Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus [Corpus Christi] – A
14 Juni 2020
Yohanes 6: 51-58
Hari Raya Tubuh dan Darah Yesus Kristus berawal dari inisiatif St. Juliana dari Liege, yang meminta uskupnya dan sahabat-sahabatnya untuk menghormati secara khusus sakramen Ekaristi, dan kehadiran nyata Yesus Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Berdirinya Ekaristi sendiri terjadi dalam Perjamuan Terakhir Tuhan, dan setiap Kamis Putih, Gereja merayakan peristiwa ini. Namun, karena Kamis Putih adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Trihari suci Paskah, perhatian diberikan pada persiapan bagi umat beriman untuk memasuki misteri Sengsara dan Kebangkitan Tuhan kita. Karena berakar di Kamis Putih, Hari Raya Corpus Christi dirayakan pada hari Kamis setelah hari Minggu Tritunggal. Namun, di beberapa negara seperti Indonesia, perayaan dipindahkan ke hari Minggu berikutnya untuk mengakomodasi partisipasi yang lebih besar dari umat beriman.
Dalam Injil, Yesus menegaskan bahwa tubuh-Nya adalah makanan yang nyata, dan setiap orang yang ingin memiliki hidup yang kekal perlu menyantap tubuh-Nya. Kita mungkin bertanya-tanya: mengapa dalam kebijaksanaan-Nya, Yesus memutuskan untuk memberikan tubuh-Nya sebagai makanan rohani kita? Mengapa Yesus tidak langsung menanamkan rahmat langsung ke jiwa kita? Jawabannya mungkin sangat sederhana. Hal ini dipilih Tuhan karena tubuh kita ini adalah nyata dan baik. Jika kita kembali ke kisah penciptaan di Buku Kejadian, Tuhan menciptakan pria dan wanita dalam kodrat manusia, termasuk tubuh kita, sebagai sesuatu yang sangat baik. Meskipun tubuh kita berasal dari tanah, tubuh kita telah dirancang dengan luar biasa untuk menerima roti ilahi, kehidupan rohani. Tubuh kita pada dasarnya baik, dan begitu baik sehingga tubuh kita bisa menerima rahmat. Dalam perkataan St Agustinus, “Capax Dei” (memiliki kemampuan untuk mengenal dan menerima Tuhan).
Sejak awal berdirinya, Gereja telah memerangi sebuah ajaran sesat yang disebut Gnostisisme. Intinya, gnostisisme mengajarkan ada dualisme dalam ciptaan, bahwa dunia spiritual itu baik dan dunia material, termasuk tubuh kita, adalah jahat. Jadi, setiap aspek ragawi dari kemanusiaan kita harus dibuang dan dihancurkan. Gereja dengan keras menentang ini karena Allah telah menciptakan dunia secara totalitas sebagai yang baik dan indah. Pertempuran berlanjut pada masa St. Dominikus de Guzman, pendiri Ordo Pengkhotbah, yang berhadapan melawan kelompok Albigensia [adaptasi gnostisisme pada abad pertengahan). Syukurlah, kaum Albigentia tidak ada lagi, tetapi sayangnya, gnostisisme terus hidup.
Sebagai umat Kristiani, kita bersama Gereja terus memerangi gnostisisme modern. Jenis gnostisisme sangat sederhana dan tanpa disadari kita pun telah menjadi korban dari virus mematikan ini. Setiapkali kita memperlakukan tubuh kita hanya alat untuk mencapai kesuksesan dan popularitas, ketika kita menyalahgunakan tubuh kita untuk merasakan kenikmatan instan, ketika kita menjual tubuh kita sebagai keuntungan ekonomi belaka, kita tanpa sadar jatuh ke dalam perangkap ini ajaran sesat ini.
Pesta Corpus Christi membawa kita kebenaran yang lebih besar dari tubuh kita. Dengan menjadi manusia dan akhirnya memberikan tubuh-Nya, Yesus mengajarkan kepada kita bahwa tubuh tidak hanya mampu menerima rahmat, tetapi juga mampu menjadi rahmat dan kasih bagi sesama. Dalam Perjamuan Terakhir, Yesus telah memberikan tubuh-Nya sebagai ekspresi kasih tertinggi. Namun, untuk dibagikan, tubuh-Nya harus dihancurkan, namun meski hancur, tubuh mulia ini dipersembahkan dalam ucapan syukur.
Pada masa pandemi ini, kita tidak dapat menghadiri Misa Kudus, dan kita sangat merindukan Tubuh Kristus. Namun, kabar baiknya adalah bahwa inilah saatnya bagi kita untuk menjadi Tubuh Kristus bagi sesama kita yang membutuhkan. Hanya dengan membagikan tubuh kita dalam kasih, kita memenuhi tujuan kita sebagai makhluk ragawi yang diciptakan menurut citra-Nya.
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The solemnity of the Body and Blood of Jesus Christ takes its origin from the initiative of St. Juliana of Liege, who asked his bishop and his friends to honor, in a special way, the institution of the Eucharist, and the real presence of Jesus Christ in the Blessed Sacrament. The institution of the Eucharist itself took place in the Last Supper of the Lord, and every Holy Thursday, the Church celebrates this event. However, since Holy Thursday is an inseparable part of the Easter Triduum, the attention is given to the mystery of the Passion and Resurrection of our Lord. Because of its rootedness in Holy Thursday, the solemnity of Corpus Christi is celebrated on Thursday after the Trinity Sunday. Yet, in several countries, the celebration is moved to the next Sunday to accommodate the greater participation of the faithful.
The second Sunday of Easter is also known as the Divine Mercy Sunday. The liturgical celebration of the Divine Mercy Sunday is declared in the year 2000 by Pope St. John Paul II who had a strong devotion to the Divine Mercy revealed to St. Faustina. Though the feast itself is something recent, the truth of divine mercy is fundamental in the Bible and Sacred Tradition. If there is one prevailing character of God, it is not other than mercy. In the Old Testament, there are at least two Hebrew words that can be translated as mercy. One is rāḥam and the other is ḥeṣedh.
Hari Minggu Paskah kedua juga dikenal sebagai Minggu Kerahiman Ilahi. Perayaan Minggu Kerahiman Ilahi ditetapkan pada tahun 2000 oleh St. Yohanes Paulus II yang memiliki devosi khusus kepada kerahiman Ilahi yang diwahyukan kepada St. Faustina. Meskipun perayaan liturgi ini sendiri adalah sesuatu yang baru, kebenaran akan kerahiman Ilahi adalah sesuatu yang mendasar dalam Alkitab dan Tradisi Suci. Jika ada satu karakter Allah yang paling penting, ini tidak lain adalah kerahiman-Nya. Dalam Perjanjian Lama, setidaknya ada dua kata Ibrani yang dapat diterjemahkan sebagai kerahiman. Yang satu adalah rāḥam dan yang lainnya adalah ḥeṣedh.
Today the Church is celebrating the solemnity of the Body and Blood of Jesus Christ. In many countries like Indonesia, today is the best time for the children who are already prepared to receive their first Holy Communion. I still recall the day I partook of the sacred host and the holy wine. Many of us were around 10 years old, old enough to recognize the presence of Christ in the Eucharist and we were dressed in white. I was wearing long-sleeved white shirt with a tie and black pants. When the priest dipped the white bread into the chalice of wine and said, “the body and blood of Christ”, I said “Amen.” It was my first time to savor the sweetness of wine, and of course, alcoholic beverage!
Hari ini Gereja merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Yesus Kristus. Di banyak negara seperti Indonesia, hari ini adalah waktu terbaik bagi anak-anak yang sudah siap untuk menerima Komuni Suci pertama mereka. Saya masih ingat hari saya menerima hosti dan anggur suci. Banyak dari kami berusia sekitar 10 tahun, cukup dewasa untuk mengenali kehadiran Kristus dalam Ekaristi. Saya ingat bahwa saya mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan dasi kecil dan celana hitam. Ketika pastor mencelupkan hosti putih ke dalam piala anggur, dan berkata “tubuh dan darah Kristus”, saya berkata “Amin.” Ini adalah pertama kalinya saya menikmati manisnya anggur, dan tentu saja, minuman beralkohol!
Mary who was once a bride and has passed through the tiny-gritty of a Jewish wedding can sense immediately something goes wrong. The wine is running out. In the Jewish context, wine is an essential ingredient in every joyous occasion, as it is ordained by God to “gladden men’s hearts” (Ps 104:15) The lack of it can spell a disastrous result. It is the source of shame, and even a family dispute.
Maria yang pernah menjadi seorang pengantin dan mengerti detail pernikahan Yahudi dapat segera merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Anggur habis! Dalam konteks Yahudi, anggur adalah unsur penting dalam setiap acara yang menggembirakan, karena anggur telah dijadikan oleh Allah untuk “membuat hati manusia gembira” (Mzm 104: 15). Kekurangan anggur dapat menyebabkan konsekuensi buruk. Itu adalah sumber rasa malu, dan bahkan pertikaian antar keluarga.
I made my religious vow more than eight years ago with 12 other Dominican brothers. One of the most touching moments within this rite of the religious profession was when Fr. Provincial asked us, “What do you seek?” and we all prostrated, kiss the ground, and declared, “God’s mercy and yours!” After a brief moment, Fr. Provincial asked us to stand, and we began professing our vows before him. As I recall this defining moment in my life, I am pondering in my heart, “Why it has to be mercy?” Why do we not choose other Christian virtues? Why not fortitude, one of the cardinal virtues in the Christian tradition? Why not love, the greatest of all virtues?
Saya mengucapkan kaul lebih dari delapan tahun yang lalu bersama dengan 12 frater lainnya. Salah satu momen paling menyentuh dalam ritual profesi religius ini adalah ketika Romo Provinsial bertanya kepada kami, “Apa yang kamu cari?” Dan kami semua bersujud dan berbaring di lantai, sambil berseru, “Belas kasih Tuhan dan juga komunitas!” Setelah beberapa saat, Pastor Provinsi meminta kami untuk berdiri, dan kami mulai mengucapkan kaul kami di hadapannya. Saat saya mengingat momen yang penting ini, saya merenungkan dalam hati saya, “Mengapa harus meminta belas kasih?” Mengapa kita tidak memilih keutamaan lainnya? Mengapa tidak keadilan, yang adalah salah satu keutamaan penting dalam tradisi Kristiani? Mengapa tidak cinta kasih, yang adalah keutamaan terbesar dari semua keutamaan?