Tritunggal di Kitab Suci dan Hidup Kita

Hari Raya Tritunggal Mahakudus [C]

15 Juni 2025

Yohanes 16:12-15

Misteri Tritunggal Mahakudus berada di pusat dan dasar dari iman kita karena misteri ini menyingkapkan siapa Allah kita sebenarnya. Pikiran logis kita dapat menyimpulkan bahwa hanya ada satu Allah, yaitu Tuhan yang sempurna yang menciptakan dan memelihara segala sesuatu. Namun, kita hanya bisa bergantung pada wahyu ilahi untuk memahami kebenaran yang mendalam ini. Kata “Tritunggal” memang tidak muncul dalam Alkitab, tetapi Alkitab, baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, menyingkapkan realitas ini. Alkitab menegaskan bahwa hanya ada satu Allah, namun secara bersamaan mengungkapkan kemajemukan (pluralitas) di dalam keesaan-Nya.

Salah satu ayat menarik yang mengisyaratkan Trinitas adalah ayat yang menyatakan keesaan Allah, “Shema Israel” (Ulangan 6:4). Ayat dalam bahasa Ibrani tersebut tertulis: “שְׁמַע יִשְׂרָאֵל יְהוָה אֱלֹהֵינוּ יְהוָה אֶחָד” (Shema Yisrael Adonai Eloheinu Adonai Echad). Alkitab Indonesia menerjemahkannya sebagai, “Dengarlah, hai Israel: Tuhan Allah kita, Tuhan itu esa.” Namun, terjemahan yang lebih harfiah adalah: “Dengarlah, hai Israel: Tuhan, Allah kita, Tuhan, satu.” Sungguh mengejutkan bagaimana ayat ini menyebutkan Tuhan tiga kali sebelum diakhiri dengan kata “satu”.

Ayat-ayat Perjanjian Lama yang lain juga menunjukkan kemajemukan di dalam kesatuan Allah. Sebagai contoh: Kej 1:1-2 berbicara tentang Allah yang menciptakan dengan Roh dan Sabda-Nya. Lalu Kej 1:26 menggunakan bentuk jamak bagi Allah yang satu, “Baiklah Kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” Malaikat Tuhan muncul sebagai sosok yang ilahi namun berbeda dengan Allah (Kej 16:7-13; 22:11-18; Kel 3:2-6; Hak 13:18-22). Roh Allah aktif di dalam Mazmur dan para nabi (Mzm 51:11; Yes 63:10-11; 48:16; Yeh 36:26-27). Nabi Zakharia (2:10-11) bahkan berbicara tentang “dua Yahwe”. Namun, kepenuhan misteri ini baru terungkap sepenuhnya dalam Perjanjian Baru.

Salah satu ayat yang paling definitif tentang Tritunggal adalah Matius 28:19: “Baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus.” Di sini, Yesus berbicara tentang satu nama, namun di dalam satu nama tersebut terdapat tiga Pribadi yang berbeda: Bapa, Putra, dan Roh Kudus.

Namun, Tritunggal bukan hanya sekedar kebenaran Alkitabiah, tetapi juga merupakan anugerah yang paling berharga bagi kita. Paulus menulis, “Tidak ada seorangpun yang dapat berkata: ”Yesus adalah Tuhan“, kalau tidak oleh Roh Kudus” (1 Kor 12:3). Roh Kudus menanamkan iman di dalam hati kita, memampukan kita untuk mengakui Yesus, Putra Bapa. Roh yang sama mencurahkan pengharapan ke dalam diri kita di tengah-tengah pencobaan, terutama untuk mengakui Allah yang benar (Rm 5:3-5). Dan ketika kita mengasihi, bahkan kepada mereka yang paling sulit untuk dikasihi, kita mengambil bagian dalam kehidupan Allah Tritunggal, yang pada hakikatnya adalah kasih (1 Yoh 4:8).

Tritunggal bukan hanya sebuah doktrin yang harus diimani, tetapi sebuah misteri yang kita hayati setiap hari. Kita memasuki kehidupan Kristiani melalui baptisan Tritunggal. Sebagai umat Katolik dan Ortodoks, kita memulai doa dengan Tanda Salib, menyebut nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Dalam Ekaristi, Roh Kudus mengubah roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, yang dipersembahkan kepada Bapa sebagai kurban yang sempurna.

Ketika kita merayakan misteri terbesar dalam iman kita ini, marilah kita bersyukur bahwa Allah mengundang kita ke dalam kehidupan-Nya – Bapa, Putra, dan Roh Kudus – sekarang dan selamanya.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Bagaimana kita berhubungan dengan Allah Tritunggal Mahakudus? Bagaimana kita berhubungan dengan Bapa? Bagaimana kita berhubungan dengan Yesus? Bagaimana kita berhubungan dengan Roh Kudus?

Roh Kudus dan Karunia-karunia-Nya

Pentekosta [C]

8 Juni 2025

1 Kor 12:3-13

Hari ini, Gereja merayakan Pentekosta, hari Roh Kudus turun di atas para rasul dan murid-murid Yesus yang pertama, yang menandai dimulainya Gereja. Sejak saat itu, Roh Kudus, pribadi ketiga dari Tritunggal Mahakudus, telah memainkan peran sentral dalam membimbing dan menopang kehidupan Gereja. Roh Kudus bekerja melalui rahmat dan karunia-karunia-Nya. Tidaklah mengherankan jika kita menyebut Pentekosta sebagai hari raya Roh Kudus. Namun, ketika kita merenungkan karunia-karunia rohani ini, kita harus bijak karena ada bahaya yang mungkin kita hadapi. Bahaya apakah itu?

Kita hidup di masa ketika banyak umat Kristiani – baik Katolik maupun non-Katolik – mengalami karunia-karunia Roh Kudus dengan cara yang luar biasa. Pencurahan yang berlimpah ini telah menyadarkan kita akan kehadiran Roh Kudus yang aktif dalam hidup kita. Beberapa orang telah menerima karunia bernubuat, mengucapkan kata-kata yang memanggil orang lain untuk bertobat. Yang lainnya telah diberi karunia penyembuhan, menjadi alat Roh Kudus memulihkan kesehatan orang-orang sakit. Yang lainnya lagi berdoa dalam bahasa roh, pujian-pujian mereka mengalir dalam bahasa yang tidak mereka pahami (untuk daftar karunia-karunia Roh Kudus, lihat 1 Kor. 12:8-10). Ini adalah pengalaman-pengalaman yang luar biasa, bahkan mengubah hidup banyak orang.

Namun, meskipun karunia-karunia ini seharusnya memenuhi kita dengan rasa syukur dan memperdalam kesadaran kita akan karya Roh Kudus, ada bahaya jika kita terlalu berfokus pada karunia-karunia itu sendiri. Beberapa dari kita mulai terpaku pada sensasi yang kita rasakan daripada Sang Pemberi, bahkan memperlakukan karunia-karunia rohani sebagai ukuran iman. Beberapa dari kita mungkin percaya bahwa berbahasa roh adalah bukti kekudusan, atau bahwa tidak adanya mukjizat kesembuhan berarti kita jauh dari Allah. Kita yang menerima karunia-karunia dapat menjadi sombong, sementara kita yang tidak menerimanya mungkin merasa gagal dalam kehidupan Kristiani kita.

Pola pikir seperti ini tidak hanya tidak benar tetapi juga berbahaya. Dan meskipun ini mungkin tampak seperti masalah modern, pergumulan yang sama juga terjadi pada Gereja mula-mula. Hampir dua ribu tahun yang lalu, Gereja di Korintus diberkati dengan berbagai karunia rohani, namun komunitas mereka terganggu oleh perpecahan, kekacauan dalam ibadah, dan kesombongan. Mereka membandingkan karunia-karunia, bersaing untuk menentukan siapa yang memiliki karunia yang “lebih baik”, dan bahkan menggunakannya sebagai ukuran keunggulan rohani.

Paulus mengkritisi pola pikir yang salah ini, mengingatkan mereka bahwa karunia-karunia rohani bukanlah untuk kemuliaan pribadi, tetapi untuk membangun Gereja (1 Kor 12:7). Ia mengajarkan kepada mereka bahwa karunia yang paling penting bukanlah karunia bahasa roh, kesembuhan atau mukjizat, tetapi karunia kasih. Ia bahkan menulis secara khusus kepada mereka yang mencari karunia bahasa roh, “Jika aku berkata-kata dengan bahasa manusia dan bahasa malaikat, tetapi tidak mempunyai kasih, maka aku adalah gong yang nyaring dan simbal yang bergemerincing (1 Kor 13:1).” Dia memperingatkan bahwa mengejar karunia-karunia yang spektakuler tanpa cinta kasih tidak ada artinya.

Yesus sendiri mengajarkan bahwa karunia terbesar yang diberikan Bapa kepada kita adalah Roh Kudus (Luk. 11:13), dan karunia terbesar yang diberikan Roh Kudus adalah kasih. Karena dengan mengasihi, kita menemukan kepenuhan hidup.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Apakah kita meminta Roh Kudus kepada Bapa? Apakah kita berdoa kepada Roh Kudus? Apa yang kita minta dari Roh Kudus? Apakah kita meminta karunia-karunia Roh Kudus dan untuk tujuan apa? Apakah kita memohon karunia untuk mengasihi?

Kita Sangat Berharga

Minggu ke-7 Paskah [C]

1 Juni 2025

Yohanes 17:20-26

Yesus telah wafat untuk kita dan bangkit dari kematian untuk menyelamatkan kita dari dosa dan maut. Dia melakukan semua ini karena Dia sangat mengasihi kita. Seperti yang dikatakan Yesus sendiri, “Tidak ada seorang pun yang mempunyai kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh 15:13). Tetapi mengapa Dia begitu mengasihi kita? Mengapa Dia menganggap kita cukup berharga untuk memberikan hidup-Nya bagi kita?

Salah satu jawaban yang paling mendalam terdapat dalam 1 Yoh 4:8, “Allah adalah kasih.” Kasih bukan hanya sesuatu yang Allah lakukan, namun kasih adalah jati diri Allah. Karena itu, Dia tidak bisa tidak, selain mengasihi kita. Kasih Yesus mengalir secara alami dari identitas-Nya. Pada saat yang sama, Alkitab menyatakan bahwa kita diciptakan menurut citra Allah (Kej. 1:26-27). Ini berarti kita diciptakan menurut citra Kasih itu sendiri. Inilah mengapa kita hanya menemukan kepenuhan sejati ketika kita menghidupi tujuan terdalam kita: mengasihi seperti Allah mengasihi (Yoh 13:34) dan dikasihi oleh-Nya.

Namun, ketika saya merenungkan lebih jauh tentang Kitab Suci, saya menemukan sesuatu yang lebih indah lagi. Dalam Injil hari ini, Yesus berdoa kepada Bapa, tidak hanya untuk para rasul-Nya tetapi juga untuk semua orang yang akan menjadi percaya melalui pewartaan mereka, yang adalah kita. Dia berdoa agar kita dapat bersatu dengan satu sama lain dan dengan Dia, sama seperti Dia dan Bapa adalah satu. Kemudian, Ia menyatakan sesuatu yang menakjubkan: “Bapa, Aku menghendaki supaya mereka yang telah Engkau berikan kepada-Ku, ada bersama-sama dengan Aku di mana pun Aku berada” (Yoh 17:24). Kita adalah pemberian Bapa kepada Yesus. Kita adalah ekspresi hidup dari kasih Bapa kepada Anak-Nya.

Kebenaran ini sebenarnya sangat mudah dipahami. Ketika kita mengasihi seseorang, kita sering memberikan hadiah yang berharga sebagai tanda kasih sayang kita, dan bagi penerimanya, hadiah itu menjadi tak tergantikan. Cincin kawin, misalnya, sangat berharga bukan hanya karena nilai materialnya, tetapi karena cincin itu melambangkan cinta kasih suami istri. Namun, kita jauh lebih berharga daripada emas atau permata. Allah dengan luar biasa menciptakan kita untuk menjadi pemberian yang sempurna bagi Putra-Nya. Maka, apakah mengherankan jika Yesus sangat mengasihi kita? Dia rela memberikan nyawa-Nya bagi kita karena setiap kali Dia melihat kita, Dia melihat bukti kasih Bapa-Nya. Dia tidak dapat menanggung pikiran untuk kehilangan kita atau terpisah dari kita.

Saat ini, di beberapa negara seperti Filipina dan Italia, Gereja merayakan Kenaikan Yesus ke surga. Gambaran yang sering ditampilkan adalah Yesus naik sementara para murid-Nya ditinggalkan. Tetapi Dia tidak meninggalkan kita, melainkan Dia membawa kita lebih dekat kepada Bapa. Mengapa? Karena kita berharga bagi Allah. Kita adalah pemberian Bapa kepada Putra-Nya yang terkasih.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk direnungkan:

Apakah kita menyadari bahwa kita berharga di mata Allah? Apakah kita hidup sebagai milik Allah yang berharga? Bagaimana kita hidup sebagai pemberian Bapa kepada Putra? Bagaimana kita membagikan berkat-berkat yang kita terima dari Allah?

Kita dan Paus Kita

Minggu ke-6 Paskah [C]

25 Mei 2025

Kisah Para Rasul 15:1-2, 22-29

Gereja Katolik menghadapi momen yang penting dan bersejarah pada Paskah 2025 ini. Paus Fransiskus, sosok yang dicintai namun penuh dengan polemik, meninggal dunia hanya sehari setelah menyampaikan berkat Minggu Paskah. Misa pemakamannya pada hari Sabtu berikutnya menarik ratusan ribu pelayat, yang mencerminkan dampak mendalam dari kepausannya. Ketika para kardinal berkumpul untuk konklaf, dunia menyaksikan dengan penuh antisipasi. Kemudian, pada tanggal 8 Mei, asap putih mengepul dari Kapel Sistina. “Habemus Papam!” Kita memiliki paus baru, dan namanya adalah Leo XIV, soerang paus dari Amerika Utara pertama dan juga pertama dari Ordo Santo Agustinus. Ribuan orang bersukacita di Lapangan Santo Petrus, berharap akan sebuah babak baru dalam Gereja.

Warisan Paus Fransiskus diwarnai dengan kekaguman dan kontroversi. Banyak yang mengapresiasi belas kasihnya kepada kaum miskin dan terpinggirkan, sementara yang lain bergumul dengan beberapa pernyataan dan keputusannya. Kini, dengan terpilihnya Paus Leo XIV, ada harapan akan persatuan dan perdamaian dalam Gereja. Namun, seperti halnya pemimpin manusia lainnya, dia juga akan mengatakan atau melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan kita. Lalu, bagaimana kita harus menanggapi kenyataan ini?

Kuncinya terletak pada pembedaan antara devosi sejati dari fanatisme. Fanatisme adalah sebuah ketertarikan yang tidak teratur yang mendistorsi persepsi kita terhadap kepausan. Efeknya adalah mengubah kekaguman menjadi penyembahan berhala. Fanatisme membutakan kita terhadap kemanusiaan seorang paus, membuat kita percaya bahwa ia tidak dapat salah dalam segala hal, tidak hanya dalam hal iman dan moral, dan membuat kita mengabaikan atau menyerang mereka yang mengkritiknya. Lebih buruk lagi, hal ini dapat mengarah pada penghinaan terhadap paus-paus lain hanya karena mereka berbeda dengan paus idaman kita. Fanatisme ini sering menjadi bumerang; ketika paus yang kita idam-idamkan tidak sesuai dengan harapan, kekecewaan pun muncul, bahkan terkadang membuat kita menjauh dari Gereja.

Di sisi lain, devosi yang sejati berakar pada kasih kepada Kristus, yang mempercayakan Petrus dan para penerusnya untuk menjaga kawanan domba-Nya (Yoh 21). Kita menghormati Paus bukan terutama karena kualitas pribadinya, tetapi karena peran sucinya sebagai Wakil Kristus. Secara sederhana, kita mengasihi para paus karena kita mengasihi Yesus.

Bacaan pertama mengingatkan kita akan kepemimpinan Santo Petrus dalam Gereja mula-mula. Ketika para rasul dan penatua berkumpul di Yerusalem dan memperdebatkan apakah orang-orang non-Yahudi yang percaya, perlu mengikuti hukum Musa. Beberapa penatua menginginkan agar mereka menjadi orang Yahudi sebelum menjadi orang Kristen, yang berarti mereka harus disunat dan mengikuti hukum Taurat secara ketat. Paulus dan Barnabas menginginkan agar orang-orang non-Yahudi yang percaya terbebas dari hukum Musa. Akhirnya, Petrus berdiri dan membuat keputusan akhir: mereka tidak terikat oleh hukum Musa. Konsili ini menerima otoritas Petrus, karena mereka tahu bahwa otoritas itu berasal dari Kristus. Namun, Petrus sendiri bukanlah orang yang sempurna. Sebagai contoh, Paulus secara terbuka mengoreksi Petrus karena ia gagal menegakkan ajarannya sendiri (Gal 2:11-14). Teguran Paulus tidak lahir dari kebencian, tetapi dari kasih; sebuah hasrat untuk menguatkan Petrus dalam misinya yang diberikan Allah.

Seperti Petrus, setiap paus memikul tanggung jawab yang berat untuk menggembalakan Gereja. Dan seperti Petrus, mereka tetaplah manusia biasa yang rentan terhadap kelemahan dan kesalahan. Peran kita adalah untuk mendukung mereka dengan doa, terutama pada saat-saat sulit, dan untuk terus membangun Gereja dengan pengharapan dan kebijaksanaan.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan untuk refleksi:

Bagaimana kita melihat para paus kita? Bagaimana kita mencintai para paus kita? Apakah kita pernah bergumul untuk memahami para paus kita? Seberapa sering kita mendoakan para

Dua Cara Mewartakan Injil

Minggu ke-5 Paskah [C]

18 Mei 2025

Kisah Para Rasul 14:21-27

Dalam bacaan pertama, kita telah mendengar tentang perjalanan misi Santo Paulus dan rekannya Santo Barnabas. Misi mereka menunjukkan kepada kita bagaimana Gereja perdana memenuhi perintah Yesus, “Jadikanlah semua bangsa murid-Ku (Mat 28:19).” Jadi, apa yang dapat kita temukan dari teladan mereka?

Pertama, mari kita simak kisah Santo Paulus secara keseluruhan. Setelah pertobatannya, Paulus tinggal di Antiokhia (sekarang di Turki bagian tenggara), di mana ia menjadi seorang guru dan nabi yang dihormati. Kemudian Roh Kudus memanggil Paulus dan Barnabas untuk dikhususkan bagi pekerjaan Tuhan. Komunitas Kristiani menugaskan mereka untuk mewartakan di tempat-tempat di mana Injil belum pernah didengar. Mereka melakukan perjalanan ke berbagai tempat termasuk pulau Siprus dan kota-kota di Turki selatan – Antiokhia Pisidia, Ikonium, Derbe, dan Listra.

Mereka memberitakan Kabar Baik kepada orang-orang Yahudi dan bukan Yahudi di tempat-tempat tersebut, membawa banyak jiwa percaya kepada Yesus Kristus. Namun, Paulus dan Barnabas tahu bahwa mereka tidak akan tinggal di sana secara permanen, tetapi mereka harus melanjutkan perjalanan mereka untuk memberitakan Injil di lebih banyak tempat lagi. Untuk menjaga komunitas Kristiani yang baru didirikan ini, mereka mengangkat “penatua” (Yunani: presbuteroi). Para penatua ini menjadi pemimpin yang stabil dalam komunitas, yang bertanggung jawab untuk memimpin ibadah, memberitakan Injil, dan memelihara disiplin rohani.

Lalu, apa yang dapat kita pelajari dari perjalanan misi Paulus? Kita melihat setidaknya ada dua cara yang sangat penting dalam memberitakan Injil. Cara pertama adalah pergi memberitakan Injil ke tempat yang belum pernah mendengar Injil dan di mana iman belum berakar. Mereka yang mengikuti jalan ini biasanya disebut misionaris. Para misionaris cenderung berpindah dari satu tempat ke tempat lain ketika kebutuhan akan Injil muncul. Cara kedua berfokus pada pendalaman pemahaman Injil dan kedewasaan iman bagi mereka yang sudah percaya, memelihara dan melindungi iman mereka. Dalam tradisi Katolik, cara kedua ini dilakukan oleh para “penatua” – para uskup yang dibantu oleh para imam dan diakon, yang tinggal lebih stabil dalam komunitas yang mereka layani.

Di sisi lain, perbedaan antara misionaris dan penatua tidaklah kaku. Orang yang sama bisa berperan baik sebagai misionaris dan penatua. Contoh sederhana adalah Paus Leo XIV. Sebelum menjadi Paus, beliau adalah seorang imam Ordo St. Agustinus dari Amerika Serikat yang menjadi misionaris di Peru. Kemudian dia menjadi uskup Chiclayo, Peru. Identitas misionaris dan penatua menyatu di dalam dirinya.

Namun, kita harus ingat bahwa tugas pewartaan Injil tidak hanya diberikan kepada para misionaris atau penatua, tetapi juga kepada kita semua. Kita pun dapat dan harus mempraktikkan kedua cara kuno untuk memberitakan Injil. Di dunia modern ini, kesempatan untuk membagikan Injil sangatlah berlimpah. Kita dapat mengkomunikasikan berbagai aspek dari iman kita, mulai dari kebenaran hingga keindahannya, melalui berbagai platform media sosial. Interaksi pribadi dengan teman dan saudara juga memberikan kesempatan untuk memperkenalkan iman kita. Bahkan jika kita merasa sulit untuk menjelaskan iman kita dengan kata-kata, kita selalu dapat mengundang kerabat dan teman-teman kita untuk bergabung dengan kita di Misa.

Para orang tua secara khusus mewujudkan kedua pendekatan ini secara bersamaan. Para orang tua dipanggil untuk memperkenalkan iman kepada anak-anak mereka melalui baptisan dan katekese dasar, mengajar mereka cara berdoa dan membagikan kebenaran-kebenaran mendasar dari iman. Seperti para penatua Gereja, para orang tua kemudian harus terus memelihara iman anak-anak mereka melalui gaya hidup yang sesuai ajaran Injil, doa, dan bimbingan. Kita juga harus mendukung para katekis kita yang bekerja tanpa lelah untuk memperkenalkan dan memperdalam iman, terlepas dari banyaknya tantangan yang mereka hadapi.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan panduan:

Bagaimana kita mewartakan Injil dalam situasi-situasi khusus kita? Siapa yang secara khusus membutuhkan kita untuk memperkenalkan mereka kepada Yesus? Sudahkah kita menolong orang-orang yang dekat dengan kita untuk bertumbuh lebih dekat dengan Tuhan? Apakah orang lain mengenali kita sebagai orang yang membawa Yesus bersama kita?

Mendengarkan Suara Tuhan

Minggu ke-4 Paskah [C]

11 Mei 2025

Yohanes 10:27-30

Pendengaran adalah salah satu indra yang paling mendasar yang membuat kita menjadi manusia. Memang benar bahwa kita sangat bergantung pada penglihatan untuk menavigasi dunia, tetapi pendengaran membedakan kita dengan makhluk lain. Bagaimana penjelasannya?

Tentu saja, manusia tidak memiliki indra pendengaran yang terbaik. Banyak hewan yang memiliki kemampuan pendengaran yang jauh lebih baik. Sebagai contoh, kelelawar memiliki indra pendengaran seperti sonar, yang memungkinkan mereka untuk mengukur jarak melalui suara. Telinga manusia jauh lebih lemah jika dibandingkan dengan hewan-hewan ini. Namun, terlepas dari kapasitas pendengaran kita yang sepertinya biasa saja, kita memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh hewan lain: kemampuan untuk mengasosiasikan suara dengan makna. Dengan kata lain, kita dapat menciptakan bahasa. Kemampuan berbahasa ini berarti kita dapat membedakan kata-kata yang bermakna dari suara yang tidak berarti.

Melalui mendengarkan, manusia purba membangun keluarga dan komunitas. Mereka mendengarkan para pemimpin mereka untuk mendapatkan panduan dalam mempertahankan diri dari binatang buas dan bertahan hidup di lingkungan yang keras. Dengan mendengarkan, mereka menerima kebijaksanaan para tetua mereka dan kisah-kisah yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mendengar kata-kata yang bermakna adalah hal yang membuat kita hidup dan tumbuh sebagai manusia.

Sayangnya, kita sekarang hidup di dunia yang penuh dengan suara kebisingan yang tidak ada artinya sama sekali, dari sekedar polusi pendengaran, musik-musik yang tidak jelas, dan bahkan kata-kata kasar, penuh kebohongan dan bahkan kutukan. Apa yang sering kita dengar tidak lagi berguna bagi kelangsungan hidup atau pertumbuhan kita, melainkan hanya apa yang berteriak paling keras. Kita tidak lagi mendengarkan akal sehat, kebijaksanaan dari masa lalu, dan yang paling penting, firman Tuhan. Jika orang-orang zaman dahulu menyadari bahwa mendengarkan para pemimpin mereka sangat penting untuk kelangsungan hidup mereka, kita pun harus menyadari bahwa mendengarkan Tuhan kita, Yesus Kristus, bukanlah suatu opsi, tetapi ini adalah masalah keselamatan jiwa kita.

Jadi, bagaimana kita dapat belajar untuk mendengarkan dengan penuh perhatian suara Gembala kita yang sejati?

Pertama, sama seperti domba yang mendengarkan suara gembalanya demi keselamatannya, kita harus mengenali suara Gembala kita dan mengikuti petunjuk-Nya – karena keselamatan kekal kita bergantung padanya. Kedua, untuk mengenali suara-Nya, kita harus menjadi terbiasa dengannya. Hal ini dapat dicapai dengan terus mendengarkannya, dengan membaca Kitab Suci secara teratur, mempelajari ajaran-ajaran-Nya secara khusus yang telah diajarkan Gereja, dan terlibat dalam doa yang mendalam. Ketika kita menjadi terbiasa dengan suara Tuhan, kita juga bisa belajar untuk membedakan suara-suara yang tidak berasal dari-Nya, suara-suara dari keinginan kita sendiri, dunia, dan roh-roh jahat. Ketiga, mendengar harus membawa kepada tindakan. Mendengar tanpa ketaatan tidak ada artinya, atau bahkan lebih buruk lagi, itu berarti mengikuti tuntunan musuh.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Apakah kita mengenal suara Tuhan kita? Suara-suara seperti apa yang kita dengarkan? Apakah kita dapat membedakan suara-suara yang berbeda dalam hidup kita? Firman Tuhan apa yang paling berkesan dan menjadi panduan hidup kita selama ini?

Kasih Kita yang Lemah

Minggu Ketiga Paskah [C]

4 Mei 2025

Yohanes 21:1-19

Dalam Injil hari ini, Yesus bertanya kepada Petrus tiga kali, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Beberapa Bapa Gereja menafsirkan pengulangan ini sebagai Yesus membatalkan penyangkalan Petrus sebanyak tiga kali. Namun, jika dilihat lebih dekat pada teks bahasa Yunani, Yesus menggunakan kata yang berbeda untuk “kasih” dalam setiap contoh. Perbedaan-perbedaan ini memperdalam pemahaman kita akan perikop ini.

Pertama, Yesus tidak hanya mengajukan pertanyaan, tetapi Ia mengajukan permintaan. Dalam permintaan-Nya yang pertama, Yesus meminta jenis kasih yang spesifik. Yohanes Penginjil menggunakan kata Yunani “agape”, yang menandakan kasih yang rela berkorban, yang mencari kebaikan yang tulus dari orang lain. Kasih ini tidak didasarkan pada emosi, melainkan pada kebebasan dan komitmen. Agape yang sejati menuntut pemberian diri sepenuhnya, bahkan sampai mengorbankan nyawa. Di sini, Yesus menuntut bentuk agape tertinggi dari Petrus, sebuah kasih yang melampaui segala sesuatu yang lain.

Dalam permintaan-Nya yang kedua, Yesus sekali lagi menggunakan kata “agape”, tetapi kali ini tanpa frasa “lebih dari itu.” Dia masih menyerukan kasih yang berkorban, tetapi tidak sampai pada tingkat yang tertinggi. Dalam permintaan-Nya yang ketiga, Yesus beralih dari agape ke “philia”, kata dalam bahasa Yunani yang berarti kasih yang didasarkan pada persahabatan. Tidak seperti agape yang berakar pada kehendak bebas dan dedikasi, philia lebih bergantung pada emosi, perasaan yang sama, dan minat yang sama. Meskipun persahabatan sejati mungkin membutuhkan tindakan agape, fondasinya tetaplah philia. Ketika kepentingan bersama memudar, persahabatan sering kali melemah.

Tetapi mengapa Yesus tampaknya menurunkan ekspektasi-Nya, dari agape yang total menjadi agape yang sederhana, dan akhirnya menjadi persahabatan? Jawabannya terletak pada jawaban Petrus. Setiap kali Yesus menanyainya, Petrus menjawab dengan kata “philia”. Ia tidak dapat membawa dirinya untuk mengakui agape, terutama dalam bentuk yang paling tinggi. Penyangkalannya yang terdahulu telah membuatnya patah hati, malu, dan ragu untuk mengasihi Yesus lagi. Ketakutan menahannya.

Namun, terlepas dari jawaban Petrus yang tidak lengkap, Yesus tidak menegurnya atau mencari murid yang lebih setia. Sebaliknya, Yesus menemui Petrus di mana ia berada. Dia menerima kasih Petrus yang penuh kekurangan dan keraguan dan tetap mempercayakannya untuk menggembalakan kawanan domba-Nya. Yesus tidak menuntut kesempurnaan, tetapi Dia menginginkan kerendahan hati dan ketulusan. Dia melihat upaya Petrus dan tahu bahwa, pada saatnya nanti, Petrus akan memberikan nyawanya bagi-Nya.

Tuhan meminta kita masing-masing untuk memberikan kasih yang tertinggi, namun kita sering kali gagal. Seperti Petrus, kita terluka, lemah, dan penuh dengan kegagalan. Tetapi Kabar Baiknya adalah Tuhan menerima kasih kita yang tidak sempurna dan dengan lembut menuntun kita menuju kesempurnaan.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan Refleksi:

Apakah kita mengasihi Allah?  Apakah kita mengasihi Dia dengan agape atau philia?  Dalam hal apa saja kita gagal mengasihi Allah? Apa yang menghalangi kita untuk mengasihi Allah? Bagaimana Dia terus mengasihi kita terlepas dari kekurangan kita? Dapatkah kita mengingat kembali saat-saat dalam hidup kita ketika kasih Allah yang tak tergoyahkan terbukti meskipun kita gagal? 

Damai Paskah

Minggu Kedua Paskah [C]

27 April 2025

Yohanes 20:19-31

Kata-kata pertama Kristus setelah bangkit kepada para murid-Nya adalah, “Damai bagi kamu!” Dalam bahasa Ibrani, “Shalom lakem” (שָׁלוֹם לָכֶם), sebuah ucapan yang sering ditemukan dalam Perjanjian Lama (Hakim 6:23; 1 Samuel 1:17; 20:42; 25:6; dll.). Variasi Yahudi lainnya, meskipun tidak ada dalam Alkitab, adalah “Shalom aleichem” (שָׁלוֹם עֲלֵיכֶם), yang artinya kurang lebih sama. Namun, apakah salam Yesus hanya sekadar sapaan budaya, atau apakah salam itu memiliki makna yang lebih dalam?

Untuk memahami hal ini, pertama-tama kita harus menyelidiki makna alkitabiah dari kata “shalom”. Shalom adalah salah satu kata yang paling umum dalam Alkitab, muncul sebanyak 237 kali dalam Perjanjian Lama. “Shalom” sering kali diterjemahkan sebagai “damai”. Namun, kata ini memiliki arti yang lebih luas: kesejahteraan yang total dari seseorang, yang berakar pada hubungan yang benar dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan.

Ketika Kristus yang telah bangkit menampakkan diri kepada para murid, mereka dicengkeram oleh rasa takut akan “orang-orang Yahudi”. Menariknya, “orang Yahudi” ini dapat merujuk pada tiga hal: penguasa bangsa Yahudi, Yesus sendiri, karena dia seorang Yahudi, dan bahkan para murid sendiri karena mereka juga adalah orang Yahudi. Mereka takut kepada para penatua bangsa Yahudi yang telah membunuh Yesus, karena mereka tahu bahwa mereka bisa saja menjadi korban berikutnya. Mereka takut kepada Yesus, mengingat kegagalan mereka sebagai murid: pengkhianatan Yudas, penyangkalan Petrus, dan mereka yang lari dan bersembunyi. Akankah Dia sekarang menghukum mereka? Dan mereka takut akan diri mereka sendiri: mereka merasa tidak layak dan tidak mampu menjadi murid; mereka tidak layak menerima kerahiman dan pengampunan Yesus; mereka hancur karena dosa. Mereka takut akan hidup dan masa depan mereka sendiri.

Namun, kata-kata Yesus menembus rasa takut mereka: “Damai bagi kamu.” Ini bukanlah sapaan biasa. Ini adalah sebuah berkat dan peneguhan ilahi. Mereka tidak perlu takut kepada penguasa, karena jika mereka tidak dapat menghentikan Yesus, mereka tidak dapat menghentikan para pengikut-Nya. Mereka tidak perlu takut kepada Yesus, karena Ia datang bukan untuk menghukum, melainkan untuk berbelas kasihan dan mengampuni kelemahan mereka. Ketika Ia mengulangi, “Damai sejahtera bagi kamu,” dan menambahkan, “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikianlah Aku mengutus kamu,” Ia menegaskan panggilan mereka terlepas dari kekurangan mereka. Yesus meyakinkan mereka sekali lagi bahwa meskipun mereka tidak layak, mereka tetap terpilih, dan meskipun mereka lemah dan gagal, rahmat Allah cukup untuk menyempurnakan apa yang kurang dari mereka. 

Damai yang sejati hanya mengalir dari Kristus yang telah bangkit, sebuah rahmat yang mendamaikan kita dengan Allah, menyembuhkan hubungan kita, dan menghapus rasa takut di dalam diri kita.  Kita tahu bahwa kita adalah orang berdosa, namun kita telah ditebus sehingga kita berada dalam damai dengan Allah. Kita tahu bahwa kita sering kali memiliki hubungan yang sulit dengan sesama, tetapi kita diundang untuk memohon belas kasihan dan berbelas kasihan kepada sesama. Kita sadar bahwa kita lemah dan tidak mampu untuk mengasihi Allah dan sesama, tetapi rahmat Allah cukup untuk melengkapi apa yang kurang dari diri kita.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:

Apakah ada damai dalam hidup kita? Apa yang kita takuti? Apakah kita memiliki kedamaian dengan Allah? Apakah kita memiliki kedamaian dengan sesama kita? Apakah kita memiliki damai dengan diri kita sendiri? Hal-hal apa saja yang membuat kita gagal mencapai shalom?

`

Salib dan Pohon Kehidupan

Minggu Paskah [C]

20 April 2025

Yohanes 20:1-9

Beberapa Bapa Gereja, seperti Santo Efremus dari Siria, Santo Ambrosius, dan Santo Yohanes Krisostomus, melihat Salib Yesus sebagai Pohon Kehidupan yang baru. Pohon Kehidupan pertama kali muncul dalam Kejadian 2:9, di mana Allah menanamnya di tengah-tengah Taman Eden di samping Pohon Pengetahuan tentang yang Baik dan yang Jahat. Meskipun Alkitab tidak menjelaskan lebih lanjut, penempatan Pohon Kehidupan di tengah-tengah mengisyaratkan maknanya yang mendalam. Sama seperti memakan buah dari pohon terlarang akan membawa kematian, menyantap buah dari Pohon Kehidupan akan memberikan hidup kekal dan persekutuan dengan Tuhan.

Adam, Hawa, dan keturunan mereka dapat hidup selamanya bersama Allah, jika saja mereka memilih Pohon Kehidupan daripada Pohon Pengetahuan. Tragisnya, mereka memilih ketidaktaatan, sehingga membawa kematian atas diri mereka sendiri dan seluruh umat manusia. Diusir dari Eden, mereka terpisah dari Pohon Kehidupan yang dijaga oleh malaikat kerubim (Kej 3:24). Tanpa pohon itu, umat manusia berjalan menuju binasa.

Namun, kita bukannya tanpa pengharapan. Allah begitu mengasihi dunia ini sehingga Dia memberikan Putra-Nya yang tunggal (Yoh 3:16), dan Yesus, pada gilirannya, mengasihi kita “sampai pada kesudahannya” (Yoh 13:1), menyerahkan hidup-Nya agar kita “mempunyai hidup dalam segala kelimpahan” (Yoh 10:10). Bagi Yesus, Salib bukanlah sebuah takdir yang tak terhindarkan, melainkan sebuah pilihan bebas untuk mengasihi. Meskipun penyaliban adalah kematian yang brutal dan memalukan, Kristus mengubah Pohon Terkutuk ini menjadi Pohon Kehidupan yang kudus. Dia mengajarkan kepada kita bahwa dengan memeluk salib kita sendiri, dan juga menyatukannya dengan salib-Nya, kita akan menemukan kehidupan yang penuh dan kebangkitan yang sejati.

Salib sejatinya adalah sebuah kenyataan dalam hidup kita yang membawa penderitaan. Salib terwujud dalam dua bentuk. Salib jenis pertama adalah penderitaan yang tidak dapat dihindari. Ini adalah cobaan yang tidak kita pilih: pengkhianatan, penyakit, pergumulan keuangan, atau ketidakadilan. Pada saat-saat seperti ini, kita memohon rahmat kepada Tuhan untuk bertahan, mempersembahkan penderitaan kita dalam persatuan dengan Salib Kristus sehingga dapat menghasilkan buah-buah rohani.

Jenis Salib yang kedua adalah penderitaan yang lahir dari kasih. Ini muncul dari komitmen dan pengorbanan kita. Contoh yang baik adalah seorang ibu yang berkomitmen untuk mengasihi bayinya yang masih kecil. Dalam prosesnya, ia akan kehilangan waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya. Membesarkan dan melindungi anak kecilnya secara fisik dan mental sangat melelahkan. Ia juga kehilangan kesempatan untuk hidup lebih bebas, mendapatkan lebih banyak uang, atau lebih menikmati hidup. Secara lahiriah, ia memikul salibnya, tetapi jauh di dalam dirinya, ia tahu bahwa ia hidup berkelimpahan dan menemukan makna yang lebih dalam di hidupnya, lebih dari yang dapat ditawarkan oleh dunia. Salibnya menjadi pohon kehidupan bagi anaknya. Itulah kebangkitan yang sejati.

Selamat Paskah!

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:

Apa saja salib-salib jenis pertama kita? Bagaimana kita menghadapinya? Apa saja salib jenis kedua kita? Bagaimanakah salib-salib itu membawa kehidupan bagi orang lain? Apakah salib kita, yang dipikul dengan kasih, menjadi Pohon Kehidupan bagi orang-orang di sekitar kita?

Yesus, Bukan Raja Biasa

Minggu Palma Sengsara Tuhan

13 April 2025

Lukas 19:28-40 dan Lukas 22:14-23:56

Minggu Palma adalah salah satu perayaan liturgi yang paling unik dalam Gereja karena memberikan dua bacaan Injil: Yesus memasuki kota Yerusalem sebagai Raja (Lukas 19:28-40) dan kisah Sengsara Kristus (Lukas 22:14-23:56). Bacaan-bacaan ini bukan kebetulan ada, tetapi Gereja mendampingkan keduanya untuk mengungkapkan hubungan yang mendalam antara kedua bacaan ini. Namun, apakah hubungan ini?

Injil pertama menggambarkan Yesus memasuki Yerusalem, kota Raja Daud dan para penggantinya. Para murid-Nya mengikuti-Nya sementara penduduk Yerusalem menyambut-Nya, menyatakan Dia sebagai raja. Namun Injil ini menjelaskan bahwa Yesus bukanlah seorang penguasa duniawi biasa. Dia bukanlah seorang raja yang berkuasa secara militer dengan menunggang kuda perang, tetapi seorang raja yang rendah hati dan cinta damai dengan menunggang keledai. Dia datang dalam nama Tuhan – tidak melalui garis keturunan kerajaan, sistem politik modern, atau tipu daya. Dia memerintah bukan atas satu bangsa, tetapi atas semua ciptaan, bahkan “batu-batu akan berseru” untuk menyatakan kerajaan-Nya.

Injil kedua, kisah Sengsara, lebih jauh mengungkapkan Kristus sebagai Raja. Dia tidak memerintah dengan kekerasan tetapi merangkulnya dan mengakhirinya di kayu salib. Kerajaan-Nya beroperasi bukan melalui teror tetapi melalui hukum kasih, mengorbankan diri-Nya sendiri agar umat-Nya dapat ditebus dari dosa dan kemudian hidup.

Saat kita memasuki Pekan Suci, kita diundang untuk memeriksa identitas kita sebagai umat kerajaan Allah. Apakah kita mengasihi Raja kita atau takut akan Dia? Jika kita sungguh-sungguh mengasihi Dia, kita harus belajar untuk semakin menyerupai Dia dan juga mengasihi seperti Dia mengasihi. Selama dua ribu tahun, banyak sekali martir yang mengikuti teladan Kristus hingga mati. Bahkan saat ini di abad ke-21, umat Kristiani terus menghadapi penganiayaan: Para imam di Nigeria diculik dan dibunuh; komunitas Kristiani di Suriah diserang dan diusir; juga meningkatnya permusuhan anti-Kristen di Israel.

Banyak dari kita yang hidup di tempat di mana iman dapat diekspresikan dengan bebas, namun lingkungan ini menghadirkan bahaya yang berbeda – materialisme, rasa puas diri, atau kepengecutan dalam bersaksi tentang Kristus. Kita tergoda untuk memprioritaskan diri sendiri di atas Tuhan, untuk mencintai diri kita sendiri daripada Yesus.

Kita bisa belajar dari teladan St. Katarina Siena. Pada masanya, paus lebih memilih tinggal di Avignon, Perancis daripada di Roma karena ia takut berurusan dengan orang-orang yang menentangnya di sana. Namun, alih-alih menjadi pemimpin dalam iman dan teladan moral, paus lebih banyak melibatkan diri dalam politik. Maka, St. Katarina dengan berani pergi ke Avignon dan menghadapi Gregorius XI, mendesaknya untuk kembali, “Jika Anda mati di Roma, anda mati sebagai seorang martir – tetapi jika anda tetap di sini, anda mati sebagai seorang pengecut.” Tindakannya mengalir dari cinta yang radikal kepada Kristus Sang Raja.

Jika Yesus adalah Raja kita, bagaimana kita harus mengikuti-Nya?

Pertanyaan-pertanyaan panduan:

Apakah kita sungguh-sungguh mengasihi Yesus sebagai Raja kita? Bagaimanakah kasih kita kepada Kristus diwujudkan secara praktis? Apakah kita siap untuk menyatakan iman kita dalam lingkungan yang penuh tantangan? Apakah kita mau berkorban untuk orang lain karena kasih kita kepada Yesus? Apakah kita siap untuk menanggung penderitaan sebagai orang Kristen?