, and for Jesus, mercy and love need to take primacy over vengeance and hatred. Thus, Jesus healed people on Sabbath (see Mat 12:10), allowed His hungry disciples to pick the grain during Sabbath (see Mat 12:1) and spared the life of woman caught in adultery (see John 8:1-11). Finally, Jesus declared that the most important Law of all is the Law of love. Now, we can trace the hands of Joseph and his merciful way in dealing with the Law.

As we prepare ourselves for Christmas, it is good to reflect on Joseph and learn from him. Do we use and create laws and regulations in our society to simply to punish and even kill people, or to heal them? When we are wronged, what is our first reaction? Seeking vengeance or working for reconciliation? What is our understanding of justice? Retaliation or restoration of goodness? We pray that St. Joseph will lead us into just society based on mercy and love.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP