Yohanes Sang Saksi

Minggu Adven ke-3 [17 Desember 2017] Yohanes 1:6-8, 19-28

“Yohanes datang sebagai saksi untuk bersaksi tentang terang, supaya semua orang percaya melalui Dia. (Yoh 1: 7)”

john n jesusDalam Injil Keempat, Yohanes Pembaptis memiliki peran penting: bukan hanya untuk membaptis, tapi untuk menjadi saksi. Dia bersaksi tentang sang Terang, sang  Mesias sejati, Yesus Kristus. Ketika para imam dan orang-orang Farisi dari Yerusalem datang kepadanya dan menginterogasinya untuk mengklarifikasi identitasnya, dia menjelaskan bahwa dia bukanlah Mesias, bahkan bukan seorang nabi, namun dia berseru, “Akulah suara orang yang berseru-seru di padang gurun: Luruskanlah jalan Tuhan!  (Yoh 1:23)” Sepertinya hal ini adalah hal mudah untuk Yohanes lakukan. Pertanyaan diajukan kepadanya, dan dia memberikan jawaban secara lugas dan percaya diri. Namun, melihat lebih dalam pada realitas zamannya, hal yang dilakukannya tidaklah semudah yang kita bayangkan.

Yohanes Pembaptis adalah orang yang sangat populer dan berpengaruh. Dia mampu menarik banyak orang dari segala penjuru Palestina. Orang-orang mendengarkannya dan meminta untuk dibaptis. Dia adalah seorang pengkhotbah karismatik yang mengubah banyak kehidupan orang-orang Yahudi. Dengan begitu banyak kesuksesan dan pujian, Yohanes lebih mudah melihat dirinya sebagai pemeran utama. Dia bisa saja berkata kepada para imam, “Akulah sang terang, sang Mesias. Lihatlah betapa banyak orang yang mengikuti dan berkumpul di sekitarku!” Dia telah menjadi lambang pewarta yang sukses. Namun, di saat yang paling krusial, dia tidak mengklaim pujian bagi dirinya sendiri, namun menunjuk pada sang Terang dan Mesias yang sebenarnya.

Dunia modern kita mungkin tidak sepaham dengan sikap Yohanes Pembaptis ini. Masyarakat kita sekarang termotivasi oleh kesuksesan dan prestasi. Kita diajarkan untuk berpikir positif, merasa nyaman dengan diri sendiri, dan menghindari kegagalan. Kita dilatih untuk mencapai impian kita, berkompetisi untuk menjadi yang terbaik, dan percaya pada kemampuan kita. Banyak buku, artikel, dan video tentang ‘self-help’, kesuksesan, pemikiran positif, kepemimpinan yang efektif dan manajemen yang efisien membanjiri toko buku, televisi, dan internet. Perlu saya akui juga bahwa saya menggunakan metode manajemen waktu “Pomodoro” untuk membantu saya menyelesaikan refleksi ini. Kita hidup di dunia yang sangat percaya diri dan percaya bahwa kita dapat mencapai apapun. Dunia tanpa batas!

Tak heran bila nilai dunia kontemporer kita bertentangan dengan Yohanes. Kita mungkin mengatakan bahwa Yohanes seharusnya tidak menganggap dirinya terlalu rendah, ia seharusnya memiliki kepercayaan diri yang lebih baik, atau seharusnya ia tidak terlalu pesimis. Namun, ini bukan tentang Yohanes yang memiliki kepercayaan diri rendah atau pemalu. Tindakan rendah hati Yohanes pada dasarnya adalah sebuah nubuat dan kesaksian, yang bahkan relevan sampai saat ini. Kesaksiannya menunjuk pada pengakuan radikal bahwa Allah adalah sumber dari semua kebaikan yang kita miliki dan kepada-Nya saja, semua kesempurnaan yang kita capai akan kembali. Saya tidak mengatakan bahwa berbagai bahan motivasi yang diproduksi oleh generasi kita tidak baik. Mereka sebenarnya membantu kita untuk menghasilkan yang terbaik. Namun, bahayanya adalah ketika kita mulai berpikir bahwa kita bisa melakukan semua dengan cara kita sendiri. Dengan begitu banyak prestasi, dunia saat ini mulai percaya bahwa Tuhan tidak diperlukan lagi, dan kita mulai berperan sebagai tuhan-tuhan kecil. Kita menghancurkan lingkungan hidup, memanipulasi kehidupan manusia, dan menyalahkan gunakan tubuh dan pikiran kita. Semua ini berakar pada keangkuhan manusia kita.

Kehidupan Yohanes menjadi saksi Terang sejati, sumber sejati dari semua kebaikan. Tindakan kenabiannya mengingatkan kita pada apa yang paling penting dalam hidup kita. Sekarang kita diajak tidak hanya untuk menjadi rendah hati dengan mengenali kehadiran Tuhan dalam semua pencapaian kita, dan bersyukur kepada-Nya. Namun, seperti Yohanes, kita dipanggil supaya hidup kita secara total menjadi tanda yang menunjuk pada Tuhan, dan bukan pada diri kita sendiri. Ini bukan lagi tentang kita, tapi Tuhan yang bekerja di dalam diri kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Beyond Talent

33rd Sunday in Ordinary Time. November 19, 2017 [Matthew 25:14-30]

“…out of fear I went off and buried your talent in the ground” (Mat 25:25)

talent 2Talent is one of the few biblical words that has become part of our modern language. Talent connotes a God-given ability or a natural unique skill, and yet it has not fully developed. Thus, we are called to use and harness our talents in order to achieve our full potentials and contribute to the progress of society. In fact, talents have become well-sought commodity in our society. Companies only hire the talented employees. Schools are marketed as venues of talents development. Our TV channels and social media outlets are filled by shows where we perform, compete and prove that we possess the best talent in singing, dancing, and the like. How our world is now obsessed with talents!

Going back to our Gospel, we may have a different meaning of talent. The Greek “talanta” in our Gospel’s today means an extreme large sum of money. Perhaps, a talent is worth more than one million US dollar in our currency. From the parable, the man is extremely rich that he can easily entrust his talents to his servants. And those three servants are expected to work on those talents and produce more talents. In no time, the two servants double the talents, and like the master, we instinctively praise them. The third servant does nothing, but buries the talent. This causes the ire of the master and he immediately punishes the servants because of his inability and laziness. We would agree with the judgment of the master, and draw a classic lesson from the parable, that we must also develop our “talents” and avoid laziness.

However, unlike the parable of the ten virgins (we listened last Sunday), Jesus does not explicitly mention that we imitate the master or the successful servants. There is something trickier here. Examining closely today’s parable, we may ask whether the third servant is just lazy, or there is something else? If he has so much money in his hands, why would he bury them and wait for the harsh judgment? He could have just run with the money to faraway place and make a fortune out of it? The answer is revealed in the defense of the third servant. The servant is aware that his master is a harsh man who “reaps where he did not sow, and gathers where he did not scatter seed.” This means that he knows that his master gains his wealth through dishonest ways. Surprisingly, instead denying the accusation, the master admits his misdeeds. He is a harsh and corrupt man, and perhaps, he wants his servants to imitate their master’s dishonest methods in doubling their talents. Thus, to silence his deviant servant from spreading the news, he throws him into the darkness.

The third servant says that he is afraid and thus, he buries the talent. He might be afraid of his master, but it may be that he is more afraid of offending God. By dishonest conducts, he commits injustice, makes other people suffers, and creates further poverty. He might be condemned as lazy servant, but he stands with the truth. Despite pervasive culture of lies, he remains steadfast in his honesty.

This may be unusual interpretation of the parable, but this lesson is more radical and profound than simply working hard for our talents. Through the third servant, Jesus invites us to be a sign of the Kingdom in the world. With pervasiveness of fake news and hoaxes around us, we are invited to seek and speak the truth. With so many injustices and poverty, we are called to do what is right and yet be compassionate. May I end this reflection by quoting Archbishop Oscar Romero, “A church that doesn’t provoke any crisis, a gospel that doesn’t unsettle, a Word of God that doesn’t get under anyone’s skin, what kind of gospel is that? Preachers who avoid every thorny matter so as not to be harassed do not light up the world.”

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Lebih dari Sekedar Talenta

Minggu Biasa ke-33 [19 November 2017] Matius 25: 14-30

“… Karena itu aku takut dan pergi menyembunyikan talenta tuan itu di dalam tanah…” (Mat 25:25)

talentTalenta adalah satu dari sedikit kata-kata dari Kitab Suci yang telah menjadi bagian dari bahasa kita sehari-hari. Talenta sering diartikan sebagai bakat yang diberikan Tuhan atau keterampilan yang unik seperti memiliki suara yang indah, kemampuan memecahkan persoalan matematika yang rumit, atau kemampuan berolahraga, namun belum sepenuhnya dikembangkan. Dengan demikian, kita dipanggil untuk menggunakan dan memanfaatkan talenta kita untuk mencapai potensi maksimal kita dan memberikan kontribusi pada kemajuan masyarakat.

Kembali ke Injil kita, kata talenta memiliki artian yang sedikit berbeda. Bahasa Yunani “talanta” dalam Injil kita hari ini berarti jumlah uang yang luar biasa besar. Mungkin, talenta itu bernilai lebih dari lima belas miliar rupiah dalam perhitungan saat ini. Dari perumpamaan kali ini, kita tahu sang tuan adalah sangat kaya sehingga dia bisa dengan mudah mempercayakan talentanya pada para hambanya. Dan ketiga hamba tersebut diharapkan bisa memanfaatkan talenta yang mereka terima, dan menghasilkan lebih banyak talenta. Dalam waktu singkat, kedua hamba pertama menggandakan talenta, dan sang tuan pun memuji mereka. Hamba ketiga tidak melakukan apapun, dan mengubur talentanya. Hal ini menyulut kemarahan sang tuan dan dia langsung menghukum sang hamba karena ketidakmampuan dan kemalasannya. Kita pun setuju dengan keputusan sang tuan, dan menarik pelajaran dasar dari perumpamaan ini bahwa kita juga harus mengembangkan “talenta” kita dan menghindari kemalasan.

Namun, tidak seperti perumpamaan tentang sepuluh gadis (kita mendengarkan hari Minggu yang lalu), Yesus tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa kita harus meniru sang tuan atau dua hamba yang sukses. Ada sesuatu yang lebih rumit di sini. Dengan membaca perumpamaan hari ini lebih seksama, kita mungkin bertanya apakah sungguh hamba ketiga malas, atau ada hal yang lain? Jika dia memiliki begitu banyak uang di tangannya, mengapa dia menguburkannya dan menunggu penghakiman yang berat? Dia bisa saja lari dengan uang itu ke tempat yang jauh dan mencari keuntungan di tempat lain? Jawabannya terungkap dalam pembelaan hamba ketiga ini. Hamba tersebut sadar bahwa tuannya adalah manusia yang kejam yang “menuai di mana dia tidak menabur, dan mengumpulkan di mana dia tidak menanam.” Ini berarti bahwa dia tahu bahwa tuannya memperoleh kekayaannya melalui cara-cara yang tidak jujur. Anehnya, alih-alih menyangkal tuduhan tersebut, dengan angkuh, sang tuan mengakui kesalahannya. Dia adalah manusia yang kejam dan tidak jujur, dan mungkin, dia ingin para hambanya meniru cara-cara tidak jujurnya dalam melipatgandakan talenta mereka. Dengan demikian, untuk membungkam hambanya yang jujur ini, dia melemparkannya ke dalam kegelapan yang paling gelap.

Hamba ketiga mengatakan bahwa dia takut dan karenanya, dia mengubur talenta tersebut. Dia mungkin takut pada tuannya, tapi mungkin dia lebih takut kepada Tuhannya yang benar. Dengan melakukan perbuatan tidak jujur, dia melakukan ketidakadilan, dan membuat orang lain menderita. Dia mungkin dihakimi sebagai hamba malas, tapi dia berpihak kepada kebenaran. Meski hidup dalam budaya kebohongan, ia tetap teguh dalam kejujurannya dan apa yang benar.

Mungkin interpretasi perumpamaan kali ini tidak biasa, tapi pelajaran yang kita petik lebih radikal dan mendalam daripada hanya sekedar mengembangkan talenta kita. Melalui hamba ketiga, Yesus mengundang kita untuk menjadi tanda Kerajaan Allah di dunia. Dengan merajalelanya hoax dan kebohongan di sekitar kita, kita diajak untuk mencari dan berbicara kebenaran. Dengan begitu banyaknya ketidakadilan dan kemiskinan, kita dipanggil untuk melakukan apa yang benar namun tetap berbelas kasih. Izinkan saya mengakhiri refleksi ini dengan mengutip Uskup Agung Oscar Romero, “Sebuah Gereja yang tidak memprovokasi suatu krisis, sebuah Injil yang tidak meresahkan, sebuah Firman Tuhan yang tidak menantang hati nurani siapa pun, Injil macam apakah itu? Pewarta yang menghindari isu-isu sensitif agar ia selalu aman, dia tidak menerangi dunia.”

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yoke

14th Sunday in the Ordinary Week. July 9, 2017 [Matthew 11:25-30]

 “Take my yoke upon you and learn from me, for I am meek and humble of heart; and you will find rest for your selves.  (Mat 11:29)”

yoke 1Yoke is a device, usually of wood, placed on the shoulder of animals or persons to carry a burden. In agricultural settings, a yoke is used to pull a plow to make a furrow on the ground so that the soil will be ready for the seed planting. But, a yoke can be used also to drag a cart and transport various goods. Because its primary function is to carry a load or burden, a yoke turns to be a symbol of responsibility, hard work, and obligation. In our seminary in Manila, a leader among the brothers is called a decano. In the beginning of the formation year, we elect our decano, and as he assumes his responsibility, he ceremonially receives a wooden yoke from the outgoing decano. The yoke reminds him of responsibility and great task that he has to endure through the year.

In the Bible, a yoke often symbolizes a means of oppression and slavery. The yoke reminds the Israelites how they lived as slaves in Egypt. The yokes were placed upon their shoulders and they have to carry heavy materials, and to work for the construction of Egyptian colossal buildings. At the time of Jesus, the yoke has slightly evolved to symbolize tedious religious obligation. When Jesus criticized some of the Pharisees and Jewish religious leaders for putting so much emphasis on the details of the Law and rituals, and forgetting what truly the essentials, Jesus called this practice as the yoke of the Pharisees.

However, in today’s Gospel we learn that Jesus asks us to carry His yoke. Wait! Does it mean like the Pharisees, Jesus also wants us to carry a yoke of burden? Jesus clarifies further that His yoke is easy and my burden is light. So, Jesus’ yoke is just less burdensome compare to that of the Pharisess, yet it is still a yoke, a load. How then we can be truly restful if it is just a matter of changing of yoke?

To understand Jesus’ yoke, we need to know that in ancient Israel, like in our time, there are different kinds of yokes. There is a yoke for a single animal, but there is also a yoke that unites two animals together in pulling the burden. When Jesus speaks about His yoke, He is referring to this yoke for two animals or persons. When we carry the yoke of Jesus, it does not mean that Jesus simply gives us the yoke for us alone to shoulder, but we carry it together with Jesus. It is not a transferring of responsibility, but sharing of the burden. And when we feel tired and exhausted because of the heavy burden, we can rest a while since Jesus is the one who now carries the burden for us. In fact, as a carpenter, He knows best how to make a yoke more convenient to carry. That is the yoke of Jesus.

We are carrying the yoke of life with Jesus. And indeed it is a great consolation for us. We are burdened by so many problems in life and often it is too heavy to bear. Yet, we are never alone. Jesus is bearing the yoke for us, the Church is working together with us, our family and friends are one with us. This gives us rest in trial time, yet when others’ life are heavy, like Jesus, we are also helping in carrying others’ yoke, because it is only one yoke, the yoke of Jesus.

Br. Valentinus Bayuhadi RUseno, Op

 

Kuk

Minggu ke-14. 9 Juli 2017 [Matius 11:25-30]

“Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. (Mat 11:29)”

yoke 2Kuk adalah sebuah alat, biasanya terbuat dari kayu, yang diletakkan di bahu hewan atau orang untuk membawa beban. Di lingkungan pertanian, kuk digunakan untuk menarik bajak untuk membuat alur di tanah sehingga tanah siap untuk penanaman benih. Tapi, kuk bisa digunakan juga untuk menarik gerobak dan mengangkut berbagai barang. Karena fungsi utamanya adalah untuk membawa beban, kuk pun menjadi simbol tanggung jawab, kerja keras, dan kewajiban. Di seminari kami di Manila, pemimpin di antara para frater disebut sebagai “dekano”. Pada awal tahun formasi, kami memilih dekano, dan saat dia memulai mengembang tanggung jawabnya, dia secara seremonial menerima kuk kayu dari dekano yang lama. Kuk itu mengingatkannya akan tanggung jawab dan tugas besar yang harus dia tanggung sepanjang tahun dalam memimpin komunitas para frater.

Dalam Alkitab, kuk sering melambangkan penindasan dan perbudakan. Kuk itu mengingatkan bangsa Israel bagaimana mereka pernah hidup sebagai budak di Mesir. Kuk tersebut diletakkan di atas bahu mereka dan mereka harus membawa bahan-bahan bangunan yang berat, dan bekerja untuk mendirikan bangunan-bangunan besar Mesir. Sampai pada zaman Yesus, kuk sedikit berevolusi dan menjadi lambang dari kewajiban keagamaan yang terkadang sangat memberatkan orang-orang sederhana. Ketika Yesus mengkritik beberapa orang Farisi dan pemimpin agama Yahudi karena menaruh begitu banyak penekanan pada rincian Hukum dan ritual, dan melupakan apa yang hakiki, Yesus menyebut praktik ini sebagai kuk orang Farisi.

Namun, dalam Injil hari ini kita membawa bahwa Yesus meminta kita untuk memanggul kuk-Nya. Kita kemudian bertanya: Apakah itu berarti seperti orang-orang Farisi, Yesus juga menginginkan kita membawa kuk yang berat? Yesus menjelaskan lebih lanjut bahwa kuk-Nya mudah dan beban-Nya ringan. Jadi, kuk Yesus tidak seberat kuk versi Farisi, namun tetap saja sebuah kuk, dan sebuah beban. Lalu bagaimana kita bisa benar-benar mendapatkan istirahat jika kita harus tetap memanggul kuk?

Untuk memahami kuk Yesus, kita perlu mengetahui bahwa di Israel di zaman Yesus, ada berbagai jenis kuk. Ada kuk yang digunakan oleh seekor binatang saja, tapi ada juga kuk yang diangkut oleh dua binatang sekaligus dalam menarik beban. Ketika Yesus berbicara tentang kuk-Nya, Dia berbicara tentang kuk ganda yang dipergunakan oleh dua binatang atau manusia. Saat kita membawa kuk Yesus, ini tidak berarti bahwa Yesus hanya sekedar memindahkan kuk-Nya dari bahu-Nya ke bahu kita untuk dipikul, tapi Yesus ikut memanggul kuk kita. Ini bukanlah pemindahan tanggung jawab, tapi berbagi beban. Dan ketika kita merasa lelah dan letih karena beban berat, kita bisa beristirahat karena Yesus lah yang sekarang membawa beban bagi kita. Tentunya, sebagai seorang tukang kayu yang lihai, Yesus tahu persis bagaimana membuat kuk yang lebih nyaman untuk dipanggul dan memberikan istirahat kepada kita. Inilah kuk Yesus.

Kita membawa kuk hidupan dengan Yesus. Tentunya, ini merupakan penghiburan bagi kita. Kita terbebani oleh begitu banyak masalah dalam hidup dan seringkali terlalu berat untuk ditanggung. Namun, kita tidak pernah sendirian. Yesus menanggung kuk bersama kita. Yesus juga mengutus Gereja-Nya untuk memanggul bersama kuk kehidupan dengan kita. Dan tentunya, keluarga dan sahabat-sahabat kita bersatu dengan kita dalam memanggul kehidupan. Ini memberi kita istirahat pada masa pencobaan. Namun, ketika kehidupan sesama kita menjadi berat, seperti Yesus, kita juga dipanggil untuk mengangkat kuk sesama kita, karena ini adalah hanya satu kuk, kuk Yesus sendiri.

Frater Valentinus Bayuhadi RUseno, Op

, or

 

The Revelation of Love

Solemnity of the Most Holy Trinity. June 11, 2017 [John 3:16-18]

 “For God so loved the world that he gave his only Son, so that everyone who believes in him might not perish but might have eternal life (Joh 3:16)”

holy trinityToday, we are celebrating the Mystery of the Most Holy Trinity. This Mystery is rightly called the mystery of all the mysteries because the Holy Trinity is at the core of our Christian faith. Yet, the fundamental truth we believe is not only extremely difficult to understand, but in fact, it goes beyond our natural reasoning.  How is it possible that we believe in three distinct Divine Persons, the Father, the Son and the Holy Spirit, and yet they remain One God? Many great minds have tried to explain, but at the face of such immense truth, the best explanations would seem like a drop of water in the infinite ocean. Yet, we believe it precisely because the mystery is not coming from the human mind, but is revealed to us by God Himself.

The clearest experience of the Trinity in the Scriptures will be coming from St. Matthew. Jesus said to the disciples, “Go, therefore, and make disciples of all nations, baptizing them in the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit (Mat 28:19).” We observe that we are baptized for salvation only in “one name”. Surely this one name refers to one God himself. Yet, within this one Holy Name, there are three persons: the Father, the Son and the Holy Spirit.

St. Paul, the apostle to the Gentiles, often uttered blessings in the name of Holy Trinity. In his second letter, he greeted and blessed the Corinthians, saying “The grace of the Lord Jesus Christ and the love of God and the fellowship of the Holy Spirit be with all of you (13:13).” The same practice was also followed by St. Peter. In his first letter, he greeted the fellow Christians, “in the foreknowledge of God the Father, through sanctification by the Spirit, for obedience and sprinkling with the blood of Jesus Christ: may grace and peace be yours in abundance (1:2). It is true that the term Trinity is not in the Bible because the word was coined to facilitate our understanding, but as we have read, the Holy Scriptures revealed the truth and reality of the Holy Trinity.

If then the Holy Trinity is indeed revealed by God Himself, what is the point of having faith in the Holy Trinity then?  The answer may be discovered in today’s Gospel. The identity of God is love (see 1 Jn 4:6). The Father loves the Son totally, and the Son loves the Father radically, and the love that unites the Father and the Son is the Holy Spirit. In love, there is the beautiful dynamic of the three loves. Love is one, yet it is three. Now, it makes sense why God so loved the world and sent His only Son for our salvation. All because God is love.

If God is love and He wants to share His love and life with us, we have to get ready to enter that love. And the best way to prepare ourselves is that we need to become love itself. We need to be more loving, forgiving and generous. In short, we have to be more and more like the Trinity. As St. John of the Cross said, “In the twilight of life, God will not judge us on our earthly possessions and human successes, but on how well we have loved.”

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Pewahyuan Kasih

Hari Raya Tritunggal Mahakudus. 11 Juni 2017 [Yohanes 3: 16-18]

“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. (Yoh 3:16)”

Holy Trinity21Hari ini, kita merayakan Misteri Tritunggal Mahakudus. Misteri ini disebut sebagai misteri dari semua misteri karena Tritunggal Mahakudus merupakan inti dari iman Kristiani kita. Namun, kebenaran mendasar yang kita percaya ini tidak hanya sangat sulit untuk dipahami, namun pada kenyataannya, melampaui penalaran alamiah kita. Bagaimana mungkin kita mempercayai tiga Pribadi Ilahi yang berbeda, Bapa, Putra dan Roh Kudus, namun tetap satu Tuhan? Banyak pemikir besar seperti St. Agustinus dan St. Thomas Aquinas telah mencoba menjelaskan, namun saat berhadapan dengan kebenaran yang begitu besar, penjelasan terbaik pun sepertinya setetes air di samudera raya. Namun, kita percaya justru karena misteri itu tidak berasal dari manusia, namun diwahyukan kepada kita oleh Tuhan sendiri.

Pernyataan yang paling jelas tentang Trinitas dalam Kitab Suci datang dari St. Matius. Yesus berkata kepada murid-murid, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Putra dan Roh Kudus (Mat 28:19).” Kita mengamati bahwa kita dibaptis untuk keselamatan hanya dalam “satu Nama”. Tentunya satu nama ini mengacu pada satu Tuhan Allah. Namun, di dalam satu Tuhan, ada tiga pribadi: Bapa, Putra dan Roh Kudus.

Santo Paulus, rasul bagi bangsa-bangsa, sering mengucapkan berkat dalam nama Tritunggal Mahakudus. Dalam suratnya yang kedua, dia memberkati jemaat di Korintus, dengan mengatakan “Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus menyertai kamu sekalian (13:14).” Praktik yang sama juga Diikuti oleh Santo Petrus. Dalam surat pertamanya, dia menyapa sesama dan memberkati semua jemaat, …sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu (1:2).” Memang benar bahwa istilah Trinitas tidak ada dalam Alkitab karena kata ini dibentuk untuk memudahkan pemahaman kita, namun seperti yang telah kita baca, Kitab Suci mewahyukan kebenaran dan realitas Tritunggal Mahakudus.

Jika kemudian Tritunggal Mahakudus memang diwahyukan oleh Tuhan sendiri, apa gunanya memiliki iman kepada Tritunggal Mahakudus? Jawabannya bisa ditemukan pada Injil hari ini. Identitas Allah adalah kasih (lihat 1 Yoh 4: 6). Bapa mengasihi Putra sepenuhnya, dan Putra mengasihi Bapa secara radikal, dan kasih yang mempersatukan Bapa dan Putra adalah Roh Kudus. Dalam kasih, ada dinamika indah dari tiga kasih. Kasih itu satu, tapi tiga. Sekarang, masuk akal mengapa Tuhan sangat mengasihi dunia dan mengutus Putra Tunggal-Nya untuk keselamatan kita. Semua karena Tuhan itu kasih.

Jika Tuhan itu kasih dan Dia ingin berbagi kasih-Nya dan kehidupan-Nya dengan kita, kita harus bersiap untuk memasuki kasih tersebut. Dan cara terbaik untuk mempersiapkan diri kita adalah kita perlu menjadi kasih itu sendiri. Kita harus belajar untuk lebih mengasihi, memaafkan dan bermurah hati. Singkatnya, kita harus menjadi terus seperti Trinitas. Seperti yang dikatakan oleh St. Yohanes dari Salib, “Di akhir kehidupan kita, Allah tidak akan mengadili kita berdasarkan harta duniawi dan kesuksesan manusiawi kita, namun seberapa baik kita telah mengasihi.”

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Meet the Holy Spirit

Sixth Sunday of Easter. May 21, 2017 [John 14:15-21]

“I will ask the Father, and he will give you another Advocate to be with you always, (Joh 14:15)”

paraclete 2Have you seen a spirit? When the word ‘spirit’ is mentioned, what image does appear in your mind? Perhaps, scary ghosts from some urban legends or Hollywood horror movies. The word ‘spirit’ conjures terrifying and often creepy images because it is related with the dead, the afterlife, and unexplained paranormal phenomenon. The Church herself warrants the existence of evil spirit or the demons, as the Church fights them through the ministry of exorcism.

However, in the bible, spirit is not frightening, and in fact, it is a fundamental concept and reality. In Hebrew language, spirit is ‘ruah’. This word ‘ruah’ is closely related to breath, air or wind. Spirit is like an air. It is formless and invisible, but all things are filled and surrounded by it. Spirit is like a wind. It cannot be controlled, but it is a powerful force that shapes nature. And spirit is like a breath. We cannot see and touch it, yet it fills us with life. Early in the story of creation, the Spirit of God was already introduced, as this Spirit swept over the waters (Gen 1:2). This ‘breath’ appeared once again in the story of human creation. God then breathed to his nostril the breath of life and man came to life (Gen 2:7). Then, when men and women became wicked, God would take away His ‘spirit’ from them and they would go back to earth (see Gen 6:3). From here, we can learn that the spirit is the power behind creation. It is the source of life in us. Moreover, it connects us with the Divine. Yet, because of sins, it might be lost, and man and woman shall go back to earth.

In today’s Gospel, Jesus taught that this Spirit of God is not just an inanimate force, but He is also a person. Jesus introduced Him as another Advocate. The word ‘another’ is significant, because the first Advocate is actually Jesus Himself (see 1 John 2:1). When Jesus went to the Father, the Spirit shall continue the works of Jesus and stand as His witness. As the divine Advocate, He will help, defend, strengthen, console and teach those who have faith in Jesus. It is important also to note that the Spirit is given in the context of keeping Jesus’ commandment. What is the new and greatest commandment of Jesus? “Love one another. As I have loved you, so you also should love one another (Jn 13:34).” The Spirit aids us in loving God and one another. In fact, He is our very power and capacity to love. Without Him, it is just impossible to love like Jesus.

Now we learn that the presence of the Holy Spirit is not only during the charismatic prayer meetings where someone begins to speak in tongue, but His presence and activity are permeating our lives. When we wake up in the morning and we are reminded to pray, He is in us. When we are hated and persecuted, yet we still proclaim the truth, He is in us. When living becomes laborious and painful, but we continue to love, He is in us. He is our Advocate, the third person in the holy Trinity, the Holy Spirit

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP.

Inilah Roh Kudus

Minggu Paskah keenam. 21 Mei 2017 [Yohanes 14: 15-21]

Aku akan minta kepada Bapa, dan Ia akan memberikan kepadamu seorang Penolong yang lain, supaya Ia menyertai kamu selama-lamanya (Yoh 14:15).

paraclete3Pernahkah kamu melihat roh? Atau, jika anda kata roh disebutkan, gambaran apa yang muncul di benak Anda? Mungkin, hantu-hantu menakutkan dari beberapa cerita-cerita atau film horor Hollywood, atau sesuatu yang diluar kekuatan manusia dan tidak bisa dijelaskan. Kata ‘roh’ seringkali memunculkan gambaran yang mengerikan dan menyeramkan karena selalu berhubungan dengan kematian, dunia akhirat, dan fenomena paranormal yang tidak dapat dijelaskan.

Namun, dalam Alkitab, roh sejatinya tidak menakutkan, dan faktanya, ini adalah konsep dan kenyataan yang mendasar. Dalam bahasa Ibrani, roh adalah ‘ru’ah’. Kata ‘ru’ah’ ini erat kaitannya dengan nafas, udara atau angin. Roh itu seperti udara. Ini tidak berbentuk dan tak terlihat, tapi semua benda terisi dan dikelilingi olehnya. Roh itu seperti angin. Ini tidak bisa dikendalikan, tapi adalah kekuatan dahsyat yang membentuk alam. Dan roh itu seperti nafas. Kita tidak bisa melihat dan menyentuhnya, namun ini memenuhi kita dengan kehidupan. Pada awal kisah penciptaan, Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air (lih. Kej 1: 2). ‘Nafas ilahi’ ini muncul juga dalam kisah penciptaan manusia. Tuhan kemudian menghembuskan nafas kehidupan ke dalam lubang hidungnya dan manusia menjadi hidup (lih. Kej 2:7). Kemudian, ketika pria dan wanita menjadi jahat, Tuhanpun mengambil kembali ‘roh’-Nya dari mereka dan mereka akan kembali menjadi debu (lih. Kej 6: 3). Dari sini, kita bisa mengerti bahwa roh adalah kekuatan di balik ciptaan. Roh adalah sumber kehidupan kita. Selain itu, roh juga menghubungkan kita dengan Yang Ilahi. Namun, karena dosa, roh akan diambil, dan manusia akan kembali menjadi debu.

Dalam Injil hari ini, Yesus mengajarkan bahwa Roh Allah ini bukan hanya sebuah kekuatan alamiah yang tak bernyawa, tapi Roh Allah ini adalah juga pribadi yang hidup. Yesus memperkenalkan Dia sebagai Penolong yang lain. Kata ‘yang lain’ sangat penting, karena Sang Penolong pertama sebenarnya adalah Yesus sendiri (lih. 1 Yoh 2: 1). Ketika Yesus pergi kepada Bapa, Roh Kudus akan melanjutkan misi Yesus dan menjadi saksi-Nya. Sebagai Penolong ilahi, Dia akan membantu, membela, menguatkan, menghibur dan mengajarkan kita yang memiliki iman kepada Yesus. Penting juga untuk dicatat bahwa Roh ini diberikan untuk membantu kita mematuhi perintah Yesus. Apakah perintah Yesus yang baru dan terbesar? “supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi (Yoh 13:34).” Roh Kudus ada untuk membantu kita dalam mengasihi Allah dan sesama. Sesungguhnya, Dia adalah kekuatan dan kemampuan kita untuk mengasihi. Tanpa Dia, tidak mungkin bagi kita untuk mengasihi seperti Yesus.

Sekarang kita mengerti bahwa kehadiran Roh Kudus tidak hanya selama pertemuan doa karismatik di mana seseorang mulai berbicara dalam bahasa roh, namun kehadiran dan aktivitas-Nya memenuhi kehidupan kita. Saat kita bangun di pagi dan kita diingatkan untuk berdoa, Dia ada di dalam kita. Bila kita dibenci dan dianiaya, namun kita terus menyatakan kebenaran, Dia ada di dalam kita. Saat mencintai menjadi sulit dan menyakitkan, tapi kita terus mencintai, Dia ada di dalam kita. Dia adalah Penolong kita, pribadi ketiga dalam Tritunggal Mahakudus, Sang Roh Kudus.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP.

Paradoks Kebangkitan

Minggu Paskah kedua. 23 April 2017 [Yohanes 20: 19-31]

“Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya (Yoh 20:25).”

Jesus appears to Thomas - John 20:24-29

Thomas sedang mencari bukti bahwa Yesus benar-benar bangkit dari kematian. Tidak cukup  baginya untuk melihat Yesus dengan matanya, Thomas membutuhkan bukti lain: menyentuh luka-luka bekas penyaliban Yesus. Thomas adalah salah satu dari dua belas rasul yang merupakan lingkaran dalam murid Yesus. Sebagai bagian dari dua belas rasul, Thomas memiliki hak istimewa untuk berjalan bersama Yesus, makan bersama-Nya, dan menyaksikan perbuatan-Nya yang perkasa. Sekilas, dia akan dengan mudah mengenali Yesus, Gurunya, tapi tetap saja dia menuntut bekas luka-luka Yesus. Mengapa Thomas bersikeras untuk mencari luka-luka itu?

Alasannya adalah bahwa Thomas ingin memastikan bahwa dia tidak melihat hantu atau hanya berhalusinasi. Selain itu, dia ingin memastikan bahwa orang yang akan dia temui benar-benar Yesus, dan bukan seorang penipu yang menyerupai Yesus. Luka-luka penyaliban Yesus menjadi bukti identifikasi Kristus yang bangkit. Meski sangat praktis, ada juga sisi negatifnya. Thomas mengidentifikasi Yesus terutama dengan luka-luka-Nya, kelemahan-Nya. Thomas tidak sendirian di sini. Seringkali, kita juga mengikuti Thomas dalam mengidentifikasi orang lain dengan luka dan kelemahan mereka.

Kita memiliki kelemahan, kegagalan, dan luka kita masing-masing. Seringkali, kita mengasosiasikan diri kita atau orang lain dengan luka dan kelemahan ini. Bayu, yang selalu terlambat; Alex, seorang pengangguran; Roy, si pesakitan; Andre, yang gemuk; Fransiskus, si pembohong; Petrus, si penyangkal; Thomas, si peragu; Maria, yang dirasuki oleh tujuh setan; Yesus, yang tersalibkan. Kita adalah luka-luka kita. Kita tidaklah lebih baik dari tanda kelemahan yang kita tanggung.

Namun, dalam Injil hari ini, Yesus tidak menegur Thomas karena hanya mencari tanda-tanda-Nya. Yesus tidak menuntut Thomas untuk mencari yang terbaik dari-Nya. Dia bahkan memintanya untuk melihat dan menyentuh luka-luka-Nya. Yesus merangkul tanda-tanda kekalahan-Nya dan menjadikannya tanda kebangkitan-Nya. Ini telah menjadi bukti karya Tuhan yang luar biasa, dan tempat pertemuan antara Thomas dan Tuhan. Ini bukan sekedar ‘berpikiran positif’ yang berseru ,“Jika kamu gagal seratus kali, bangunlah seratus satu kali!” Kebangkitan memanggil kita untuk tidak menyangkal atau menyembunyikan kelemahan kita, tapi untuk melihat Tuhan bahkan dalam situasi hidup kita yang paling rendah ini.

Waktu saya kelas satu SD, nilai saya merah di hampir semua mata pelajaran. Sayapun tidak naik kelas dan diminta untuk mengulang. Ini adalah sesuatu yang memalukan dan menyedihkan bagi saya dan keluarga. Kepercayaan diri saya hilang dan saya mulai berpikir bahwa saya adalah anak bodoh dan tidak memiliki masa depan. Tetapi, orang tua saya tidak menyerah. Mereka terus mendukung dan memberikan yang terbaik bagi saya. Sayapun perlahan maju dan berkembang. Melihat kembali pengalaman ini, saya bersyukur karena saya menemukan Tuhan bahkan di dalam pengalaman paling buruk dalam hidup saya. Tuhan yang bangkit hadir di dalam orang tua saya.

Di saat kita lemah dan terluka, di saat kita tidak lagi bisa membanggakan segala hal keberhasilan kita, inilah saatnya Tuhan masuk ke dalam kehidupan kita. Saat kita gagal dan kalah, kita berlutut dan berdoa. Di dalam luka dan kelemahan, kita menemukan Yesus yang bangkit. Inilah paradoks kebangkitan!

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP