John and Our Longing for Truth

 Second Sunday of Advent. December 4, 2016. Matthew 3:1-12

In those days John the Baptist appeared, preaching in the desert of Judea and saying, ‘Repent, for the kingdom of heaven is at hand!”

john-the-baptist-2Why did many people come to John the Baptist and listen to him? I believe that the Jewish people hungered for the truth. It might be an inconvenient and hurtful truth, but they longed to hear it.   They were tired of listening to their leaders, like the Pharisees and the Sadducees, who were not honest but were living in hypocrisy. They were exhausted by numerous religious obligations but did not find any inspiration and a good example from their leaders. John came and preached to them the truth with simplicity and integrity, and the Israelites knew that they had to hear him.

Despite the various advancements in our lives, our society is experiencing also the same hunger for truth. We spend years in schools and we learn a different kind of knowledge and various skills needed to survive the demands of our society, but we fail to discover the truth in our midst. After the presidential election in the US, many experts lamented how social media, especially the internet, has opened the floodgate of lies, hoaxes, and fake, perverted news. In Indonesia, especially Jakarta, the situation is not much different. The election of Jakarta’s governor as well as the case of a Basuki Tjahaja Purnama, an out-going governor involved in blasphemy row, have thrown the nation into deeper fragmentations. In the Philippines, various issues from the war on drug that kills thousands, to former president Ferdinand Marcos’ burial, have divided the nation. Various groups have disseminated myriads of news and reports to support their cause and destroy other opposing groups. People have become more and more confused and distracted, not knowing what the truth is.

In this chaos of overloaded information, Hossein Derakhshan, a researcher from MIT, has predicted that our society will become deeply fragmented, driven by emotions, and radicalized by a lack of contact and challenge from the outside. In short, we will make our decisions based on feelings instead of truth. This will create even more confusion despite instant pleasures here and there. All these will lead eventually to despair and profound unhappiness. Yet, deep inside we long for the truth because we are created for truth and have an innate capacity to seek for the truth.

In the midst of this deluge of information, we are called to be John the Baptist, the preacher of truth. Yet, before we proclaim the truth and go against the tide of news, we have to be rooted in prayer and study. John was spending his time in the desert, and in this deserted place, he could train his mind and heart to discern the truth. Some days ago, I delivered a talk on the death penalty in the Bible. Some fundamentalist Bible interpreters can easily lift some verses and justify the capital punishment. This is an easy and instant answer, but it is simplistic. I need to spend hours in research and study just to understand the truth that in the Scriptures, God does not wish the death of sinners in the first place.

Advent becomes a proper time for us to follow the footsteps of St. John the Baptist. We are called to train ourselves to listen to the truth, and preach it with confidence.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yohanes dan Kerinduan Kita akan Kebenaran

Minggu kedua Adven. 4 Desember 2016. Matius 3: 1-12

 Pada waktu itu tampillah Yohanes Pembaptis di padang gurun Yudea dan memberitakan: Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!”

john-the-baptistMengapa banyak orang datang menemui Yohanes Pembaptis dan mendengarkan dia? Saya percaya bahwa orang-orang Yahudi ini lapar akan kebenaran. Mungkin kebenaran ini tidak nyaman dan menyakitkan untuk didengar, tetapi mereka ingin dan perlu mendengarkannya. Mereka bosan mendengarkan pemimpin mereka, seperti orang-orang Farisi dan Saduki, yang tidak jujur dan hidup dalam kemunafikan. Mereka kelelahan oleh banyak kewajiban agama, namun tidak menemukan inspirasi dan contoh yang baik dari pemimpin mereka. Yohanes datang dan mewartakan kebenaran dengan kesederhanaan dan integritas, dan orang Israel tahu bahwa mereka harus mendengarnya.

Dengan segala kemajuan dalam hidup kita, masyarakat kita hampir sama dengan Israel di jaman Yohanes. Kita sedang mengalami rasa lapar untuk kebenaran. Kita menghabiskan bertahun-tahun di sekolah dan kita belajar berbagai jenis pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk bertahan hidup dan memenuhi tuntutan masyarakat, tetapi kita gagal untuk menemukan kebenaran yang sejati. Setelah pemilihan presiden di AS, banyak ahli menyesalkan bagaimana media sosial, khususnya internet, telah membuka gerbang besar kebohongan, hoax, dan berita palsu menyesatkan. Di Indonesia, terutama Jakarta, situasinya tidak jauh berbeda. Pemilihan Gubernur Jakarta serta kasus Basuki Tjahaja Purnama, gubernur pentahana yang terlibat dalam penistaan agama, telah melemparkan bangsa ini ke dalam fragmentasi lebih mendalam. Di Filipina, berbagai isu dari perang terhadap narkoba yang telah merenggut ribuan jiwa, sampai isu pemakaman mantan presiden Ferdinand Marcos di taman makam pahlawan, telah membelah bangsa Filipina. Berbagai kelompok telah menyebarluaskan segudang berita dan laporan, dan entah berita itu benar atau tidak, mereka tidak peduli asalkan agenda mereka tercapai. Kita menjadi lebih bingung dan tidak tahu apa yang sebenarnya.

Dalam kekacauan informasi ini, Hossein Derakhshan, seorang peneliti dari MIT, telah meramalkan bahwa masyarakat kita akan menjadi sangat terfragmentasi, didorong oleh emosi, dan terkurung dalam dunia kita yang sempit. Singkatnya, karena kita tidak tahu kebenaran, kita membuat keputusan besar dengan menggunakan perasaan bukan lagi kebenaran. Hal ini mudah dilakukan namun sejatinya menciptakan lebih banyak kebingungan. Namun, jauh di dalam diri kita, kita merindukan kebenaran karena kita diciptakan untuk kebenaran dan memiliki kapasitas untuk mencari kebenaran. Akhirnya, semua ini akan menyebabkan frustasi dan ketidakbahagiaan yang mendalam.

Di tengah ini banjir informasi ini, kita dipanggil untuk menjadi Yohanes Pembaptis, pewarta kebenaran. Namun, sebelum kita memberitakan kebenaran dan melawan gelombang kebohongan, kita harus berakar dalam doa dan pembelajaran. Yohanes menghabiskan waktunya di padang gurun, dan di tempat yang sunyi ini, ia bisa melatih pikiran dan hatinya untuk menemukan kebenaran. Beberapa hari yang lalu, saya menyampaikan ceramah tentang hukuman mati di dalam Alkitab. Beberapa penafsir Alkitab fundamentalis dapat dengan mudah mengangkat beberapa ayat dan membenarkan hukuman mati. Ini adalah jawaban instan, tetapi bukanlah kebenaran. Saya sendiri perlu menghabiskan berjam-jam dalam penelitian dan studi hanya untuk memahami kebenaran bahwa di dalam Kitab Suci, Allah tidak ingin kematian orang-orang berdosa, namun pertobatan mereka.

Adven menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk mengikuti jejak St. Yohanes Pembaptis. Kita dipanggil untuk melatih diri kita untuk mendengarkan kebenaran, dan memberitakan hal itu dengan keyakinan karena kita berakar pada doa dan pembelajaran.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Our Prayer, True Prayer?

 30th Sunday in the Ordinary Time. October 23, 2016 [Luke 18:9-14]

 The Pharisee took up his position and spoke this prayer to himself, ‘O God, I thank you…” (Luk 18:11)

pharisee-n-taxcollectorLast Sunday, Jesus reminded us to pray without getting weary. But, in today’s Gospel, Jesus tells us that there is something more than perseverance in prayer. It has something to do with the way we pray. Not only quantity of prayer, but also the quality of prayer. Yet, how do we know that we have a quality prayer?

Once I stumbled upon a Facebook post, and it said, “Pray not because you need something, but because you got a lot to thank God for.” True enough, everything I have is God’s gift. I am nothing without Him, and it is fitting to thank Him. In fact, the highest form of worship in the Church is the Eucharist. The word Eucharist simply means thanksgiving. I liked the post right away. However, when I read the parable in today’s Gospel, I realized that even the Pharisee did a thanksgiving prayer. In fact, in original Greek, when the Pharisee thanked God, he used the word ‘eucharisto’, the root word of the Eucharist. On the other hand, the tax collector was justified because he was asking mercy and forgiveness. Does it mean prayer of supplication and begging for mercy is better and more effective than the prayer of thanksgiving and other kinds of prayer?

Yet, if we read closely, there are some interesting details in the Parable. The first is that the Pharisee expressed his self-righteousness, paraded his good works, and felt better from the rest of humanity, especially the tax collector. Meanwhile the tax collector did nothing but humble himself, acknowledging that he was a sinner and in need of God’s mercy. Thus, prayer needs a right disposition. Humility is the foundation of prayer. Indeed, repentant David himself said, “My sacrifice, God, is a broken spirit; God, do not spurn a broken, humbled heart. (Psa 51:17)”

 The second detail that we often miss is that the Pharisee was actually praying to himself, not to God (see closely verse 11). True that he mentioned God, but he was talking to himself. He offered prayer to himself not to God. If then prayer is our communication with God, the Pharisee nullified the very meaning of prayer. Perhaps, by mentioning God, he wanted God to be his audience and to listen to the litany of his successes, not really to build a relationship. Certainly, it felt good and edifying, but this was not prayer. What the Pharisee did was not a prayer at all, but a self-praise and self-service.

We may hear the Holy Eucharist every day, recite the Liturgy of the Hours faithfully, and pray the rosary. We may also join the Charismatic prayer meetings or the praise and worship. We may also attend the Latin Traditional Mass, or just simply spend silent prayer or meditation. Yet, from the parable, we may ask ourselves, whether our prayers are a true prayer? Do we pray because we feel great about it? Do we pray because we are proud of our achievements? Do we pray because we are more pious than others? Does our pray make us closer to God or just to ourselves? Is humility the foundation of our prayer? Our prayer should be a quantity and quality prayer. We pray with perseverance and proper disposition. But more than these, our prayer should be a true prayer.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Doa yang Benar?

Minggu di Pekan Biasa ke-30 [23 Oktober 2016] Lukas 18: 9-14

 Orang Farisi itu berdiri dan berdoa kepada dirinya sendiri, begini, Ya Allah, aku mengucap syukur kepada-Mu ,..” (Luk 18:11)

Minggu lalu, Yesus mengingatkan kita untuk berdoa tanpa lelah. Tapi, dalam Injil hari ini, Yesus mengatakan bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari ketekunan dalam doa. Ini ada hubungannya dengan cara kita berdoa. Tidak hanya kuantitas, tetapi juga kualitas. Namun, bagaimana kita tahu bahwa kita memiliki doa yang berkualitas?

Suatu hari, saya menemukan sebuah postingan Facebook yang bertuliskan, “Berdoalah bukan karena kamu membutuhkan sesuatu, tetapi karena kamu punya banyak hal yang perlu kamu syukuri.” Benar, semua yang saya miliki adalah karunia Allah. Saya bukan apa-apa tanpa Dia, dan sudah layak dan sepantasnya bersyukur kepada-Nya. Bahkan, bentuk ibadah tertinggi di Gereja adalah Ekaristi. Kata Ekaristi sebenarnya berarti ‘syukur’. Saya pun me-like postingan tersebut. Namun, ketika saya membaca perumpamaan dalam Injil hari ini, saya menyadari bahwa orang Farisi pun melakukan doa syukur. Bahkan, dalam bahasa Yunani, Ketika orang Farisi bersyukur, ia menggunakan kata ‘eucharisto’, akar kata dari Ekaristi. Sementara pemungut cukai dibenarkan karena ia memohon belas kasihan dan pengampunan. Apakah ini berarti doa permohonan lebih baik dan lebih efektif daripada doa syukur dan doa-doa jenis lainnya?

Namun, jika kita membaca dengan cermat, ada beberapa detail yang menarik dalam Perumpamaan ini. Yang pertama adalah orang Farisi berdoa sebagai pembenaran diri, menunjukkan perbuatan baiknya, dan merasa lebih baik dari yang lain, terutama pemungut cukai. Farisi sudah merasa diri benar, oleh karenanya ia tidak lagi membutuhkan pembenaran dari Allah. Sedangkan, pemungut cukai merendahkan diri, mengakui bahwa ia adalah orang berdosa dan membutuhkan belas kasihan Allah. Dengan demikian, doa membutuhkan disposisi yang tepat. Kerendahan hati adalah dasar dari doa. Sungguh, Daud sendiri bermadah, Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah. (Mzm 51:17)

Detail kedua yang sering kita lewatkan adalah orang Farisi ini sebenarnya berdoa kepada dirinya sendiri, bukan kepada Allah (perhatikan Luk 18:11 di atas). Benar bahwa ia menyebut Allah, tetapi ia berbicara dengan dirinya sendiri. Dia mempersembahkan doa kepada dirinya bukan kepada Allah. Jika kemudian doa adalah komunikasi kita dengan Allah, orang Farisi ini menghancurkan makna doa yang sesungguhnya. Mungkin, dengan menyebut Allah, ia ingin Allah menjadi penonton dan mendengarkan litani keberhasilannya, tetapi tidak benar-benar untuk membangun hubungan dengan Allah. Tentu, kegiatan semacam ini memuaskan rasanya, tapi ini bukanlah sebuah doa. Apa yang orang Farisi lakukan bukanlah doa yang sejati, tapi pujian bagi dirinya sendiri.

Kita mungkin mendengar Ekaristi Kudus setiap hari, berdoa brevir dengan tekun, dan mendaraskan rosario. Kita juga bisa mengikuti pertemuan doa Karismatik atau ‘Praise and Worship’. Kita juga dapat menghadiri Misa Tradisional Latin, atau kita memilih untuk melakukan mediasi dan kontemplasi. Namun, dari perumpamaan hari ini, kita bertanya kepada diri sendiri, apakah doa kita adalah doa yang benar? Apakah kita berdoa karena kita merasa hebat dan puas tentang hal itu? Apakah kita berdoa karena kita bangga dengan prestasi kita? Apakah kita berdoa karena kita lebih saleh dari yang lain? Apakah doa kita membuat kita lebih dekat kepada Allah atau hanya untuk diri kita sendiri? Adalah kerendahan hati dasar doa kita? Doa kita harus memiliki kuantitas dan kualitas. Kita berdoa dengan ketekunan dan disposisi yang tepat. Tapi lebih dari ini, doa kita harus menjadi doa yang benar.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Rosary and Us

October 7, 2016 – Mary, Queen of the Holy Rosary

rosary-1October is the month of the rosary. Allow me to reflect on this ancient yet ever new form of prayer. Why October? It all started when Pope Pius V, a Dominican, dedicated October 7 as the feast of Mary Our Lady of the Rosary after the battle of Lepanto. In this naval battle of October 7, 1571, the smaller Christian army fought the much larger and powerful Ottoman Turks’ forces that planned to invade Europe at the Gulf of Lepanto in Greece. While the battle was being waged, the Holy Pontiff and all Christians prayed the rosary asking the intercession of Our Lady. After hours of confrontation, the enemy’s fleet was roundly defeated.

However, the devotion to the rosary itself began even much earlier. In fact, the prayer was a product of a long evolution. The devotion actually began as a lay spiritual movement. In the early middle ages, the monks and nuns in the monasteries recited 150 Psalms of the Old Testament as part of their daily prayer. The practice was ideal to sanctify the entire day as the recitation of the Psalms was distributed during the important hours of the day (thus, Liturgy of the Hours). Yet, this was not for the lay people. They had no copy of the Bible, least the ability to read it. Thus, the lay people who desired to make their day holy, started to recite 150 ‘Our Father’. To keep track of the prayer, they also made use of a long cord with knots on it. After some time, they prayed 50 Our Father at three different times of the day.

In the 12th century, the Angelic salutation formula “Hail Mary, full of grace, the Lord is with you. Blessed you among women and blessed is the fruit of your womb” became part of this 150 ‘Our Father’ prayer. Shortly after this, the meditation on mysteries of the life of Jesus and Mary began to be incorporated into this devotion. Gradually, it evolved into 150 ‘Hail Mary’. St. Dominic de Guzman and his Order of Preachers received special mandate from the Virgin herself to promote this ‘Psalter of Mary’. In the 15th century, that devotion acquired the name Rosarium (rose garden). In 1569, the same Pope Pius V issued the papal decree ‘Consueverunt Romani Pontifices’ that regulated and standardized the praying of the Rosary, taking into account its long history and its Dominican tradition. He also affirmed the efficaciousness of the rosary as one of the many means to obtain graces and indulgence. The praying of the rosary continues to evolve even to this day. The latest major innovation was from Saint John Paul II who added five mysteries of Light.

October then turns to be a fitting time to intensify our praying of the rosary and to remember the role of Mary and her rosary in the life of the Church and our lives. I guess more importantly we remember that rosary was born from the desire of lay people to be holy. The rosary came from the simple hands of ordinary people who recited the Our Father and Hail Mary and meditated on the mysteries of salvation. We pray the rosary because it is a devotion that comes from the hearts of the laity. When we pray the rosary, we pray together with Mary who is a lay woman. When we pray the rosary, because we, just like countless people, desire to be closer to God in a simplest and humblest way.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Rosario dan Kita

7 Oktober 2016, Maria Ratu Rosari

rosary-2Oktober adalah bulan rosario. Izinkan saya untuk menulis tentang  doa yang sebenarnya kuno tetapi selalu baru. Mengapa Oktober adalah bulan rosario? Semuanya berawal ketika Paus Pius V, seorang Dominikan, mendedikasikan 7 Oktober sebagai pesta Maria Ratu Rosario setelah pertempuran Lepanto. Pada 7 Oktober, 1571, di Teluk Lepanto di Yunani, tentara Eropa berjuang melawan armada laut Ottoman Turki yang jauh lebih besar dan kuat, yang merencanakan untuk menyerang Eropa. Sementara pertempuran sedang berlangsung, sang Paus dan semua umat berdoa rosario meminta perantaraan Bunda Maria. Setelah berjam-jam konfrontasi, armada musuh pun dikalahkan.

Namun, devosi kepada Rosario sendiri bermula jauh lebih awal dari Paus Pius V. Doa ini adalah produk dari evolusi yang panjang. Devosi ini sebenarnya dimulai sebagai sebuah gerakan spiritual awam. Pada abad pertengahan awal, para rahib di pertapaan mendaraskan 150 Mazmur sebagai bagian dari doa harian mereka. Praktek ini sangat ideal untuk menguduskan seluruh hari mereka sebagai pembacaan Mazmur didistribusikan pada jam-jam penting pada hari itu. Namun, ini tidak berlaku bagi orang awam. Mereka tidak memiliki salinan Alkitab, apalagi kemampuan untuk membacanya. Dengan demikian, orang-orang awam yang mendambakan untuk menguduskan hidup harian mereka, mulai mendaraskan 150 ‘Bapa Kami’. Agar tidak hilang dalam meditasi, mereka juga menggunakan tali panjang dengan simpul sebanyak jumlah doa ‘Bapa Kami’. Setelah beberapa waktu, mereka berdoa 50 Bapa Kami tiga kali sehari.

Pada abad ke-12, Formula Salam Maria, penuh rahmat, Tuhan sertamu. Terpujilah engkau di antara wanita dan terpujilah buah tubuhmu” menjadi bagian dari doa 150 ‘Bapa Kami’ ini. Tak lama setelah ini, meditasi pada ‘misteri’ kehidupan Yesus dan Maria mulai menjadi bagian dari devosi ini. Secara bertahap, doa ini berkembang menjadi 150 ‘Salam Maria.’ St. Dominikus de Guzman dan Ordo Pengkhotbahnya menerima mandat khusus dari Bunda Maria untuk mempromosikan  ‘Mazmur Maria’ ini. Pada abad ke-15, devosi kepada Yesus dan Maria ini memperoleh nama Rosarium (taman mawar). Pada tahun 1569, Paus Pius V mengeluarkan dekrit Consueverunt Romani Pontifices’ yang mengatur bagaimana berdoa Rosario, dengan mempertimbangkan sejarahnya panjang dan tradisi Dominikan yang ia miliki. Dia juga menegaskan bahwa rosario sebagai salah satu dari banyak cara untuk mendapatkan rahmat dan indulgensia. Doa rosario terus berkembang bahkan sampai hari ini. Inovasi terbaru adalah dari Santo Yohanes Paulus II yang menambahkan lima Misteri of Cahaya.

Bulan Oktober menjadi waktu yang tepat bagi kita untuk mengintensifkan devosi rosario dan merenungkan peran Maria dan rosarionya dalam kehidupan Gereja dan kehidupan kita. Saya kira yang lebih penting adalah kita diingatkan bahwa rosario sebenarnya lahir dari hasrat para awam untuk menjadi kudus. Rosario berasal dari tangan-tangan sederhana para awam yang mendaraskan Bapa Kami dan Salam Maria, dan juga merenungkan misteri keselamatan di dalamnya. Kita berdoa rosario karena kita ingin untuk lebih dekat dengan Allah dengan cara yang paling sederhana. Kita berdoa rosario karena doa ini merupakan devosi yang berasal dari hati kaum awam. Ketika kita berdoa rosario, kita berdoa bersama-sama dengan Maria yang adalah seorang wanita awam. Rosario adalah hidup kaum awam, dan hati kaum awam adalah Rosario.

 Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Prayer to Our Father

17th Sunday in Ordinary Time [July 24, 2016] Luke 11:1-13

 “Father, hallowed be your name, your kingdom come.  Give us each day our daily bread (Luk 11:2-3)”

jesus teach prayerWhen we begin to pray, we acknowledge the presence of God. Not only that, we also recognize that we are dependent on Him. No wonder that the most basic and common prayer is a prayer of petition. We pray to ask favor from God. We beg for good health, success in career, passing examination, protection from dangers, and more. Several times, I wrote that God is not a spiritual ATM and that our prayer is an ATM card. After ‘inserting our prayer’ and ‘inputting a correct amount of request’, God will produce what we wish. But, I have realized that every morning, when I pray before the Blessed Sacrament and the image of our Lady of La Naval de Manila, my prayer is a prayer of petition. I ask God for so many things, for good breakfast, for easy quiz, sometimes for suspension of classes. Certainly, I also pray for people I love and people I promised to pray for.

In today’s Gospel, Jesus taught the disciples how to pray. He taught them the most beautiful prayer, the ‘Our Father’. Though Luke’s version is shorter than Matthew’s version, both contain the same basic attitude. This is the prayer of petition. We ask that His Kingdom come. We ask for our daily bread. We ask for forgiveness and deliverance from evil. We ask God for the most essential needs in our daily life.

Jesus did not only teach us to pray humbly, but also to pray confidently. We pray confidently because Jesus introduced us to a God who is a caring and loving Father. I am aware that not every one of us has a very pleasant experience with our own fathers. Some, just like myself, are fortunate to have dependable fathers. But, others have to deal with abusive and violent fathers. Others have no idea who their fathers are. Thus, Jesus assured us that Our Father in heaven is the most caring, most loving and best father of all. “What father among you would hand his son a snake when he asks for a fish? Or hand him a scorpion when he asks for an egg? If you then, who are wicked, know how to give good gifts to your children, how much more will the Father in heaven give the Holy Spirit to those who ask him? (Luk 11:11-13)”

Sometimes, we wonder why God does not answer our prayer of petition. This is precisely because God is our Father. He knows what best for us, and sometimes, what we want is not really the best for us. There is something better in store for us. He always answers our prayers, but often, we do not listen to His answer.

The highest form of prayer in the Catholic tradition is the Holy Eucharist. By its name, Eucharist means thanksgiving (from Greek ‘eucharistein’, to give thanks), yet it is also true that Eucharist is a prayer of petition. In fact, in the Eucharist, we ask God for something we need most, our salvation and the salvation of the world. In order to achieve this, we offer the most pleasing sacrifice, Jesus Christ Himself to the Father, the source of salvation. The heavenly Father could not resist this most perfect offering. God then abundantly showers us with His grace. Our salvation is hinged in prayer.

We pray because this is who we are. We are nothing apart from God. We are dependent on God. We kneel and humble ourselves before Him. Yet, we pray because we are confident that He will listen to our prayer. We are assured that God will take care of us. We pray because God is our Father.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Doa kepada Bapa Kita

Minggu Biasa ke-17. [24 Juli 2016] Lukas 11:1-13

 “Bapa, dikuduskanlah nama-Mu; datanglah Kerajaan-Mu. 3 Berikanlah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya (Luk 11: 2-3)”

dominican rosaryKetika kita mulai berdoa, kita mengakui bahwa kita bergantung pada-Nya. Tidak heran jika salah satu bentuk doa yang paling mendasar dan umum adalah doa permohonan. Kita berdoa untuk meminta sesuatu dari Allah. Kita mohon untuk kesehatan, kesembuhan, sukses dalam karir, lulus ujian, perlindungan dari bahaya, dan banyak lagi. Saya pernah menulis bahwa Tuhan bukanlah ATM spiritual dan doa kita adalah kartu ATM. Setelah memasukan ‘kartu ATM doa’ dan mengetikan ‘password Amin’, Allah akan serta-merta menghasilkan apa yang kita inginkan. Tapi, saya menyadari bahwa setiap pagi, ketika saya berdoa di hadapan Sakramen Mahakudus dan bunda Maria La Naval, doa-doa saya adalah doa permohonan. Saya meminta Tuhan banyak hal, seperti sarapan yang enak, kemudahan dalam ujian, kadang-kadang berharap bisa dapat cuti lebih awal dan panjang. Tentu saja, saya berdoa juga bagi orang-orang yang saya kasihi dan mereka yang telah saya janjikan untuk didoakan.

Dalam Injil hari ini, Yesus mengajarkan para murid bagaimana berdoa. Ia mengajar mereka doa yang paling indah, ‘Doa Bapa Kami.’ Meskipun versi Lukas lebih pendek dari versi Matius, keduanya mengandung sikap dasar yang sama. Ini adalah doa permohonan. Kita meminta Kerajaan-Nya datang. Kita meminta rejeki yang cukup. Kita memohon pengampunan dan pembebasan dari yang jahat. Kita memohon Tuhan memberikan kebutuhan yang paling mendasar dalam kehidupan kita sehari-hari.

Yesus tidak hanya mengajarkan kita untuk berdoa dengan rendah hati, tetapi juga berdoa dengan penuh keyakinan. Kita berdoa dengan yakin karena bagi Yesus, Tuhan adalah Bapa yang peduli dan penuh kasih. Saya sadar bahwa tidak semua memiliki pengalaman yang menyenangkan dengan ayah kita. Banyak dari kita, seperti saya sendiri, beruntung memiliki ayah yang bias diandalkan. Tapi, beberapa dari kita harus berurusan dengan ayah kasar dan keras. Dan beberapa dari kita tidak tahu siapa ayah kita sebenarnya. Tetapi, Yesus meyakinkan kita bahwa Bapa kita di surga adalah bapa yang paling peduli, paling penuh kasih dan terbaik. Bapa manakah di antara kamu, jika anaknya minta ikan dari padanya, akan memberikan ular kepada anaknya itu ganti ikan? Atau, jika ia minta telur, akan memberikan kepadanya kalajengking? Jadi jika kamu yang jahat tahu memberi pemberian yang baik kepada anak-anakmu, apalagi Bapamu yang di sorga! Ia akan memberikan Roh Kudus kepada mereka yang meminta kepada-Nya? (Luk 11: 11-13)”

Kadang-kadang, kita bertanya-tanya mengapa Tuhan tidak menjawab doa permohonan kita. Kita perlu ingat bahwa Dia adalah Bapa yang baik dan Dia tahu apa yang terbaik bagi kita. Jika Ia tidak menjawab doa kita mungkin apa yang kita inginkan bukanlah yang terbaik bagi kita. Ada sesuatu yang lebih baik telah disiapkan bagi kita. Dia selalu menjawab doa-doa kita, tetapi seringkali, kita tidak mendengarkan jawaban terbaik-Nya.

Bentuk doa paling agung dalam tradisi Katolik adalah Ekaristi Kudus. Ekaristi sebenarnya berarti doa syukur (dari bahasa Yunani ‘eucharistein’, untuk bersyukur), namun Ekaristi juga bisa diartikan sebagai doa permohonan. Bahkan, dalam Ekaristi, kita memohon Tuhan sesuatu yang paling kita butuhkan, keselamatan kita dan keselamatan dunia. Untuk mencapai hal ini, kita mempersembahkan sebuah kurban yang paling baik kepada Bapa, yakni Yesus Kristus sendiri. Tentunya, Bapa akan bahagia menerima kurban yang paling sempurna ini. Bapa pun melimpahi kita dengan rahmat-Nya. Tidak salah jika kita mengatakan bahwa keselamatan kita bergantung dalam doa.

Kita berdoa karena ini adalah siapa kita. Kita bukanlah apa-apa tanpa Tuhan. Kita bergantung seluruhnya pada Allah. Kita berlutut di hadapan-Nya. Namun juga, kita berdoa karena kita yakin Dia akan mendengarkan doa kita. Kita yakin bahwa Tuhan akan memperhatikan dan memberikan yang terbaik. Kita berdoa karena Allah adalah Bapa kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Go Down from the Mount!

Second Sunday of Lent. February 21, 2016 [Luke 9:28-36]

“He took Peter, John, and James and went up the mountain to pray (Luk 9:28).”

transfiguration 2 For St. Luke, Jesus is a man of prayer. Luke fondly wrote in his Gospel that Jesus would pray before the decisive events in His life and mission. Jesus prayed the whole night before he chose His disciples (Luk 6:12). One of the reasons why Jesus cleansed the Temple of Jerusalem was that He was well aware of the main function of the holy Temple: House of Prayer (Luk 19:46). He reminded his disciples to pray especially in facing trials and tribulations (Luk 21:36). Before He was embracing His passion and death, He prayed at the garden (Luk 22:44). Finally, enduring a brutal torture, He saved His last breath even to pray for those who have crucified Him (Luk 23:34).

Another important event wherein Jesus spent time in prayer was the Transfiguration. Two evangelists, Matthew and Luke, placed the story of Transfiguration into their gospels, but only Luke who told the purpose of why Jesus and His three disciples went up to the Mount. It was to pray. For Luke, the Transfiguration is a prayer event. Indeed, reflecting today’s Gospel in the context of prayer will bring us a deeper understanding on our relationship with God.

Firstly, Jesus invited the disciples to climb the Mount and pray. Our desire to meet Him and to pray is actually God’s initiative. If we are able to pray, it is because God calls us and enables us to communicate with Him. Our Liturgy of the Hour prayer begins with a verse ‘O God, come to my assistance (Ps 51:15).’ It is a humble acceptance that without His grace and aid, we are not able to pray. We, Catholics, open our prayer with the sign of the cross and mentioning, “In the name of the Father, the Son and the Holy Spirit (Mat 28:19).” This was born out of conviction that apart from the Holy Trinity, our human words will be futile. St. Paul said it best when he wrote to the Romans, “the Spirit too comes to the aid of our weakness; for we do not know how to pray as we ought, but the Spirit itself intercedes with inexpressible groanings (Rom 8:26).”

Secondly, the Transfiguration teaches us that sometimes, our prayers give sense of delight and contentment, but this is not the most important. We are like the three disciples who were filled with awe in the presence of transfigured Jesus. It is the moment when we feel peace before the Blessed Sacrament. We are enjoying the recitation of the Holy Rosary. We are inspired by a good homily and feel nourished by the Holy Communion in the Eucharist. Sometimes, I attended Worship Service loaded with upbeat songs and electrifying preaching. Truly, the feeling was ecstatic and liberating, especially for persons with messed up lives.

Surely, like the disciples, we want to enjoy the delight for eternity. Yet, our good Lord did not want us to be rooted there. He asked the disciples to go down and face the world. If we rather stay and refuse to go down, then our prayers are no longer genuine and sincere. They become an addiction that helps us escape from the realities. If this happens, Karl Marx’ adage, ‘Religion is the opium to the society’ turns to be a reality.

St. Pope John Paul II reminded us that the Transfiguration would lead eventually Jesus and his disciples to that passion in Jerusalem. Prayer should then empower us to face life with courage and humility, and not to give us a venue to run away from life. The Eucharist, as the summit of all Christian worship, does not end by saying ‘Stay and enjoy some more!’ The last phrase in the Mass is always missionary in spirit, like ‘Go and preach the Gospel’. We are to share the fruits of prayers to others. If we truly find Christ in our prayer, then together with Christ, we shall go down from the Mount and bravely walk to our Jerusalem.

 Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Turun Gunung

Minggu Prapaskah Kedua. 21 Februari 2016 [Lukas 9: 28-36]

“Yesus membawa Petrus, Yohanes dan Yakobus, lalu naik ke atas gunung untuk berdoa. (Luk 9:28).”

 

transfigurationBagi St. Lukas, Yesus adalah seorang doa. Lukas menulis dalam Injilnya bahwa Yesus berdoa sebelum menghadapi peristiwa-peristiwa penting di dalam hidup dan misi-Nya. Yesus berdoa sepanjang malam sebelum ia memilih murid-murid-Nya (Luk 6:12). Salah satu alasan mengapa Yesus membersihkan Bait Allah Yerusalem dari berbagai malapraktik adalah bahwa Dia sangat menyadari fungsi utama dari Bait Allah ini: Rumah Doa (Luk 19:46). Dia mengingatkan para murid-Nya untuk berdoa terutama saat menghadapi cobaan dan penderitaan (Luk 21:36). Sebelum Ia menghadapi sengsara dan wafat-Nya, Dia berdoa di taman (Luk 22:44). Akhirnya, saat Ia berada di kayu salib, Dia menyimpan nafas terakhirnya bahkan untuk berdoa bagi mereka yang telah menyalibkan-Nya (Luk 23:34).

Peristiwa penting lainnya dimana Yesus menghabiskan waktu dalam doa adalah Transfigurasi. Dua penginjil, Matius dan Lukas, menulis kisah Transfigurasi dalam Injil mereka, tapi hanya itu Lukas yang mengatakan tujuan mengapa Yesus dan ketiga murid-Nya naik ke Gunung. Yakni untuk berdoa. Bagi Lukas, Transfigurasi adalah sebuah momen doa. Sungguh, merenungkan Injil hari ini dalam konteks doa akan membawa kita pada pemahaman yang lebih dalam tentang hubungan kita dengan Tuhan.

Pertama, Yesus mengajak para murid untuk mendaki Gunung dan berdoa. Hasrat kita untuk bertemu dengan-Nya dan berdoa sebenarnya adalah inisiatif Allah. Jika kita mampu berdoa, itu karena Tuhan memanggil kita dan memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan-Nya. Liturgi Brevir selalu dimulai dengan ayat Ya Allah, bersegeralah membuka mulutku (Mzm 51:15).” Ini adalah keyakinan bahwa tanpa rahmat dan bantuan-Nya, kita tidak dapat berdoa. Kita, umat Katolik, membuka doa kita dengan tanda salib dan menyebutkan, Dalam nama Bapa, dan Putra dan Roh Kudus.” Hal ini lahir dari keyakinan bahwa terpisah dari Allah Tritunggal, kata-kata manusiawi kita akan sia-sia di dalam doa. St. Paulus menyatakan hal ini dengan sangat baik ketika ia menulis kepada jemaat di Roma, Roh Allah datang menolong kita kalau kita lemah. Sebab kita tidak tahu bagaimana seharusnya kita berdoa; Roh itu sendiri menghadap Allah untuk memohonkan bagi kita dengan kerinduan yang sangat dalam sehingga tidak dapat diucapkan. (Rom 8:26).”

Kedua, Transfigurasi mengajarkan kita bahwa kadang, doa-doa kita memberikan kenikmatan dan kepuasan, tapi ini bukan yang paling penting. Kita seperti tiga murid yang sangat takjub di hadapan Yesus yang berubah wujud. Ini adalah saat ketika kita merasakan kedamaian di hadapan Sakramen Mahakudus. Kita menikmati doa Rosario. Kita terinspirasi oleh homili dan merasa diperkuat oleh Komuni Kudus dalam Ekaristi. Kadang, saya menghadiri worship service sarat dengan lagu-lagu pujian dan khotbah menggebu-gebu. Sesungguhnya, hal ini memberi perasaan sangat gembira dan membebaskan apalagi bagi mereka yang memiliki banyak permasalahan dalam hidup.

Tentunya, seperti para murid, kita ingin menikmati kegembiraan dalam doa ini lebih lama lagi dan membangun ‘kemah’. Namun, Tuhan tidak ingin kita tinggal lama di sana. Dia meminta para murid untuk turun dan menghadapi dunia. Jika kita memilih tinggal dan menolak untuk turun, doa-doa kita tidak lagi tulus. Mereka menjadi candu yang membantu kita melarikan diri dari realitas hidup. Jika ini terjadi, perkataan Karl Marx bahwa ‘Agama adalah opium bagi masyarakat’ sungguh menjadi kenyataan.

St. Paus Yohanes Paulus II mengingatkan kita bahwa Transfigurasi akan bawa akhirnya Yesus dan murid-muridnya pada sengsara dan wafat-Nya di Yerusalem. Doa sungguhnya harus memberdayakan kita untuk menghadapi hidup dengan keberanian dan kerendahan hati, dan tidak memberi kita tempat untuk melarikan diri dari kehidupan. Ekaristi, sebagai puncak dari semua ibadah Kristiani, tidak berakhir dengan mengatakan Tetap tinggal dan jangan pulang! Ungkapan terakhir dalam Misa selalu dalam semangat misionaris, seperti Pergilah, kita diutus!”. Kita diutus untuk berbagi buah dari doa-doa kita kepada sesama. Jika kita benar-benar menemukan Kristus dalam doa kita, bersama dengan Kristus, kita akan turun Gunung dan berjalan menghadapi Yerusalem kita.

 Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP