Ignoring Jesus

Second Sunday of the Ordinary Time [A]

January 19, 2020

John 1:29-34

reading the bibleWe begin the ordinary time of the liturgical year. In the Church, we have three cycles of the liturgical year: A, B, and C. every year, we have a different set of readings. In year A, the Gospel readings are mainly from the Gospel of Matthew, meanwhile, year B is from Mark and year C is from Luke. The Gospel of John does not have its separate year, but the readings from John are scattered through the years, especially in the Easter season.

The first reading is usually taken from the Old Testament and it is thematically related to the Gospel. While the second reading is coming from the letters of the apostles like St. Peter, St. John and the letter to the Hebrews, yet the majority of the second reading comes from letters of St. Paul. The second readings have their own sequence and it is not necessarily thematically related to the Gospel. The reason behind why we have this kind of liturgical setting is that to help us, the regular mass-goers, to read the Scriptures together with the Church. If we are faithfully attending the mass every Sunday, or even every day, and attentive to the readings, we will have a good grasp of the Scriptures and especially the life and works of Jesus.

However, not all the Scriptures are there in the Mass. If we go every day to participate in the Eucharist for three years, we only listen to around 30 percent of the Bible. We still have 70 percent to complete the Bible! Thus, it is highly recommended that we take the initiative to read the Bible on our own. Three to four chapters a day, and hopefully, within a year, we are able to read the entire Bible cover to cover.

I guess one of the “great sickness” of Catholics nowadays is the ignorance of the Scriptures. When I ask some Catholics whether they have the Bible, they unanimously answer that they have a Bible, and in fact, they have a collection of Bible coming from different countries. However, when I inquire whether they read the Bible regularly, only a few would confidently reply that they do.

The task of reading the Bible is getting difficult in our time because young generations or the millennials and generation Z, despite their high education, prefer to playing electronic gadgets rather than to read books, and printed materials become an obsolete. Yes, it is easy now to install a Bible on our cellphone but to spend time to read it is another thing. With so many other competing applications in our handheld device, reading the Word of God is easily relegated to the sideline.

St. Jerome reminds us that ignorance of Scriptures is ignorance of Christ. Indeed, it is too easy to say “I love Jesus”, but in reality, we are ignoring Him because we never read or attentively listen to the Scriptures. St. Paul in the beginning of his letter to the Corinthians reminds us that we are called to saints or holy. And holiness for Paul is nothing but living in Christ, but how we can live in Christ, if we do not know Christ, worse ignore him? Reading a Bible on a daily basis can become a simple yet concrete act of loving Jesus, and in fact, the way to holiness as we become more and more like Christ.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mengabaikan Yesus

Minggu Kedua dari Masa Biasa [A]

19 Januari 2020

Yohanes 1: 29-34

joseph marie lagrangeKita memulai masa biasa pada tahun liturgi ini. Di Gereja Katolik, kita memiliki tiga siklus tahun liturgi: A, B, dan C. Di setiap tahun, kita memiliki serangkaian bacaan yang berbeda. Pada tahun A, bacaan Injil terutama dari Injil Matius, sementara tahun B dari Markus dan tahun C dari Lukas. Injil Yohanes tidak memiliki tahun yang khusus, tetapi bacaan dari Yohanes tersebar di sepanjang tahun, terutama di masa Paskah.

Bacaan pertama biasanya diambil dari Perjanjian Lama dan secara tematis terkait dengan bacaan Injil. Sementara bacaan kedua berasal dari surat-surat para rasul seperti St. Petrus, St. Yohanes dan surat kepada orang-orang Ibrani, namun mayoritas bacaan kedua berasal dari surat-surat St. Paul. Bacaan kedua memiliki urutannya sendiri dan tidak harus secara tematis terkait dengan Injil. Alasan di balik mengapa kita memiliki pengaturan liturgi semacam ini adalah untuk membantu kita untuk membaca Kitab Suci bersama dengan Gereja. Jika kita dengan setia menghadiri misa setiap hari Minggu, atau bahkan setiap hari, dan memperhatikan bacaan, kita akan memiliki pemahaman umum yang baik tentang Kitab Suci dan khususnya kehidupan dan karya Yesus.

Namun, tidak semua Alkitab ada dalam tahun liturgi ini. Jika kita pergi setiap hari untuk berpartisipasi dalam Ekaristi selama tiga tahun, kita hanya mendengarkan sekitar 30 persen dari Alkitab. Kita masih memiliki 70 persen untuk menyelesaikan Alkitab! Karena itu, sangat disarankan agar kita mengambil inisiatif untuk membaca Alkitab sendiri. Tiga hingga empat bab sehari, dan semoga, dalam waktu satu tahun, kita dapat membaca seluruh Alkitab.

Salah satu “penyakit berat” yang menjakiti umat Katolik dewasa ini adalah ketidaktahuan akan Kitab Suci. Ketika saya bertanya kepada beberapa orang Katolik apakah mereka memiliki Alkitab, mereka dengan mantab menjawab bahwa mereka memiliki Alkitab, dan pada kenyataannya, mereka memiliki lebih dari satu Alkitab di rumah. Namun, ketika saya menanyakan apakah mereka membaca Alkitab secara teratur, hanya sedikit yang akan menjawab dengan yakin.

Tugas membaca Alkitab semakin sulit di zaman kita karena generasi muda atau genarasi milenial dan generasi Z, meskipun berpendidikan tinggi, lebih suka bermain gadget elektronik daripada membaca buku. Ya, sekarang mudah untuk menginstal Alkitab di ponsel kita, tetapi meluangkan waktu untuk membacanya adalah hal lain. Dengan begitu banyak aplikasi lain yang bersaing dalam perangkat genggam kita, membaca Firman Tuhan dengan mudah dikesampingkan, dan bahkan kadang-kadang kita lupa ada Kitab Suci di HP kita.

St. Heronimus mengingatkan kita bahwa mengabaikan Kitab Suci adalah sama saja dengan mengabaikan Kristus. Memang, sangat mudah untuk mengatakan “Aku cinta Yesus”, tetapi dalam kenyataannya, kita mengabaikan Dia karena kita tidak pernah membaca atau mendengarkan dengan penuh perhatian Kitab Suci. Santo Paulus di awal surat pertamanya kepada jemaat Korintus mengingatkan kita bahwa kita dipanggil untuk orang-orang kudus. Dan kekudusan bagi Paulus tidak lain adalah hidup di dalam Kristus, tetapi bagaimana kita dapat hidup di dalam Kristus, jika kita tidak mengenal Kristus, lebih buruk mengabaikannya? Membaca Alkitab setiap hari dapat menjadi tindakan sederhana namun konkret untuk mengasihi Yesus, dan pada kenyataannya, jalan menuju kekudusan saat kita menjadi semakin mirip Kristus.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Advent Mission: Be Holy!

First Sunday Advent [A] –  December 1, 2019 – Matthew 24:37-44

Advent coming of the saviorWe are entering the season of Advent. This time marks the beginning of the new liturgical year of the Church. The season itself is a preparation for us to welcome the Christmas, the coming of Jesus Christ. The word Advent is coming from the Latin word “Adventus” that simply means “arrival.” The dominant liturgical color will be purple that signifies hope and joyful expectation of the coming of our Savior.

The Church has always taught that there are two comings of Jesus. The first coming was two thousand years ago in Bethlehem, when Jesus was born into the simple family of Joseph and Mary. The second coming will be at the end of time, and nobody knows when it will be. It is the secret of God, and anybody who attempts to predict it is bound to fail.

Particularly, the first Sunday of Advent focuses on the second coming of Jesus. From the reading, we can extract at least two characteristics of this coming. Firstly, there will be judgment and the segregation between the good and the evil. Secondly, the coming will be utterly unexpected like the day of Great Flood in the time of Noah and his family or like a thief at the night. Since there will be a judgment based on our life as well as the unpredictable timing, we are expected to be always ready by persevering doing good.

The purpose of Advent is truly to remind us that God will definitely come, and we are prepared for that coming. How are we going to prepare for Jesus’ coming then?

The answer is unbelievably simple: be holy and keep holy. Surely, it is easier said than done, yet we can learn from the saints (they are called “saints” precisely because they have lived a holy life). Yet, again some of us may say that is just tough to be a saint, and it is almost impossible to be like John Paul II who was the holy Pope, or to be like Mother Teresa of Calcutta who spent her life in slump of India and tirelessly the poor, or like St. Stephen who was stoned to death for preaching Jesus. Indeed, it seems to be unsurmountable if we focus on the greatness of these saints, but truthfully, there are a lot of saints who are living simple lives.

St. Therese of the Child Jesus who spent her quiet and simple life inside a convent once wrote, “Miss no single opportunity of making some small sacrifice, here by a smiling look, thereby a kindly word; always doing the smallest right and doing it all for love.” They are many things we can offer sacrifice in our daily life, like our addiction to cellphone, our obsession to be workaholic, our time for our hobbies, and our tendency to complain. While St. Martin de Porres, a Dominican brother, who spent his life cleaning the convent and serving the poor, shows us that the path of holiness is not always grand, “Everything, even sweeping, scraping vegetables, weeding a garden and waiting on the sick could be a prayer, if it was offered to God.”

The way to prepare Jesus’ second coming is by being holy, and living a holy life can be done in doing ordinary things in love and for God.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Misi Adven: Menjadi Kudus

Minggu Adven Pertama [A] – 1 Desember 2019 – Matius 24:37-44

Advent-season-candlesKita memasuki masa Adven. Waktu ini menandai awal tahun liturgi Gereja yang baru. Masa itu sendiri adalah persiapan bagi kita untuk menyambut Natal, kedatangan Yesus Kristus. Kata Adven berasal dari kata Latin “Adventus” yang berarti “kedatangan.” Warna liturgi yang dominan adalah ungu yang menandakan harapan penuh sukacita akan kedatangan Juruselamat kita.

Gereja selalu mengajarkan bahwa ada dua kedatangan Yesus. Kedatangan pertama adalah dua ribu tahun yang lalu di Betlehem, ketika Yesus dilahirkan dalam keluarga sederhana Yusuf dan Maria. Kedatangan kedua akan terjadi pada akhir zaman, dan tidak ada yang tahu kapan itu akan terjadi. Itu adalah rahasia Tuhan, dan siapa pun yang mencoba untuk memprediksi pasti akan gagal dan menjadi nabi palsu.

Khususnya, hari Minggu Adven pertama berfokus pada kedatangan Yesus yang kedua. Dari bacaan Injil, kita dapat melihat setidaknya dua karakteristik dari kedatangan ini. Pertama, akan ada penghakiman dan pemisahan antara yang baik dan yang jahat. Kedua, kedatangan akan sama sekali tak terduga seperti hari Air Bah di zaman Nuh dan keluarganya atau seperti pencuri di malam hari. Karena akan ada penilaian berdasarkan hidup kita serta waktu yang tidak terduga, kita diharapkan untuk selalu siap dengan tekun berbuat baik.

Tujuan masa Adven adalah untuk mengingatkan kita bahwa Tuhan pasti akan datang, dan kita siap untuk kedatangan itu entah kapanpun itu. Bagaimana kita akan bersiap untuk kedatangan Yesus?

Jawabannya sangat sederhana: menjadi kudus dan tetaplah kudus. Tentunya, ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, namun kita dapat belajar dari orang-orang kudus. Namun, sekali lagi beberapa dari kita mungkin mengatakan itu sulit untuk menjadi orang kudus, dan hampir tidak mungkin untuk menyerupai Yohanes Paulus II yang adalah Paus suci, atau untuk meniru Bunda Teresa dari Calcutta yang menghabiskan hidupnya dalam di daerah kumuh di India dan melayani tanpa lelah orang-orang miskin, atau seperti Santo Stefanus yang dilempari batu sampai mati karena menjadi saksi Yesus. Memang, tampaknya mustahil jika kita fokus pada kebesaran orang-orang kudus ini, tetapi sebenarnya, ada banyak orang kudus yang menjalani kehidupan sederhana.

St. Teresa dari Anak-Anak Yesus yang menghabiskan hidupnya yang sangat sederhana di dalam sebuah biara pernah menulis, “Jangan lewatkan kesempatan untuk berkorban kecil, di sini dengan wajah tersenyum, di sana dengan kata-kata yang ramah; selalu melakukan hal yang paling kecil dan melakukan semuanya demi kasih. ” Itu adalah banyak hal yang dapat kita persembahkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti kecanduan kita pada ponsel, obsesi kita untuk menjadi gila kerja, waktu kita untuk hobi kita, dan kecenderungan kita untuk mengeluh. Sementara St. Martin de Porres, seorang bruder Dominikan, yang menghabiskan hidupnya membersihkan biara dan melayani orang miskin, menunjukkan kepada kita bahwa jalan kekudusan tidak selalu dasyat, “Segalanya, bahkan menyapu, membersihkan sayuran, menyiangi kebun dan merawat orang sakit bisa menjadi doa, jika dipersembahkan kepada Tuhan. “

Cara untuk mempersiapkan kedatangan kedua Yesus adalah dengan menjadi kudus, dan menjalani kehidupan yang suci dapat dilakukan dalam melakukan hal-hal biasa dalam kasih dan untuk Tuhan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Image of the Trinity

Trinity Sunday [John 16:12-15] June 16, 2019

sign of the crossThe distinctive mark of being Christian is the Holy Trinity. We share the claim of monotheism [only one God] with other prominent religions, yet our belief in one God in three divine persons enables us to stand unique among others. Doubtless, our God is one, yet the same undoubtedly, there are three persons in this one God. The Father is different from the Son and the Holy Spirit. The Son is also unique. And, the Holy Spirit maintains His personal identity. Yet, they remain always one! How is this possible?!

Relax! The greatest minds in the Church, like St. Augustine, St. Thomas Aquinas, and Benedict XVI, have tried to dive into the mystery, and yet they just scratched the surface of this highest Truth. This is the core of our faith, yet it is the most puzzling if not intriguing teaching of the Church. However, if this is the unfathomable mystery, why should we continue to ponder, live, and celebrate it? The answer lays on the faith God has planted in us.

Often, we think Trinity as far distant reality, but we forget that our daily lives as Christian are living within the Trinity. We were baptized, we were baptized in the name of the Father, of the Son and of the Holy Spirit. When we begin our prayer, we commence with the sign of the cross. This holy sign does not only point the victorious cross of Jesus but fundamentally to the Holy Name of Trinity. After we make the sign of the cross to open the Holy Mass, the priest will greet the people by saying, “The grace of the Lord Jesus Christ and the love of God and the fellowship of the Holy Spirit be with all of you.” This is the Trinitarian formula that comes St. Paul himself (see 2 Cor. 13:13). At the Eucharistic prayer, the core prayer of the Holy Mass, the priest in the name of the Church, asks the Father to send His Holy Spirit that He may transform the bread and wine to be the body and blood of Jesus Christ. At the heart of Eucharist, the source and summit of Christian worship, is the Holy Trinity. What I mention is just the tip of the iceberg on how the Trinity permeates our worship and prayer.

The real challenge is to live and celebrate the Trinity in our daily life. Our rule of prayer should be our rule of life, as well. “Lex orandi, Lex vivendi”. Otherwise, we will fall into the trap of double-life mentality. We become Christian only on Sunday, but we turn to be people who never know God on weekdays. A hypocrite!

To live in the Trinity means to manifest to our daily lives that we are the image of God, the image of Trinity.  If the Trinity is the God of justice, do we act justly to our ourselves, our neighbors and our earth? If the Trinity is the God of mercy, are we merciful and perform the traditional seven corporeal works of mercy [feed the hungry, give drink to the thirsty, clothe the naked, shelter the homeless, visit the sick, visit those imprisoned, and bury the dead]? If Trinity is the God who is love, do we love even the worst people in our lives and forgive our enemies? If Trinity is the God of Truth, are we eager to search for the truth around us or we uncritically believe in fake news?

We are people who are living in the name of the Father, of the Son and the Holy Spirit, and we are confidently looking forward to the day we are united to this Triune God.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Citra Allah Tritunggal

Hari Raya Tritunggal Mahakudus [Yohanes 16: 12-15] 16 Juni 2019

sign of the cross 2Tanda khas menjadi Kristiani adalah iman kepada Tritunggal Mahakudus. Kita berbagi klaim monoteisme [hanya satu Tuhan] dengan agama-agama besar lainnya, namun kepercayaan kita pada satu Tuhan dalam tiga pribadi ilahi memungkinkan kita untuk berdiri secara unik di antara yang lain. Tidak diragukan lagi Allah kita adalah satu, namun tidak diragukan juga ada tiga persona dalam satu kodrat ilahi ini. Bapa berbeda dari Putra dan Roh Kudus. Sang Putra juga benar-benar unik. Dan, Roh Kudus menjaga identitas pribadi-Nya. Namun, mereka tetap selalu satu! Bagaimana ini mungkin?!

Tapi jangan kawatir! Pemikir-pemikir terhebat di Gereja, seperti St. Agustinus, St. Thomas Aquinas, dan Benediktus XVI, telah mencoba untuk menyelami misteri ini, namun mereka hanya menyentuh permukaan Kebenaran terbesar ini. Ini adalah inti dari iman kita, namun ini adalah ajaran Gereja yang paling sulit untuk dimengerti dan juga terkadang sulit diwartakan. Namun, jika ini adalah misteri yang tak terselami, mengapa kita harus terus merenungkan, menghidupi, dan merayakannya? Karena kita telah diciptakan dalam citra Allah Tritunggal.

Seringkali, kita menganggap Tritunggal sebagai realitas yang sangat jauh, tetapi kita lupa bahwa kehidupan keagamaan kita sehari-hari sebagai orang Katolik adalah kehidupan di dalam Trinitas. Kita dibaptis, kita dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Ketika kita memulai doa kita, kita mulai dengan tanda salib. Tanda salib suci ini tidak hanya menunjukkan kemenangan Yesus, tetapi pada dasarnya adalah Nama Suci Tritunggal. Setelah kita membuat tanda salib untuk membuka Misa Kudus, imam akan menyapa umat dengan mengatakan, “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus bersamamu.” Ini adalah formula Tritunggal yang berasal dari St. Paulus sendiri (lihat 2 Korintus 13:13). Pada doa Syukur Agung, yang adalah doa inti di Misa, sang imam atas nama Gereja, meminta Bapa untuk mengirimkan Roh Kudus-Nya agar Dia dapat mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Yesus Kristus. Di jantung Ekaristi, yang adalah sumber dan puncak dari liturgi kita, adalah Tritunggal Mahakudus. Apa yang saya sebutkan hanyalah puncak gunung es tentang bagaimana Tritunggal sungguh meresapi ibadah dan doa kita.

Tantangan sebenarnya adalah untuk hidup dan merayakan Tritunggal dalam kehidupan kita sehari-hari. Aturan doa kita harus menjadi aturan hidup kita juga. “Lex orandi, Lex vivendi”. Kalau tidak, kita akan jatuh ke dalam perangkap mentalitas ganda. Kita menjadi orang Kristiani hanya pada hari Minggu, tetapi kita menjadi orang yang tidak pernah mengenal Tuhan pada hari lain. Seorang munafik!

Hidup dalam Tritunggal berarti memanifestasikan kehidupan kita sehari-hari bahwa kita adalah citra Allah, citra Tritunggal. Jika Tritunggal adalah Allah keadilan, apakah kita bertindak adil terhadap diri kita sendiri, sesama kita, dan terhadap bumi kita? Jika Tritunggal adalah Tuhan kerahiman, apakah kita berbelas kasihan dan menjadikan tujuh karya kerahiman sebagai pola hidup kita? [memberi makan yang lapar, memberi minum kepada yang haus, memberi pakaian kepada yang telanjang, melindungi yang tidak memiliki rumah, mengunjungi yang sakit, mengunjungi yang dipenjara, dan mengubur yang meninggal]? Jika Tritunggal adalah Tuhan yang adalah kasih, apakah kita mencintai orang-orang terburuk dalam hidup kita dan mengampuni orang yang menyakiti kita? Jika Tritunggal adalah Allah Kebenaran, apakah kita terus mencari kebenaran di sekitar kita atau kita mudah percaya pada hoaks?

Kita adalah orang-orang yang hidup dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, dan kita dengan penuh keyakinan menanti hari kita dipersatukan dengan Allah Tritunggal.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Menjadi Seorang Bapa

Pesta Pembaptisan Tuhan [13 Januari 2019] Lukas 3: 15-16, 21-22

“Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan.” (Luk. 3:22)

baptism1Salah satu sukacita terbesar menjadi seorang diakon adalah saat membaptis bayi dan anak. Kegembiraan tidak hanya hadir dari menyentuh pipi dari bayi kecil yang imut, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam. Sebenarnya, pengalaman saya dengan pembaptisan tidak selalu menyenangkan. Saya ingat saat baptisan pertama saya di Paroki Sto. Domingo, Metro Manila, ketika saya mulai menuangkan air ke dahi sang bayi, sang gadis kecil itu tiba-tiba menangis dengan keras. Saya menyadari air telah menyentuh mata bayi perempuan itu. Saya terkejut dan tak bergerak karena tidak tahu apa yang harus saya lakukan selanjutnya. Untungnya, sang orang tua mampu menangani situasi dengan baik. Ketika bayi kecil itu tenang kembali, saya meminta maaf dan melanjutkan perayaannya. Sungguh membuat trauma!

Setelah pengalaman itu, baptisan yang saya layani tampaknya tidak lebih baik. Di Manaoag, Pangasinan, saya bisa membaptis 15 bayi atau lebih dalam setiap baptisan. Seringkali, dengan begitu banyak orang yang memadati di sebuah ruangan kecil, dan dengan banyak bayi menangis, pengalaman ini bisa menjadi sebuah stres bagi semua orang yang hadir termasuk saya. Jadi, dari mana saya mendapatkan sukacita membaptis bayi?

Ini datang dari pemahaman Gereja tentang pembaptisan itu sendiri. Pembaptisan sebagai sebuah sakramen yang didirikan oleh Kristus sendiri sebagai sarana bagi kita untuk menerima rahmat keselamatan bukan saja Alkitabiah dan ditegakkan oleh kesaksian jemaat Kristiani yang paling awal, tetapi juga melahirkan sukacita yang mendalam. Tentunya, saya tidak bisa membahas semua hal di sini karena kita perlu satu semester atau lebih untuk membahas dasar alkitabiah dan teologi! Karena itu, izinkan saya untuk membagikan salah satu alasan mengapa membaptis adalah salah satu momen yang paling membahagiakan sebagai diakon, dan ini tidak jauh dari Injil kita hari ini.

Hari ini kita merayakan Pembaptisan Tuhan, dan Injil kita hari ini berakhir dengan pewahyuan Allah Bapa yang sangat jarang terjadi dalam kehidupan Yesus. Ini mengungkapkan dua hal: Pertama, Yesus adalah Putra Bapa; kedua, Dia bukan hanya seorang Anak, tetapi Yesus juga adalah sukacita Bapa. Ini bukan sekedar wahyu yang langka, tetapi itu adalah wahyu sukacita. Namun, kegembiraan ini bukanlah hal yang aneh karena wajar bagi seorang ayah untuk bahagia dengan bayinya yang baru lahir karena ia melihat yang terbaik dari dirinya di dalam bayinya. Ini adalah sukacita seorang ayah.

Salah satu karunia pembaptisan terbesar adalah kelahiran spiritual kita. Memang benar bahwa dalam pembaptisan, tidak ada banyak perubahan dalam aspek fisik kita, kecuali kepala kita menjadi basah. Tetapi, ketika air baptisan menyentuh dahi kita dan formula Tritunggal diucapkan, jiwa kita diubah untuk selamanya. Kita bukan hanya anak-anak manusia, tetapi juga anak-anak Allah! Dan ketika kita dibaptis, Bapa kita di surga melihat kita, mengakui kita sebagai milik-Nya dan berkata, “Kamu adalah anak-anakku yang terkasih, denganmu aku senang.”

Adalah hak istimewa terbesar saya untuk berbagi kebapakan spritual ini. Sewaktu saya membaptis, saya secara spiritual melahirkan bayi-bayi kecil ini sebagai anak-anak saya, yakni anak-anak Allah. Seperti seorang ayah muda bersukacita pada bayinya, sayapun bergembira dengan setiap bayi yang baru lahir secara rohani. Saya tidak memiliki anak sendiri, namun saya diberkati untuk menjadi seorang ayah dengan banyak anak! Menatap imamat, saya memahami mengapa kita menyebut seorang imam sebagai “romo” karena dia memang seorang ayah bagi anak-anak rohaninya. Dia melahirkan anak-anak dalam Pembaptisan, dia merawat mereka dalam Ekaristi, dia memimpin anaknya yang muda menuju kedewasaan dalam Penguatan, dia menyatukan cinta dalam Pernikahan, dia membawa kembali yang hilang dalam Penitensi, dan dia menyembuhkan yang sakit di Pengurapan. Itu adalah sukacita seorang bapa.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Happy Mothers’ Day!

Solemnity of Blessed Virgin Mary, the Mother of God [January 1, 2019] Luke 2:16-21

mary and jesus - javaneseSome of us may wonder why the Church places the celebration of the solemnity of Mary, the Mother of God on January 1, or on the New Year. One may guess that the Church wants us to attend mass on the first day of the year, so as to start the year right. For those who wish to have a long holiday, it might be pretty a killjoy, but for some of us who wish to be blessed for the entire year, it is a nice thought. Yet, surely there is something deeper than that.

One reason is that the Church invites us all to reflect on the past year with gratitude as we count our blessings, and thus, we are able to look forward with faith and hope. In the Gospel, Mary is depicted as someone who always keeping things in heart and reflecting them (see Luk 2:19). Like Mary, we are asked to pause for a while on the momentous day of the year and ponder God’s works in our lives.

Another reason that I think more fundamental is that it is proper to conclude the Christmas octave with the Solemnity of Mother of God. “Octave” simply means eight, and in the Church’s liturgy, it means eight days prolonged celebration of particular grand events in the Church like Easter and Christmas. Like Christmas octave cover December 25 till January 1. If at Christmas day, we are celebrating the birth of Jesus, at the end of the Octave, we are celebrating the woman who gave birth to Jesus. Without a mother who receives the baby in her womb, carries the baby for nine months, and gambles her life in the process of delivery, a baby will not be born. In short, without Mary, there will be no Jesus.

To become a mother is a natural part of being a woman, and yet despite being natural, it remains a very difficult process for a woman. I am not a woman, but I can tell that it is a life of sacrifice because to take care of Br. Ruseno can cause a lot of high blood pressure! It is true that not all mother is perfect. Some have their own share of weakness and mistake, but the mere fact a mother has decided to give birth to her child, she has put her life on the line.

Now if to become the mother of any human being is super tough, how about to become the mother of God? We learn from Mary herself. She was pregnant out of wedlock, and this may lead people to stone her to death. She gave birth to Jesus in a dirty stable without professional help. This may cause her life. She raised the child Jesus who was often beyond her comprehension. Ultimately, she would witness with her own eyes how her only son was humiliated, tortured, and crucified. What a painful experience to bury one’s, own child! Simeon’s prophecy that a sword shall pierce Mary’s soul turned to be a reality (see Luk 2:35).

Indeed, Mary is most blessed among women, in fact among all human beings, but her blessedness does not mean an easy life. In fact, it is the opposite! St. Teresa of Avila once asked God, why He gives so many sufferings to His saints. God answered that it was the way He treated His friends. Then, St. Teresa replied, “That is why you do not have many friends!”

To become a mother is a blessing, but God’s blessing does not mean an easy life. God’s blessing means the opportunity and ability to love. To love despite challenges and trials of life, to give even when it hurts, and to sacrifice when it counts. At this New Year, we are celebrating the motherhood of Mary, indeed the motherhood of every woman. It is a Mothers’ Day in the Church. We pray for every mother that they may be blessed with the gift of love, and we also are given the same blessing in this year.

 

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Selamat Hari Ibu!

Hari Raya Santa Perawan Maria, Bunda Allah [1 Januari 2019] Lukas 2: 16-21

mary and jesus - javanese 2Kita mungkin bertanya-tanya mengapa Gereja menempatkan Hari Raya Maria, Bunda Allah pada tanggal 1 Januari, atau pada Tahun Baru. Orang mungkin berpikir bahwa Gereja ingin kita menghadiri misa pada hari pertama tahun baru ini. Bagi mereka yang ingin memiliki liburan panjang, ini mungkin tidak menyenangkan, tetapi bagi sebagian dari kita yang ingin diberkati sepanjang tahun, itu adalah ide yang bagus. Namun, pasti ada sesuatu yang lebih dalam mengapa tanggal 1 Januari.

Salah satu alasan adalah bahwa Gereja mengundang kita semua untuk merenungkan tahun yang baru berlalu dengan rasa syukur, ketika kita mengingat berkat-berkat yang telah kita terima, dan dengan demikian, kita dapat melihat ke depan dengan iman dan harapan. Dalam Injil, Maria digambarkan sebagai seseorang yang selalu menyimpan hal-hal di hatinya dan merenungkannya (lihat Luk 2:19). Seperti Maria, kita diminta untuk berhenti sebentar pada hari penting tahun ini dan merenungkan karya Tuhan dalam hidup kita.

Alasan lain yang saya pikir lebih mendasar adalah bahwa sudah sepantutnya untuk mengakhiri oktaf Natal dengan Perayaan Maria Bunda Allah. “Oktaf” berarti delapan, dan dalam liturgi Gereja, itu berarti delapan hari perayaan memperingati momen besar di Gereja seperti Paskah dan Natal. Seperti oktaf Natal dimulai dari tanggal 25 Desember hingga 1 Januari. Jika pada hari Natal, kita merayakan kelahiran Yesus, pada hari terakhir oktaf, kita memperingati perempuan yang melahirkan Yesus. Tanpa seorang ibu yang menerima bayi di dalam rahimnya, mengandung bayinya selama sembilan bulan, dan mempertaruhkan hidupnya saat melahirkan, seorang bayi tidak akan dilahirkan. Singkatnya, tanpa Maria, tidak akan ada Yesus.

Menjadi seorang ibu adalah bagian alami dari menjadi seorang perempuan, namun meskipun alami, ini tetap merupakan proses yang sangat sulit bagi seorang perempuan. Saya bukan seorang perempuan, tetapi saya dapat mengatakan bahwa ini adalah hidup penuh pengorbanan. Kenapa? Karena untuk merawat dan membesarkan Diakon Bayu menyebabkan banyak tekanan darah tinggi! Memang benar bahwa tidak semua ibu sempurna. Beberapa memiliki kelemahan dan kesalahan, tetapi fakta bahwa seorang ibu telah memutuskan untuk melahirkan anaknya, ia telah mempertaruhkan nyawanya bagi sang anak.

Sekarang jika menjadi ibu dari seorang manusia adalah luar biasa sulit, bagaimana dengan menjadi Bunda Allah? Kita bisa belajar dari Maria sendiri. Dia hamil di luar nikah, dan orang-orang bisa saja merajam dia sampai mati. Dia melahirkan Yesus di kandang yang kotor tanpa bantuan medis professional, dan ini sangat berbahaya. Dia membesarkan Yesus yang seringkali Dia tidak mengerti tingkah laku Yesus. Pada akhirnya, dia akan menyaksikan dengan matanya sendiri bagaimana putra satu-satunya dihina, disiksa, dan disalibkan. Betapa pengalaman yang menyakitkan untuk mengubur anaknya sendiri! Nubuat Simeon bahwa pedang akan menembus jiwa Maria menjadi kenyataan (lihat Luk 2:35).

Memang, Maria paling diberkati di antara para wanita, bahkan di antara semua manusia, tetapi walaupun diberkati ini tidak berarti hidupnya menjadi mudah. Justru sebaliknya! St. Teresa dari Avila pernah bertanya kepada Tuhan, mengapa Ia memberikan begitu banyak penderitaan kepada orang-orang kudus-Nya. Tuhan menjawab bahwa itu adalah cara-Nya memperlakukan sahabat-sahabat-Nya. Kemudian, St Teresa menjawab, “Itulah sebabnya Tuhan tidak memiliki banyak sahabat!”

Menjadi seorang ibu adalah berkat, tetapi berkat Tuhan tidak berarti hidup yang mudah. Berkat Tuhan yang sesungguhnya adalah kesempatan dan kemampuan untuk mengasihi lebih dalam. Mengasihi terlepas dari tantangan dan cobaan hidup, untuk memberi bahkan saat kita tidak punya, dan  berkorban saat kita tidak siap. Pada Tahun Baru ini, kita merayakan Maria sebagai seorang ibu, dan juga keibuan setiap perempuan. Itu adalah Hari Ibu di Gereja. Kita berdoa untuk setiap ibu agar mereka diberkati dengan rahmat cinta kasih, dan kita juga berkati dengan rahmat yang sama di tahun baru ini.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Advent and Liturgical Year

First Sunday of Advent. December 3, 2017 [Mark 13:33-37]

“Be watchful! Be alert! You do not know when the time will come. (Mrk 13:33)”

watchful servantThe Season of Advent has begun. This season marks the beginning of the new Church’s liturgical year as well as of the four Sundays preparation for Christmas. A curious mind may ask: why the liturgical year has to be opened by the season Advent? Why not Christmas, Lenten or Easter seasons?

It has something to do with the liturgical year itself. Yet, what is the liturgical year? Simply put, liturgy is the official and public worship of the Church. Thus, it is through the liturgical year or calendar, the Church wishes to worship God every single day all around the year, and thus fulfilling St. Paul’s instruction to pray without ceasing (1 The 5:17). There is no single moment in the life of the Church and Christians that is not ordained for worshiping the Lord.

Yet, to worship God every moment of our lives is rather a tall order, if not impossible. For some of us, we just go to the Church on Sundays and perhaps pray privately once in a while. Some of us have freer time and commitment to the Church, so we attend Mass daily and join parish organizations. For Dominican religious brothers like myself, daily Eucharist and the Liturgy of the Hours have been integrated into our life structure in the convent, and thus easier to pray every day. But, for many of us who are working for a living, and studying for the future, more time in the Church is simply not possible. Even for me, without the structure of convent, I am often lost and have a hard time to pray.

From this perspective, the Advent season becomes even more crucial for us in shaping our right attitude and predisposition in entering this liturgical new year. The Catechism of the Catholic Church reminds us, “When the Church celebrates the liturgy of Advent each year, she makes present this ancient expectancy of the Messiah, for by sharing in the long preparation for the Savior’s first coming, the faithful renew their ardent desire for his second coming (CCC 524).” The first Christians possessed this “eschatological fervor” because they believed that Jesus was going to come very soon. They were so eager to welcome Christ as much as they would live as if they were not of this world. As Paul would say, “our citizenship is in heaven (Phil 3:20)”. Many of them sold their belongings so that they may focus on those truly important: the teaching of the apostles, communal life, breaking of the bread, and prayers (Act 2:42). Even the pagans would be so amazed and say, “See how they love one another!” It may be true that Jesus did not come in their lifetime, but their lifestyles have transformed their communities and societies to better places to live. Jesus did not come, but they brought Jesus in the midst of the world.

It is the call of Advent season to rekindle this “eschatological fervor” in us. To see that we are all pilgrims and sojourners on this earth and we walk towards our true home in Christ. Our happiness is not rooted in the things of this earth, money, gadgets, popularity, and success. It is true that we need to work for a living, and often our works leave a little time to worship God, but it is always possible to live as the sign of the Kingdom of God, to make our very lives a worship to God. To be honest in our workplaces or schools, to spend more quality time with our families, and to love the poor are some ways we live this fervor. Advent is not about waiting, but it is about engagingly bringing Jesus in our midst.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP