Yusuf, sang Ayah Penuh Iman

Minggu Keempat Adven [A] – 21 Desember 2019 – Matius 1: 18-24

Let-Mom-Rest(1)Beberapa hari yang lalu, ada sebuah gambar akan  kelahiran Tuhan Yesus menjadi viral. Gambar itu disebut “Biarkan Bunda Beristirahat”. Karakter utama dari gambar ini adalah Yusuf mengendong bayi Yesus sementara Maria beristirahat. Gambaran ini menunjukkan kepada kita aspek yang jarang tersentuh dari kelahiran Yesus. Seringkali, kita memusatkan perhatian kita pada Yesus bersama Maria, ibu-Nya. Kita menghormati Maria karena kesediaannya untuk mengandung Yesus di rahimnya meskipun begitu banyak bahaya dan kesulitan dan untuk tetap menjadi murid Yesus yang setia sampai akhir. Namun, gambar ini membawa kita kepada karakter penting lain yang sering kita abaikan, St Yusuf, sebagai orang beriman.

Jika Tuhan telah memilih dan mempersiapkan wanita yang paling cocok dalam sejarah manusia untuk menjadi ibu dari Anak-Nya, logika yang sama juga mengatur pilihan ayah angkat Yesus. Orang yang paling cocok dipilih untuk tugas besar namun luar biasa ini jatuh ke tangan St. Yusuf.

Sayangnya, kita tidak tahu banyak tentang Yusuf. Matius hanya memberi kita informasi yang sangat sedikit, tetapi dari sedikit pengetahuan ini, kita dapat mengekstraksi beberapa kebenaran penting. Pertama, Yusuf berasal dari keluarga Daud. Ini berarti bahwa setiap anak yang ia terima secara hukum akan menjadi bagian dari keluarga Daud juga. Yusuf adalah mata rantai yang menghubungkan antara Yesus dan Daud, dan dengan demikian, kelahiran Yesus akan menggenapi nubuat bahwa Mesias akan datang dari garis keturunan Daud.

Kedua, dia adalah seorang tukang kayu, dan menjadi seorang tukang kayu bukanlah pekerjaan yang menjanjikan untuk bertahan hidup di Palestina abad pertama. Namun, Yusuf tahu betul bahwa kerja keras, presisi, dan kesempurnaan adalah bagian dari pekerjaannya. Kehidupan yang sulit adalah rutinitas harian bagi Yusuf. Tuhan tahu untuk membesarkan Anak-Nya akan membutuhkan banyak pengorbanan, dan Yusuf, sang tukang kayu, sanggup menghadapi tantangan itu.

Menerima dan membesarkan anak yang bukan miliknya, tentu merupakan panggilan yang sulit, tetapi Yusuf mematuhi kehendak Allah yang telah dinyatakan dalam mimpinya, “Jangan takut untuk mengambil Maria sebagai istrimu.” Selain itu, Yusuf memastikan bahwa misi ini akan tuntas. Dari gambar “Biarkan Bunda Beristirahat”, tampaknya Maria baru saja melahirkan Yesus dan proses melahirkan tentunya yang menguras tenaga. Maria kelelahan. Yusuf mengambil alih tanggung jawab untuk merawat bayi Yesus, sementara Maria mendapatkan kesempatan beristirahat. Ini hanyalah satu contoh konkret kecil dari bagaimana Yusuf menjalankan misi yang diberikan Allah untuk membesarkan Anak Allah. Tentu saja, tugasnya tidak hanya diwujudkan dalam peristiwa ini. Dia melindungi Maria dan Anaknya dari bahaya, terutama dari ancaman dari Herodes Agung yang akan membunuh Yesus. Selama sisa hidupnya, Yusuf akan bekerja keras untuk menyediakan, mendidik, dan membesarkan Yesus sebagai seorang manusia yang siap memberikan hidup-Nya untuk semua.

Seperti Maria, Yusuf juga tidak mengerti mengapa ia harus menjadi ayah dari akan orang lain, mengapa ia harus mempertaruhkan nyawanya dan masa depannya untuk seorang putra yang bukan anaknya? Namun, seperti Maria, Yusuf memiliki iman dan menerima kehendak Allah dalam hidupnya. Tidak hanya sekadar menerima kehendak Tuhan, tetapi dia juga memastikan bahwa dia memberikan yang terbaik dan membuat rencana Tuhan terwujud.

Kita sering tidak mengerti mengapa rencana Tuhan untuk kita. Kita tahu kemana Tuhan akan membawa kita. Namun, seperti Maria dan Yusuf, kita dipanggil untuk menjadi pria dan wanita yang beriman, untuk menerima rencana Allah sebagai milik kita sendiri dan membawa kehendak-Nya ke dalam kesempurnaan.

 Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Like John the Baptist

2nd Sunday of Advent [A] – [December 8, 2019] – Matthew 3:1-12

john-the-baptist-mafaJohn the Baptist is a prominent figure in four Gospels, and he powerfully appears before Jesus begins His public ministry. But, who is this John the Baptist? His name is simply John, and the Church calls him the Baptist to distinguish him from other John in the Bible like John the son of Zebedee, one of Jesus’ disciples. John the Baptist is the miracle son of Zacharia and Elizabeth in their old days. And since Elizabeth and Mary, the mother of Jesus, are relatives, John and Jesus are closely related to each other.

Certainly, there is something strange about this John. He is eating locust and honey. Surely, it is an exotic food, but we need to remember he is living in the desert, and this kind of food is common. He is wearing clothing made of camel’s hair and a leather belt around his waist. It is just a fashion statement or he has nothing to wear. John’s clothing reminds us of the things Prophet Elijah wore in his time [see 1 Kings 1:8]. John is presenting himself as a prophet, and not any prophet, he is the new Elijah. The appearance of Elijah is an important sign of the imminent coming of the Messiah [Mal 4:5].

One thing for sure about John is that he becomes very popular, and people from all over the country come to him, to listen to his preaching and to be baptized as a sign of repentance. Yet, despite the great number of followers, he remains true to his mission. He is preaching on the coming of someone who is much greater than him, even he declares that “is unworthy to carry His sandals.” He is God’s instrument in fulfilling the prophecy, and he has a specific role to play.

Now, we know a little background about John the Baptist, what will be next for us? Certainly, we are not called to follow him in wearing clothing made of camel’s hair or to eat locust everyday, but we are to prepare the way for the coming of the Savior. How? Some of us are called literally to baptize people like myself. Some are commissioned to preach and educate people. Yet, all of us is to live a life of repentance. The repentance has to be alive and penetrating all aspects of life. The word used by John in Greek is “metanoiete” and it does not simply mean “repent!” but more precisely, “keep repenting!”

The first stage of repentance is certainly turning away from a sinful life, but it is more than that. Repentance is not about one-done-deal action, but a life-long process. The word “Metanoia” is coming from two words, “meta” meaning “changing” and “nous” meaning “mind”; Thus, “metanoia” means changing of mind, changing the way we see life and the way we live. Our mind is no longer earth-bond, but fixed into God. The transformation is not from sinful life to a good life, but a life that is even closer to God. It implies changing of priority. Do we make God our priority? It entails holiness. Do we do things that are pleasing to God? This presupposes the love of God. Do we love God more than other things, or do we love other things more than Him?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Seperti Yohanes Pembaptis

Minggu ke-2 Adven [A] – [8 Desember 2019] – Matius 3: 1-12

John-the-Baptist-212x300Yohanes Pembaptis adalah tokoh terkemuka dalam keempat Injil, dan Yohanes muncul sebelum Yesus memulai pelayanan dan karnya-Nya. Tetapi, siapakah Yohanes Pembaptis ini? Namanya Yohanes, dan Gereja memanggilnya sebagai Pembaptis untuk membedakannya dari Yohanes lainnya dalam Alkitab seperti Yohanes putra Zebedeus, salah satu murid Yesus. Yohanes Pembaptis adalah putra Zakharia dan Elisabet yang terlahir di masa tua mereka. Dan karena Elizabeth dan Maria, ibu Yesus, masih saudara, Yohanes dan Yesus saling berhubungan erat.

Tentu saja, ada yang aneh dengan Yohanes ini. Dia memakan belalang dan madu. Tentunya, ini adalah makanan eksotis, tetapi kita harus ingat dia hidup di padang gurun, dan makanan seperti ini adalah hal biasa. Dia mengenakan pakaian yang terbuat dari rambut unta dan sabuk kulit di pinggangnya. Hal ini bukan berarti Yohanes suka berbusana trendi atau kekinin. Pakaian Yohanes mengingatkan orang-orang Yahudi akan hal-hal yang dikenakan Nabi Elia di masanya [lihat 1 Raja-Raja 1: 8]. Yohanes menunjukkan dirinya sebagai nabi, dan bukan nabi biasa, ia adalah Elia baru. Munculnya Elia adalah tanda penting dari kedatangan Mesias yang akan segera terjadi [Mal 4: 5].

Satu hal yang pasti tentang Yohanes adalah bahwa ia menjadi sangat populer, dan orang-orang dari seluruh negeri datang kepadanya, untuk mendengarkan khotbahnya dan untuk dibaptis sebagai tanda pertobatan. Namun, terlepas dari jumlah pengikut yang besar, ia tetap setia pada misinya. Dia mewartakan tentang kedatangan seseorang yang jauh lebih besar darinya, bahkan dia menyatakan bahwa “tidak layak untuk membawa sandal-Nya.” Dia adalah alat Tuhan dalam memenuhi nubuat, dan dia memiliki peran khusus untuk dimainkan.

Sekarang, kita tahu sedikit latar belakang tentang Yohanes Pembaptis, apa yang akan terjadi selanjutnya bagi kita? Tentu saja, kita tidak dipanggil untuk mengikutinya dalam mengenakan pakaian yang terbuat dari rambut unta atau makan belalang setiap hari, tetapi kita harus mempersiapkan jalan bagi kedatangan Juruselamat. Bagaimana? Beberapa dari kita dipanggil memang untuk membaptis orang seperti saya. Beberapa ditugaskan untuk mengabar dan mendidik orang. Namun, kita semua harus menjalani kehidupan pertobatan. Kata yang digunakan oleh Yohanes dalam bahasa Yunani adalah “metanoiete” dan itu tidak hanya berarti “bertobat!” Tetapi lebih tepatnya, “teruslah bertobat!”

Tahap pertobatan pertama tentu saja beralih dari kehidupan dosa, tetapi lebih dari itu. Pertobatan bukan tentang satu dua tindakan saja, tetapi proses seumur hidup. Kata “Metanoia” berasal dari dua kata, “meta” yang berarti “perubahan” dan “nous” yang berarti “pikiran”; Jadi, “metanoia” berarti mengubah pikiran, mengubah cara kita melihat kehidupan dan cara kita hidup. Pikiran kita bukan lagi tertuju pada hal-hal duniawi, tetapi terpaku pada Tuhan. Transformasi bukan hanya dari kehidupan yang berdosa menjadi kehidupan yang baik, tetapi kehidupan yang bahkan lebih dekat dengan Tuhan. Ini menyiratkan perubahan prioritas. Apakah kita menjadikan Tuhan sebagai prioritas kita? Ini membutuhkan kekudusan. Apakah kita melakukan hal-hal yang menyenangkan Allah? Ini mengandaikan kasih Allah. Apakah kita mencintai Tuhan lebih dari hal-hal lain, atau kita lebih mencintai hal-hal lain daripada Dia?

Yohanes Pembaptis doakanlah kami!

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Advent Mission: Be Holy!

First Sunday Advent [A] –  December 1, 2019 – Matthew 24:37-44

Advent coming of the saviorWe are entering the season of Advent. This time marks the beginning of the new liturgical year of the Church. The season itself is a preparation for us to welcome the Christmas, the coming of Jesus Christ. The word Advent is coming from the Latin word “Adventus” that simply means “arrival.” The dominant liturgical color will be purple that signifies hope and joyful expectation of the coming of our Savior.

The Church has always taught that there are two comings of Jesus. The first coming was two thousand years ago in Bethlehem, when Jesus was born into the simple family of Joseph and Mary. The second coming will be at the end of time, and nobody knows when it will be. It is the secret of God, and anybody who attempts to predict it is bound to fail.

Particularly, the first Sunday of Advent focuses on the second coming of Jesus. From the reading, we can extract at least two characteristics of this coming. Firstly, there will be judgment and the segregation between the good and the evil. Secondly, the coming will be utterly unexpected like the day of Great Flood in the time of Noah and his family or like a thief at the night. Since there will be a judgment based on our life as well as the unpredictable timing, we are expected to be always ready by persevering doing good.

The purpose of Advent is truly to remind us that God will definitely come, and we are prepared for that coming. How are we going to prepare for Jesus’ coming then?

The answer is unbelievably simple: be holy and keep holy. Surely, it is easier said than done, yet we can learn from the saints (they are called “saints” precisely because they have lived a holy life). Yet, again some of us may say that is just tough to be a saint, and it is almost impossible to be like John Paul II who was the holy Pope, or to be like Mother Teresa of Calcutta who spent her life in slump of India and tirelessly the poor, or like St. Stephen who was stoned to death for preaching Jesus. Indeed, it seems to be unsurmountable if we focus on the greatness of these saints, but truthfully, there are a lot of saints who are living simple lives.

St. Therese of the Child Jesus who spent her quiet and simple life inside a convent once wrote, “Miss no single opportunity of making some small sacrifice, here by a smiling look, thereby a kindly word; always doing the smallest right and doing it all for love.” They are many things we can offer sacrifice in our daily life, like our addiction to cellphone, our obsession to be workaholic, our time for our hobbies, and our tendency to complain. While St. Martin de Porres, a Dominican brother, who spent his life cleaning the convent and serving the poor, shows us that the path of holiness is not always grand, “Everything, even sweeping, scraping vegetables, weeding a garden and waiting on the sick could be a prayer, if it was offered to God.”

The way to prepare Jesus’ second coming is by being holy, and living a holy life can be done in doing ordinary things in love and for God.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Misi Adven: Menjadi Kudus

Minggu Adven Pertama [A] – 1 Desember 2019 – Matius 24:37-44

Advent-season-candlesKita memasuki masa Adven. Waktu ini menandai awal tahun liturgi Gereja yang baru. Masa itu sendiri adalah persiapan bagi kita untuk menyambut Natal, kedatangan Yesus Kristus. Kata Adven berasal dari kata Latin “Adventus” yang berarti “kedatangan.” Warna liturgi yang dominan adalah ungu yang menandakan harapan penuh sukacita akan kedatangan Juruselamat kita.

Gereja selalu mengajarkan bahwa ada dua kedatangan Yesus. Kedatangan pertama adalah dua ribu tahun yang lalu di Betlehem, ketika Yesus dilahirkan dalam keluarga sederhana Yusuf dan Maria. Kedatangan kedua akan terjadi pada akhir zaman, dan tidak ada yang tahu kapan itu akan terjadi. Itu adalah rahasia Tuhan, dan siapa pun yang mencoba untuk memprediksi pasti akan gagal dan menjadi nabi palsu.

Khususnya, hari Minggu Adven pertama berfokus pada kedatangan Yesus yang kedua. Dari bacaan Injil, kita dapat melihat setidaknya dua karakteristik dari kedatangan ini. Pertama, akan ada penghakiman dan pemisahan antara yang baik dan yang jahat. Kedua, kedatangan akan sama sekali tak terduga seperti hari Air Bah di zaman Nuh dan keluarganya atau seperti pencuri di malam hari. Karena akan ada penilaian berdasarkan hidup kita serta waktu yang tidak terduga, kita diharapkan untuk selalu siap dengan tekun berbuat baik.

Tujuan masa Adven adalah untuk mengingatkan kita bahwa Tuhan pasti akan datang, dan kita siap untuk kedatangan itu entah kapanpun itu. Bagaimana kita akan bersiap untuk kedatangan Yesus?

Jawabannya sangat sederhana: menjadi kudus dan tetaplah kudus. Tentunya, ini lebih mudah diucapkan daripada dilakukan, namun kita dapat belajar dari orang-orang kudus. Namun, sekali lagi beberapa dari kita mungkin mengatakan itu sulit untuk menjadi orang kudus, dan hampir tidak mungkin untuk menyerupai Yohanes Paulus II yang adalah Paus suci, atau untuk meniru Bunda Teresa dari Calcutta yang menghabiskan hidupnya dalam di daerah kumuh di India dan melayani tanpa lelah orang-orang miskin, atau seperti Santo Stefanus yang dilempari batu sampai mati karena menjadi saksi Yesus. Memang, tampaknya mustahil jika kita fokus pada kebesaran orang-orang kudus ini, tetapi sebenarnya, ada banyak orang kudus yang menjalani kehidupan sederhana.

St. Teresa dari Anak-Anak Yesus yang menghabiskan hidupnya yang sangat sederhana di dalam sebuah biara pernah menulis, “Jangan lewatkan kesempatan untuk berkorban kecil, di sini dengan wajah tersenyum, di sana dengan kata-kata yang ramah; selalu melakukan hal yang paling kecil dan melakukan semuanya demi kasih. ” Itu adalah banyak hal yang dapat kita persembahkan dalam kehidupan sehari-hari, seperti kecanduan kita pada ponsel, obsesi kita untuk menjadi gila kerja, waktu kita untuk hobi kita, dan kecenderungan kita untuk mengeluh. Sementara St. Martin de Porres, seorang bruder Dominikan, yang menghabiskan hidupnya membersihkan biara dan melayani orang miskin, menunjukkan kepada kita bahwa jalan kekudusan tidak selalu dasyat, “Segalanya, bahkan menyapu, membersihkan sayuran, menyiangi kebun dan merawat orang sakit bisa menjadi doa, jika dipersembahkan kepada Tuhan. “

Cara untuk mempersiapkan kedatangan kedua Yesus adalah dengan menjadi kudus, dan menjalani kehidupan yang suci dapat dilakukan dalam melakukan hal-hal biasa dalam kasih dan untuk Tuhan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Dominic, the Light of the Church

Feast of St. Dominic de Guzman – Founder of Order of Preachers

August 8, 2019

dominic 3Today, we are celebrating the feast of St. Dominic de Guzman. St. Dominic was born around 1170 in Caleruega, Old Castile, Spain. As a saint, he was not that famous as his counterpart, St. Francis of Assisi, perhaps because he did not write any book or writings that would echo his spirituality. Maybe this is the reason why we do not have a solid and systematic understanding of Dominican Spirituality.

By tradition, St. Dominic is called as the light of the Church. And why? St. Dominic was living in the time where the Church was facing enemies from without and conflicts from within. The Heretics, especially the Albigentians, were attacking the Church restlessly, and the Church was weakened by her dogmatically unprepared and timid priests. Many Catholics were confused, and nobody was defending the true faith to them. It was a dark period for the Church.

Dominic, who loved his Church deeply responded to the call of his time and offered his life to enlighten souls living in the dark and to bring back to the lost sheep to the Church’s fold. Yet, to achieve that end, he had to be in deep relationship with Jesus, the true Light of the World. Thus, his life of prayers and mortification were extraordinary. Rather than to take rest, he spent a night in vigil, refused to take good food, and slept on the floor. Dominic also understood that to explain faith, he must both study and live by the Gospel. He became poor, just like Jesus was poor for the sake of the Kingdom. Dominic became preacher, just like Jesus was preacher par excellence. Dominic offered himself as a “lantern,” a weak instrument yet brings light that both shines brightly and illumines clearly in the dark. He is the light of the Church because he bore the Light of the World.

The Dominicans always have an intimate bond with Mary, the Mother of God. One of the reasons why we are close to her is that we participate in her mission also to bear the Truth and to reflect the same Light. The song of Mary that Luke recorded is traditionally called the Magnificat [Luk 1:46ff]. The title is from the first Latin word that appears in the canticle, “Magnificat anima mea Dominum.” The original Greek is “μεγαλύνω” [megaluno], to make great. The idea is like the magnifying glass that intensifies the light and the heat of the sun, and thus, emits powerful energy. Mary is not the source of the light, and she is the receiver. Yet, Mary does not passively reflect the light, but she actively magnifies it. Through Mary, the light of Christ becomes more intense, powerful, and penetrating.

Following the footsteps of Dominic and our Lady, we are also called to bear the Light of Christ and to magnify it. In the words of St. Thomas Aquinas, “Better to illuminate than merely to shine… [S.T. II.II. 188].”

                Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Dominikus, Sang Cahaya Gereja

Pesta St. Dominikus de Guzman – Pendiri Ordo Pewarta

8 Agustus 2019

Stampita Front Dominikus(1)Hari ini, kita merayakan pesta St. Dominikus de Guzman. St. Dominikus dilahirkan sekitar tahun 1170 di Caleruega, Kastilia, Spanyol. Sebagai seorang kudus, ia tidak setenar rekannya, Santo Fransiskus dari Assisi, mungkin karena ia tidak menulis buku atau meninggalkan tulisan apa pun yang akan menggemakan spiritualitasnya. Mungkin inilah alasan mengapa kita tidak memiliki pemahaman yang solid dan sistematis tentang Spiritualitas Dominikan.

Menurut tradisi, St. Dominikus disebut sebagai cahaya Gereja. Dan mengapa? St. Dominikus hidup di zaman ketika Gereja menghadapi musuh dari luar dan konflik dari dalam. Kaum Bidaah, khususnya kaum Albigentian, menyerang Gereja tanpa henti, dan Gereja dilemahkan oleh para imam tidak siap secara intelektual maupun secara mental. Banyak orang Katolik yang bingung, dan tidak ada yang menerangkan iman yang benar kepada mereka. Itu adalah masa yang gelap bagi Gereja.

Dominikus, yang sangat mencintai Gereja-Nya, menanggapi panggilan zamannya dan memberikan hidupnya bagi pencerahan jiwa-jiwa yang hidup dalam kegelapan dan untuk membawa kembali kepada domba-domba yang hilang ke kandang Gereja. Namun, untuk mencapai tujuan itu, ia harus berada dalam hubungan yang mendalam dengan Yesus, Sang Terang Dunia yang sejati. Karena itu, kehidupan doanya dan mati raganya sangat luar biasa. Alih-alih beristirahat, ia menghabiskan malam dalam vigili, menolak untuk makan makanan enak, dan tidur di lantai. Dominikus juga mengerti bahwa untuk menjelaskan iman, ia harus belajar dengan tekun dan menghidupi Injil. Ia menjadi miskin, sama seperti Yesus miskin demi Kerajaan Allah. Dominikus menjadi pengkhotbah, sama seperti Yesus adalah pengkhotbah sejati. Dominikus mempersembahkan dirinya sebagai “lentera,” sebuah instrumen yang lemah namun membawa cahaya yang bersinar terang dan menerangi dengan jelas dalam gelap. Dia adalah cahaya bagi Gereja karena dia membawa dalam dirinya Sang Terang Dunia.

Para putra-putri St. Dominikus selalu memiliki ikatan mendalam dengan Maria, Bunda Allah. Salah satu alasan mengapa kita dekat dengannya adalah karena kita berpartisipasi dalam misinya yang juga membawa Terang Kebenaran dan merefleksikan Cahaya yang sejati. Nyanyian Maria yang ditulis dalam Injil Lukas secara tradisional disebut sebagai Magnificat [Luk 1:46]. Judul ini berasal dari kata Latin pertama yang muncul di kidung tersebut, “Magnificat anima mea Dominum.” Bahasa Yunani aslinya adalah “μεγαλύνω” [megaluno], secara harafiah berarti membuat menjadi besar. Idenya seperti kaca pembesar yang mengintensifkan cahaya dan panas matahari, dan dengan demikian, memancarkan energi yang kuat dan dapat membakar. Maria bukanlah sumber cahaya, tetapi sang penerima. Namun, Maria tidak secara pasif merefleksikan cahaya, tetapi dia secara aktif mengumpulkannya dan menjadikan lebih terfokus. Melalui Maria, terang Kristus menjadi lebih kuat, bertenaga dan berdaya guna.

Mengikuti jejak Dominikus dan Bunda Maria, kita juga dipanggil untuk membawa Terang Kristus dan membagikan-Nya di dalam bentuk yang lebih dahsyat dan penuh daya. Dalam kata-kata St Thomas Aquinas, “Lebih baik untuk menerangi daripada hanya untuk bersinar … [S.T. II. II. 188]. “

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Grace Abounds All the More

Conversion of St. Paul, the Apostle [January 25, 2019] Mark 16:15-18

st. paul conversion 2Today we are celebrating the feast of the conversion of St. Paul, the Apostle. St. Paul is one of the greatest names in our Church. Many churches are named after him, like one of the major Basilica in Rome, St. Paul outside the Wall. Not only churches but also many Christians are named after him, including our brothers in the house of formation, Bro. John Paul Sontillano, Bro. Paulus Gabriel Rambang Ngawan, and our former formator, Fr. Pablo Tiong.

Paul is an apostle and yet, he was not part of the 12 apostles. It is through a special revelation, he was called by Jesus and sent to preach the Gospel to all nations, thus, he was called also as the apostle to the nations or of the Gentiles. Indeed, he was doing his job very well, as he preached zealously, traveled tirelessly, and founded many local churches in Asia and Europe, like in Corinth, Thessaloniki, and Galatia. Thirteen of his letters addressed to these communities or to his co-workers like Timothy and Titus, have become part of the New Testament, considered inspired, and thus, the Word of God. And from his letters, the Church has shaped her teachings, doctrines, and orthodoxy, like the primacy of love in Christian living in 1 Cor 13, that love is patient, love is kind, love never fails. Or, in 1 Cor 11, we discover Paul condemns those who failed to celebrate the Eucharist worthily, rooted in the doctrine of the Real Presence of Jesus Christ in the Eucharist. Paul was so inspiring that he inspires St. Luke, the evangelist to devote half of his Acts of the Apostles, to the story and journey of St. Paul.

However, this is only half of the story. Before Paul, there was Saul. Saul was zealous Pharisee who hated Jesus and His followers so much. He went door to door just to arrest Christian, put them in jail, and persecuted them. Young Saul also consented to the murder of the first martyr, Stephen. The Acts of Apostles 9:1 described him as someone who breathes threats and murders. Saul was a dark character with much violence and anger.

However, the Good News of salvation for Saul: no matter dark, violent and broken Saul was, God, is more powerful than all these ugly things. God’s grace, mercy, and love can transform the persecutor of Christ into the vessel of grace. That is why we are celebrating the conversion of St. Paul, not only about St. Paul but the conversion. It is not about Paul’s greatness, achievement, and holiness, but it is God.

Like Paul, we all have our own darkness and brokenness, some may come from broken family, some having a broken family, some have traumatic experiences, some losing people we love in a painful way, some are victims of abuses, some struggling with sickness, with anger, with depression, with poverty or other problems. We are still wrestling with our sinful attitudes and tendencies. Yet, the Good News Paul received is also the same Good News we receive. All of these ugly things have not the last word on us. Our God is stronger than all of this ugliness of life.

As St. Paul himself says, “When sin abounds, grace abounds all the more!” (Rom 5:20)

St. Paul, the apostle, pray for us.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

A Child as a Gift

Solemnity of the Nativity of John the Baptist [June 24, 2018] Luke 1:57-66, 80

“The Lord had shown his great mercy toward her, and they rejoiced with her.” (Lk. 1:58)

child in churchToday we are celebrating the birth of John the Baptist. Two figures emerge as the protagonists of our today’s Gospel, Elizabeth, and Zachariah. Luke describes the couple as “righteous in the eyes of God, observing all the commandments and ordinances of the Lord blamelessly. (Luk 1:6)”. But, they have no child. The possibility to have a child is close to zero as Elizabeth is perceived to be barren and Zachariah is already old. In ancient Jewish society, children are considered to be a blessing of the Lord and a source of honor, and barrenness is a curse and shame.

However, the archangel Gabriel appears to Zachariah and tells him that his wife will get pregnant despite her barrenness and his advanced age. Paying close attention to their names, we may discover even richer meaning. Zachariah, from the Hebrew word “Zakar” means to remember, and Elizabeth, a compound Hebrew words, “Eli,” and “Sabath” means God’s oath or promise. Thus, both names may mean God remembers His promise. In the Bible, when God remembers, it does simply mean God recalls something from memory, but it means God fulfills what He has promised. As God has fulfilled His promise to Zachariah’s ancestors, so God also remembers His promise to Elizabeth. The story of Elizabeth reverberate the stories of great women in the Old Testament: Sarah (Gen 15:3; 16:1), Rebekah (Gen 25:21), Rachel (Gen 29:31; 30:1), the mother of Samson and wife of Manoah (Jdg 13:2-3), and Hannah (1Sa 1:2).

What is God’s promise to Elizabeth and Zachariah, and eventually to all of us? St. Luke the evangelist points to us that God’s promise is to show His great mercy to Elisabeth and Zachariah (see Luk 1:58). The birth of John the Baptist is a sign of God’s mercy towards the righteous couple. Thus, the birth of every child is a sign of God’s promise fulfilled, a sign of God’s mercy to every parent. We recall that mercy is not something we deserve. Mercy is the embodiment of gratuitous love, the gift of love. Mercy is an utter gift. Through every child, God shows His great mercy to us, and together with Elizabeth and Zachariah, we shall rejoice because of this gift.

We are living in the world that is increasingly uncomfortable with the presence of the little children around us. There is this new fundamentalist mentality creeping into millennial generation. It is a mentality that promotes individual success as the prime and absolute value of happiness. Thus, anything that stands in its way has to be eradicated. This includes marriage, family life and finally children. They are no longer seen as a gift to be received with gratitude, but liabilities to be avoided. When I visited South Korea last year, my Dominican Korean friend told me that young generation of Korea is working very hard to the point that they longer consider marriage and having children as their priorities. Indeed, unlike in the Philippines or Indonesia, it was not easy to spot little children playing freely. I guess the decline in population growth is a problem in many progressive countries.

We deny neither the fact that it is a backbreaking responsibility to raise children nor the reality that not all of us are called to become parents. However, it is also true that children are a gift not only to the particular family, but to the entire humanity, and thus, every one of us has the sacred call to protect and take care of the wellbeing of our children. We shall protect our children from any form of child abuse, from the debilitating effects of poverty, from the egocentric and contraceptive mentality and from evil of abortion. To honor a gift is to honor the giver, and thus, to honor every child is to honor the God who gives them to us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Anak Sebagai Tanda Belas Kasih Allah

Hari Raya Kelahiran Yohanes Pembaptis [24 Juni 2018] Lukas 1:57-66.80

“Tuhan telah menunjukkan rahmat-Nya yang begitu besar kepadanya, bersukacitalah mereka bersama-sama dengan dia.” (Lk. 1:58)

child in church 2Hari ini kita merayakan kelahiran Yohanes Pembaptis. Ada dua tokoh protagonis pada Injil kita hari ini, Elizabeth, dan Zakharia. Santo Lukas mendeskripsikan pasangan itu sebagai “orang benar di hadapan Allah dan hidup menurut segala perintah dan ketetapan Tuhan dengan tidak bercacat.” (Luk 1: 6) ”. Tapi, mereka tidak memiliki anak. Kemungkinan memiliki anak juga mendekati nol karena Elizabeth adalah mandul dan Zakharia sudah tua. Dalam masyarakat Yahudi kuno, anak dianggap sebagai berkat Tuhan dan sumber kehormatan, dan kemandulan adalah kutukan dan rasa malu.

Namun, malaikat Gabriel menampakkan diri kepada Zakharia dan mengatakan kepadanya bahwa istrinya akan hamil meskipun usia mereka yang lanjut. Melihat lebih dekat makna dari nama pasangan ini, kitapun bisa berefleksi lebih dalam. Zakharia dalam bahasa Ibrani berarti “mengingat”, dan Elisabet berasal dari dua kata Ibrani, “Eli” dan “Sabath” berarti janji Tuhan. Dengan demikian, kedua nama itu bisa berarti Tuhan mengingat janji-Nya. Dalam Kitab Suci, ketika Tuhan mengingat, ini bukan sekedar berarti Tuhan mengingat kembali sesuatu dari memori, tetapi ini berarti Tuhan memenuhi apa yang pernah dijanjikan-Nya. Karena Allah telah memenuhi janji-Nya kepada leluhur Zakharia, maka Allah juga mengingat janji-Nya kepada Elisabet. Kisah Elizabeth menggemakan kisah-kisah para wanita hebat dalam Perjanjian Lama: Sarah (Kej 15: 3; 16: 1), Ribka (Kej 25:21), Rahel (Kej 29:31; 30: 1), ibu dari Simson dan istri Manoah (Hak 13: 2-3), dan Hana (1 Sam 1: 2).

Apa janji Tuhan kepada Elizabeth dan Zakharia, dan juga bagi kita semua? St. Lukas menunjukkan kepada kita bahwa janji Allah adalah Dia akan menunjukkan rahmat dan belas kasihan-Nya kepada Elisabeth dan Zakharia (lihat Luk 1:58). Kelahiran Yohanes Pembaptis menjadi tanda rahmat dan belas kasihan Allah terhadap pasangan yang saleh ini. Dengan demikian, kelahiran setiap anak adalah tanda bahwa janji Allah digenapi, tanda belas kasihan Allah kepada setiap orang tua. Kita ingat bahwa rahmat belas kasihan bukanlah sesuatu yang pantas kita terima. Belas kasih adalah berkat dan anugerah. Melalui setiap anak, Tuhan menunjukkan belas kasihan-Nya kepada kita, dan bersama-sama dengan Elizabeth dan Zakharia, kita juga akan bersukacita.

Namun, hal ini tidak mudah. Kita hidup di dunia yang semakin merasa tidak nyaman dengan kehadiran anak-anak kecil di sekitar kita. Ada mentalitas jahat yang merayap ke generasi zaman now. Ini adalah mentalitas yang mempromosikan kesuksesan individu sebagai nilai kebahagiaan yang utama. Jadi, apa pun yang menghalangi kesuksesan harus diberantas. Ini termasuk pernikahan, kehidupan berkeluarga dan akhirnya anak-anak. Mereka tidak lagi dilihat sebagai anugerah yang diterima dengan rasa syukur, tetapi beban yang harus dihindari. Ketika saya mengunjungi Korea Selatan tahun lalu, sahabat saya dari negeri tersebut mengatakan bahwa generasi muda Korea bekerja sangat keras sampai mereka tidak lagi membuat pernikahan dan memiliki anak sebagai prioritas mereka. Memang, tidak seperti di Filipina atau Indonesia, tidak mudah menemukan anak-anak kecil bermain dengan bebas di Seoul. Saya kira penurunan pertumbuhan penduduk adalah masalah di banyak negara yang maju.

Kita tidak menyangkal fakta bahwa untuk membesarkan anak-anak adalah tanggung jawab yang melelahkan, dan kita juga tidak menyangkal kenyataan bahwa tidak semua dipanggil untuk menjadi orang tua. Namun, adalah sebuah kebenaran bahwa anak-anak adalah anugerah tidak hanya bagi keluarga tertentu, tetapi untuk seluruh umat manusia, dan dengan demikian, kita semua memiliki panggilan suci untuk melindungi dan menjaga kesejahteraan anak-anak kita. Kita akan melindungi anak-anak kita dari segala bentuk pelecehan, dari efek melemahkan kemiskinan, dan dari mentalitas egosentris dan kontrasepsi. Menghargai sebuah pemberian berarti menghormati sang pemberi, dan dengan demikian, menghormati setiap anak berarti menghormati Tuhan yang memberi mereka kepada kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP