Featured

Jesus, Our Peace

16th Sunday in Ordinary Time [B]

July 21, 2024

Eph 2:13-18

In his letter to the Ephesians, St. Paul called Jesus ‘He is our peace.’ Yet, why did St. Paul apply this strange title to Jesus? What does it really mean? And, how does this title affect our faith?

To understand Paul, we have to understand also the Old Testament. Afterall, Paul was a member of Pharisees, and thus, not only a zelous but also learned Jew. When St. Paul called Jesus as ‘peace’, he referred to the peace offering of the Jerusalem Temple. The peace offering (in Hebrew, Shalom) is one of sacrifices instructed by the Lord to the Israelites through Moses (see Lev 3). The peace offerings together with other with other sacrifices continued being offered in the time of Jesus and Paul. The ritual sacrifices ceased when the Romans burned down the Temple of Jerusalem in 70 AD, around two decades after Paul’s martyrdom.

As its name suggests, the purpose of this sacrifice is the reconciliation between the Lord, the God of Israel, and the Israelites who have offended the Lord. However, unlike other sacrifices that emphasize on satisfactions of sins and transgressions, like sin offering (chatat) and guilt offering (asham), the peace offering focuses on the result of God’s forgiveness, that is peace. When man offends God because of his sins, man becomes far from God, like an stranger and even enemy. There is enmity between God and man because of sin. There is no peace. However, when the man is forgiven, and his sins are removed, his friendship with God is restored, and there is peace between God and men. This peace causes joy and thanksgiving. The peace offering symbolizes the joy of forgiveness, the thanksgiving of peace achieved.

When St. Paul called Jesus as ‘our peace,’ St. Paul recognized Jesus offered Himself as the peace offering in the cross. Jesus did not only remove our sins, but also reconciled us to the Father. Jesus is the peace because He broke our enmity with God, and brought us back to God in friendship. Only in Jesus, we are at peace with God.

However, peace offering is also a special kind of sacrifice because it is not burnt totally (unlike holocaust sacrifice) but rather being shared also with the priest and the offerers. The fatty parts is burnt because it is for the Lord, some other parts of the animal are for the priests to consume and other parts are for those who offer the sacrifice. Thus, the peace sacrifice is like a meal shared by everyone. The sacrifice becomes the symbol of peace because only people who are at peace with each other can share the same table and food.

However, what is even more remarkable is the Catholic Church has this peace offering. Indeed, our peace offering is the Eucharist. In the Eucharist, Jesus is offered to the God the Father, and then, consumed not only by the priest, but also the faithful who participate in the celebration. Jesus Christ is truly our peace because in the Eucharist, we share the same meal with God.

Valentinus  Bayuhadi Ruseno, OP

The True Glory

5th Sunday of Lent [B]

March 21, 2021

John 12:20-33

Traditionally, the Gospel of John is divided into two major divisions: the Book of Sign [chapter 1-12] and the Book of Glory [Chapter 13-21]. The book of Sign focuses on the public ministry of Jesus and presents the seven signs of Jesus. In John’s Gospel, Sign is a technical term for a miracle. Jesus’ signs begin with changing water into wine in Cana and reaching its culmination in raising Lazarus from the dead. Meanwhile, the book of Glory tells us how Jesus is glorified. The second part starts with Jesus and his disciples in the Upperroom and culminates in His Passion, death, and resurrection.

Today’s Gospel is coming from John chapter 12, and this chapter serves as a transition between the Book of Signs to the Book of Glory. This is also why the Church selected this reading: to prepare us to enter the Passion Sunday or the Holy Week.

One powerful lesson that we can see in today’s Gospel is how Jesus perceived His Passion and death. Undeniably, He would be crucified and die a horrible death. Crucifixion is a monstrous punishment reserved only for heinous criminals or violent rebels against the Romans. Crucifixion is dreadful because its purpose is to prolong the agony of the condemned before they met their death. On the cross, people are treated even lower than the animals. This is the kind of death that Jesus embraced.

Yet, in John’s Gospel, he did not see His crucifixion as a mere human event but divine providence. Jesus calls His crucifixion the glorification of the Son of Man. Jesus’ view does not only reverse the perspective of the cross but radically transform it. His crucifixion is not just something good or positive, but it is the victorious summit of His life. Jesus declared that the cross is the time of a judgment against the devil, the ruler of the world. Jesus also claimed that the cross is when people from all nations gather as one and receive salvation.

Does it mean Jesus simply dismisses His human side and acts ridiculously tough before the suffering of the cross? Jesus also recognized and admitted His human emotions. We know that Jesus manly faces the horror of His death in the garden of Gethsemane, yet when Jesus was firm to do the Father’s will and to love until the end.

From here, we can learn a profound lesson from Jesus. In following Christ, we might face trials and hardship in life, yet trusting in God’s providence, we can embrace them as our moment of glorification. Trusting in God’s providence is not running from the harsh realities of life, but in fact, it presupposes that we embrace all our humanity. It is not running but resolutely accepting it.

We can always see the lives of our saints. St. Agatha could easily escape death, but she refused to deny Christ and braved the horrifying tortures and death. Her torturers cut her breasts, and she was burned alive. In the eyes of the world, her death was senseless, but for them, it is sharing in the suffering of Christ, and thus, sharing in His Glory.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Photocredit: marcio-chagas

Kemuliaan Sejati

Minggu ke-5 Prapaskah [B]
21 Maret 2021
Yohanes 12: 20-33

njil Yohanes biasanya dibagi menjadi dua divisi utama: Buku Tanda-Tanda [bab 1-12] dan Buku Kemuliaan [Bab 13-21]. Buku Tanda-Tanda berfokus pada pelayanan publik Yesus dan juga tujuh ‘tanda’ Yesus. Dalam Injil Yohanes, ‘Tanda’ adalah istilah teknis untuk mukjizat. Tanda-tanda Yesus ini dimulai dengan mengubah air menjadi anggur di Kana dan mencapai puncaknya dengan membangkitkan Lazarus dari kematian. Sedangkan Buku Kemuliaan menjelaskan kepada kita bagaimana Yesus ‘dimuliakan’. Buku kedua dimulai dengan Yesus dan murid-murid-Nya di Ruang Atas dan berpuncak pada sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya.

Injil hari ini diambil dari Yohanes bab 12, dan bab ini berfungsi sebagai transisi antara Buku Tanda-Tanda ke Buku Kemuliaan. Ini juga mengapa Gereja memilih bacaan ini: untuk mempersiapkan kita memasuki Minggu Palma Sengsara Yesus dan Pekan Suci.

Satu pelajaran berharga yang dapat kita lihat dalam Injil hari ini adalah bagaimana Yesus memandang sengsara dan kematian-Nya. Tidak dapat disangkal, Yesus akan disalibkan dan wafat dengan cara yang mengerikan. Penyaliban adalah hukuman mengerikan yang hanya diperuntukkan bagi penjahat kelas berat dan pemberontak terhadap bangsa Romawi. Penyaliban ini mengerikan karena tujuannya adalah untuk memperpanjang penderitaan yang terhukum sebelum mereka menemui ajalnya. Di kayu salib, orang diperlakukan lebih rendah daripada hewan. Ini adalah kematian mengerikan yang Yesus akan rangkul.

Namun, dalam Injil Yohanes, Yesus tidak sekedar melihat penyaliban-Nya sebagai peristiwa manusia belaka tetapi sebagai penyelenggaraan ilahi. Yesus menyebut penyaliban-Nya sebagai kemuliaan Anak Manusia. Pandangan Yesus ini tidak hanya membalikkan perspektif salib tetapi secara radikal mentransformasinya. Penyaliban-Nya, bagi Yesus bukan hanya sesuatu yang baik atau positif, tetapi itu adalah puncak kemenangan dari hidup-Nya. Yesus menyatakan bahwa salib adalah waktu penghakiman terhadap iblis, penguasa dunia [Yoh 12:31]. Yesus juga mengklaim bahwa salib adalah saat orang-orang dari segala bangsa berkumpul menjadi satu dan menerima keselamatan [Yoh 12:32].

Apakah ini berarti Yesus mengabaikan sisi kemanusiaan-Nya dan menekan emosi-Nya sebelum menderita di kayu salib? Tentu tidak! Yesus juga mengenali dan menghidupi emosi manusiawi-Nya. Kita tahu bahwa Yesus menghadapi kengerian kematian-Nya di dalam sakratul maut di taman Getsemani, namun walaupun penuh pergulatan, Yesus tetap teguh untuk melakukan kehendak Bapa dan untuk mengasihi sampai akhir.

Dari sini, kita dapat mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dari Yesus. Dalam mengikuti Kristus, kita mungkin menghadapi pencobaan dan kesulitan dalam hidup, namun kita diajak untuk percaya pada penyelenggaraan Tuhan, dan kita dapat merangkul penderitaan kita sebagai momen kemuliaan kita. Percaya pada penyelenggaraan Tuhan bukan berarti lari dari kenyataan hidup, tetapi sebaliknya, hal ini mengandaikan bahwa kita merangkul seluruh kemanusiaan kita.

Kita selalu bisa belajar dari kehidupan para kudus kita. Sebagai contoh, St Agatha dapat dengan mudah lolos dari kematian, tetapi dia menolak untuk menyangkal Kristus dan menantang siksaan dan kematian yang mengerikan. Para penyiksanya memotong payudaranya, dan dia dibakar hidup-hidup. Di mata dunia, kematiannya tidak masuk akal, tetapi bagi mereka, yang berbagi dalam penderitaan Kristus, dan dengan demikian, berbagi dalam Kemuliaan-Nya.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photocredit: manuel-asturias

The Serpent, the Manna and the Eucharist

Fourth Sunday of Lent [B]
March 14, 2021
John 3:14-21

Today’s Gospel presents us with one of the most cryptic sayings of Jesus, “Just as Moses lifted up the serpent in the desert, so must the Son of Man be lifted up, so that everyone who believes in him may have eternal life.” To unpack this, we cannot but go back to the Old Testament, especially the Book of Numbers.

In the book of Numbers chapter 21, we will discover Israelites’ story in the desert who complained about God’s given food. They even called Manna from God as the wretched or even worthless food. Indeed, this ungrateful act brought upon themselves a terrible punishment. The seraph serpents assaulted and killed many Israelites. Aware that they were perishing, the Israelites begged for mercy. God instructed Moses to make a bronze serpent and mount it on a pole for people to see. Those who had been bitten saw the bronze serpent and recovered. With this story as a background, Jesus presented Himself like the bronze serpent. He would be lifted on the cross so that those who see Him and believe will receive eternal life.

Yet, there are more! We notice that the reason behind this punishment is that the Israelites failed to appreciate the bread from heaven and even called it worthless. Indeed, that was an act of ingratitude, but it was also an act of the desecration to the heavenly bread itself. No wonder that the punishment was so severe. Interestingly, Jesus pointed out that the Manna in the desert is a type of Eucharistic bread that He would give [see John 6:48-50]. Thus, the incident in Number 21 teaches us a hard lesson about what will happen if we dishonor not only any God’s gift but also the most precious gift, the Body of Christ in the Eucharist.

The one responsible for the death of the Israelites was the seraph serpents. This serpent was not an ordinary snake like cobra or python. The word ‘seraph’ or the ‘burning one’ reminds us of the seraphim, one of the higher echelons of angelic beings. Aside from that, the image of a serpent that attacked humanity brought us to Satan’s first assault against Adam and Eve. The attack against the Israelites in the desert was not merely a natural phenomenon but supernatural. The devil himself wreaked havoc on the people of Israel.

If we connect the dots, we will see the relation between the Manna, the serpent, and the bronze serpent. When the Israelites desecrated the Manna, the seraph serpents broke loose and began their onslaught. The Manna was not only nourishing the Israelites but also protecting them from spiritual harm. If Manna in the desert is a type of the Eucharist, the serpent is the devil, and the bronze serpent is Jesus crucified, we can move one step further. Every time we desecrate the Eucharist, we do not only insult God but also open the gate of hell and let diabolic power overpower us and our societies. This desecration can only be remedied by true repentance and the cross of Jesus.

If we see ourselves, our families, and our communities are falling apart and becoming an easy target of the devil, the root is that we fail to honor the Eucharist. Like the Manna that protected the Israelites against the serpents and nourished them along their journey, the eucharist is our bulwark against the onslaught of the devil, and it is our spiritual food that nourishes and strengthens us in this earthly journey.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photocredit: Maria Ostwalt

Ular, Manna dan Ekaristi

Minggu Keempat Prapaskah [B]

14 Maret 2021

Yohanes 3: 14-21

Injil hari ini memberi kita salah satu perkataan Yesus yang paling sulit dimengerti, “sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun,  demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan,  supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal.” Untuk memahami perkataan ini, kita perlu kembali ke Perjanjian Lama, terutama Kitab Bilangan.

Dalam kitab Bilangan bab 21, kita akan menemukan kisah bani Israel di padang gurun yang mengeluh tentang Manna yang diberikan Tuhan. Mereka bahkan menyebut Manna dari Tuhan tersebut sebagai makanan tidak ada gunanya atau bahkan tidak berharga. Tentunya, tindakan mereka ini membawa hukuman yang mengerikan. Ular tedung menyerang dan membunuh banyak orang Israel. Sadar bahwa mereka akan binasa, orang Israel memohon belas kasihan. Tuhan memerintahkan Musa untuk membuat ular perunggu dan memasangnya di tiang untuk dilihat orang. Mereka yang telah digigit dan melihat ular perunggu itupun pulih. Dengan latar belakang cerita ini, Yesus menampilkan diri-Nya seperti ular perunggu. Dia akan ditinggikan di kayu salib sehingga mereka yang melihat Dia dan percaya akan menerima hidup yang kekal.

Namun, ada hal yang menarik yang kita tidak boleh lewatkan! Jika kita memperhatikan, alasan dari mengapa orang Israel kena hukuman adalah bahwa orang Israel gagal menghargai roti dari surga dan bahkan menyebutnya tidak berharga. Tentunya, ini adalah tindakan tidak tahu berterima kasih, tetapi lebih dalam, ini merupakan tindakan penodaan terhadap roti surgawi itu sendiri. Inilah mengapa hukumannya sangat berat. Yang menarik adalah Yesus menunjukkan bahwa manna di gurun adalah tanda dari roti Ekaristi yang akan Dia berikan [lihat Yoh 6: 48-50]. Jadi, kejadian di Bilangan 21 mengajarkan kita pelajaran pahit apa yang akan terjadi jika kita tidak menghargai anugerah Tuhan, dan terutama anugerah yang paling berharga yakni, Tubuh Kristus dalam Ekaristi.

Yang bertanggung jawab atas kematian orang Israel adalah ular tedung.  Jika kita perhatikan, kata ibrani yang digunakan adalah ‘saraph.’ Kata ‘saraph’ atau ‘yang terbakar’ mengingatkan kita pada seraphim, salah satu malaikat di surga. Selain itu, cerita tentang ular yang menyerang umat manusia mengingatkan kita pada serangan pertama Setan terhadap Adam dan Hawa. Ular ini bukanlah ular biasa seperti ular cobra atau ular sanca. Serangan terhadap bangsa Israel di padang gurun bukan hanya fenomena alami, melainkan supranatural. Iblis sendiri yang datang membawa malapetaka bagi orang-orang Israel.

Jika sekarang kita menghubungkan hal-hal ini, kita akan melihat hubungan antara manna, ular ‘saraph’ dan ular perunggu. Ketika orang Israel menodai manna, ular seraph terlepas dan memulai serangan mereka. Manna tidak hanya memberi makan orang Israel, tetapi juga melindungi mereka dari bahaya rohani. Sekarang, jika manna di gurun adalah tanda dari Ekaristi, ular adalah iblis, dan ular perunggu adalah Yesus yang disalibkan, kita bisa melangkah lebih jauh. Setiap kali kita menodai Ekaristi, kita tidak hanya menghina Tuhan, tetapi juga membuka gerbang neraka dan membiarkan kekuatan jahat menguasai kita dan komunitas kita. Penodaan ini hanya dapat diperbaiki dengan pertobatan sejati dan salib Yesus.

Jika kita melihat diri kita sendiri, keluarga kita dan komunitas kita berantakan dan menjadi sasaran empuk iblis, akarnya adalah kita gagal menghormati Ekaristi. Seperti Manna yang melindungi orang Israel dari ular, dan memberi makan mereka sepanjang perjalanan mereka, ekaristi adalah benteng pertahanan kita melawan serangan setan, dan makanan rohani kita yang memelihara dan memperkuat kita dalam perjalanan duniawi ini menuju tanah air surgawi.

 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Climbing the Mountain

Second Sunday of Lent [B]

February 28, 2021

Mark 9:2-11

Mountain is a special place in the Bible. It is a place where God meets His people. In the Old Testament, there are many instances where mountains become a pivotal point of salvation history. After the great flood that cleansed the world, the Ark of Noah landed on Mount Ararat, and there, Noah offered sacrifice to God [see Gen 8:4]. Abraham was asked by God to offer his son Isaac on Mount Moriah. Just right before the sacrifice, the angel of God prevented Abraham and God recognized Abraham’s faith [see Gen 22]. When Moses was tending the flock of his father-in-law, Moses saw a burning bush yet was not consumed, and there, on the mount of Horeb, God called Moses to save Israelites from the Egyptians [see Exo 3]. After the liberation from Egypt, Moses and the Israelites the Law and established a covenant with God on the mount of Sinai [see Exo 24:18].

Jesus’ important life events took place in the Mountains. There is the mountain of temptation, where the devil brought Jesus and offered Him the worldly glories. There is the mountain of prayer, where Jesus spent His solitude with the Father. There is the mountain of teaching, where Jesus taught the most remarkable lessons like Beatitudes and love for enemies. There is a mountain of Transfiguration, where Jesus manifested His divine glory. There is the mountain of the cross, or Golgotha, where Jesus gave His life for our salvation. Lastly, there is the mountain of ascension, where Jesus went back to the heavens and sent His disciples to preach and baptize all the nations.

One distinctive feature in the Mount of Transfiguration is that he invited three disciples: Peter, James, and John. There are many reasons why these three were selected. St. Ambrose of Milan, representing the Fathers of the Church, believed that these three were chosen because of Peter who received the kingdoms’ keys, John, to whom was committed our Lord’s mother, and James who first suffered martyrdom. Meanwhile, St. Thomas Aquinas, a Middle age theologian, argued that James was the first martyr, John was the most beloved, and Peter was the one who loves Jesus most. However, we can also see it in a simple way. These three were disciples who were ready to follow Jesus and climb the high mountain.

Climbing the mountain is a challenging mission. One has to make necessary preparation without being excessive. Climbing requires physical stamina as well as mental toughness. As the climbing progresses, the persons’ authentic characters will be revealed. Facing difficulty, one can be very selfish or selfless. Confronting challenges, one can march with courage or retreat in fear. In a dire situation, one can exhibit decisive leadership or get panicked and lose his way. Peter, James, and John were up for the challenge, and they persevered to see the transfigured Jesus.

Often Jesus calls us to climb a mountain with Him. Sometimes, we climb the mountain of prayer as we need to face many hurdles in our prayer life. Occasionally, we need to climb the mountain of teaching because we are struggling with the Church’s particular teachings. Sometimes, we climb the mountain of Calvary, and we need to carry our cross, and on the top, we find no consolation but the death of the Savior.

Yet, the good news is that Jesus, who invited us to climb the mountain, is also walking with us. As we walk with Jesus, He guides us, strengthens us, and forms us. If we are faithful in mountains of temptations and Calvary, we will participate in His Transfiguration, resurrection, and ascension.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photocredit: Tim Foster

Mendaki Gunung Tuhan

Minggu Kedua Prapaskah [B]

28 Februari 2021

Markus 9: 2-11

Gunung adalah tempat khusus di dalam Kitab Suci. Ini adalah tempat dimana Tuhan bertemu dengan umat-Nya. Dalam Perjanjian Lama, ada banyak contoh di mana gunung menjadi titik penting dalam sejarah keselamatan. Setelah banjir besar yang membersihkan dunia, Bahtera nabi Nuh mendarat di Gunung Ararat dan di sana, Nuh mempersembahkan korban kepada Tuhan [lihat Kejadian 8: 4]. Abraham diminta oleh Tuhan untuk mempersembahkan putranya, Ishak, di Gunung Moria. Tepat sebelum pengorbanan, malaikat Tuhan mencegah Abraham dan Tuhan menerima iman Abraham [lihat Kejadian 22]. Ketika Musa sedang menggembalakan kawanan bapa mertuanya, Musa melihat semak bernyala tapi tidak habis terbakar, dan di sana, di gunung Horeb, Tuhan memanggil Musa untuk menyelamatkan bani Israel dari Mesir [lihat Keluaran 3].

Peristiwa-peristiwa penting dalam hidup Yesus terjadi di Pegunungan. Ada gunung pencobaan, di mana iblis membawa Yesus dan memperlihatkan kemuliaan duniawi kepada-Nya. Ada gunung doa, di mana Yesus menghabiskan waktu tenang-Nya dengan Bapa. Ada gunung pengajaran, di mana Yesus mengajarkan pelajaran-pelajaran agung-Nya seperti Sabda Bahagia dan mengasihi musuh. Ada gunung Transfigurasi, di mana Yesus menunjukkan kemuliaan ilahi-Nya. Ada gunung salib, atau Golgota, tempat Yesus memberikan hidup-Nya untuk keselamatan kita. Terakhir, ada gunung kenaikan, di mana Yesus kembali ke surga dan mengutus murid-murid-Nya untuk mewartakan Injil dan membaptis semua bangsa.

Kembali ke gunung tansfigurasi. Salah satu ciri khas dalam gunung transfigurasi adalah bahwa Yesus mengundang tiga murid-Nya: Petrus, Yakobus dan Yohanes. Ada banyak alasan mengapa ketiganya dipilih. St Ambrosius dari Milan, mewakili para Bapa Gereja, percaya bahwa ketiganya dipilih karena Petrus yang menerima kunci kerajaan, Yohanes, yang menjadi komitmen ibu Tuhan kita, dan Yakobus yang pertama kali mati sebagai martir. Sementara itu, St Thomas Aquinas, seorang teolog Abad Pertengahan, berpendapat bahwa Yakobus adalah martir pertama, Yohanes adalah murid yang paling dikasihi dan Petrus adalah murid yang paling mengasihi Yesus. Namun, kita bisa melihat juga dari cara yang sederhana. Ketiganya adalah murid-murid yang siap mengikuti Yesus dan mampu mendaki gunung yang tinggi.

Mendaki gunung adalah misi yang berat. Seseorang harus membuat persiapan yang matang tanpa berlebihan. Mendaki membutuhkan stamina fisik serta ketangguhan mental. Saat pendakian berlangsung, karakter asli orang tersebut akan terungkap. Menghadapi kesulitan, seseorang bisa menjadi sangat egois, tetapi juga bisa rela berkorban. Menghadapi tantangan, seseorang dapat maju terus dengan keberanian atau mundur dalam ketakutan. Dalam situasi yang mengerikan, seseorang dapat menunjukkan kepemimpinan yang tegas atau menjadi panik dan tersesat. Petrus, Yakobus dan Yohanes siap untuk tantangan itu, dan mereka bertahan untuk melihat Yesus yang berubah rupa.

Seringkali Yesus memanggil kita untuk mendaki gunung bersama-Nya. Terkadang, kita mendaki gunung doa karena kita harus menghadapi banyak rintangan dalam kehidupan doa kita. Terkadang, kita perlu mendaki gunung pengajaran karena kita bergumul dengan ajaran-ajaran tertentu Gereja. Kadang-kadang, kita mendaki gunung Kalvari, dan kita perlu memikul salib kita, dan di puncaknya, kita tidak menemukan penghiburan selain kematian sang Juruselamat.

Namun, kabar baiknya adalah Yesus yang mengundang kita mendaki gunung, juga berjalan bersama kita. Saat kita berjalan dengan Yesus, Dia membimbing kita, menguatkan kita dan membentuk kita. Jika kita setia di gunung godaan dan golgota, kita juga akan ikut serta dalam mendaki gunung transfigurasi, kebangkitan dan kenaikan-Nya.

 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Leprosy

Sixth Sunday in Ordinary Time [B]

February 14, 2021

Mark 1:40-45

Leprosy in the time of Jesus is not only physically and mentally deadly, but also spiritually incapacitating. Leprosy or currently known as the Hansen’s disease is horrifying sickness because it does not kill the person slowly, but it gradually deforms and incapacitates the person. The bacteria cause terrible damage in peripheral nervous to the point that the person is no longer feeling the sensation, especially pain. Without this sensation, the person fails to recognize and avoid bodily injuries. Losing limbs is shared among the victims with advanced stages of leprosy.

Since the sickness was incurable and highly contagious in ancient time, it was a natural reaction for the people to exclude the infected persons from the community. We can imagine the effects of exclusion suffered by the victims. They were cut from the bare necessities, separated from their family and friends, and aware that they will die a horrible death. People could quickly become insane. This awareness that they would not survive outside society pushes the people with leprosy to gather and form their community. Thus, lepers’ colonies were deemed a practical solution to support one another in the face of the bleak reality of life.

In the Jewish context, skin diseases, especially leprosy, are about biological and mental problems, but it is a religious issue. The Book of Leviticus states that people with certain skin diseases, including leprosy, have to present themselves to the priest and have their bodies examined. The priest may declare that persons as unclean. After the verdict, the persons have to go out from the community, wear rent cloth, and let their hair dishevel. These become visible signs that they are with contagious diseases and unclean. Yet, if a person remains going closer to them, they shall shout, “Unclean! Unclean!” This is to make sure healthy and clean persons will not come nearer. Being declared unclean means the person is not fit for the religious service and cannot enter the holy ground like the temple. Thus, for a Jew who contracted leprosy, he was excluded physically and mentally and religiously. The sickness also cut them from God they serve and worship.

In the Gospel, we see the leper who took the initiative to approach Jesus, thus breaking the most fundamental prohibition to stay away from people and God. The leper’s request was not to be healed, but rather to be ‘clean.’ The deepest desire of this leper is not physical healing, but to worship his God. The real healing comes only when we can approach and worship the true God. Looking at his courage and deepest longing, Jesus was moved by pity and made him clean.

The leper in the Gospel teaches us a lot about the genuine desire for healing. Perhaps, many of us look for God because we wish to be cured of diseases, seek financial success, or free from other problems. Yet, we seldom desire to see God because we want to be healed spiritually, liberated from sins, and be one with Him. The Gospel teaches us that true healing is more than physical health and economic stability, but the union with God.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Photocredit: Claudio Schwartz

Kusta

Minggu Keenam dalam Masa Biasa [B]

14 Februari 2021

Markus 1: 40-45

Penyakit kusta pada zaman Yesus tidak hanya mematikan secara fisik dan mental, tetapi juga melumpuhkan secara rohani. Kusta atau yang sekarang dikenal dengan penyakit Hansen adalah penyakit yang mengerikan karena tidak hanya membunuh orangnya secara perlahan, tetapi lambat laun akan merusak wujud dan melumpuhkan orang tersebut. Bakteri kusta menyebabkan kerusakan yang parah pada jaringan saraf sehingga orang tersebut tidak lagi dapat merasakan sensasi, terutama rasa sakit. Tanpa sensasi ini, orang tersebut gagal mengenali dan menghindari cedera pada tubuh. Kehilangan anggota tubuh seperti jari adalah hal yang biasa terjadi pada penderita kusta stadium lanjut.

Karena penyakit ini tidak dapat disembuhkan dan sangat menular pada zaman dahulu, reaksi alami bagi para penduduk adalah untuk mengeluarkan orang yang terinfeksi dari komunitas. Bisa dibayangkan dampak pengusiran yang diderita para korban. Mereka terputus dari sumber kebutuhan dasar, dipisahkan dari keluarga dan teman-teman mereka, dan mereka sadar bahwa mereka akan meninggal dengan cara yang mengerikan. Penderita kusta bisa dengan mudah menjadi gila. Kesadaran bahwa mereka tidak akan bertahan hidup sendiri di luar masyarakat mendorong para penderita kusta untuk berkumpul dan membentuk komunitasnya. Oleh karena itu, koloni penderita kusta dianggap sebagai solusi praktis untuk saling mendukung dalam menghadapi kenyataan hidup yang suram.

Dalam konteks Yahudi kuno, penyakit kulit khususnya kusta tidak hanya merupakan masalah biologis, mental dan sosial, tetapi merupakan masalah agama. Kitab Imamat menyatakan bahwa orang dengan penyakit kulit tertentu termasuk kusta harus menghadap imam dan diperiksa tubuhnya. Kemudian, sang imam dapat menyatakan orang itu najis. Setelah putusan ini, orang tersebut harus keluar dari komunitas, memakai kain lusuh, dan membiarkan rambutnya acak-acakan. Ini menjadi tanda-tanda bahwa mereka mengidap penyakit menular dan najis. Namun, jika seseorang tetap mendekati mereka, mereka akan berteriak, “Najis! Najis!” Ini untuk memastikan orang yang sehat dan tahir tidak akan mendekat. [Im 13] Jika seseorang dinyatakan sebagai najis, ini berarti orang tersebut tidak layak untuk beribadah dan tidak diperbolehkan memasuki kawasan suci seperti Bait Allah. Jadi, bagi seorang Yahudi yang mengidap penyakit kusta, ia tidak hanya dikucilkan secara fisik dan mental, tetapi juga secara agama. Penyakit itu juga memisahkan mereka dari Tuhan yang mereka layani dan sembah.

Dalam Injil, kita belajar banyak dari sang penderita kusta. Kita melihat sang penderita kusta adalah orang yang berinisiatif untuk mendekati Yesus, dan dengan demikian, melanggar larangan paling mendasar untuk menjauh dari manusia lain dan Tuhan. Permintaan penderita kusta bukanlah untuk disembuhkan, melainkan untuk ‘menjadi tahir’. Keinginan terdalam dari penderita kusta ini bukanlah pertama-tama penyembuhan fisik, tetapi menjadi tahir agar bisa menyembah Tuhannya. Kesembuhan yang sejati datang hanya jika kita bisa mendekati dan menyembah Tuhan yang benar. Melihat keberanian dan kerinduannya yang terdalam, Yesus tergerak oleh belas kasihan dan membuatnya tahir.

Penderita kusta dalam Injil mengajar kita banyak hal tentang keinginan sejati untuk kesembuhan. Mungkin, banyak dari kita mencari Tuhan karena ingin sembuh dari penyakit, mencari kesuksesan finansial atau terbebas dari masalah lain. Namun, kita jarang ingin melihat Tuhan karena kita ingin disembuhkan secara rohani, dibebaskan dari dosa, dan menjadi satu dengan Dia. Injil mengajarkan kepada kita bahwa penyembuhan sejati lebih dari sekedar kesehatan fisik dan stabilitas ekonomi, tetapi persatuan dengan Tuhan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus, Penyembuh Jiwa Kita

Minggu Kelima dalam Masa Biasa [B]

7 Februari 2021

Markus 1: 29-39

Yesus tidak dapat dipisahkan dari pelayanan penyembuhan-Nya. Beberapa kisah kesembuhan merupakan kejadian yang luar biasa seperti kesembuhan seorang wanita dengan pendarahan dan juga anak perempuan Jarius [Markus 5: 321-43]. Penyembuhan ini adalah mujizat karena kasus-kasus yang dihadapi Yesus adalah hal-hal mustahil disembuhkan pada zaman-Nya. Sang wanita telah menderita pendarahan selama dua belas tahun tanpa harapan, dan putri Jarius sebenarnya sudah meninggal. Di sisi lain, Yesus tidak hanya menyembuhkan orang yang sakit parah, tapi juga mereka yang sakitnya tergolong tidak membahayakan.

Yesus ada di rumah Simon, dan Dia melihat bahwa ibu mertua Simon sedang demam. Demam adalah gejala yang biasanya terjadi karena adanya infeksi, bisa karena flu biasa hingga covid-19. Dalam kasus ibu mertua Simon, kita dapat berasumsi bahwa dia mengalami penyakit yang sebenarnya tidak berat. Dengan istirahat dan obat yang tepat, sang ibu mertua akan kembali beraktivitas dengan normal. Namun, walaupun sakitnya tergolong tidak membahayakan dan bahkan tanpa permintaan khusus dari sang wanita, Yesus memutuskan untuk menyembuhkannya. Yesus memahami bahwa penyakit, entah seberapa kecilnya, tetap sebuah hal yang tidak tepat bagi hidup kita. Menjadi orang yang sehat adalah rencana Tuhan bagi kita.

Jika kita melihat hidup kita, kita dengan mudah menyadari bahwa sakit adalah bagian dari hidup kita. Penyakit selalu menjadi pengingat bahwa tubuh kita terbatas dan rapuh. Memang, kita memiliki sistem kekebalan, tetapi seringkali perlindungan alami ini tidak cukup. Dengan pandemi yang disebabkan oleh Covid-19, kita menyadari bahwa manusia tidak sekuat yang kita pikirkan. Saat kita berjuang untuk menemukan berbagai obat dan alat-alat kesehatan, virus, bakteri, dan penyebab penyakit lainnya juga berkembang dan semakin mematikan. Penyakit menyebabkan rasa sakit dan penderitaan, dan kelemahan ini mengingatkan kita pada kematian kita. Namun, terlepas dari realisasi ini, jauh di lubuk hati, kita tahu bahwa penyakit ini adalah sesuatu yang tidak wajar, sebuah kekurangan, bukan kesempurnaan. Kita ingin sehat, kita berjuang untuk menjadi sehat dan hanya dengan sehat, kita dapat mencapai potensi kita sebagai manusia.

Inilah alasan mengapa kita pergi ke dokter jika kita sakit, kita melakukan olahraga lain, dan kita menjalani gaya hidup sehat. Inilah alasan yang sama yang dicari orang dengan karunia kesembuhan. Ini adalah alasan yang sama mengapa banyak orang ingin disembuhkan Yesus.

Kita mungkin bertanya, mengapa Yesus tidak menyembuhkan kita semua? Jawabannya tidak mudah, tetapi kita dapat mengatakan bahwa Yesus pertama-tama datang untuk menyembuhkan hubungan kita yang rusak dengan Allah Bapa. Dia menyelamatkan kita dari dosa-dosa kita, sebuah penyakit rohani. Kesembuhan ragawi adalah tanda-tanda penebusan ini. Bahkan dalam misteri penyelenggaraan-Nya, Tuhan dapat menggunakan penyakit dan penderitaan kita untuk membuat kita semakin dekat secara rohani dengan-Nya. Kita bisa belajar dari para kudus.

St. Dominikus de Guzman dikenal melakukan mati raga yang sangat berat. Seorang saksi mata mengatakan bahwa tali rantai diikat erat-erat di pahanya dan baru dilepas ketika dia meninggal. Mortifikasi atau mati raga adalah salah satu cara favorit orang-orang kudus untuk mencari Tuhan. Mereka tidak ingin tubuh mereka yang sehat menjadi penghalang untuk mencari Tuhan. Sementara itu, Beato Carlo Acutis yang sakit leukemia, penyakit yang sangat menyakitkan yang akhirnya merenggut nyawanya, mempersembahkan penderitaannya kepada Tuhan. Dia berkata, “Saya mempersembahkan semua penderitaan yang harus saya derita untuk Tuhan, untuk Paus, dan Gereja”

Yesus memberi kita kesembuhan bagi jiwa dan raga kita. Namun, dalam misteri penyelenggaraan-Nya, kelemahan tubuh kitapun dapat membawa kita lebih dekat kepada Tuhan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photocredit: Jonathan-borba