Tubuh Kristus dan Tubuh Kita

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus [Corpus Christi] – A

14 Juni 2020

Yohanes 6: 51-58

monstranHari Raya Tubuh dan Darah Yesus Kristus berawal dari inisiatif St. Juliana dari Liege, yang meminta uskupnya dan sahabat-sahabatnya untuk menghormati  secara khusus sakramen Ekaristi, dan kehadiran nyata Yesus Kristus dalam Sakramen Mahakudus. Berdirinya Ekaristi sendiri terjadi dalam Perjamuan Terakhir Tuhan, dan setiap Kamis Putih, Gereja merayakan peristiwa ini. Namun, karena Kamis Putih adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Trihari suci Paskah, perhatian diberikan pada persiapan bagi umat beriman untuk memasuki misteri Sengsara dan Kebangkitan Tuhan kita. Karena berakar di Kamis Putih, Hari Raya Corpus Christi dirayakan pada hari Kamis setelah hari Minggu Tritunggal. Namun, di beberapa negara seperti Indonesia, perayaan dipindahkan ke hari Minggu berikutnya untuk mengakomodasi partisipasi yang lebih besar dari umat beriman.

 Dalam Injil, Yesus menegaskan bahwa tubuh-Nya adalah makanan yang nyata, dan setiap orang yang ingin memiliki hidup yang kekal perlu menyantap tubuh-Nya. Kita mungkin bertanya-tanya: mengapa dalam kebijaksanaan-Nya, Yesus memutuskan untuk memberikan tubuh-Nya sebagai makanan rohani kita? Mengapa Yesus tidak langsung menanamkan rahmat langsung ke jiwa kita? Jawabannya mungkin sangat sederhana. Hal ini dipilih Tuhan karena tubuh kita ini adalah nyata dan baik. Jika kita kembali ke kisah penciptaan di Buku Kejadian, Tuhan menciptakan pria dan wanita dalam kodrat manusia, termasuk tubuh kita, sebagai sesuatu yang sangat baik. Meskipun tubuh kita berasal dari tanah, tubuh kita telah dirancang dengan luar biasa untuk menerima roti ilahi, kehidupan rohani. Tubuh kita pada dasarnya baik, dan begitu baik sehingga tubuh kita bisa menerima rahmat. Dalam perkataan St Agustinus, “Capax Dei” (memiliki kemampuan untuk mengenal dan menerima Tuhan).

Sejak awal berdirinya, Gereja telah memerangi sebuah ajaran sesat yang disebut Gnostisisme. Intinya, gnostisisme mengajarkan ada dualisme dalam ciptaan, bahwa dunia spiritual itu baik dan dunia material, termasuk tubuh kita, adalah jahat. Jadi, setiap aspek ragawi dari kemanusiaan kita harus dibuang dan dihancurkan. Gereja dengan keras menentang ini karena Allah telah menciptakan dunia secara totalitas sebagai yang baik dan indah. Pertempuran berlanjut pada masa St. Dominikus de Guzman, pendiri Ordo Pengkhotbah, yang berhadapan melawan kelompok Albigensia [adaptasi gnostisisme pada abad pertengahan). Syukurlah, kaum Albigentia tidak ada lagi, tetapi sayangnya, gnostisisme terus hidup.

Sebagai umat Kristiani, kita bersama Gereja terus memerangi gnostisisme modern. Jenis gnostisisme sangat sederhana dan tanpa disadari kita pun telah menjadi korban dari virus mematikan ini. Setiapkali kita memperlakukan tubuh kita hanya alat untuk mencapai kesuksesan dan popularitas, ketika kita menyalahgunakan tubuh kita untuk merasakan kenikmatan instan, ketika kita menjual tubuh kita sebagai keuntungan ekonomi belaka, kita tanpa sadar jatuh ke dalam perangkap ini ajaran sesat ini.

Pesta Corpus Christi membawa kita kebenaran yang lebih besar dari tubuh kita. Dengan menjadi manusia dan akhirnya memberikan tubuh-Nya, Yesus mengajarkan kepada kita bahwa tubuh tidak hanya mampu menerima rahmat, tetapi juga mampu menjadi rahmat dan kasih bagi sesama. Dalam Perjamuan Terakhir, Yesus telah memberikan tubuh-Nya sebagai ekspresi kasih tertinggi. Namun, untuk dibagikan, tubuh-Nya harus dihancurkan, namun meski hancur, tubuh mulia ini dipersembahkan dalam ucapan syukur.

 Pada masa pandemi ini, kita tidak dapat menghadiri Misa Kudus, dan kita sangat merindukan Tubuh Kristus. Namun, kabar baiknya adalah bahwa inilah saatnya bagi kita untuk menjadi Tubuh Kristus bagi sesama kita yang membutuhkan. Hanya dengan membagikan tubuh kita dalam kasih, kita memenuhi tujuan kita sebagai makhluk ragawi yang diciptakan menurut citra-Nya.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Christ’s Body and Our Body

Solemnity of Body and Blood of Christ [Corpus Christi] – A

June 14, 2020

John 6:51-58

eucharist 3The solemnity of the Body and Blood of Jesus Christ takes its origin from the initiative of St. Juliana of Liege, who asked his bishop and his friends to honor, in a special way, the institution of the Eucharist, and the real presence of Jesus Christ in the Blessed Sacrament. The institution of the Eucharist itself took place in the Last Supper of the Lord, and every Holy Thursday, the Church celebrates this event. However, since Holy Thursday is an inseparable part of the Easter Triduum, the attention is given to the mystery of the Passion and Resurrection of our Lord. Because of its rootedness in Holy Thursday, the solemnity of Corpus Christi is celebrated on Thursday after the Trinity Sunday. Yet, in several countries, the celebration is moved to the next Sunday to accommodate the greater participation of the faithful.

 In the Gospel, Jesus insists that His body is real food, and everyone who wants to have eternal life shall consume His body. We may wonder: why does in His infinite wisdom, Jesus decide to give His body as food for our spiritual nourishment? Why not infuse the grace directly to our souls? The answer may surprisingly simple. It is because our body is real and good. God created man and woman in their fulness human nature, including their bodies, as something very good. Though our body comes from the ground, it has been marvelously designed to receive the bread of God, the spiritual life. Our bodies are fundamentally good, and so good that our bodies are inclined to grace. In the word of St. Augustine, “Capax Dei” (capable of knowing and receiving God).

Since the earliest time, the Church has battling perennial heresy called Gnosticism. In essence, gnosticism teaches there is dualism in our creation, and that the spiritual realm is good and the material world, including our body, is evil. Thus, any material aspect of our humanity has to be disposed of. The Church vehemently opposed this because God has created our material world as good and beautiful. The battle continues in time of St. Dominic de Guzman, the founder of Order of Preachers, who fought the Albigensians [the middle age adaptation of gnosticism). Gratefully, the Albigentians were no more, but unfortunately, the gnosticism lives on.

As Christians, we carry the battle of the Church against the modern-day gnosticism. The kind gnosticism is surprisingly simple without any need to learn a complex system of belief. When we consider our body a mere instrument to achieve success, when we abuse our bodies to feel instant pleasures, when we treat our bodies as mere economic gain, when we say that my body is my right, we unconsciously fall into the trap of this heresy.

But wait, there’s more! The feast of Corpus Christi brings us even greater truth of our body. By becoming man and finally giving His body, Jesus teaches us that body is not only capable of receiving grace, but it is also capable of becoming grace and love for others. In the Last Supper, Jesus has given as a supreme expression that is to offer His own body in love. And yet, to be shared, it has to be broken, and yet despite broken, it is offered in thanksgiving.

 In this time of the pandemic, we are not able to attend the Holy Mass, and we miss a lot the Body of Christ. Yet, the good news is that it is our time also for us to become the Body of Christ for our neighbors in need. Only through sharing our body in love, we fulfill our purpose as bodily creatures created in His image.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Divine Mercy

Second Sunday of Easter [A]

April 19, 2020

John 20:19-31

ViaDolorosa0181The second Sunday of Easter is also known as the Divine Mercy Sunday. The liturgical celebration of the Divine Mercy Sunday is declared in the year 2000 by Pope St. John Paul II who had a strong devotion to the Divine Mercy revealed to St. Faustina. Though the feast itself is something recent, the truth of divine mercy is fundamental in the Bible and Sacred Tradition. If there is one prevailing character of God, it is not other than mercy. In the Old Testament, there are at least two Hebrew words that can be translated as mercy. One is rāḥam and the other is ḥeṣedh.

The word Raham is closely related to a woman’s womb. It is the feeling and action that flow from the womb, the source and nurturer of new life. Mercy comes from the realization that we belong to the same womb, that we are siblings. Thus, when one of our brothers is suffering or struggling with a difficulty, we easily empathize with him and are moved to alleviate his hardship. Yet, mercy can be also understood as a maternal impulse towards someone who has come from her womb. It is the genuine yearning that moves a mother to do anything for her children. Mercy in this sense, I believe, is more proper to God. He cannot but be merciful and embrace our sufferings and even weakness because we are coming from God’s spiritual womb. No wonder, the Church dare asserts that we are God’s children.

The word “Hesedh” is also a powerful word and it may mean a steadfast love or a relentless fidelity to a covenant. Our God is a person who is unthinkably bold to tie Himself to a covenant with weak humans like Adam and his descendants. Because of this, the Bible is nothing but a story of a faithful God who gives Himself to unfaithful men and women. From Adam who failed to his duty to guard the garden, down to Peter who denied Jesus three times, humanity is terribly disloyal, but God remains faithful and offers His forgiveness to rebuild the shattered relationship.

The choice of the Second Sunday of Easter to be the Divine Mercy is an excellent decision because the Gospel speaks powerfully how God’s mercy operates. The risen Jesus appeared to the disciples and gave them the authority to forgive sins. This is the story of the institution of the sacrament of reconciliation. Forgiveness is the first and foremost manifestation of mercy. Though the authority to forgive belongs properly to God, the risen Christ has willed that this authority is shared with His apostles. Since the apostles are the first bishops, the same power is handed down to their successors. And the bishops shared this divine power and responsibility to their co-workers, the priests.

The Gospel begins with the disciples who were afraid. They were afraid for many reasons, but one of the strongest reasons was that they were afraid of Jesus. They have abandoned and been unfaithful to Him, and they heard that Jesus has risen. They thought that it was the time of judgment, time to get even. Yet, Jesus appeared and His first word is not a word of anger or judgment, but “peace” or “shalom”. The disciples should no longer be afraid and be at peace because despite their unfaithfulness because they have been forgiven.

The Easter season begins with the assurance that God is merciful and offering us the forgiveness we do not deserve. And this season invites us to forgive more because we are forgiven, to become the apostles of peace because we have received peace from Jesus.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kerahiman Ilahi

Minggu Kedua Paskah [A]

19 April 2020

Yohanes 20: 19-31

confession at streetHari Minggu Paskah kedua juga dikenal sebagai Minggu Kerahiman Ilahi. Perayaan Minggu Kerahiman Ilahi ditetapkan pada tahun 2000 oleh St. Yohanes Paulus II yang memiliki devosi khusus kepada kerahiman Ilahi yang diwahyukan kepada St. Faustina. Meskipun perayaan liturgi ini sendiri adalah sesuatu yang baru, kebenaran akan kerahiman Ilahi adalah sesuatu yang mendasar dalam Alkitab dan Tradisi Suci. Jika ada satu karakter Allah yang paling penting, ini tidak lain adalah kerahiman-Nya. Dalam Perjanjian Lama, setidaknya ada dua kata Ibrani yang dapat diterjemahkan sebagai kerahiman. Yang satu adalah rāḥam dan yang lainnya adalah ḥeṣedh.

Kata “Raham” terkait erat dengan rahim wanita. “Raham” adalah perasaan dan tindakan yang mengalir dari rahim yang adalah sumber dan pemelihara kehidupan baru. Kerahiman datang dari kesadaran bahwa kita berasal dari rahim yang sama, bahwa kita bersaudara. Maka, ketika salah satu saudara kita menderita atau bergulat dengan kesulitan, kita dengan mudah berempati dan tergerak untuk meringankan kesulitannya. Namun, “raham” dapat juga dipahami sebagai perasaan keibuan terhadap seseorang yang telah datang dari rahimnya. Perasaan tulus inilah yang menggerakkan seorang ibu untuk melakukan segalanya untuk anak-anaknya. Kerahiman dalam pengertian ini lebih pantas bagi Tuhan. Dia tidak bisa tidak berbelas kasih dan merangkul penderitaan dan bahkan kelemahan kita karena kita datang dari “rahim rohani” Tuhan. Tidak heran, Gereja berani mengajarkan bahwa kita adalah anak-anak Allah.

Kata “Hesedh” juga merupakan kata yang penting dan ini bisa berarti kasih yang teguh atau kesetiaan yang tak kenal batas. Tuhan kita adalah pribadi yang sangat berani mengikat diri-Nya pada sebuah perjanjian dengan manusia yang lemah seperti Adam dan keturunannya. Karena itu, jika kita rangkum isi Alkitab, ini tidak lain adalah sebuah kisah tentang Allah yang setia yang memberikan diri-Nya kepada manusia yang tidak setia. Dari Adam yang gagal menjalankan tugasnya untuk menjaga taman, sampai ke Petrus yang menyangkal Yesus tiga kali, umat manusia terkenal sebagai makhluk yang sulit untuk setia. Namun, Tuhan tetap setia dan memberikan pengampunan-Nya untuk membangun kembali hubungan yang hancur karena ulah manusia ini.

Pilihan Minggu Kedua Paskah untuk menjadi Minggu kerahiman Ilahi adalah keputusan yang sangat tepat karena Injil berbicara bagaimana kerahiman Ilahi beroperasi. Yesus yang bangkit menampakkan diri kepada para murid dan memberi mereka wewenang untuk mengampuni dosa. Ini adalah kisah tentang institusi sakramen rekonsiliasi. Pengampunan adalah manifestasi pertama dan utama dari kerahiman. Meskipun otoritas untuk mengampuni adalah milik Allah, Kristus yang bangkit telah menghendaki bahwa otoritas ini dibagikan kepada para rasul-Nya. Karena para rasul adalah para uskup pertama, kuasa yang sama diberikan kepada penerus mereka. Dan para uskup membagikan kuasa Ilahi dan tanggung jawab ini kepada rekan kerja mereka, para imam.

Injil dimulai dengan para murid yang takut. Mereka takut karena banyak sebab, tetapi salah satu alasan terkuat adalah mereka takut kepada Yesus. Mereka telah meninggalkan dan tidak setia kepada-Nya, dan mereka mendengar bahwa Yesus telah bangkit. Mereka berpikir bahwa ini adalah saat penghakiman, saat untuk membalas dendam. Namun, Yesus menampakkan diri dan kata-kata pertamanya bukanlah kata kemarahan atau penghakiman, tetapi “damai” atau “shalom”. Para murid seharusnya tidak lagi takut dan damai karena terlepas dari ketidaksetiaan mereka karena mereka telah diampuni.

Masa Paskah dimulai dengan jaminan bahwa Allah berbelas kasih dan menawarkan kepada kita pengampunan yang tidak pantas kita terima. Dan masa ini mengundang kita untuk lebih mengampuni karena kita telah diampuni, dan untuk menjadi rasul perdamaian karena kita telah menerima kedamaian dari Yesus.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Eating God

The Solemnity of the Body and Blood of Christ [June 23, 2019] Luke 9:11-17

benedict n first communicantToday the Church is celebrating the solemnity of the Body and Blood of Jesus Christ. In many countries like Indonesia, today is the best time for the children who are already prepared to receive their first Holy Communion. I still recall the day I partook of the sacred host and the holy wine. Many of us were around 10 years old, old enough to recognize the presence of Christ in the Eucharist and we were dressed in white. I was wearing long-sleeved white shirt with a tie and black pants. When the priest dipped the white bread into the chalice of wine and said, “the body and blood of Christ”, I said “Amen.” It was my first time to savor the sweetness of wine, and of course, alcoholic beverage!

At that moment, I just knew the reception of sacred host is necessary to complete the Eucharist, and I was aware I was receiving a blessing, but I never truly comprehend the profound meaning of the great mystery. For me, it was just enough that I attend the mass and consume the consecrated host. It has become a routine and tradition, from Sunday to Sunday, to from month to month, from year to year. Till we become parents and we also bring our children for their first communion. And when somebody asks us, “why do you bring your children to the first communion?”, our answer may be like, “Well, we want our kids to be like us. It is just a family tradition.” The answer is simple, but too simple that it draws more questions: why bread and wine? Why Body and Blood of Jesus? Why does it have to be eaten?

We often forget to realize that this sacred host and wine are the entire Jesus Christ Himself, with all humanity and divinity. Thus, God offers Himself to be eaten. Why eating God? The answers lie on the pages of our Old Testament. Firstly, we recall that our first parents fell because of the act of eating. Now, in the Eucharist, God uses the same act of eating to restore men and women into grace. Secondly, in the middle of the garden of Eden, there were two trees, the forbidden tree, the tree of the knowledge of good and evil, and the tree of life [Gen 2:9]. Unfortunately, our first parents chose to eat the fruits from the forbidden tree. Thus, to restore humanity to grace, now God offers us the fruits from the tree of life, the tree of the cross of Christ. Thirdly, we remember the first Passover was about the story of how God liberated Hebrew people from the slavery of Egypt. The Passover began with the slaughter of the lamb, and its blood was sprinkled on the doors of the Israelite house so that their firstborns would be saved from death. Yet, the slaughter and the sprinkling of blood were not the summit of Passover. The Hebrew people had to consume the lamb as to complete their first Passover [Exo 12:8]. Now, Jesus the Lamb of God, has been sacrificed on the cross, yet it is not the end. Like the Hebrew Passover, we need to consume the Lamb of God to complete our New Passover, the Eucharist.

There are so much themes and aspects we may ponder on the Eucharist, and particularly today, the Church reminds us that the Eucharist, especially the reception of the Holy Communion is not just our Sunday routine, a family tradition. It is of the essential plan of God for our salvation, so that we may have heaven, our Communion with God, the Holy Trinity.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Memakan Tuhan

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus [23 Juni 2019] Lukas 9: 11-17

VATICAN-POPE-MEMORIALHari ini Gereja merayakan Hari Raya Tubuh dan Darah Yesus Kristus. Di banyak negara seperti Indonesia, hari ini adalah waktu terbaik bagi anak-anak yang sudah siap untuk menerima Komuni Suci pertama mereka. Saya masih ingat hari saya menerima hosti dan anggur suci. Banyak dari kami berusia sekitar 10 tahun, cukup dewasa untuk mengenali kehadiran Kristus dalam Ekaristi. Saya ingat bahwa saya mengenakan kemeja putih lengan panjang dengan dasi kecil dan celana hitam. Ketika pastor mencelupkan hosti putih ke dalam piala anggur, dan berkata “tubuh dan darah Kristus”, saya berkata “Amin.” Ini adalah pertama kalinya saya menikmati manisnya anggur, dan tentu saja, minuman beralkohol!

Pada saat itu, saya hanya tahu bahwa penerimaan hosti yang kudus diperlukan untuk melengkapi perayaan Ekaristi, dan juga menerima berkat, tetapi saya tidak pernah benar-benar memahami makna mendalam dari misteri agung ini. Bagi saya, cukuplah bahwa saya menghadiri misa dan mengonsumsi hosti yang dikuduskan. Hal ini telah menjadi rutinitas dan tradisi, dari Minggu ke Minggu, dari bulan ke bulan, dari tahun ke tahun. Mungkin banyak dari kita berpikiran yang sama dengan saya bahwa  ini hanyalah sekedar tradisi yang dihidupi sebagai seorang Katolik. Sampai saat kita menjadi orang tua dan kita juga membawa anak-anak kita untuk komuni pertama mereka. Dan ketika seseorang bertanya kepada kita, “mengapa Anda membawa anak-anak Anda ke komuni pertama?” Jawaban kita mungkin seperti, “Ya, kami ingin anak-anak kami seperti kami. Ini adalah tradisi keluarga. ”Jawabannya sederhana, tetapi terlalu sederhana sehingga memunculkan lebih banyak pertanyaan, seperti: Mengapa Tubuh dan Darah Yesus? Kenapa harus Tuhan harus dimakan?

Kita sering lupa untuk menyadari bahwa roti dan anggur yang kudus ini telah menjadi adalah Yesus Kristus yang seutuhnya, dengan segala kemanusian dan keilahian-Nya. Jadi, Tuhan sungguh menawarkan diri-Nya untuk dimakan. Kenapa harus memakan Tuhan? Jawabannya ada di Perjanjian Lama kita. Pertama, kita ingat bahwa orang tua pertama kita jatuh karena sebuah tindakan yakni makan. Sekarang, dalam Ekaristi, Tuhan menggunakan tindakan makan yang sama untuk memulihkan putra-putri dari Adam dan Hawa dalam rahmat. Kedua, di tengah taman Eden, ada dua pohon, yakni pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat yang adalah pohon terlarang, dan pohon kehidupan [Kej 2:9]. Sayangnya, orang tua pertama kami memilih untuk memakan buah dari pohon terlarang. Dengan demikian, untuk mengembalikan manusia kepada rahmat, sekarang Allah memberikan kepada kita buah-buah dari pohon kehidupan, dari pohon salib Kristus. Ketiga, kita ingat Paskah pertama adalah tentang kisah bagaimana Allah membebaskan orang-orang Ibrani dari perbudakan di Mesir. Paskah dimulai dengan penyembelihan anak domba, dan darahnya dipercikkan di pintu rumah orang Israel sehingga anak sulung mereka akan diselamatkan dari kematian. Namun, penyembelihan dan percikan darah bukanlah puncak dari Paskah Yahudi. Orang-orang Ibrani harus memakan domba untuk menuntaskan Paskah pertama mereka [Kel 12:8]. Sekarang, Yesus, Anak Domba Allah, telah dikorbankan di atas kayu salib, namun itu bukanlah puncaknya. Seperti Paskah Ibrani, kita perlu mengonsumsi Anak Domba Allah untuk menuntaskah Paskah Baru kita, yakni Ekaristi.

Ada begitu banyak tema dan aspek yang dapat kita renungkan tentang Ekaristi, dan khususnya hari ini, Gereja mengingatkan kita bahwa Ekaristi, khususnya penerimaan Komuni Kudus bukan hanya rutinitas hari Minggu kita, sebuah tradisi keluarga. Itu adalah rencana esensial Allah untuk keselamatan kita, agar kita bisa menerima kepenuhan hidup, bersekutu dengan Allah, Tritunggal Maha kudus.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Jesus the Bridegroom

Second Sunday in Ordinary Time [January 20, 2019] John 2:1-12

wedding ardiMary who was once a bride and has passed through the tiny-gritty of a Jewish wedding can sense immediately something goes wrong. The wine is running out. In the Jewish context, wine is an essential ingredient in every joyous occasion, as it is ordained by God to “gladden men’s hearts” (Ps 104:15) The lack of it can spell a disastrous result. It is the source of shame, and even a family dispute.

Everyone knows that it is the responsibility of the bridegroom to provide the wine, yet Mary does something unexpected. Instead of notifying the groom, she approached Jesus and points to him the gravity of the looming disaster. However, instead of getting an immediate favorable response, the plot twists even more. In a surprising statement, Jesus says to his mother, “Woman, how does your concern affect me?” (Jn 2:4). This statement is a Semitic expression indicating that the issue at hand is not Jesus’ problem. In a sense, Jesus is right because it is the job of the groom to fix the problem, but in a much more profound sense, Mary is also right because Jesus is the true Bridegroom.

Jesus understands that He is the Bridegroom, but the hour is not at Cana, but at the Cross. Thus, He says, “My Hour has not yet come.” (Jn 2:4) Yet, Mary as a mother knows her Son best. She has faith in Jesus, that Jesus is not only the Bridegroom at the Cross who gives His life for His Bride, the Church, but Jesus is also the Bridegroom in every marriage, family, a community that reflects this Church. Thus, when Jesus transforms the water into wine, it does not happen in historical level, but in a more profoundly symbolical way. Yes, Jesus helps the couple from disaster, but more than that, He supplies what is fundamentally lacking in every marriage: the best wine, the true joy of married life.

One of my duties as a deacon is to check whether the particular couple is canonically fit for the Church’s marriage. To fulfill this, I need to interview the couple and ask some pertinent questions. Yet, I usually go beyond, and I remind them why the Church does not recognize civil marriage. The answer is plain yet very basic: Jesus, the true Bridegroom, is not there, or to be precise, we make a deliberate effort to exclude Him in our marriage. The union between man and woman is not just a human, social and cultural phenomena but a divine reality. When a man and a woman commit themselves into marriage, God Himself who wills to make them one. Therefore, marriage is primarily and fundamentally God’s grace working in the human relationship. And if God unites them together, He will be the one who sustains and brings into perfection. This is why marriage is elevated into the level of sacraments of the Church.

However, I continue reminding the couples that marriage in the Church does not only mean to celebrate the sacrament of matrimony but to stay within the Church, the Bride of Christ, throughout their lives: to attend the Eucharist as a family, to participate actively in the Church as a couple, to pray regularly together. As the wine is impossible without a jar of waters, God’s grace will not work in our marriages unless we open ourselves to this grace. Like Mary who points Jesus what is lacking in the wedding in Cana, so the Church asks Jesus to fulfill every marriage with the best wine.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus Sang Mempelai Pria Kita

Minggu kedua dalam Masa Biasa [20 Januari 2019] Yohanes 2: 1-12

wedding 1Maria yang pernah menjadi seorang pengantin dan mengerti detail pernikahan Yahudi dapat segera merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Anggur habis! Dalam konteks Yahudi, anggur adalah unsur penting dalam setiap acara yang menggembirakan, karena anggur telah dijadikan oleh Allah untuk “membuat hati manusia gembira” (Mzm 104: 15). Kekurangan anggur dapat menyebabkan konsekuensi buruk. Itu adalah sumber rasa malu, dan bahkan pertikaian antar keluarga.

Semua orang tahu bahwa mempelai laki-laki bertanggung jawab untuk menyediakan anggur, tetapi Maria melakukan sesuatu yang tidak terduga. Alih-alih memberi tahu sang pengantin pria, dia mendekati Yesus dan menunjukkan kepada-Nya betapa beratnya keadaan yang dihadapi keluarga di Kana. Namun, alih-alih mendapatkan respons yang positif dari Yesus, alur ceritanya malah semakin tak terduga. Dalam sebuah pernyataan yang mengejutkan, Yesus berkata kepada ibunya, “Perempuan, apakah ini bagimu dan bagiku?” (Yoh 2: 4 – terjemahan sendiri). Pernyataan ini adalah ungkapan Semitik yang menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi bukan urusan Yesus. Dalam arti tertentu, Yesus benar karena ini adalah tugas mempelai laki-laki untuk menyelesaikan masalah yang ada, tetapi dalam arti yang lebih mendalam, Maria juga benar karena Yesus adalah Mempelai Pria yang sejati.

Yesus mengerti bahwa Dia adalah Mempelai Laki-laki, tetapi waktunya bukan di Kana, tetapi di Kayu Salib. Maka, Ia berkata, “Waktuku belum tiba.” (Yoh 2: 4) Namun, Maria sebagai seorang ibu mengenal Putranya dengan sangat baik. Dia memiliki iman kepada Yesus, bahwa Yesus bukan hanya Mempelai Pria di Kayu Salib yang memberikan hidup-Nya bagi Mempelai Perempuan-Nya, Gereja, tetapi Yesus juga Mempelai Laki-laki dalam setiap pernikahan, keluarga, komunitas yang mencerminkan Gereja ini. Jadi, ketika Yesus mengubah air menjadi anggur, itu tidak hanya terjadi dalam level sejarah, tetapi juga menjadi sebuah kenyataan simbolis. Ya, Yesus membantu pasangan di Kana menghindari musibah, tetapi lebih dari itu, Dia menyediakan apa yang secara mendasar kurang dalam setiap pernikahan: “anggur terbaik”, sukacita sejati kehidupan pernikahan.

Salah satu tugas saya sebagai diakon adalah untuk memeriksa apakah calon pasangan yang akan menikah secara kanonik dapat menikah Gereja. Untuk memenuhi ini, saya perlu mewawancarai pasangan tersebut dan mengajukan beberapa pertanyaan terkait. Namun, saya biasanya melangkah lebih jauh, dan saya mengingatkan mereka mengapa Gereja tidak mengakui pernikahan sipil. Jawabannya jelas namun sangat mendasar: Yesus, Mempelai Pria yang sejati, tidak ada di sana, atau tepatnya, kita melakukan upaya yang disengaja untuk mengecualikan-Nya dalam pernikahan kita. Persatuan antara pria dan wanita bukan hanya fenomena manusia, sosial dan budaya, tetapi kenyataan ilahi. Ketika seorang pria dan wanita mengikatkan diri dalam perkawinan, Tuhan sendirilah yang berkeinginan untuk menjadikan mereka satu. Karena itu, pernikahan pada dasarnya dan rahmat Tuhan bekerja dalam hubungan manusia. Dan jika Tuhan menyatukan mereka bersama, Dia juga akan menopang dan membawa kesempurnaan pada pernikahan tersebut. Inilah sebabnya mengapa pernikahan dinaikkan ke tingkat sakramen Gereja.

Namun, saya terus mengingatkan para pasangan bahwa pernikahan di Gereja tidak hanya berarti merayakan sakramen pernikahan tetapi untuk setia berada di dalam Gereja, Sang Mempelai Kristus, sepanjang hidup mereka: untuk menghadiri Ekaristi sebagai keluarga, untuk berpartisipasi aktif dalam Gereja, untuk berdoa bersama secara teratur. Karena anggur tidak mungkin terjadi tanpa kendi air, rahmat Allah tidak akan berhasil dalam pernikahan kita kecuali jika kita membuka diri terhadap rahmat Allah. Seperti Maria yang menunjukkan pada Yesus apa yang kurang dalam pernikahan di Kana, maka Gereja meminta Yesus untuk memenuhi setiap pernikahan dengan anggur terbaik.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Lord, Have Mercy

Reflection on the 30th Sunday in Ordinary Time [October 28, 2018] Mark 10:46-52

“Jesus, son of David, have mercy on me.” (Mk. 10:47)

bartimaeusI made my religious vow more than eight years ago with 12 other Dominican brothers. One of the most touching moments within this rite of the religious profession was when Fr. Provincial asked us, “What do you seek?” and we all prostrated, kiss the ground, and declared, “God’s mercy and yours!” After a brief moment, Fr. Provincial asked us to stand, and we began professing our vows before him.  As I recall this defining moment in my life, I am pondering in my heart, “Why it has to be mercy?” Why do we not choose other Christian virtues? Why not fortitude, one of the cardinal virtues in the Christian tradition? Why not love, the greatest of all virtues?

However, religious profession is not an isolated case. If we observe our celebration of the Holy Eucharist, the rite is filled with our pleading for mercy. At the beginning of the Mass, after recalling our sins, we say, “Lord, have mercy” three times. In the Eucharistic prayer, we once again beg mercy that we may be coheirs of eternal life. And, before we receive the Holy Communion, we pray to the Lamb of God who takes away the sin of the world, that He may have mercy on us. Not only in the Eucharist, but an appeal for mercy is also found in the other sacraments and devotions. In the sacrament of confession, the formula of absolution begins with addressing God as the Father of Mercy. In every litany to the saints, it always commences with the plead of mercy to the Holy Trinity. Again, the question is why does it have to be mercy?

We may see the glimpse of the answer in our Gospel today. Jesus is leaving Jericho and making his final journey to Jerusalem. Then, suddenly Bartimaeus, a blind beggar, shouts to the top of his lungs, “Jesus, Son of David, have mercy on me!” He was so persistent that after being rebuked by others, he shouts even louder. Upon hearing the plea of mercy, Jesus who has set his sight on Jerusalem decides to stop. Jesus simply cannot be deaf to Bartimaeus’ appeal. He cannot just ignore mercy. Yet, this is not the only episode where Jesus changes His initial plans and listens to the request for mercy. He cleanses a leper because of mercy (Mrk 1:41). Moved by mercy, He feeds the five thousand and more people (Mrk 6:30). If there is anything that can change the mind and heart of Jesus, the mind and heart of God, it is mercy.

Pope Francis echoes his predecessors, St. Pope John Paul II, and Pope Benedict XVI, saying that the first and essential attribute of God is mercy. Indeed, God as being merciful is discovered in many places in the Bible (see Exo 34:6,7; Dt 4:31; Ps 62:12, etc.). That is why the name of God is mercy. It is our faith that proclaims that God cannot but be merciful. He is God who goes as far as to become human and die on the cross to embrace the wretched sinners like us.

However, what makes Bartimaeus unique is that he was the first in the Gospel of Mark to verbalize the plead for mercy to Jesus. Following the example of Bartimaeus, the Church has continued to become the beggar of God’s mercy. Like Bartimaeus, we verbalize our need for God’s mercy in our worship, our prayers, and our life. We ask mercy when life become tough and unforgiving. We cry “Mercy!” when we are tempted, we fail to please God, or so much harm has been done to ourselves and other people.  Every night before I close my eyes, I recite “Lord, have mercy!” several times, hoping that this will be a habit and my last words when I meet my Creator. We plead for mercy when knowing that we are not worthy of God, we are confident that God will change “His mind” and embrace us once again.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Tuhan, Kasihanilah

Renungan pada Minggu ke-30 di Masa Biasa [28 Oktober 2018] Markus 10: 46-52

“Yesus, anak Daud, kasihanilah aku.” (Markus 10:47)

bartimaeus 2Saya mengucapkan kaul lebih dari delapan tahun yang lalu bersama dengan 12 frater lainnya. Salah satu momen paling menyentuh dalam ritual profesi religius ini adalah ketika Romo Provinsial bertanya kepada kami, “Apa yang kamu cari?” Dan kami semua bersujud dan berbaring di lantai, sambil berseru, “Belas kasih Tuhan dan juga komunitas!” Setelah beberapa saat, Pastor Provinsi meminta kami untuk berdiri, dan kami mulai mengucapkan kaul kami di hadapannya. Saat saya mengingat momen yang penting ini, saya merenungkan dalam hati saya, “Mengapa harus meminta belas kasih?” Mengapa kita tidak memilih keutamaan lainnya? Mengapa tidak keadilan, yang adalah salah satu keutamaan penting dalam tradisi Kristiani? Mengapa tidak cinta kasih, yang adalah keutamaan terbesar dari semua keutamaan?

Namun, profesi religious ini bukanlah satu-satunya. Jika kita mengamati perayaan Ekaristi Kudus, ritus ini penuhi dengan permohonan belas kasihan. Pada awal Misa, setelah kita mengingat dosa-dosa kita, kita berseru, “Tuhan, kasihanilah kami” tiga kali. Dalam doa Syukur Agung, kita sekali lagi memohon belas kasihan Tuhan agar kita bisa menikmati kehidupan kekal bersama para kudus. Dan, sebelum kita menerima Komuni Kudus, kita berdoa kepada Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia, supaya Dia berbelas kasihan kepada kita. Tidak hanya dalam Ekaristi, tetapi permohonan belas kasih juga ditemukan dalam sakramen-sakramen lainnya. Sekali lagi, pertanyaannya adalah mengapa harus belaskasih?

Kita mungkin melihat sekilas jawaban dalam Injil kita hari ini. Yesus meninggalkan Yerikho dan melakukan perjalanan terakhirnya ke Yerusalem. Kemudian, tiba-tiba Bartimeus, seorang pengemis buta, berteriak dengan penuh daya, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Dia begitu gigih sehingga setelah ditegur oleh banyak orang, dia bahkan berteriak lebih keras. Setelah mendengar permohonan belas kasihan, Yesus yang telah menetapkan pandangannya ke Yerusalem memutuskan untuk berhenti. Yesus tidak bisa pura-pura tuli terhadap seruan Bartimeus. Dia tidak bisa mengabaikan belas kasihan. Namun, ini bukan satu-satunya episode di mana Yesus mengubah rencana awalnya dan mendengarkan permintaan belas kasihan. Dia membersihkan seorang penderita kusta karena belas kasihan (Mrk 1:41). Tergerak oleh belas kasihan, Dia memberi makan lima ribu orang (Mrk 6:30). Jika ada sesuatu yang dapat mengubah pikiran dan hati Yesus, pikiran dan hati Tuhan, ini adalah belas kasih.

Paus Fransiskus mengemakan para pendahulunya, Santo Paus Yohanes Paulus II, dan Paus Benediktus XVI, mengatakan bahwa karakter pertama dan esensial dari Allah adalah belas kasih. Sesungguhnya, Tuhan yang penuh belas kasihan ditemukan di banyak tempat dalam Alkitab (lihat Kel 34: 6,7; Ul. 4:31; Mz 62:12, dll.). Itulah mengapa nama Tuhan adalah belas kasih.

Namun, apa yang membuat Bartimeus unik adalah bahwa ia adalah yang pertama dalam Injil Markus yang menyatakan secara verbal permohonan belas kasihan kepada Yesus. Mengikuti contoh Bartimeus, Gereja terus menjadi pengemis belas kasihan Allah. Seperti Bartimeus yang mengikuti Yesus, mengikuti-Nya berarti bahwa kita memiliki kesadaran bahwa Allah sangat berbelas kasih kepada kita dan kita membutuhkan kemurahan Tuhan. Seperti Bartimeus, kita mengungkapkan kebutuhan kita akan belas kasih Tuhan dalam ibadah kita, doa-doa kita, dan hidup kita. Kita memohon belas kasihan saat hidup menjadi sulit dan diluar kendali kita. Kita berseru “Tuhan, kasihanilah!” Ketika kita menghadapi pencobaan, ataupun saat kita gagal. Saya juga memiliki kebiasaan bahwa setiap malam sebelum saya beristirahat, saya berdoa “Tuhan, kasihilah aku!”, mengakui kegagalan saya pada hari ini, namun yakin bahwa Tuhan tidak akan pernah meninggalkan saya. Kita memohon belas kasihan ketika mengetahui bahwa kita tidak layak, namun kita percaya bahwa Tuhan akan mengubah “pikiran-Nya” dan merangkul kita sekali lagi.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP