Business as Usual

Third Sunday of Lent [March 4, 2018] John 2:13-25

“Take these out of here, and stop making my Father’s house a marketplace.” (Jn. 2:16}

inside the chuch
photo by Harry Setianto SJ

The presence of the animal vendors and money-changers in the Temple of Jerusalem comes out of practical necessity. When Jews from all over Palestine come to Jerusalem, especially during the important days like Passover, they will fulfill their religious obligation to offer their sacrifices in the Temple. Since it is impractical to bring a sacrificial animal like oxen, lambs, or turtledoves from their hometowns, the Jews prefer an easier solution by buying them in Jerusalem. It does not only save those Jewish pilgrims the hassle, but it gives the assurance also that the animals will be unblemished as the Law of Moses has prescribed. Therefore, many vendors have the authorization from the Temple elders that their animals are unblemished and ready for sacrifice. The Jews are also required to support the upkeep the Temple and the priests through so-called “Temple tax.” Yet, they are not allowed to pay the Temple tax with the Roman money because it bears the image of Caesar as a god, a blasphemy. Thus, they need to change their money with more acceptable currency. Here the role of money-changers comes in. It is a kind of win-win solution for the pilgrims, the vendors, and the Temple authorities. We could imagine that with so many people visiting the Temple, the business must be buzzing and thriving.

 

When Jesus comes and drives them all out of the Temple, surely it angers not only the vendors and the money-changers but also the Jewish authority and even ordinary Jewish pilgrims. The disappearance of this vendors and money-changers may mean that some people lose their earnings, some people find their profit disappear, and most people are irked by the inconveniences it causes. Jesus tells the reason behind his action, “the Jews making His Father’s house a marketplace.”  The very core of the Temple of Jerusalem is the encounter between God and his chosen people, between God the Father and His children, but with so many activities, trading, and noise, this essence of the Temple is lost. The Temple means usual business. The priests certify the sacrificial animals for the vendors, the vendors sell them to the pilgrims, and the pilgrims give the animals to the priests for the slaughter. Everyone goes home happy! Jesus’ action is to break this vicious cycle of “normalcy” that makes people’ worship shallow. Jesus criticizes the structure that exploits the Temple for mere profit and superficial fulfillment of religious obligation, and for making God’s house into the marketplace.

In this season of Lent, we ask ourselves, if Jesus comes to our church, diocese, parish, congregation, religious organization, and even our family, what will Jesus do? Will He drive us out like He drives out the vendors from the Temple? Or, will He make His home among you? Financial resources are important in helping our Church grow but do we not make the Church an income-generating institution? While the leadership structure is essential in the Church and our smaller groups, do we serve others, or exploit people? Do we find peace and joy in our communities, or are they full of intrigues, gossips, unhealthy competitions? Do encounter God in our Church, or simply find ourselves? We thank the Lord if we discover God, our Father, in our Church and community, but if we do not, we better call on Jesus to drive us away from His Father’s house.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Pasar

Hari Minggu Ketiga dalam Masa Prapaskah [4 Maret 2018] Yohanes 2: 13-23

“Ambil semuanya ini dari sini, jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan. (Yoh 2:16).”

vendors
foto oleh Harry Setianto SJ

Kehadiran pedagang hewan dan penukar uang di Bait Allah Yerusalem berasal dari kebutuhan praktis. Ketika orang-orang Yahudi dari seluruh penjuru Palestina datang ke Yerusalem, terutama pada hari-hari penting seperti Paskah, mereka akan memenuhi kewajiban religius mereka untuk mempersembahkan korban di Bait Allah. Karena tidak praktis membawa hewan kurban seperti lembu, anak domba, atau burung tekukur dari daerah asal mereka, orang-orang Yahudi lebih memilih solusi mudah dengan membelinya di sekitar Bait Allah. Ini tidak hanya menghemat usaha, tapi juga memberi jaminan bahwa binatang-binatang itu tidak bercacat seperti yang telah ditentukan oleh Hukum Musa. Oleh karena itu, banyak penjual yang memiliki otorisasi dari para tetua Bait Allah bahwa hewan mereka tidak bercacat dan siap dikorbankan. Orang-orang Yahudi juga diminta untuk mendukung pemeliharaan Bait Allah dan para imam melalui “pajak Bait Allah.” Namun, mereka tidak diperbolehkan untuk membayar pajak Bait Allah dengan uang Romawi karena uang ini memiliki citra Kaisar sebagai dewa, sebuah penghujatan. Dengan demikian, mereka perlu menukar uang mereka dengan mata uang yang lebih dapat diterima. Ini adalah semacam “win-win solution” bagi para peziarah, para pedagang, penukar uang dan otoritas Bait Allah. Kita bisa membayangkan bahwa dengan begitu banyak orang yang mengunjungi Bait Allah, pergerakan uang, komoditas dan usaha sangat cepat dan dalam volume besar.

 

Ketika Yesus datang dan mengusir mereka semua keluar dari Bait Allah, pastinya Yesus membuat tidak senang hampir semua orang. Yesus mengatakan alasan di balik tindakannya, “orang-orang Yahudi telah menjadikan rumah Bapa-Nya sebagai pasar.” Fungsi inti dari Bait Allah Yerusalem adalah sebagai tempat perjumpaan antara Allah dan umat pilihannya, antara Allah Bapa dan anak-anak-Nya. Namun dengan begitu banyak aktivitas, perdagangan, dan kebisingan, esensi Bait Allah ini hilang. Bait Allah berarti bisnis manusia biasa. Para imam mengesahkan hewan korban untuk para pedagang, para pedagang menjualnya kepada peziarah, dan para peziarah memberi hewan itu kepada para imam untuk disembelih. Semua senang!

Yesus datang dan mematahkan lingkaran setan “normalitas” yang membuat kegiatan ibadat di Bait Allah dangkal. Yesus mengkritik struktur yang mengeksploitasi Bait Allah hanya untuk mendapatkan keuntungan dan pendangkalan sebuah peribadahan kudus. Ini semua membuat rumah Allah menjadi pasar.

Di masa Prapaskah ini, kita bisa bertanya, jikalau Yesus datang ke Gereja, keuskupan, paroki, kongregasi, kelompok, dan bahkan keluarga kita, apa yang akan Yesus lakukan? Akankah Dia mengusir kita keluar seperti Dia mengusir para pedagang dari Bait Allah? Atau, apakah Dia akan membuat rumah-Nya di antara kita? Benar bahwa uang dan sumber daya lain adalah penting dalam membantu pertumbuhan Gereja kita, tetapi apakah kita menjadikan Gereja sebagai lembaga yang ‘profitabel’? Benar bahwa struktur kepemimpinan sangat penting dalam Gereja dan kelompok kita yang lebih kecil, tetapi apakah kita diberdayakan untuk melayani orang lain, atau sekedar mengeksploitasi orang lain? Apakah kita menemukan kedamaian dan sukacita dalam komunitas kita, atau apakah ini penuh dengan intrik, gosip, kompetisi yang tidak sehat? Apakah kita menjumpai Tuhan di Gereja kita, atau hanya menemukan diri kita sendiri? Kita bersyukur jika kita menemukan Tuhan, Bapa kita, di dalam Gereja dan komunitas kita, tetapi jika tidak, sebaiknya kita memanggil Yesus untuk mengusir kita dari rumah Bapa-Nya.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Jesus, Moses, and Elijah

Second Sunday of Lent [February 25, 2018] Mark 9:2-10

Then Elijah appeared to them along with Moses, and they were conversing with Jesus.  (Mk. 9:4)

kneeling
photo by Harry Setianto, SJ

We are entering the second Sunday of Lent, and we read from the Gospel that Jesus is transfigured before His three disciples on the mountain. We may wonder why the Church select this reading for the liturgical season of Lent. The season is associated with the atmosphere of repentance and mortification as we intensify our prayer, fasting, and abstinence. Yet, we have a reading that depicts a glorious moment of Jesus on earth, and this surely brings an extremely edifying experience for the three disciples. It does not seem really proper for this Lenten season. Does it?

 

When Jesus is transfigured, two great figures of Israel, Moses, and Elijah come and converse with Jesus. The two figures represent two foundations of Israelite religious life: the Law and the Prophet. Yet, looking closely at the stories of these great persons, we may discover some interesting facts. Moses sees the burning bush at the Mount Horeb and receives the holy name of God of Israel (Exo 3). He also fasts for 40 days before he receives the Law from God in the mount of Sinai (Exo 34:28). Elijah on his part fasts from food when he walks 40 days to see God in the mount of Horeb (1 King 19:8). Both climb a mountain to witness the presence of God and receive their missions there. Like them, Jesus fasts for 40 days in the desert and goes up to the mountain to listen to the affirming voice of His Father.

However, the holy mountain does not simply lead them to the blissful encounter with the Divine, but it also reveals their life-changing mission. In Horeb, Moses is to deliver Israel from the slavery of Egypt. As a consequence, he has to deal courageously with the ruthless and stubborn Pharaoh. Not only with Pharaoh, but Moses also has to bear with his own people, Israel who keep complaining and blaming Moses for bringing them out of Egypt. Elijah receives task to anoint Hazael as a king of Aram, Jehu as a king of Israel, and Elisha as a prophet. Going down the mountain also means Elijah has to once again face Ahab, the king of Israel, and his vengeful and violent queen, Jezebel. As Jesus is leaving the mountain, He lets His disciples know that He has to suffer and die on the cross. From the mount of transfiguration, Jesus begins His way of the cross and marches toward another mount, the Calvary.

With today’s Gospel, the Church reminds us that the transfiguration is intimately linked to Jesus’ passion and resurrection. Thus, it is properly placed within the context of Lent. Like Jesus and His disciples, we also have our moments of transfiguration. It is where we encounter God, and His presence fills us with joy. One friend shared his experience of an unexpected utter peacefulness when he visited the Blessed Sacrament. He visited the Adoration Chapel often, yet only that day, he encountered the Lord, so alive in his heart. It was the day when he lost his job, had a big quarrel with his wife, and his father got a serious illness. Though he wanted to linger forever in that experience, he then realized that he had to go back to his life and struggle with the problems. He has a mission, and he has to continue his way of the cross. We have our own transfiguration and allow this precious moment empower us to carry our daily crosses.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Yesus, Musa, dan Elia

Minggu Kedua Prapaskah [25 Februari 2018] Markus 9: 2-10

Lalu Elia menampakkan diri kepada mereka bersama dengan Musa, dan mereka bercakap-cakap dengan Yesus. (Mrk 9: 4)

prayer
foto oleh Harry Setianto, SJ

Kita memasuki hari Minggu kedua dalam masa Prapaskah, dan kita membaca dari Injil bahwa Yesus diubah rupa di hadapan ketiga murid-Nya di atas gunung. Kita mungkin bertanya-tanya mengapa Gereja memilih bacaan ini untuk masa Prapaskah? Musim ini dikaitkan dengan suasana pertobatan dan mati raga, dan kitapun diajak untuk mengintensifkan doa, puasa, dan pantangan. Namun, kita memiliki bacaan yang menggambarkan kemuliaan Yesus di bumi, dan ini pastinya membawa pengalaman yang sangat meneguhkan bagi ketiga murid tersebut. Rasanya bacaan ini tidak begitu tepat untuk masa Prapaskah ini. Benarkah demikian?

 

Ketika Yesus berubah rupa, dua tokoh besar Israel, Musa, dan Elia datang dan berbicara dengan Yesus. Dua tokoh tersebut mewakili dua pilar dasar kehidupan religius Israel: Hukum dan Nabi. Namun, melihat dari dekat kisah orang-orang hebat ini, kita mungkin menemukan beberapa fakta menarik. Musa melihat semak duri yang terbakar di Gunung Horeb dan menerima nama suci Allah Israel (Kel 3). Dia juga berpuasa selama 40 hari sebelum dia menerima Hukum Taurat dari Allah di gunung Sinai (Kel 34:28). Elia sendiri berpuasa ketika dia berjalan 40 hari untuk melihat Tuhan di gunung Horeb (1 Raja 19:8). Keduanya mendaki gunung untuk berjumpa Tuhan dan menerima misi mereka di sana. Seperti mereka, Yesus berpuasa selama 40 hari di padang gurun dan naik ke gunung untuk mendengarkan suara yang menguatkan dari Bapa-Nya.

Namun, gunung kudus tidak hanya membawa mereka ke pertemuan bahagia dengan Yang Ilahi, namun juga mengungkapkan misi yang mengubah hidup mereka. Di Horeb, Musa menerima tugas untuk membebaskan orang Israel dari perbudakan Mesir. Sebagai akibatnya, dia harus berurusan dengan Firaun yang kejam dan keras kepala. Tidak hanya dengan Firaun, tapi Musa juga harus bersabar dengan bangsanya sendiri, Israel yang terus mengeluh dan menyalahkan Musa karena telah membawa mereka keluar dari Mesir. Elia menerima tugas untuk mengurapi Hazael sebagai raja Aram, Yehu sebagai raja Israel, dan Elisa sebagai seorang nabi. Turun ke gunung juga berarti Elia sekali lagi berurusan dengan Ahab, raja Israel, dan ratunya, Izebel yang penuh dendam dan kejam. Sewaktu Yesus meninggalkan gunung, Dia mengatakan kepada murid-murid-Nya bahwa Dia harus menderita dan mati di kayu salib. Dari gunung transfigurasi, Yesus memulai jalan salib-Nya yang panjang, dan berjalan menuju gunung berikutnya, Kalvari.

Dengan Injil hari ini, Gereja mengingatkan kita bahwa transfigurasi berhubungan erat dengan sengsara dan kebangkitan Yesus. Jadi, tidak salah jika bacaan ini di tempatkan dalam konteks Prapaskah. Seperti Yesus dan murid-murid-Nya, kita juga memiliki momen-momen transfigurasi kita. Di situlah kita berjumpa Tuhan, dan kehadiran-Nya memenuhi kita dengan sukacita. Seorang sahabat menceritakan pengalamannya tentang kedamaian yang tak terduga saat dia mengunjungi Sakramen Mahakudus. Dia sering mengunjungi Kapel Adorasi, namun baru pada hari itu, dia bertemu dengan Tuhan yang sangat hidup di dalam hatinya. Itu adalah hari ketika dia kehilangan pekerjaannya, bertengkar hebat dengan istrinya, dan ayahnya sakit serius. Meskipun ia ingin bertahan selamanya dalam pengalaman damai itu, ia kemudian menyadari bahwa ia harus kembali ke kehidupannya dan bergulat dengan masalah-masalah di depannya. Dia memiliki sebuah misi, dan dia harus meneruskan jalan salibnya. Kita memiliki transfigurasi kita sendiri dan membiarkan momen berharga ini memberdayakan kita untuk membawa salib kita sehari-hari.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ocean

 19th Sunday in Ordinary Time. August 13, 2017 [Matthew 14:22-33]

 “O you of little faith, why did you doubt?”  (Mat 14:31)

jesus rescues peter - korea Ocean is a gift to humanity. For many of us, ocean means a great variety of seafood, a place to spend our vacation. When we imagine a vast sea with beautiful beach, we are ready to enjoy swimming, snorkeling or diving. However, for millions of fishermen and seafarers, sea simply means life as they depend their lives and their families on the generosity of the sea, the resources it offers, and the works it generates. Unfortunately, the sea is not always merciful. The sea is home to powerful storms and with its giant waves that can even engulf the biggest of ships. With the effects of global warming, massive sea pollution and destructive ways of fishing, it is getting hard to get a good catch. Novelist Ernest Hemingway in his book “The Old Man and the Sea” narrates a life of fisherman who after risking his life to catch a giant fish, brings home nothing but a fishbone as his catch was consumed by other fishes. Majority of fishermen who continue struggling with lingering debt and difficulty to get fuel for their boats, become poorer by the day. These make fishermen and seafarers a perilous profession.

The Sea of Galilee is not a sea at all, but technically a lake. Certainly, it is a lot safer than the open sea, but the Gospels constantly tell us that the lake can be deadly sometimes even to seasoned fishermen like Peter and other apostles. Like Peter and the apostles, Filipino Dominican missionaries to Babuyan group of islands at the northern tip of the Philippines know well what it means to be at the mercy of the ocean. To go to their mission stations, they have to cross a sea strait by a small boat for around 4 to 8 hours. It might be a tiny strait, but it is a wild and dangerous one because it connects to two great seas, the Pacific Ocean on the east and South China Sea or West Philippine Sea on the west. When the sea is rough and the boat is hit and tossed by the giant waves, it is the time when our missionaries and all others in the boat to pray, and perhaps it is their sincerest prayer ever. When at the mercy of the ocean, we begin to realize that what matters most in life is actually life itself, and as only this life that we hold dear, everything else seems to be trivial and passing.

However, there comes the paradox. In the midst of raging ocean, holding on to fragile life, we begin to be closest to the creator of life Himself. The mighty sea washes away those things that stand between us and God. All those things that add layers upon layers to our lives are swept away. As we achieve wealth, physical beauties, educational attainments, physical beauties, possessions and honor, we tend to be full of ourselves, and become more independent from God who grants us those blessings. Like Peter, our faith becomes little, relying too much on ourselves. Then, when the storm comes and we begin to sink, we realize that all those achievements will not save us.

What are those things in our lives that stand between us and God? Are we like Peter, a man of little faith? What are the stormy sea experiences in our lives? How do you encounter God in these stormy sea experience?

 Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Lautan

Minggu Biasa ke-19  [13 Agustus 2017] Matius 14: 22-33

“Hai orang yang kurang percaya, mengapa engkau bimbang?” (Mat 14:31)

jesus rescues peter 2Laut adalah anugerah bagi umat manusia. Bagi banyak dari kita, laut berarti berbagai macam seafood, dan tempat untuk menikmati liburan. Bila kita membayangkan lautan luas dengan pantai yang indah, kita siap untuk berenang, snorkeling atau menyelam. Namun, ini jauh berbeda bagi jutaan nelayan dan pelaut. Laut berarti kehidupan karena mereka menggantungkan hidup mereka dan keluarga mereka pada laut, baik sumber daya yang dimiliki dan perkerjaan yang dihasilkan. Sayangnya, laut tidak selalu berarti kehidupan. Laut adalah tempat bagi badai-badai dahsyat dan gelombang-gelombang raksasa yang bahkan bisa menelan kapal-kapal terbesar yang pernah dibangun manusia. Dengan efek pemanasan global, polusi laut yang masif dan cara-cara penangkapan ikan yang merusak alam, sekarang semakin sulit bagi nelayan sederhana untuk mendapatkan tangkapan yang baik. Penulis Ernest Hemingway dalam bukunya “The Old Man and the Sea” menceritakan tentang kehidupan nelayan tua yang setelah mempertaruhkan nyawanya untuk menangkap ikan raksasa, tidak membawa pulang apapun kecuali tulang ikan karena tangkapannya dihabisi oleh ikan-ikan lain. Mayoritas para nelayan terus berjuang dengan hutang dan sulitnya mendapatkan bahan bakar untuk perahu mereka. Merekapun menjadi semakin miskin dari hari ke hari. Hal ini membuat nelayan dan pelaut adalah profesi yang berbahaya.

Danau Galilea bukanlah lautan. Tentunya, ini jauh lebih aman daripada laut terbuka, namun Injil mengatakan bahwa danau ini bisa mematikan bahkan bagi nelayan berpengalaman seperti Petrus dan rasul lainnya. Seperti Petrus dan para rasul di tengah badai, para Dominikan Filipina yang menjadi misionaris ke kepulauan Babuyan di ujung utara Filipina tahu betul apa artinya berada pada belas kasihan lautan. Untuk menuju ke tempat misi mereka, mereka harus menyeberangi selat dengan perahu sekitar 4 sampai 8 jam perjalanan. Ini mungkin sebuah selat kecil, tapi ini adalah selat yang ganas dan berbahaya karena menghubungkan Samudra Pasifik ke timur dan Laut Cina Selatan ke barat. Saat laut di selat ini dalam kondisi yang tidak baik, maka perahu-perahu dihantam dan dipermainkan oleh ombak-ombak raksasa. Inilah saat misionaris kita dan semua yang ada perahu tersebut tidak dapat melakukan apapun kecuali berdoa, dan mungkin ini adalah doanya yang paling tulus yang pernah mereka daraskan dalam hidup mereka. Ketika berada pada belas kasihan samudera, kita mulai menyadari bahwa apa yang paling penting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan karena hanya hidup ini yang paling penting, segala sesuatu yang lain sepertinya sepele dan tidak banyak artinya.

Namun, di sinilah muncul sebuah paradoks. Di tengah laut yang ganas, berpegangan pada hidup yang rapuh, kita menjadi paling dekat dengan pencipta kehidupan sendiri. Laut yang dasyat menyapu bersih segala hal yang berdiri di antara kita dan Tuhan. Semua hal yang menambahkan berbagai lapisan pada kehidupan kita tersapu bersih. Seiring semakin banyaknya pencapaian kita, kekayaan, pencapaian pendidikan, keindahan fisik, berbagai barang dan kehormatan, kita cenderung semakin penuh dengan diri kita sendiri, dan menjadi lebih mandiri dari Tuhan yang memberi berkat-berkat itu. Seperti Petrus, iman kita menjadi kecil, terlalu bergantung pada diri kita sendiri. Kemudian, saat badai datang, ketika kita mulai tenggelam, kita menyadari bahwa semua pencapaian kita ini tidak akan menyelamatkan kita.

Apakah di dalam hidup kita yang berdiri di antara kita dan Tuhan? Apakah kita seperti Petrus, orang yang iman kecil? Apa pengalaman badai laut dalam hidup kita? Bagaimana kita menjumpai Tuhan dalam pengalaman laut yang penuh badai ini?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Access  

 

Fourth Sunday of Easter. May 7, 2017 [John 10:1-10]

 “I am the gate. Whoever enters through me will be saved, and will come in and go out and find pasture (Joh 10:1)”

gate of the sheep 1Jesus is not the gatekeeper, but Jesus is the gate Himself. A gate or a door gives a passage or access to a sheepfold, a house, a building or a room. It both separates and connects the insiders and the outsiders. In fact, the gate is as essential as the house itself. What is the building without a door or an entry point? It is either a construction error or it is not a sheepfold or a house at all. The gate is not only an accessory to the house, but it also defines the house itself. Is it an accessible house, locked house or not a house at all?

 Being part of the digital generation, we have our own ‘gateway’. In our familiar terms, this is the access, the connection or the networking. We use this access to communicate, to work and even to make important decisions. It turns to be part of who we are, as we crave for it, demand it, and fight for it. Sometimes, I get upset because the connection is poor inside the formation house that I cannot communicate with my family in Indonesia. A child as young as one year old knows how to manipulate an iPhone, and cries loudly when the parents try to take it away from him. Many researchers conclude that Facebook has become another new kind of addiction, as more and more millennials are spending more time on FB.  Lesley Alderman of The New York Times said that we check our cellular phone at an average of 47 to 82 times a day precisely because the access it gives us to almost everything.

Yet, it is not only about addiction or having fun. It is about our lives. A lot companies, jobs and workers are now dependent on this access, something which did not exist twenty years ago. Better connection means faster transaction, the richer the company becomes. The same access is used to control remotely unmanned machines, like drone. Some drones are used for photography, fun and researches, but others can be used to carry powerful explosives. Now, the access can either make us or destroy us.

In today’s Gospel, Jesus introduces Himself as the gate, the access or the connection to the fullness of life. Now, it is up to us whether we enter this gate and use this access, or refuse to enter and waste the connection. If we examine our daily lives, how many hours do we avail of this divine access? We might be upset if we lose our internet connection, but do we get the same feeling when we miss the connection with God? How many hours do we spend for browsing the internet, and eagerly chat with our online friends, compared to the time we use to read the Bible and worship Jesus in the Eucharist? We might be surprised that we actually only remember God on Sunday. And in fact, within the Mass, we are also preoccupied with what inside our phone!

It is one of the fundamental reasons why many of us are unhappy, restless, and at a lost despite the success, riches and other access we possess. Perhaps, it is good to disconnect first from the many connections we have, and connect to the true source of joy. If we are not finding lives meaningful, it is because we are not entering that gate that leads us to the fullness of life.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Akses

Minggu Paskah keempat. 7 Mei 2017 [Yohanes 10: 1-10]

“Akulah pintu; barangsiapa masuk melalui Aku, ia akan selamat dan ia akan masuk dan keluar dan menemukan padang rumput (Yoh 10: 1).”

gate of the sheep 2Yesus bukanlah sekedar penjaga pintu gerbang, tetapi Yesus adalah sang pintu gerbang. Pintu gerbang atau pintu memberi jalan atau akses ke kandang domba, rumah, bangunan atau ruangan. Pintu memisahkan sekaligus menghubungkan orang dalam dan orang luar. Pintu sama pentingnya dengan rumah itu sendiri. Apa jadinya jika bangunan tanpa pintu masuk? Ini adalah kesalahan konstruksi atau bukan sebuah gedung sama sekali. Pintu bukan hanya aksesori dari sebuah rumah, tapi adalah definisi sebuah rumah. Melalui pintunya, kita bisa menilai apakah rumah ini yang mudah diakses, rumah terkunci atau bukan rumah sama sekali?

 Menjadi bagian dari generasi digital, kita memiliki ‘pintu gerbang’ kita sendiri. Dalam istilah harian kita, inilah akses, koneksi atau jaringan. Kita menggunakan akses untuk berkomunikasi, bekerja dan bahkan membuat keputusan penting. Koneksi telah menjadi bagian dari diri kita, karenanya kita menginginkannya, menyanyanginya, dan memperjuangkannya. Terkadang, saya kesal karena koneksi buruk di dalam rumah formasi sehingga saya tidak dapat berkomunikasi dengan keluarga saya di Indonesia. Seorang anak berumur satu tahun bahkan sudah tahu bagaimana cara memanipulasi iPhone, dan menangis saat orang tuanya mencoba untuk mengambil iPhonenya tersebut. Banyak peneliti menyimpulkan bahwa Facebook telah menjadi jenis kecanduan baru, karena semakin banyak kaum milenial menghabiskan lebih banyak waktu di FB lebih dari hal-hal esensial lainnya. Lesley Alderman dari The New York Times mengatakan bahwa kita mengecek telepon seluler kita rata-rata 47 sampai 82 kali per hari. Ini karena akses yang diberikan bagi kita ke hampir semua hal.

Namun, bukan hanya tentang kecanduan atau bersenang-senang. Akses adalah hidup kita. Banyak perusahaan, profesi dan pekerja sekarang bergantung pada akses internet ini, sesuatu yang tidak terbayangkan dua puluh tahun yang lalu. Adik saya bekerja sebagai coordinator lapangan di sebuah perusahan nasional, dan dia mengkoordinasi anak buahnya, mengecek perkerjaan mereka, dan membeli kebutuhan di lapangan. Semua ini dilakukan di depan laptopnya! Koneksi yang lebih baik berarti transaksi lebih cepat, semakin kaya perusahaan tersebut. Akses yang sama digunakan untuk mengendalikan mesin tak berawak jarak jauh, seperti drone. Beberapa drone digunakan untuk fotografi, hobi dan penelitian, namun beberapa lainnya membawa bahan peledak yang kuat. Sekarang, akses ini bisa membantu kita atau menghancurkan kita.

Dalam Injil hari ini, Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai pintu, akses atau koneksi menuju kepenuhan hidup. Sekarang, terserah kita apakah kita mau masuk ke pintu ini dan menggunakan akses ini, atau menolak untuk memasuk dan menyia-nyiakan koneksi ini. Jika kita memeriksa kehidupan kita sehari-hari, berapa jam kita memanfaatkan akses ilahi ini? Kita mungkin kesal jika kita kehilangan koneksi internet, tapi apakah kita kesal saat kita kehilangan koneksi dengan Tuhan? Berapa jam kita habiskan untuk browsing internet, dan dengan penuh semangat chatting dengan teman-teman online kita? Tetapi berapa jam kita gunakan untuk membaca Alkitab dan menyembah Yesus dalam Ekaristi? Kita mungkin terkejut bahwa kita sebenarnya hanya mengingat Tuhan pada hari Minggu. Dan faktanya, dalam Misa, kita juga sibuk dengan apa yang ada di dalam HP kita!

Ini adalah salah satu alasan mendasar mengapa banyak dari kita tidak bahagia, gelisah, dan tersesat meski sukses, kaya, dan akses lainnya yang kita miliki. Mungkin, sebaiknya lepaskan dulu banyak koneksi yang kita miliki, dan hubungkan diri kita kembali ke sumber sukacita sejati. Jika kita tidak menemukan hidup bermakna, ini karena kita tidak memasuki pintu yang membawa kita pada kepenuhan hidup.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Eli, Eli, lema sabachthani?

Palm Sunday of the Lord’s Passion

April 9, 2017

Matthew 26:14—27:66

“Eli, Eli, lema sabachthani?” which means, “My God, my God, why have you forsaken me? (Mat 27:46)”

holy week 1Many theologians and ordinary Christians alike are baffled by these words of Jesus on the cross. If Jesus is God, how is it possible for Him to be separated from God? Why does the most compassionate God abandon His beloved Son? It simply does not make any sense. The Catechism of the Catholic Church tries to explain that it is a consequence of sin. Not that Jesus had committed any sin, but He endured the sin of the world on the cross. The greatest effect of sin is separation from God. Thus, carrying the heaviest burden of sin, Jesus could not but feel the chilling effect of alienation from His own Father.

However, for early Christians and Jews who listened to the last words of Jesus on the cross, they understood that Jesus was actually reciting the beginning line of Psalm 22. The tradition considers this as a psalm of lamentation. In fact, the Book of Psalms contains a lot of psalms of lament. Despite its sorrowful nature, this kind of psalm remains true to its form, which is a prayer inspired by the Holy Spirit. Reading closely Psalm 22, we discover that the psalmist tried to express his desperate situation because of the enemies’ assault. The attack was so intense and brutal that he felt that even God abandoned him. Yet, despite the feeling of abandonment, he kept lamenting to God as if He was just near. Indeed, the psalmist was frustrated and complaining, but even this, he turned it into a prayer. Though it was the only prayer he could utter, it was an authentic prayer, without any pretension and pride. This is the paradox: when the psalmist became honest with himself and sufferings, God was closest to him.

In the cross, Jesus felt an excruciating pain both on physical and emotional levels. His triumphal entrance to Jerusalem in which He was welcomed as the King, the Son of David and Prophet, was a jubilant event, yet in a matter of days, many people who had followed Him turned to be His enemies and shouted, “Crucify Him!”. All his great successes as a preacher, teacher and wonder maker, were scattered. He was about to die as a criminal, a shame to Himself and His family. In this extreme sorrow, He decided to pray. Not any prayer, but the prayer that is most fitting to a suffering faithful Jew: a Psalm of Lament. This is the paradox of the cross: He felt abandonment and frustration, but in this prayer, this was the moment Jesus was closest to His Father.

We share also this experience of the cross in our lives. We might face terrible financial situation and uncertainty in our works. We might have health conditions that drain our resources. We might fail in our marriages or friendships. We might just lose our beloved family member. We are misunderstood and accused of wrongdoings we never committed. We might be wronged unjustly. We suddenly lose the works or the ministries we have built on for years. It seems we cannot see any light at the end of the tunnel. Yet, even in the horrifying experiences of the cross, Jesus teaches us to pray. Not any prayer, but a prayer of lamentation, a sincere prayer that expresses deepest desires, angst and pains. It is true that our situations might not change at all, but as we articulate ourselves and our situations, we are helped to find meanings, consolation, and hope. This is the paradox: in the prayer of lament, as we strip our pride and pretentiousness, even when we are in the lowest pit of our lives, God is actually closest to us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

“Eli, Eli, lama sabakhtani?”

Hari Minggu Palma – Hari Minggu Prapaskah VI – Mengenangkan Sengsara Tuhan

April 9, 2017

Matius 26: 14-27: 66

“Eli, Eli, lama sabakhtani?” Artinya: Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku? (Mat 27:46)”

holy week 2Banyak teolog maupun umat awam kesulitan untuk memahami kata-kata Yesus di kayu salib ini. Jika Yesus adalah Tuhan, bagaimana mungkin Dia bisa terpisahkan dari Allah? Lalu, mengapa Allah yang penuh kasih bisa-bisanya meninggalkan Putra-Nya? Ini tidak masuk akal. Katekismus Gereja Katolik mencoba menjelaskan bahwa ini adalah konsekuensi dari dosa. Bukan karena Yesus telah melakukan dosa, tetapi Dia menanggung dosa dunia di kayu salib. Efek terbesar dari dosa adalah terpisahnya kita dari Allah. Dengan demikian, membawa beban terberat dari dosa, Yesus tidak bisa tidak merasakan efek mengerikan keterasingan dari Bapa-Nya sendiri.

Namun, bagi umat Kristiani perdana yang mendengarkan kata-kata terakhir Yesus di kayu salib ini, mereka mengerti bahwa Yesus sejatinya mendaraskan Mazmur 22. Tradisi mengkategorikan Mazmur 22 sebagai mazmur ratapan. Bahkan, Kitab Mazmur mengandung banyak mazmur ratapan. Meskipun bersifat sedih, jenis mazmur ratapan tetap merupakan sebuah doa yang terinspirasi oleh Roh Kudus. Jika kita membaca Mazmur 22 dengan teliti, kita menemukan bahwa sang pemazmur mencoba untuk mengekspresikan situasi gentingnya karena serangan musuh. Serangan itu begitu intens dan brutal sehingga ia merasa bahwa bahkan Tuhan telah meninggalkan dia. Namun, meskipun merasakan ditinggalkan, ia terus meratap dan berdoa kepada Allah seolah-olah Dia dekat dan tak pernah meninggalkannya. Memang, sang pemazmur frustrasi dan mengeluh, tapi ia mengubahnya menjadi sebuah doa. Meskipun itu satu-satunya doa yang dia daraskan, itu tetap yang doa otentik, tanpa pretensi dan keangkuhan. Inilah sebuah paradoks: ketika sang pemazmur menjadi jujur dengan dirinya sendiri, Allah menjadi sungguh dekat dengannya.

Di kayu salib, Yesus merasakan sakit yang luar biasa baik di secara fisik dan emosional. Saat Ia memasuki kota Yerusalem di mana Ia disambut sebagai Raja, Anak Daud dan Nabi, adalah peristiwa luar biasa, namun dalam hitungan hari, banyak orang yang mengikuti Dia berubah menjadi musuh-Nya dan berteriak, “Salibkan Dia!” Semua keberhasilan besar sebagai seorang pengkhotbah, guru dan pembuat muzijat, hilang dalam sekejap. Ia mati sebagai seorang kriminal, menjadi aib bagi keluarga-Nya dan bangsa-Nya. Dalam kesedihan ekstrim ini, Ia memutuskan untuk berdoa. Bukan sekedar doa, tetapi doa yang paling tepat bagi seorang Yahudi yang sedang menderita: sebuah Mazmur Ratapan. Kata-kata Mazmur 22 mengungkapkan frustrasi dan perasaan ditinggalkan oleh Allah, tetapi sebagai doa, ini sejatinya momen di mana Yesus menjadi paling dekat dengan Bapa-Nya. Ini adalah paradoks salib!

Kita juga memiliki pengalaman salib dalam hidup kita. Kita mungkin menghadapi situasi keuangan yang terpuruk dan ketidakpastian dalam pekerjaan kita. Kita mungkin memiliki kondisi kesehatan yang menguras kekuatan kita. Kita mungkin gagal dalam pernikahan atau persahabatan kita. Kita mungkin kehilangan anggota keluarga tercinta. Kita disalahpahami dan dituduh melakukan kesalahan yang tidak pernah kita perbuat. Kita mungkin diperlakukan dengan tidak adil. Kita tiba-tiba kehilangan proyek atau karya yang telah kita bangun selama bertahun-tahun. Kita tidak dapat melihat cahaya di ujung terowongan gelap ini. Namun, bahkan dalam pengalaman salib ini, Yesus mengajarkan kita untuk berdoa. Tidak sekedar doa, tapi doa ratapan, doa yang tulus yang mengungkapkan keinginan, kecemasan dan sakit kita yang terdalam. Memang benar bahwa situasi kita mungkin tidak berubah sama sekali, tapi saat kita bisa mengartikulasikan diri kita dan situasi kita, kita dibantu untuk menemukan makna, penghiburan, dan harapan. Dalam doa ratapan, kita melucuti pretensi dan keangkuhan kita. Inilah paradoks: bahkan di dalam doa ratapan, ketika kita berada di jurang terdalam kehidupan kita, Tuhan sebenarnya paling dekat dengan kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP