Iman Katolik kita

Minggu ke-27 dalam Waktu Biasa [C] – 6 Oktober 2019 – Lukas 17: 5-10

faith n fishJika ada satu kekuatan paling dahsyat di alam semesta, ini adalah iman. Yesus mengajarkan kepada kita bahwa iman sekecil biji sesawi dapat melakukan hal yang mustahil. Yesus menyatakan bahwa dengan iman yang kecil ini, kita dapat memerintahkan pohon ara dicabut dan ditanam di laut. Salah satu hal terkecil di bumi dapat menggerakkan realitas paling besar di dunia. Pohon ara memiliki akar yang dalam, kuat dan menyebar. Tidak mungkin mencabutnya ketika sudah dewasa. Namun, Yesus bahkan mengatakan bahwa kita tidak hanya mampu mencabutnya tetapi juga menanam kembali ini di dasar samudera. Itu membuatnya mustahilnya doble! Inilah hebatnya iman yang kita miliki.

Pertanyaannya adalah apakah Yesus hanya melebih-lebihkan kekuatan iman, atau Ia sedang mengungkap kebenaran iman yang paling dalam. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu tahu dulu apa itu iman? Tentunya ada beberapa definisi iman. Dalam arti yang lebih luas, iman adalah kepercayaan pada yang ilahi, sesuatu yang jauh lebih kuat dari kita. Dalam banyak tradisi keagamaan, yang ilahi ini adalah pribadi yang disebut Tuhan. Iman ini membuat kita berbeda dengan mereka yang mengklaim diri mereka sebagai ateis. Dalam arti yang lebih sempit, ini merujuk pada kepercayaan pada serangkaian ajaran tertentu tentang yang ilahi. Dalam pengertian ini, iman Katolik berbeda dari iman Lutheran Protestan.

Thomas Aquinas mengingatkan kita bahwa iman pada dasarnya adalah persetujuan dari akal budi dan kehendak. Inilah kenapa iman menjadi luar biasa kuat. Iman tidak bergantung pada kepemilikan duniawi, atau sifat biologis kita, atau emosi kita. Jika kita mendasarkan iman kita pada suasana hati, setiap saat kita merasa tidak bahagia atau tertekan, kita mungkin kehilangan iman kita. Bunda Teresa dari Calcutta pernah menulis dalam buku hariannya bahwa dia tidak merasakan kehadiran Tuhan dalam hidupnya selama hampir sepuluh tahun. Jika dia hanya bergantung pada emosinya, dia akan kehilangan imannya. Jika kita menempatkan iman kita pada kesejahteraan tubuh kita, saat kita sakit, atau tubuh kita melemah, kita mungkin kehilangan iman. Padre Pio dari Pietrelcina menerima karisma stigmata dan harus menanggung rasa sakit yang luar biasa penyaliban selama lebih dari 50 tahun. Jika dia mengandalkan tubuhnya, dia akan kehilangan imannya juga.

Persetujuan akal budi inilah yang membuat iman sangat kuat. Ketika saya ditahbiskan menjadi imam, bagian yang terpenting dari upacara ini adalah penumpangan tangan uskup di atas kepala saya. Namun, saya mengakui bahwa saya tidak merasakan apa pun kecuali sedikit tekanan di kepala saya. Apakah itu berarti tahbisan saya tidak valid? Syukurnya, validitas penahbisan saya tidak didasarkan pada perasaan saya! Ini adalah iman, iman saya, iman uskup saya, iman umat, iman Gereja. Imanlah yang memungkinkan rahmat Allah yang tak terlihat dan tak terasa mengubah jiwa saya menjadi seperti jiwa Yesus, sang imam.

Iman Katolik kita memang benih sesawi yang menggerakkan gunung. Iman inilah yang membuka pikiran kita untuk melihat Tubuh Kristus dalam roti kecil putih tak berasa. Iman inilah yang mendorong kita untuk menjadi rendah hati di hadapan Allah dan mengakui dosa-dosa kita di hadapan seorang imam. Iman inilah yang memberdayakan banyak orang beriman untuk bertahan dalam penganiayaan dan siap memberikan darah mereka bagi Yesus. Iman yang memampukan kita untuk mengorbankan hidup kita untuk orang lain dan untuk mengasihi sampai akhirnya.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Dominic, the Light of the Church

Feast of St. Dominic de Guzman – Founder of Order of Preachers

August 8, 2019

dominic 3Today, we are celebrating the feast of St. Dominic de Guzman. St. Dominic was born around 1170 in Caleruega, Old Castile, Spain. As a saint, he was not that famous as his counterpart, St. Francis of Assisi, perhaps because he did not write any book or writings that would echo his spirituality. Maybe this is the reason why we do not have a solid and systematic understanding of Dominican Spirituality.

By tradition, St. Dominic is called as the light of the Church. And why? St. Dominic was living in the time where the Church was facing enemies from without and conflicts from within. The Heretics, especially the Albigentians, were attacking the Church restlessly, and the Church was weakened by her dogmatically unprepared and timid priests. Many Catholics were confused, and nobody was defending the true faith to them. It was a dark period for the Church.

Dominic, who loved his Church deeply responded to the call of his time and offered his life to enlighten souls living in the dark and to bring back to the lost sheep to the Church’s fold. Yet, to achieve that end, he had to be in deep relationship with Jesus, the true Light of the World. Thus, his life of prayers and mortification were extraordinary. Rather than to take rest, he spent a night in vigil, refused to take good food, and slept on the floor. Dominic also understood that to explain faith, he must both study and live by the Gospel. He became poor, just like Jesus was poor for the sake of the Kingdom. Dominic became preacher, just like Jesus was preacher par excellence. Dominic offered himself as a “lantern,” a weak instrument yet brings light that both shines brightly and illumines clearly in the dark. He is the light of the Church because he bore the Light of the World.

The Dominicans always have an intimate bond with Mary, the Mother of God. One of the reasons why we are close to her is that we participate in her mission also to bear the Truth and to reflect the same Light. The song of Mary that Luke recorded is traditionally called the Magnificat [Luk 1:46ff]. The title is from the first Latin word that appears in the canticle, “Magnificat anima mea Dominum.” The original Greek is “μεγαλύνω” [megaluno], to make great. The idea is like the magnifying glass that intensifies the light and the heat of the sun, and thus, emits powerful energy. Mary is not the source of the light, and she is the receiver. Yet, Mary does not passively reflect the light, but she actively magnifies it. Through Mary, the light of Christ becomes more intense, powerful, and penetrating.

Following the footsteps of Dominic and our Lady, we are also called to bear the Light of Christ and to magnify it. In the words of St. Thomas Aquinas, “Better to illuminate than merely to shine… [S.T. II.II. 188].”

                Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Dominikus, Sang Cahaya Gereja

Pesta St. Dominikus de Guzman – Pendiri Ordo Pewarta

8 Agustus 2019

Stampita Front Dominikus(1)Hari ini, kita merayakan pesta St. Dominikus de Guzman. St. Dominikus dilahirkan sekitar tahun 1170 di Caleruega, Kastilia, Spanyol. Sebagai seorang kudus, ia tidak setenar rekannya, Santo Fransiskus dari Assisi, mungkin karena ia tidak menulis buku atau meninggalkan tulisan apa pun yang akan menggemakan spiritualitasnya. Mungkin inilah alasan mengapa kita tidak memiliki pemahaman yang solid dan sistematis tentang Spiritualitas Dominikan.

Menurut tradisi, St. Dominikus disebut sebagai cahaya Gereja. Dan mengapa? St. Dominikus hidup di zaman ketika Gereja menghadapi musuh dari luar dan konflik dari dalam. Kaum Bidaah, khususnya kaum Albigentian, menyerang Gereja tanpa henti, dan Gereja dilemahkan oleh para imam tidak siap secara intelektual maupun secara mental. Banyak orang Katolik yang bingung, dan tidak ada yang menerangkan iman yang benar kepada mereka. Itu adalah masa yang gelap bagi Gereja.

Dominikus, yang sangat mencintai Gereja-Nya, menanggapi panggilan zamannya dan memberikan hidupnya bagi pencerahan jiwa-jiwa yang hidup dalam kegelapan dan untuk membawa kembali kepada domba-domba yang hilang ke kandang Gereja. Namun, untuk mencapai tujuan itu, ia harus berada dalam hubungan yang mendalam dengan Yesus, Sang Terang Dunia yang sejati. Karena itu, kehidupan doanya dan mati raganya sangat luar biasa. Alih-alih beristirahat, ia menghabiskan malam dalam vigili, menolak untuk makan makanan enak, dan tidur di lantai. Dominikus juga mengerti bahwa untuk menjelaskan iman, ia harus belajar dengan tekun dan menghidupi Injil. Ia menjadi miskin, sama seperti Yesus miskin demi Kerajaan Allah. Dominikus menjadi pengkhotbah, sama seperti Yesus adalah pengkhotbah sejati. Dominikus mempersembahkan dirinya sebagai “lentera,” sebuah instrumen yang lemah namun membawa cahaya yang bersinar terang dan menerangi dengan jelas dalam gelap. Dia adalah cahaya bagi Gereja karena dia membawa dalam dirinya Sang Terang Dunia.

Para putra-putri St. Dominikus selalu memiliki ikatan mendalam dengan Maria, Bunda Allah. Salah satu alasan mengapa kita dekat dengannya adalah karena kita berpartisipasi dalam misinya yang juga membawa Terang Kebenaran dan merefleksikan Cahaya yang sejati. Nyanyian Maria yang ditulis dalam Injil Lukas secara tradisional disebut sebagai Magnificat [Luk 1:46]. Judul ini berasal dari kata Latin pertama yang muncul di kidung tersebut, “Magnificat anima mea Dominum.” Bahasa Yunani aslinya adalah “μεγαλύνω” [megaluno], secara harafiah berarti membuat menjadi besar. Idenya seperti kaca pembesar yang mengintensifkan cahaya dan panas matahari, dan dengan demikian, memancarkan energi yang kuat dan dapat membakar. Maria bukanlah sumber cahaya, tetapi sang penerima. Namun, Maria tidak secara pasif merefleksikan cahaya, tetapi dia secara aktif mengumpulkannya dan menjadikan lebih terfokus. Melalui Maria, terang Kristus menjadi lebih kuat, bertenaga dan berdaya guna.

Mengikuti jejak Dominikus dan Bunda Maria, kita juga dipanggil untuk membawa Terang Kristus dan membagikan-Nya di dalam bentuk yang lebih dahsyat dan penuh daya. Dalam kata-kata St Thomas Aquinas, “Lebih baik untuk menerangi daripada hanya untuk bersinar … [S.T. II. II. 188]. “

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Image of the Trinity

Trinity Sunday [John 16:12-15] June 16, 2019

sign of the crossThe distinctive mark of being Christian is the Holy Trinity. We share the claim of monotheism [only one God] with other prominent religions, yet our belief in one God in three divine persons enables us to stand unique among others. Doubtless, our God is one, yet the same undoubtedly, there are three persons in this one God. The Father is different from the Son and the Holy Spirit. The Son is also unique. And, the Holy Spirit maintains His personal identity. Yet, they remain always one! How is this possible?!

Relax! The greatest minds in the Church, like St. Augustine, St. Thomas Aquinas, and Benedict XVI, have tried to dive into the mystery, and yet they just scratched the surface of this highest Truth. This is the core of our faith, yet it is the most puzzling if not intriguing teaching of the Church. However, if this is the unfathomable mystery, why should we continue to ponder, live, and celebrate it? The answer lays on the faith God has planted in us.

Often, we think Trinity as far distant reality, but we forget that our daily lives as Christian are living within the Trinity. We were baptized, we were baptized in the name of the Father, of the Son and of the Holy Spirit. When we begin our prayer, we commence with the sign of the cross. This holy sign does not only point the victorious cross of Jesus but fundamentally to the Holy Name of Trinity. After we make the sign of the cross to open the Holy Mass, the priest will greet the people by saying, “The grace of the Lord Jesus Christ and the love of God and the fellowship of the Holy Spirit be with all of you.” This is the Trinitarian formula that comes St. Paul himself (see 2 Cor. 13:13). At the Eucharistic prayer, the core prayer of the Holy Mass, the priest in the name of the Church, asks the Father to send His Holy Spirit that He may transform the bread and wine to be the body and blood of Jesus Christ. At the heart of Eucharist, the source and summit of Christian worship, is the Holy Trinity. What I mention is just the tip of the iceberg on how the Trinity permeates our worship and prayer.

The real challenge is to live and celebrate the Trinity in our daily life. Our rule of prayer should be our rule of life, as well. “Lex orandi, Lex vivendi”. Otherwise, we will fall into the trap of double-life mentality. We become Christian only on Sunday, but we turn to be people who never know God on weekdays. A hypocrite!

To live in the Trinity means to manifest to our daily lives that we are the image of God, the image of Trinity.  If the Trinity is the God of justice, do we act justly to our ourselves, our neighbors and our earth? If the Trinity is the God of mercy, are we merciful and perform the traditional seven corporeal works of mercy [feed the hungry, give drink to the thirsty, clothe the naked, shelter the homeless, visit the sick, visit those imprisoned, and bury the dead]? If Trinity is the God who is love, do we love even the worst people in our lives and forgive our enemies? If Trinity is the God of Truth, are we eager to search for the truth around us or we uncritically believe in fake news?

We are people who are living in the name of the Father, of the Son and the Holy Spirit, and we are confidently looking forward to the day we are united to this Triune God.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Citra Allah Tritunggal

Hari Raya Tritunggal Mahakudus [Yohanes 16: 12-15] 16 Juni 2019

sign of the cross 2Tanda khas menjadi Kristiani adalah iman kepada Tritunggal Mahakudus. Kita berbagi klaim monoteisme [hanya satu Tuhan] dengan agama-agama besar lainnya, namun kepercayaan kita pada satu Tuhan dalam tiga pribadi ilahi memungkinkan kita untuk berdiri secara unik di antara yang lain. Tidak diragukan lagi Allah kita adalah satu, namun tidak diragukan juga ada tiga persona dalam satu kodrat ilahi ini. Bapa berbeda dari Putra dan Roh Kudus. Sang Putra juga benar-benar unik. Dan, Roh Kudus menjaga identitas pribadi-Nya. Namun, mereka tetap selalu satu! Bagaimana ini mungkin?!

Tapi jangan kawatir! Pemikir-pemikir terhebat di Gereja, seperti St. Agustinus, St. Thomas Aquinas, dan Benediktus XVI, telah mencoba untuk menyelami misteri ini, namun mereka hanya menyentuh permukaan Kebenaran terbesar ini. Ini adalah inti dari iman kita, namun ini adalah ajaran Gereja yang paling sulit untuk dimengerti dan juga terkadang sulit diwartakan. Namun, jika ini adalah misteri yang tak terselami, mengapa kita harus terus merenungkan, menghidupi, dan merayakannya? Karena kita telah diciptakan dalam citra Allah Tritunggal.

Seringkali, kita menganggap Tritunggal sebagai realitas yang sangat jauh, tetapi kita lupa bahwa kehidupan keagamaan kita sehari-hari sebagai orang Katolik adalah kehidupan di dalam Trinitas. Kita dibaptis, kita dibaptis dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus. Ketika kita memulai doa kita, kita mulai dengan tanda salib. Tanda salib suci ini tidak hanya menunjukkan kemenangan Yesus, tetapi pada dasarnya adalah Nama Suci Tritunggal. Setelah kita membuat tanda salib untuk membuka Misa Kudus, imam akan menyapa umat dengan mengatakan, “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus dan kasih Allah dan persekutuan Roh Kudus bersamamu.” Ini adalah formula Tritunggal yang berasal dari St. Paulus sendiri (lihat 2 Korintus 13:13). Pada doa Syukur Agung, yang adalah doa inti di Misa, sang imam atas nama Gereja, meminta Bapa untuk mengirimkan Roh Kudus-Nya agar Dia dapat mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Yesus Kristus. Di jantung Ekaristi, yang adalah sumber dan puncak dari liturgi kita, adalah Tritunggal Mahakudus. Apa yang saya sebutkan hanyalah puncak gunung es tentang bagaimana Tritunggal sungguh meresapi ibadah dan doa kita.

Tantangan sebenarnya adalah untuk hidup dan merayakan Tritunggal dalam kehidupan kita sehari-hari. Aturan doa kita harus menjadi aturan hidup kita juga. “Lex orandi, Lex vivendi”. Kalau tidak, kita akan jatuh ke dalam perangkap mentalitas ganda. Kita menjadi orang Kristiani hanya pada hari Minggu, tetapi kita menjadi orang yang tidak pernah mengenal Tuhan pada hari lain. Seorang munafik!

Hidup dalam Tritunggal berarti memanifestasikan kehidupan kita sehari-hari bahwa kita adalah citra Allah, citra Tritunggal. Jika Tritunggal adalah Allah keadilan, apakah kita bertindak adil terhadap diri kita sendiri, sesama kita, dan terhadap bumi kita? Jika Tritunggal adalah Tuhan kerahiman, apakah kita berbelas kasihan dan menjadikan tujuh karya kerahiman sebagai pola hidup kita? [memberi makan yang lapar, memberi minum kepada yang haus, memberi pakaian kepada yang telanjang, melindungi yang tidak memiliki rumah, mengunjungi yang sakit, mengunjungi yang dipenjara, dan mengubur yang meninggal]? Jika Tritunggal adalah Tuhan yang adalah kasih, apakah kita mencintai orang-orang terburuk dalam hidup kita dan mengampuni orang yang menyakiti kita? Jika Tritunggal adalah Allah Kebenaran, apakah kita terus mencari kebenaran di sekitar kita atau kita mudah percaya pada hoaks?

Kita adalah orang-orang yang hidup dalam nama Bapa, Anak dan Roh Kudus, dan kita dengan penuh keyakinan menanti hari kita dipersatukan dengan Allah Tritunggal.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Tale of Two Kings

The solemnity of Christ the King [November 25, 2018] John 18:33-37

“You say I am a king. For this I was born and for this I came into the world, to testify to the truth. Everyone who belongs to the truth listens to my voice (John 18:37).”

Our Liturgical Year ends with a drama of two kings: Pilate and Jesus. Pilate was representing the superpower nation in those times, the Roman Empire. So massive in its military domination and so ruthless in its conquests are Rome with her mighty legions. Kingdoms bent their knees in homage to Cesar, the king of kings. Pilate embodied this culture of intimidation and violence. He was a notoriously brutal leader, who stole from his subjects and executed people even without a trial. Surely, he thought of himself as the powerful ‘king’ of Jerusalem and anyone who stoodon his way, would be destroyed. 

We are constantly tempted to belong to this kingdom. A husband refuses to listen to his wife and forces his wills in the family through his physical superiority. Insecure with themselves, bigger and tougher guys bully the smaller and weaker kids in a school. Sadly, it takes place not only in school but almost everywhere: family, workplace, society and even cyberspace. The boss intimidates his employees. The government leaders violently suppress any critical voices no matter correct they may be. In the height of his dictatorship, Joseph Stalin bullied the Church saying, “How many division of tank does the Pope have?” Machiavelli, an Italian philosopher, evenonce concluded that the orderly society is built upon fear and violence

However, we have Jesus, the King. But, what kind of king he is? If He is a king, why does he never put on any royal crown, exceptthe crown of thorns forcefully embeddedon his head (Mat 27:29)? If He is a king, why does he have no imperial throneexcept the germ-plagued manger of Bethlehem and the ghastly wood of the cross(Luk 2:7 and Mark 15:30)? If He is a king, why does he control no formidablearmy, except the disbanded group of naïve followers: one of them sold him for30 pieces of silver, a price of a slave,another denied Him for three times and the rest ran for their lives? Is Jesus really a king? 

Reading our today’s Gospel closely, Jesus says that His kingdom is not of this world. This means that His kingdom does not conform to the standards of this world. It is not built upon military power, forceful domination, or bloody war. Thus, He is king with no golden crown, and his kingdom has no single army. Jesus further reveals that He comes to testify to the truth (John 18:37), and indeed, He is the TruthHimself (John 14:6). He is the king that rules the kingdom of truth, and his subjects are those listen and witness to the truth. His is the Kingdom that turns upside down the values of the earthly kingdom. It is not built upon deceit, coercion, or clever political maneuvers,but upon mercy, justice and honesty. It embodies the genuine love for others even the enemies, service to everyone especially to the poor, and true worshipof God.

At the end of the liturgical year, it is providential that the Church chooses this reading for us to contemplate. From the entire liturgical year, we come to the Churchand listen to the scriptural readings especially the Gospel. We listen to JesusHimself, and we are confronted with various aspects of this one Truth. Now, itis time for us to decide whether we become part of the kingdom of Pilate, or welisten to the Truth and follow Jesus.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kisah Dua Raja

Hari Raya Kristus Raja [25 November 2018] Yohanes 18: 33-37

“Engkau mengatakan, bahwa Aku adalah raja. Untukitulah Aku lahir dan untuk itulah Aku datang ke dalam dunia ini, supaya Akumemberi kesaksian tentang kebenaran; setiap orang yang berasal dari kebenaranmendengarkan suara-Ku (Yoh 18:37)”

Tahun Liturgi Gereja diakhiri dengan drama dua raja: Pilatus dan Yesus. Pilatus mewakili negara adidaya pada masa itu, Kekaisaran Romawi. Ini adalah kerajaan yang begitu besar dominasi militernya dan semua kerajaan lain bertekuk lutut menghormati sang Kaisar Roma, raja dari segala raja. Di Yerusalem dan Yudea, Pilatus menjadi wajah dari kerajaan yang dilandasi oleh budaya intimidasi dan kekerasan ini. Pilatus adalah seorang pemimpin yang brutal, yang mencuri dari rakyatnya dan mengeksekusi orang bahkan tanpa pengadilan. Tentunya, dia menganggap dirinya sebagai ‘raja’ dari Yerusalem dan siapa saja yang berdiri di jalannya, akan ia hancurkan.

Kita juga terus digoda untuk menjadi bagian dari kerajaan ini. Kadangkala seorang suami menolak untuk mendengarkan istrinya dan memaksakan kehendak-Nya dalam keluarga melalui kekuatan fisiknya. Atau, tidak aman dengan diri mereka sendiri, orang-orang yang lebih besar menggertak anak-anak yang lebih kecil dan lebih lemah di sekolah. Sayangnya, itu terjadi tidak hanya di sekolah tapi di hampir di mana-mana: keluarga, tempat kerja dan bahkan dunia maya. Joseph Stalin, diktator Uni Soviet menggertak Gereja dengan mengatakan, “Berapa banyak divisi tank yang Paus miliki?” Machiavelli, seorang filsuf Itali, bahkan pernah menyimpulkan bahwa ketertiban dalam masyarakat sebenarnya dibangun di atas ketakutan dan kekerasan

Namun, kita memiliki Yesus, sang Raja. Namun, raja macam apakah Yesus? Jika Dia adalah raja, mengapa ia tidak pernah mengenakan mahkota emas, kecuali mahkota duri tertanam di kepalanya (Mat 27:29)? Jika Ia adalah raja, mengapa ia tidak memiliki takhta kekaisaran kecuali palungan yang kotor di Betlehem dan kayu salib yang mengerikan (Luk 2: 7 dan Markus 15:30)? Jika Dia adalah raja, mengapa ia tidak memiliki tentara yang tangguh? Ironisnya, Ia hanya memiliki kelompok pengikut yang naif yang akhirnya tercerai berai: salah satu dari mereka bahkan menjual-Nya seharga 30 keping perak, harga seorang budak, yang lain menyangkal Dia tiga kali dan sisanya melarikan diri menyelamatkan diri merek sendiri? Apakah Yesus benar-benar seorang raja?

Membaca Injil kita hari ini dengan seksama, Yesus berkata bahwa kerajaan-Nya bukan dari dunia ini. Ini berarti bahwa kerajaan-Nya tidak sesuai dengan standar dunia ini. Kerajaan-Nya tidak dibangun di atas kekuatan senjata, dominasi militer, atau kemenangan di dalam perang. Dengan demikian, Dia adalah raja tanpa mahkota emas, dan kerajaannya tidak memiliki angkatan bersenjata. Yesus lebih lanjut mengungkapkan bahwa Dia datang untuk bersaksi tentang kebenaran (Yoh 18:37), dan memang, Dia adalah Sang Kebenaran (Yoh 14:6). Dia adalah raja yang memerintah kerajaan kebenaran, dan rakyatnya adalah mereka yang mendengarkan dan menjadi saksi dari kebenaran. Nya adalah Kerajaan yang membalikkan nilai-nilai kerajaan duniawi. Kerajaan ini tidak dibangun di atas tipu daya, korupsi, atau manuver politik yang sesat, tetapi pada belas kasih, keadilan dan kejujuran. Kerajaan ini mewujudkan cinta kasih sejati bagi sesama bahkan bagi mereka yang kita anggap musuh, pelayanan bagi semua orang terutama untuk orang miskin, dan penyembahan Tuhan yang benar.

Di pengakhir tahun liturgi ini, adalah sebuah penyelenggaraan Ilahai bahwa Gereja memilih bacaan Injil ini untuk kita renungkan. Di sepanjang tahun liturgi, kita datang ke Gereja dan mendengarkan banyak pembacaan dari Kitab Suci terutama Injil. Kita mendengarkan Yesus sendiri, dan kita dihadapkan pada berbagai aspek dari Kebenaran yang berasal dari Yesus. Sekarang, dihadapan dua raja ini, adalah waktu bagi kita untuk memutuskan apakah kita menjadi bagian dari kerajaan Pilatus, atau kita mendengarkan Kebenaran dan mengikuti Yesus.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Amputation

Reflection on the 26th Sunday in Ordinary Time [September 30, 2018] Mark 9:36-43, 45, 47-48

“If your hand causes you to sin, cut it off.  (Mk. 9:43 )”

confessionWhen I was assigned to the hospital to serve as a chaplain, I witnessed the rise of diabetic cases as well as its terrifying effects on the patients. In simple term, diabetes is a condition in a person who can no longer naturally manage their blood sugar. In more serious cases, the body loses its natural ability to heal its wounds. In the beginning, it was a small open wound, yet since the body no longer heals, the infections set in, and this leads into gangrene or the death of the body’s tissues. I accompanied some patients who were struggling with this situation and witnessed how their fingers or even foot were darkened and deformed. When the ordinary treatment no longer worked, the amputation became the only merciful option as to prevent the spread of infections. As a chaplain, accompanying these patients was one of my toughest missions in the hospital.

In today’s Gospel, Jesus’ words are pretty harsh, if not violent. He wants the one who causes the believers to sin to be thrown into the sea. He wants hands and feet cut, and eyes plugged. He even describes Gehenna in more vivid details, “where their worm does not die, and the fire is not quenched.” The image of Jesus seems to be far different from Jesus who is gentle and merciful. What is going on? Is Jesus promoting violence? Is Jesus a schizophrenic or having a split personality?

Jesus is perfectly sane. Yet, he becomes passionate because he is teaching a serious matter with a grave consequence. This is none other than sin. Jesus knows well that sin corrupts, and like growing roots, it corrupts to every side. Sin destroys our souls, our neighbors, our environment and even our holy relationship with God. What more sinister about sin is that deforms our conscience and makes us believe that we are just doing fine. In his book ‘The Name of God is Mercy, Pope Francis speaks of the effect of sinful corruption, “Corruption is not an act but a condition, a personal and social state we become accustomed to living in… The corrupt man always has the cheek to say, ‘It wasn’t me!”…He is the one who goes to Mass every Sunday but has no problem using his powerful position to demand kickbacks…then he boasts to his friends about his cunning ways.”

Like in the case of a person struggling with diabetes and having gangrene in his finger, it is better for him to amputate the affected finger as to prevent the spreading of infection, and thus, save his other organs, and life. So it is with sin. Jesus commands us to “amputate” those areas in our lives that are corrupted by sin, as to save our souls. But, this is not easy. Like some of the patients I ministered to, they refuse to give up the precious parts of their bodies. They deny, get angry and frustrated, and try to bargain with the doctors to avoid amputation. With the same mentality, we often deny that we nurture our vices. We get angry when people correct us and reveal us our sins. We also bargain with the Lord to keep our favorite sins and tell Him that we are going to be better in other aspects of our lives. However, these do not work. A radical “amputation” is necessary to save our ailing souls.

The good news, however, is that unlike the body which will never regain the lost limbs, our souls will, in fact, grow even holier after the “amputation.” The relationship between others will be purified, our attitude towards the environment will be filled with care and mercy, and our love for God will be deepened.

What are our sinful attitudes that harm ourselves, others and the environment ? Are we humble enough to receive corrections? Are we courageous enough to acknowledge them as sins? Do we ask God’s grace to prepare us for the sacrament of confession?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Amputasi

Renungan pada Minggu ke-26 pada Masa Biasa [30 September 2018] Markus 9: 36-43, 45, 47-48

“Dan jika tanganmu menyesatkan engkau, penggallah. (Mk. 9:43) ”

francis hearing confessionKetika saya bertugas pelayanan di rumah sakit di Manila, saya menyadari bahwa kasus diabetes berkembang secara pesat, dan juga efeknya yang menakutkan bagi para pasien. Secara sederhana, diabetes adalah suatu kondisi pada seseorang yang tidak lagi dapat secara alami mengelola gula darahnya. Dalam kasus yang lebih serius, tubuh kehilangan kemampuan alami untuk menyembuhkan luka-lukanya. Pada awalnya adalah luka yang kecil, namun karena tubuh tidak lagi bisa meyembuhkan, infeksi-infeksi pun berkembang, dan ini mengarah pada gangren atau kematian jaringan-jaringan tubuh. Saya menemani beberapa pasien yang bergulat dengan situasi ini, dan menyaksikan bagaimana jari atau bahkan kaki mereka menghitam dan berubah bentuk. Ketika pengobatan biasa tidak lagi bekerja, amputasi menjadi satu-satunya pilihan untuk mencegah penyebaran infeksi. Sebagai seorang frater yang bertugas di rumah sakit, mendampingi pasien-pasien ini adalah salah satu misi terberat saya di rumah sakit.

Dalam Injil hari ini, kata-kata Yesus sangat keras. Dia ingin orang yang menyebabkan orang lain berbuat dosa, dibuang ke laut. Dia ingin tangan dan kaki dipotong, dan mata tercungkil. Dia bahkan menggambarkan Gehenna dengan detail yang lebih jelas, “di mana ulat-ulat bangkai tidak mati dan api tidak padam (Mk. 9:48).” Yesus kali ini tampaknya jauh berbeda dengan Yesus yang lembut dan penuh belas kasihan. Apa yang sedang terjadi? Apakah Yesus mempromosikan kekerasan? Apakah Yesus seorang penderita skizofrenia atau memiliki kepribadian ganda?

Tidak ada yang salah dengan Yesus. Namun, dia menjadi penuh semangat karena dia mengajar tentang hal yang serius dengan konsekuensi sangat berat. Ini tidak lain adalah dosa. Yesus tahu benar bahwa dosa merusak, dan seperti akar yang tumbuh, dosa merusak ke segala sisi. Dosa menghancurkan jiwa kita, sesama kita, lingkungan kita dan bahkan hubungan kudus kita dengan Tuhan. Apa yang lebih menyeramkan tentang dosa adalah dosa merusak hati nurani kita dan membuat kita percaya bahwa kita tidak melakukan sesuatu yang salah. Dalam bukunya ‘The Name of God is Mercy, Paus Fransiskus berbicara tentang efek dari korupsi dosa, “Korupsi jiwa bukanlah suatu tindakan tetapi suatu kondisi, keadaan pribadi dan sosial yang menjadi kebiasaan hidup… Orang yang korup selalu memiliki muka untuk mengatakan, ‘Bukan aku!’ … Dia adalah orang yang pergi ke Misa setiap Minggu tetapi tidak memiliki masalah menggunakan posisinya yang kuat untuk meminta suap … lalu dia memamerkan kepada teman-temannya tentang cara-cara liciknya tersebut.”

Seperti dalam kasus orang yang bergulat dengan diabetes dan memiliki gangren di jarinya, lebih baik baginya untuk mengamputasi jari untuk mencegah penyebaran infeksi, dan dengan demikian, menyelamatkan organ lain, dan hidupnya. Demikian juga dengan dosa. Yesus memerintahkan kita untuk “mengamputasi” area-area dalam hidup kita yang dirusak oleh dosa, untuk menyelamatkan jiwa kita. Tapi, ini tidak mudah. Seperti beberapa pasien yang saya layani, mereka menolak menyerahkan bagian-bagian berharga dari tubuh mereka. Mereka menolak, marah dan frustrasi, dan mencoba tawar-menawar dengan dokter untuk menghindari amputasi. Dengan mentalitas yang sama, kita sering menyangkal bahwa kita memelihara sifat buruk kita. Kita menjadi marah ketika orang mengoreksi kita dan mengungkapkan dosa-dosa kita. Kita juga tawar-menawar dengan Tuhan untuk tetap menyimpan dosa-dosa favorit kita, dan mengatakan kepada-Nya bahwa kita akan menjadi lebih baik dalam aspek-aspek lain dari kehidupan kita. Namun, ini tidak akan pernah berhasil. “Amputasi” radikal diperlukan untuk menyelamatkan jiwa kita yang sakit.

Namun, kabar baiknya adalah bahwa jiwa kita tidak seperti tubuh yang tidak akan mendapatkan kembali anggota badan yang hilang, jiwa kita bahkan akan tumbuh bahkan lebih kudus setelah “amputasi”. Hubungan antara orang lain akan dimurnikan, sikap kita terhadap lingkungan akan dipenuhi dengan perhatian dan belas kasihan, dan cinta kita kepada Tuhan akan diperdalam.

Apa dosa-dosa kita yang merugikan diri kita sendiri, orang lain dan lingkungan? Apakah kita cukup rendah hati untuk menerima koreksi? Apakah kita cukup berani untuk mengakui dosa-dosa kita? Apakah kita meminta rahmat Tuhan untuk mempersiapkan kita untuk sakramen pengakuan dosa?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

John the Witness

3rd Sunday of Advent [December 17, 2017] John 1:6-8, 19-28

“John came as a witness to testify to the light , so that all might believe through him. (Joh 1:7)”

john africanIn the Fourth Gospel, John the Baptist has an important role. It is not only to baptize, but to become a witness. He is to witness to the light, to the true Messiah, to Jesus Christ. When the priests, Levites, and Pharisees from Jerusalem, come to him , and interrogate him to clarify his identity, he makes it clear that he is not the Messiah, not even the prophet, but rather enigmatically saying “a voice that cries in the desert.” It seems it is an easy thing to do for John. Questions are thrown at him, and he simply gives straight and confident answers. Yet, looking deeper into the reality, it is actually the opposite.

John the Baptist is a highly popular and influential man. He is able to draw many people from all corners of Palestine. People listen to him and ask to be baptized. He is a charismatic preacher that changes many Jews’ lives. When afforded with so much success and praise, it is easier for John to see himself as the best and main actor. He could have said to the priests, “I am the light, the Messiah. See how many people follow and gather around me!”  He has become the epitome of successful preacher and minister. Yet, he does not claim the praise to himself , but points to the true light and Messiah.

Our modern society may be scandalized by John the Baptist’s attitude. Our societies are driven by success and achievement. We are taught to think positive, to feel good about ourselves, to shun failures. We are trained to reach our dreams, to compete to become the best , and to believe in our abilities. Books, articles, and videos about self-help, success-coaching, positive thinking, effective leadership and efficient management are flooding in our book stores , televisions, and internet. I need to admit also that I am using a time-management method “Pomodoro” to help me finish this reflection. We are living in the world that is confident of itself and believe that we can achieve anything. The sky is the limit!

No wonder if the value of our contemporary society is in conflict with John’s. We might say John should not think himself too low, he should have more self-esteem, or he should not be too pessimistic. Yet, this is not about John having low self-esteem or being too shy. John’s humble act is prophetic, not only for his own time , but also to our days. His testimony points to a radical recognition that God is the source of all our goodness and to God alone, all these perfections shall go back. I am not saying that many motivational materials produced by our generation are not good. They are in fact helpful to bring out the best of us. Yet, the danger is when we begin to think that we can do things on our own. With so many achievements, the present world begins to believe that God is not necessary, and we start playing God. We destroy the environment, manipulate human lives, and abuse ourselves. At the bottom of all of these is pride.

John’s life becomes a witness to the true light, to the true source of all goodness. His prophetic action reminds us of what matters most in our lives. The invitation for us now is not only to become humble by recognizing God’s presence in all our achievements , and give thanks to Him. Yet, like John, we and our lives are to become a sign that points to God himself. It is no longer about us, but God who works in me.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno , OP