Pray like Jesus

7th Sunday of Easter

May 24, 2020

John 17:1-11a

man in prayer 2We are aware that prayer is a fundamental part of Jesus’ life. He prays on a regular basis, and especially when He is preparing to embrace decisive events, like Baptism on the Jordan [Luke 3:21], the election of the twelve apostles [Luke 6:12], transfiguration [Luke 9:28], and the Passion [Matt 26:36–44]. However, we seldom hear what Jesus says in His prayers. In the Synoptic Gospels [Matthew, Mark, and Luke], we are fortunate enough to hear Jesus’ compact and emotional prayer in the Garden of Gethsemane before He enters into His Passion. However, John the evangelist makes sure that we are going to discover what Jesus prays, and it is substantially longer than we ever heard before.

John devotes the entire chapter of His Gospel for this prayer [John 17:1-26]. As expected, He prays to the Father with extraordinary affection and confidence. Yet, what makes it noteworthy is that Jesus does not say only about Himself and His mission, but also prays for His disciples. Jesus is acting as the priest who is interceding on behalf of His disciples. That is why we call this section the high priest’s prayer of Jesus Christ.

From Jesus’ prayer, we unearth some powerful lessons:

Firstly, if prayer is essential in the life of Jesus, it is because Jesus understands that prayer is His line of communication to the Father. Jesus knows well that communication is the key to every flourishing relationship. Perhaps, we fail to see this truth, and that is why we feel prayer is burdensome. We are not eager to attend the mass because we simply understand it as an obligation. We relegate personal prayer to the sideline as we make other things as our priority. Sadly, we immediately blame God if our plans do not work according to our whim, or we even threaten God to grant our wishes. Thus, changing perspective about prayer is crucial and even life-transforming.

Secondly, if prayer is communication, then it should always be a dialogue. Often when we start growing in prayer, we think that we need to always say something to the Lord. I remember one seminarian asked me, “Father, what else should I say if I am running out of words in my prayers?” I told him, “Perhaps, it is time to listen to God.” The next expected question is, “How do I listen to God?” Surely there is no one-size-fits-all answer to this, but I like what St. Jerome says, “You pray: You speak to the bridegroom. You read [scriptures]: He speaks to you.” Yet, we need to remember that dialogue of words is not the end of the communication. The end is the unity of the persons in dialogue. Jesus says, “I am in my Father, and you are in me, and I am in you [John 14:20].”

Lastly, our prayer involves the third person. This is the direct consequence of Jesus’ priestly prayer. Prayer is a dialogue, but just like other dialogue, it may speak about other persons. This is when we pray to God for others. Because Jesus leaves us an example in His priestly prayer, it is all the more imperative for us to care for others through prayers. In time we cannot reach other people who need our help; prayers remain the best way to love them. Indeed the saints in heaven continue to care for us despite not able to physically appear to us through their prayers.

Prayer unites us with God in love and prayer also unites us with people we love in God.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Berdoa seperti Yesus

Minggu Paskah ke-7

24 Mei 2020

Yohanes 17: 1-11a

man in prayer 4Doa adalah bagian mendasar dari kehidupan Yesus. Dia berdoa secara teratur, dan terutama ketika Dia bersiap untuk merangkul peristiwa-peristiwa yang menentukan, seperti Pembaptisan di Sungai Yordan [Lukas 3:21], pemilihan kedua belas rasul [Lukas 6:12], transfigurasi [Lukas 9:28], dan jalan salib-Nya [Mat 26:36-44]. Namun, kita jarang mendengar apa yang Yesus katakan dalam doa-doanya. Dalam Injil Sinoptik [Matius, Markus dan Lukas] kita cukup beruntung mendengar doa Yesus yang pendek dan emosional di Taman Getsemani sebelum Dia memasuki sengsara-Nya. Namun, penginjil Yohanes memastikan bahwa kita akan menemukan apa yang Yesus doakan dan hal ini jauh lebih panjang daripada yang pernah kita dengar sebelumnya.

Yohanes mencurahkan seluruh bab untuk doa ini [Yohanes 17: 1-26]. Yesus berdoa kepada Bapa dengan kasih dan keyakinan yang luar biasa. Namun, yang membuat doa ini  penting adalah bahwa Yesus tidak hanya berdoa tentang diri-Nya dan misi-Nya, tetapi juga berdoa untuk para murid-Nya. Yesus bertindak sebagai imam yang menjadi perantara bagi para murid-Nya. Itulah sebabnya kita menyebut bagian ini sebagai doa Yesus Kristus sebagai imam besar.

Dari doa Yesus, kita menggali beberapa pelajaran yang penting:

Pertama, jika doa sangat penting dalam kehidupan Yesus karena Yesus mengerti doa adalah jalur komunikasi-Nya kepada Bapa. Komunikasi adalah kunci untuk setiap hubungan untuk berkembang, dan Yesus mengetahui hal ini dengan baik. Mungkin, kita gagal melihat kebenaran ini, dan itulah sebabnya kita merasa doa itu membosankan. Kita malas menghadiri misa karena kita hanya memahaminya sebagai kewajiban. Kita menempatkan doa pribadi hanya sebagai tambahan karena kita menjadikan hal-hal lain sebagai prioritas kita. Anehnya, kita segera menyalahkan Tuhan jika rencana kita tidak berjalan sesuai dengan keinginan kita, atau kita bahkan mengancam Tuhan untuk mengabulkan keinginan kita. Jadi, mengubah perspektif tentang doa adalah penting dan bahkan akan mengubah kehidupan.

Kedua, jika doa adalah komunikasi, maka harus selalu berupa dialog. Sering kali ketika mulai tumbuh dalam doa, kita berpikir bahwa kita harus selalu mengatakan sesuatu kepada Tuhan. Saya ingat seorang frater bertanya kepada saya, “Romo, apa lagi yang harus saya katakan jika saya kehabisan kata-kata dalam doa saya?” Saya mengatakan kepadanya, “Mungkin, ini saatnya untuk mendengarkan Tuhan.” Pertanyaan selanjutnya adalah, “Bagaimana saya mendengarkan Tuhan?” Tentunya tidak ada jawaban yang baku, tetapi saya suka apa yang dikatakan St Heronimus, “Kamu berdoa: kamu berbicara kepada mempelai laki-laki [Yesus]. Kamu membaca [Kitab Suci]: Dia berbicara kepadamu. ” Namun, kita perlu ingat bahwa dialog kata-kata bukanlah akhir dari komunikasi. Akhirnya adalah orang-orang dalam dialog menjadi satu. Yesus berkata pada dirinya sendiri, “Aku di dalam Bapa-Ku, dan kamu di dalam Aku, dan Aku di dalam kamu [Yohanes 14:20].”

Terakhir, doa kita melibatkan orang ketiga. Ini adalah konsekuensi langsung dari doa imam Yesus. Doa adalah dialog, tetapi sama seperti dialog lainnya, doa dapat berbicara tentang orang lain. Inilah saatnya kita berdoa kepada Tuhan untuk orang lain. Karena Yesus memberi kita teladan dalam doa-Nya, maka semakin penting bagi kita untuk memelihara sesama melalui doa. Pada saatnya kita tidak dapat menjangkau orang lain yang membutuhkan bantuan kita, doa tetap menjadi cara terbaik untuk mencintai mereka. Sesungguhnya orang-orang kudus di surga terus memelihara kita meskipun tidak mampu secara fisik menampakkan diri kepada kita, melalui doa-doa mereka.

Doa menyatukan kita dengan Tuhan dalam kasih dan doa juga menyatukan kita dengan orang-orang yang kita kasihi di dalam Tuhan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

External and Internal

30th Sunday in Ordinary Time [October 27, 2019] Luke 18:9-14

pharisee n tax collectorIn Jesus’ time, they were several Jewish religious groups and one of them is the Pharisees. These are the people who love the Lord and devoutly observe the Law of Moses and the traditions of the elders even in their daily lives. Thus, Jewish people regard them as righteous because they are faithful to the Law, and pious because they pray often. Many Pharisees turn to be the caretakers of the local synagogues and zealously teach the Law during Sabbath days. No wonders, the Jewish people offer the Pharisees the best places in the worship places and the parties. The leaders are called the Rabbis or teachers.

In contrast, we have tax collectors. This is the profession that most Jews hate at least for two reasons. Firstly, tax collectors tend to corrupt by demanding more than what is due. Secondly, the tax collectors work for the Roman Empire, a gentile and oppressive nation. This makes them both sinners and unclean.

When Jesus presents these two characters in His parable, His Jewish listeners immediately see that the Pharisee is the good guy and the tax collector is the bad guy. The Temple of Jerusalem consists of several courts, from the Holy of Holies going out to the court of the Gentiles. The Pharisee as a devout and clean Israelite will pray at the inner court of the Temple, closer to the sanctuary. While the tax collector is standing perhaps at the court of the Gentiles, where the unclean people and sinners are allowed to get closer.

However, Jesus once again twists the minds of His listeners. The tax collector comes up as the hero of the story, as God hears his prayers and accepts his sincere repentance.

Before God, we are judged not so much by external appearance and social standing, but primarily by internal disposition, by faith. The Pharisee is full of himself and doing nothing but praying to himself [see verse 11]. How can a person pray to himself? He boastfully compares himself with others and puts down others. This is not a prayer, but rather a litany of self-praise. But, the tax collector in all humility recognizes himself as a sinner and asks nothing but God’s mercy.

Appearances and social standing do not guarantee our holiness, and this has a massive implication in our daily lives. We cannot simply judge that a priest who celebrates the mass, who stands on the sanctuary, is holier than an ordinary man who prays at last pew of the Church. We cannot judge a woman who visits the adoration chapel and recite the rosary every day is holier than a woman who has no time to visit the Church because she has to work hard to feed her children. We cannot judge that a man who is active in the parish is holier than a man who is inside the jail. In the first place, it is not our duty to judge others’ holiness. If we are busy judging others, we are no different from the Pharisee in the story who even prays to himself.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Eksternal dan Internal

Minggu ke-30 dalam Waktu Biasa [27 Oktober 2019] Lukas 18: 9-14

pharisee n tax collector 2Pada zaman Yesus, ada beberapa kelompok di dalam agama Yahudi dan salah satunya adalah orang-orang Farisi. Inilah orang-orang yang mencintai Tuhan dan dengan taat mematuhi Hukum Musa dan tradisi para penatua bahkan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Jadi, orang Yahudi menganggap mereka sebagai orang benar karena mereka setia kepada Hukum, dan saleh karena mereka sering berdoa. Banyak orang Farisi menjadi pengurus sinagoga dan dengan tekun mengajarkan Hukum saat hari-hari Sabat. Tidak heran, orang-orang Yahudi memberikan kepada orang-orang Farisi tempat-tempat terbaik di tempat-tempat ibadah dan pesta-pesta, dan memanggil beberapa dari mereka sebagai Rabi atau guru.

Sebaliknya, ada juga sang pemungut cukai. Ini adalah profesi yang dibenci oleh kebanyakan orang Yahudi setidaknya karena dua alasan. Pertama, pemungut cukai cenderung korup dengan menuntut lebih dari yang seharusnya. Kedua, para pemungut cukai bekerja untuk Kekaisaran Romawi, sebuah bangsa kafir dan penindas. Ini membuat mereka berdosa dan najis.

Ketika Yesus menampilkan dua karakter ini dalam perumpamaan-Nya, para pendengar yang adalaha orang Yahudi-Nya segera melihat bahwa orang Farisi adalah orang baik dan pemungut cukai adalah orang jahat. Bait Allah Yerusalem terdiri dari beberapa lapisan, dari tempat yang  Mahakudus di pusat Bait Allah, dan yang paling luar adalah tempat bagi bangsa-bangsa yang bukan Yahudi. Orang Farisi sebagai orang Israel yang saleh dan bersih, akan berdoa di dalam Bait Suci, lebih dekat ke tempat kudus. Sementara pemungut pajak berdiri mungkin di tempat yang ditujukan bagi mereka yang bukan orang Yahudi, di mana orang-orang najis dan orang berdosa diijinkan untuk lebih dekat.

Namun, Yesus sekali lagi memelintir pikiran para pendengar-Nya. Pemungut cukai muncul sebagai pahlawan dalam cerita ini, ketika Tuhan mendengar doanya dan menerima pertobatannya yang tulus.

Di hadapan Tuhan, kita dihakimi bukan karena penampilan luar dan kedudukan sosial, tetapi terutama oleh disposisi internal, iman kita. Orang Farisi penuh dengan dirinya sendiri dan tidak melakukan apa-apa selain berdoa kepada dirinya sendiri [lihat ayat 11]. Bagaimana seseorang bisa berdoa pada dirinya sendiri? Dia dengan sombong membandingkan dirinya dengan orang lain dan menjatuhkan orang lain. Ini bukan doa, melainkan litani pujian diri. Tapi, pemungut cukai dalam segala kerendahan hati mengakui dirinya sebagai orang berdosa dan tidak meminta apa pun selain belas kasih Tuhan.

Penampilan dan kedudukan sosial tidak menjamin kekudusan kita, dan ini memiliki implikasi besar dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita tidak bisa begitu saja menilai bahwa seorang imam yang merayakan misa, yang berdiri di tempat kudus, lebih suci daripada seorang bapak yang berdoa di bangku terakhir Gereja. Kita tidak dapat menilai seorang wanita yang mengunjungi adorasi kapel dan berdoa rosario setiap hari lebih suci daripada seorang wanita yang tidak memiliki waktu untuk rajin ke Gereja karena dia harus bekerja keras untuk memberi makan anak-anaknya. Kita tidak dapat menilai bahwa seorang pria yang aktif di paroki lebih suci daripada seorang pria yang berada di dalam penjara. Pertama, itu bukan tugas kita untuk menilai kekudusan orang lain. Jika kita sibuk menilai orang lain, kita tidak berbeda dengan orang Farisi dalam cerita yang bahkan berdoa untuk dirinya sendiri.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hearing His Voice

Fourth Sunday of Easter [May 12, 2019] Jn 10:27-30

“My sheep hear my voice; I know them, and they follow me. (Jn. 10:27)”

jesus shepherdFew of us have a direct encounter with a sheep, let alone shepherding sheep. When Jesus says, “My sheep hear my voice.” I thought it was a kind exaggeration. After all the sheep is not that intelligent compared to the Golden Retriever or Labrador who would listen to their owners. However, one time, I watched a video on YouTube about a group of tourists who visited the vast hill in the countryside of Judea where the flock was grazing. They were asked to call the attention of the sheep. One by one, the tourists shouted to the top of their lungs, but they got not even the slightest response. Yet, when the true shepherd came forward and called them out, all the scattered sheep immediately rushed toward the shepherd! It was an eye-opener. Jesus was right. The sheep literally hear the voice of His shepherd.

The sheep in Judea are raised both for wool and for sacrifice. Especially those intended for wool production, the shepherd shall live together with his flock for years. No wonder if he knows well each sheep, its characters, and even its unique physical features. He will call them by name like ‘small-feet’ or ‘large-ears.’

Modern men and women, especially the Millennials, are heavily visual creatures. Thanks to smartphones, TV, and computers, our span of attention becomes shorter and shorter. One scientist even says that our span of attention is one second shorter than of the goldfish! The teachers or speakers must use all the visual aids to catch the attention of young listeners. PowerPoint presentation is a minimum requirement nowadays, and the teachers need to move all their body’s parts, to crack a joke, to sing, to dance, even to summersault! Simply listening to a plain talk is tedious, and to read a bare and long text like this reflection is boring. This is also one of the reasons why young people are leaving the Church because they experience the Church, especially her preachers, as boring and dry. After five minutes listening to the preacher, we begin to be restless, checking our watch, scratching our heads, and dozing off!

However, hearing remains fundamental because hearing is the key to following Jesus. We call ourselves, Christians, the follower of Christ, and how can we follow Christ if we do not recognize His voice? While the sense of sight attracts us, sense of hearing remains signs of intimacy and love. Like a sheep that identifies the shepherd’s voice because the shepherd takes care of it, so we recognize the voice of someone we love. I have been hearing the voice of my mother since I was inside her womb, and even when I close my eyes, I can still acknowledge her voice. I can even identify whether she is happy, sad, or angry when she calls my name.

One time, a young man asked me, “Brother, how do we know God’s will?” I replied, “Do you hear His voice?” He immediately said, “I pray, but I never heard a voice.” I said in reply, “Ah, how are you going to hear His voice if you talk all the time? And how are you going to know His voice, if you seldom give your time with Him?” To follow Jesus means that we are able to hear Jesus, and to recognize His voice presupposes we have a loving and strong relationship with Him

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mendengar Suara-Nya

Minggu Paskah keempat [12 Mei 2019] Yoh 10: 27-30

“Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikut Aku, (Yoh 10:27)”

jesus shepherd 2Ketika Yesus berkata, “Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku.” Saya pikir itu agak berlebihan. Kita tahu domba-domba adalah hewan yang tidak secerdas anjing Golden Retriever atau Labrador yang bisa mendengarkan instruksi dari pemiliknya. Namun, suatu kali, saya menonton video di YouTube tentang sekelompok wisatawan yang mengunjungi bukit luas di pedesaan Yudea di mana kawanan domba sedang merumput. Mereka diminta untuk menarik perhatian domba. Satu demi satu, para wisatawan berteriak dengan lantang, tetapi mereka tidak mendapat tanggapan sedikit pun. Namun, ketika sang gembala maju dan memanggil mereka, semua domba yang tercerai-berai segera bergegas menuju gembala itu dan mengerumuni dia! Sungguh menakjubkan! Yesus sungguh benar. Domba-domba sungguh mendengar suara gembala-Nya.

Domba-domba di Yudea dibesarkan untuk wol dan sebagai hewan korban. Khususnya untuk jenis domba-domba yang diperuntukkan bagi produksi wol, mereka akan hidup bersama-sama dengan sang gembala selama bertahun-tahun. Tidak heran jika sang gembala mengenal dengan baik setiap domba, karakternya, dan bahkan fitur fisiknya yang unik. Dia akan memanggil mereka dengan nama seperti ‘si kaki kecil’ atau ‘si telinga besar.’ Dan kawanan domba pun mengenal suara sang gembala.

Berbeda dengan domba, pria dan wanita modern, terutama kaum Millennial, adalah makhluk yang sangat visual. Berkat smartphone, TV, dan komputer, rentang perhatian kita menjadi lebih pendek setiap harinya. Seorang ilmuwan bahkan mengatakan bahwa rentang perhatian kita satu detik lebih pendek daripada ikan mas! Para guru atau pembicara harus menggunakan semua alat bantu visual untuk menarik perhatian pendengar muda. Presentasi PowerPoint adalah persyaratan minimum saat ini, dan para guru perlu menggerakkan semua bagian tubuh mereka, membuat lelucon, bernyanyi, menari, bahkan jungkir balik! Hanya mendengarkan pembicaraan biasa itu membosankan, dan membaca teks yang panjang dan panjang seperti refleksi ini boring. Ini juga salah satu alasan mengapa kaum muda meninggalkan Gereja karena mereka mengalami Gereja, terutama para pengkhotbahnya, membosankan dan kering. Setelah lima menit mendengarkan homili, kita mulai gelisah, memeriksa jam tangan, mengaruk-garuk kepala, dan akhirnya tertidur!

Namun, indera pendengaran tetap mendasar karena pendengaran adalah kunci untuk mengikuti Yesus. Kita menyebut diri kita sendiri, Kristiani, artinya pengikut Kristus, dan bagaimana kita dapat mengikuti Kristus jika kita tidak mengenali suara-Nya? Sementara indera penglihatan menarik kita, indera pendengaran tetap menjadi tanda keintiman dan kasih. Seperti seekor domba yang mengidentifikasi suara gembala karena gembala menjaganya, kitapun mengenali suara seseorang yang kita cintai. Saya telah mendengar suara ibu saya sejak saya di dalam rahimnya, dan bahkan ketika saya menutup mata, saya masih bisa mengenali suaranya dari jauh. Saya bahkan dapat mengidentifikasi apakah dia bahagia, sedih, atau marah ketika dia memanggil nama saya.

Suatu kali, seorang pemuda bertanya kepada saya, “Frater, bagaimana kita tahu kehendak Tuhan?” Saya menjawab, “Apakah kamu mendengar suara-Nya?” Dia segera berkata, “Saya banyak berdoa, tetapi saya tidak pernah mendengar suara.” Saya berkata dalam jawab, “Ah, bagaimana kamu akan mendengar suara-Nya jika kamu yang berbicara sepanjang waktu? Dan bagaimana kamu akan mengetahui suara-Nya, jika kamu jarang memberikan waktumu bersama-Nya?” Mengikuti Yesus berarti bahwa kita dapat mendengar Yesus, dan untuk mengenali suara-Nya, kita perlu memiliki hubungan yang penuh kasih dan kuat dengan-Nya.

 Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Lord, Have Mercy

Reflection on the 30th Sunday in Ordinary Time [October 28, 2018] Mark 10:46-52

“Jesus, son of David, have mercy on me.” (Mk. 10:47)

bartimaeusI made my religious vow more than eight years ago with 12 other Dominican brothers. One of the most touching moments within this rite of the religious profession was when Fr. Provincial asked us, “What do you seek?” and we all prostrated, kiss the ground, and declared, “God’s mercy and yours!” After a brief moment, Fr. Provincial asked us to stand, and we began professing our vows before him.  As I recall this defining moment in my life, I am pondering in my heart, “Why it has to be mercy?” Why do we not choose other Christian virtues? Why not fortitude, one of the cardinal virtues in the Christian tradition? Why not love, the greatest of all virtues?

However, religious profession is not an isolated case. If we observe our celebration of the Holy Eucharist, the rite is filled with our pleading for mercy. At the beginning of the Mass, after recalling our sins, we say, “Lord, have mercy” three times. In the Eucharistic prayer, we once again beg mercy that we may be coheirs of eternal life. And, before we receive the Holy Communion, we pray to the Lamb of God who takes away the sin of the world, that He may have mercy on us. Not only in the Eucharist, but an appeal for mercy is also found in the other sacraments and devotions. In the sacrament of confession, the formula of absolution begins with addressing God as the Father of Mercy. In every litany to the saints, it always commences with the plead of mercy to the Holy Trinity. Again, the question is why does it have to be mercy?

We may see the glimpse of the answer in our Gospel today. Jesus is leaving Jericho and making his final journey to Jerusalem. Then, suddenly Bartimaeus, a blind beggar, shouts to the top of his lungs, “Jesus, Son of David, have mercy on me!” He was so persistent that after being rebuked by others, he shouts even louder. Upon hearing the plea of mercy, Jesus who has set his sight on Jerusalem decides to stop. Jesus simply cannot be deaf to Bartimaeus’ appeal. He cannot just ignore mercy. Yet, this is not the only episode where Jesus changes His initial plans and listens to the request for mercy. He cleanses a leper because of mercy (Mrk 1:41). Moved by mercy, He feeds the five thousand and more people (Mrk 6:30). If there is anything that can change the mind and heart of Jesus, the mind and heart of God, it is mercy.

Pope Francis echoes his predecessors, St. Pope John Paul II, and Pope Benedict XVI, saying that the first and essential attribute of God is mercy. Indeed, God as being merciful is discovered in many places in the Bible (see Exo 34:6,7; Dt 4:31; Ps 62:12, etc.). That is why the name of God is mercy. It is our faith that proclaims that God cannot but be merciful. He is God who goes as far as to become human and die on the cross to embrace the wretched sinners like us.

However, what makes Bartimaeus unique is that he was the first in the Gospel of Mark to verbalize the plead for mercy to Jesus. Following the example of Bartimaeus, the Church has continued to become the beggar of God’s mercy. Like Bartimaeus, we verbalize our need for God’s mercy in our worship, our prayers, and our life. We ask mercy when life become tough and unforgiving. We cry “Mercy!” when we are tempted, we fail to please God, or so much harm has been done to ourselves and other people.  Every night before I close my eyes, I recite “Lord, have mercy!” several times, hoping that this will be a habit and my last words when I meet my Creator. We plead for mercy when knowing that we are not worthy of God, we are confident that God will change “His mind” and embrace us once again.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tuhan, Kasihanilah

Renungan pada Minggu ke-30 di Masa Biasa [28 Oktober 2018] Markus 10: 46-52

“Yesus, anak Daud, kasihanilah aku.” (Markus 10:47)

bartimaeus 2Saya mengucapkan kaul lebih dari delapan tahun yang lalu bersama dengan 12 frater lainnya. Salah satu momen paling menyentuh dalam ritual profesi religius ini adalah ketika Romo Provinsial bertanya kepada kami, “Apa yang kamu cari?” Dan kami semua bersujud dan berbaring di lantai, sambil berseru, “Belas kasih Tuhan dan juga komunitas!” Setelah beberapa saat, Pastor Provinsi meminta kami untuk berdiri, dan kami mulai mengucapkan kaul kami di hadapannya. Saat saya mengingat momen yang penting ini, saya merenungkan dalam hati saya, “Mengapa harus meminta belas kasih?” Mengapa kita tidak memilih keutamaan lainnya? Mengapa tidak keadilan, yang adalah salah satu keutamaan penting dalam tradisi Kristiani? Mengapa tidak cinta kasih, yang adalah keutamaan terbesar dari semua keutamaan?

Namun, profesi religious ini bukanlah satu-satunya. Jika kita mengamati perayaan Ekaristi Kudus, ritus ini penuhi dengan permohonan belas kasihan. Pada awal Misa, setelah kita mengingat dosa-dosa kita, kita berseru, “Tuhan, kasihanilah kami” tiga kali. Dalam doa Syukur Agung, kita sekali lagi memohon belas kasihan Tuhan agar kita bisa menikmati kehidupan kekal bersama para kudus. Dan, sebelum kita menerima Komuni Kudus, kita berdoa kepada Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia, supaya Dia berbelas kasihan kepada kita. Tidak hanya dalam Ekaristi, tetapi permohonan belas kasih juga ditemukan dalam sakramen-sakramen lainnya. Sekali lagi, pertanyaannya adalah mengapa harus belaskasih?

Kita mungkin melihat sekilas jawaban dalam Injil kita hari ini. Yesus meninggalkan Yerikho dan melakukan perjalanan terakhirnya ke Yerusalem. Kemudian, tiba-tiba Bartimeus, seorang pengemis buta, berteriak dengan penuh daya, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Dia begitu gigih sehingga setelah ditegur oleh banyak orang, dia bahkan berteriak lebih keras. Setelah mendengar permohonan belas kasihan, Yesus yang telah menetapkan pandangannya ke Yerusalem memutuskan untuk berhenti. Yesus tidak bisa pura-pura tuli terhadap seruan Bartimeus. Dia tidak bisa mengabaikan belas kasihan. Namun, ini bukan satu-satunya episode di mana Yesus mengubah rencana awalnya dan mendengarkan permintaan belas kasihan. Dia membersihkan seorang penderita kusta karena belas kasihan (Mrk 1:41). Tergerak oleh belas kasihan, Dia memberi makan lima ribu orang (Mrk 6:30). Jika ada sesuatu yang dapat mengubah pikiran dan hati Yesus, pikiran dan hati Tuhan, ini adalah belas kasih.

Paus Fransiskus mengemakan para pendahulunya, Santo Paus Yohanes Paulus II, dan Paus Benediktus XVI, mengatakan bahwa karakter pertama dan esensial dari Allah adalah belas kasih. Sesungguhnya, Tuhan yang penuh belas kasihan ditemukan di banyak tempat dalam Alkitab (lihat Kel 34: 6,7; Ul. 4:31; Mz 62:12, dll.). Itulah mengapa nama Tuhan adalah belas kasih.

Namun, apa yang membuat Bartimeus unik adalah bahwa ia adalah yang pertama dalam Injil Markus yang menyatakan secara verbal permohonan belas kasihan kepada Yesus. Mengikuti contoh Bartimeus, Gereja terus menjadi pengemis belas kasihan Allah. Seperti Bartimeus yang mengikuti Yesus, mengikuti-Nya berarti bahwa kita memiliki kesadaran bahwa Allah sangat berbelas kasih kepada kita dan kita membutuhkan kemurahan Tuhan. Seperti Bartimeus, kita mengungkapkan kebutuhan kita akan belas kasih Tuhan dalam ibadah kita, doa-doa kita, dan hidup kita. Kita memohon belas kasihan saat hidup menjadi sulit dan diluar kendali kita. Kita berseru “Tuhan, kasihanilah!” Ketika kita menghadapi pencobaan, ataupun saat kita gagal. Saya juga memiliki kebiasaan bahwa setiap malam sebelum saya beristirahat, saya berdoa “Tuhan, kasihilah aku!”, mengakui kegagalan saya pada hari ini, namun yakin bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan saya. Kita memohon belas kasihan ketika mengetahui bahwa kita tidak layak, namun kita percaya bahwa Tuhan akan mengubah “pikiran-Nya” dan merangkul kita sekali lagi.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

True Greatness

Reflection on the 25th Sunday in Ordinary Time [September 23, 2018] Mark 9:30-37

“Whoever wants to be first must be last of all and servant of all.” (Mk. 9:35)

ordination 1While I was reflecting on this Sunday’s Gospel, I was able to discover some news about our Church. Good News! The Catholic Church in the Philippines is preparing herself for the 500 years of the arrival of Christianity in this archipelago. The first baptism and Eucharist were taking place in 1521 as the Spanish missionaries began their evangelization mission. As part of this grand preparation, the Bishops of the Philippines have decided to celebrate this year as the year of the clergy and the consecrated persons. The major theme of this year is the renewed servant-leaders for the new evangelization. In view of this, many programs and activities are organized to help both the ordained ministers and the religious brothers and sisters to deepen their commitment to God and their service to the people.

Not so good news. It is also true, however, that today the Church is also facing a deep crisis. In many countries and places, the clergy, as well as the religious persons, are caught in scandals and shameful things. One among the worst is the sexual abuses involving the minors done by priests and even bishops, and the massive cover-up staged to tolerate this structural evil. Yet, this is not the only thing that plagues the Church. Some ordained ministers are dishonest and having double-standard lives. Some are secretly enriching themselves. Others may not commit any scandal, but are lacking in compassion and enthusiasm in serving the people of God. Many stories are circulating of priests refusing to hear confession or anointing the dying because they like to prioritize their scheduled hobbies or religious persons who are grumpy and easily irritated with others. These attitudes simply drive people away from the Church. The rest of us perhaps are just nothing but mediocre clergy or religious. This reminds me of Pope Francis who points that holiness as opposed to ‘bland and mediocre existence.’

Our Gospel narrates Jesus who in private teaches the disciples, who will be the first and models of Church’s leaders. The Gospel itself can be divided into two parts. The first part speaks of Jesus foretelling his impending suffering and death in Jerusalem. Here, reacting to Jesus’ words, the disciples drop silence. Perhaps, the memory of Jesus scolding Peter and calling him “Satan” is still fresh in the mind of the disciples and nobody wants to repeat the same embarrassment. The second part of the Gospel tells us of the topic of greatness. This time, the disciples have a different reaction. Not only do they initiate the discussion, but they are also passionately arguing among themselves. We can imagine Peter boasting himself as the leader among the apostles, or John telling everyone that he is the closest to Jesus, or Matthew being proud of his richness. After all, these are our first Pope and first bishops. Yet, when Jesus asks them, they once again fall silent.

The apostles seem to forget that Jesus’ disciples have to carry their cross and follow Jesus to Jerusalem. Jesus, however, understands that human desire for excellence is a gift from God. Jesus does not forbid His apostles to have dreams and strive for greatness, but He makes a radical twist. He directs this powerful energy from achieving one selfish interests into serving others. Thus, Jesus’ unforgettable line: “Whoever wants to be first must be last of all and servant of all.” (Mk. 9:35) Indeed, they need to excel, but not any worldly measures, but in serving and empowering others. In his exhortation, Gaudete et Exsultate, Pope Francis calls this “the Logic of the Cross.” True happiness is a paradox. If the clergy, the religious and all of us want to be genuinely happy, then it is not so much on the wealth and success we have gained, but from our service and sacrifice for others.

We continue to pray for our priests and bishops, as well as our religious brother and sisters. We pray not only that they may avoid scandals, but they may be holy. As Pope Benedict XVI puts it, “holiness is nothing other than charity lived to the full.”

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kekudusan dalam Keagungan

Renungan untuk Minggu ke-25 dalam Masa Biasa [22 September 2018] Markus 9: 30-37

“Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mrk. 9:35)

ordination 2Ketika saya merenungkan Injil hari Minggu ini, saya membaca beberapa berita tentang Gereja. Ada Kabar baik. Gereja Katolik di Filipina mempersiapkan diri untuk perayaan 500 tahun kedatangan iman Kristiani di negara ini. Baptisan dan Ekaristi pertama terjadi pada tahun 1521 sewaktu para misionaris Spanyol memulai misi evangelisasi mereka. Sebagai bagian dari persiapan besar ini, para Uskup Filipina memutuskan untuk merayakan tahun ini sebagai tahun para klerus [daikon, imam, dan uskup] dan rohaniwan. Dengan demikian, banyak program dan kegiatan diselenggarakan di berbagai keuskupan di Filipina untuk membantu para klerus dan biarawan untuk memperdalam komitmen mereka pada Allah dan pelayanan mereka kepada umat dan bangsa.

Tetapi, ada juga berita yang tidak begitu baik. Saat ini, Gereja juga menghadapi krisis yang mendalam. Di banyak negara dan tempat, para klerus dan biarawan, terlibat dalam skandal dan hal-hal yang memalukan. Salah satu yang terburuk adalah pelecehan seksual yang melibatkan anak di bawah umur yang dilakukan oleh beberapa imam dan bahkan uskup, dan ada usaha untuk menutup-nutupi hal ini sehingga kejahatan struktural ini berkembang subur. Namun, ini bukan satu-satunya hal yang mengganggu Gereja. Beberapa klerus tidak jujur ​​dan memiliki kehidupan ganda. Beberapa diam-diam memperkaya diri mereka sendiri. Beberapa mungkin tidak melakukan skandal apa pun, tetapi kurang berbelas kasih dan tidak miliki semangat dalam melayani umat Allah. Banyak cerita yang beredar tentang pastor yang menolak untuk mendengar pengakuan dosa atau mengurapi orang yang sakit karena mereka memprioritaskan hobi mereka atau para biarawan yang gampang marah terhadap orang lain. Sikap-sikap ini hanya membuat umat menjauh dari Gereja.

Injil kita Minggu ini berkisah tentang Yesus yang mengajar para murid, yang kemudian akan menjadi pemimpin Gereja perdana. Injil ini sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berbicara tentang Yesus menubuatkan penderitaan dan kematian yang akan datang di Yerusalem. Di sini, para murid hanya terdiam. Mungkin, memori akan Yesus yang menegur Petrus dan memanggilnya “Setan” masih segar di pikiran para murid dan tidak ada yang ingin mengulangi peristiwa pemalukan yang sama. Bagian kedua dari Injil berbicara tentang tema kebesaran dan kepemimpinan. Kali ini, para murid memiliki reaksi yang berbeda. Tidak hanya mereka yang memulai diskusi, tetapi mereka juga dengan penuh semangat berdebat di antara mereka sendiri. Kita dapat membayangkan Petrus membanggakan dirinya sebagai pemimpin di antara para rasul, atau Yohanes mengatakan kepada semua orang bahwa ia adalah yang paling dekat dengan Yesus, atau Matius bangga akan kekayaannya. Bagaimanapun, mereka adalah Paus pertama dan para uskup pertama kita. Namun, ketika Yesus bertanya kepada mereka, mereka sekali lagi terdiam.

Para rasul sepertinya lupa bahwa murid-murid Yesus yang sejati harus memikul salib mereka dan mengikuti Yesus ke Yerusalem. Namun, Yesus memahami bahwa keinginan manusia untuk menjadi yang terbaik adalah karunia dari Allah juga. Yesus tidak melarang rasul-rasul-Nya untuk bermimpi dan berusaha untuk mencapai kebesaran, tetapi Dia membuat perubahan radikal. Dia mengarahkan energi yang kuat ini dari sekedar untuk mencapai kepentingan pribadi, berubah menjadi untuk melayani orang lain. Lalu, Yesus pun berkata, “Jika seseorang ingin menjadi yang terdahulu, hendaklah ia menjadi yang terakhir dari semuanya dan pelayan dari semuanya.” (Mrk. 9:35) Memang, mereka perlu menjadi unggul, tetapi tidak dala ukuran duniawi, tetapi dalam melayani dan memberdayakan sesama.

 Dalam dokumen terbarunya, Gaudete et Exsultate, Paus Fransiskus berbiacara tentang “Logika Salib.” Kebahagiaan sejati adalah sebuah paradoks. Jika para klerus, biarawan dan kita semua ingin bahagia, bukanlah kejayaan dan kesuksesan duniawi yang kita kejar, tetapi pelayanan dan pengorbanan kita untuk orang lain.

Kita terus berdoa bagi para imam dan uskup kita, serta para biarawan. Kita berdoa tidak hanya agar mereka dapat menghindari dosa, tetapi mereka mungkin menjadi kudus. Sebagaimana dikatakan Paus Benediktus XVI, “kekudusan tidak lain adalah kasih yang dihidupi sampai penuh.”

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP