Raja di kayu Salib

Hari Raya Kristus Raja [November 20, 2016] Lukas 23: 35-43

 Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus. (Luk 23:43)”

king-on-the-crossPerayaan liturgi Kristus Raja merupakan perkembangan baru dalam Gereja. Paus Pius XI menetapkan hari raya ini pada tahun 1925 di bulan Oktober. Paus Paulus VI pada tahun 1969 kemudian mendedikasikan hari Minggu terakhir dari Masa Biasa dalam kalender liturgi Gereja bagi Kristus Raja Semesta Alam. Meskipun perayaan ini tergolong baru di Gereja, kebenaran ini sungguh berakar di dalam Kitab Suci.

Yesus memulai karya-Nya dengan mewartakan Kerajaan Allah. Jika Allah adalah Raja dan Yesus adalah Anak Tunggal Allah, Yesus adalah pewaris sah tahta Kerajaan ini. Namun, Yesus Kristus sebagai raja lebih jelas terlihat dalam kisah sengsara dan wafat-Nya. Para pemimpin agama Yahudi menuduh Yesus menistaan agama Yahudi karena Yesus mengaku sebagai Mesias, Anak Allah, bahkan Allah sendiri (lih. Yoh 8:58). Namun, para pemimpin ini tidak ingin sekedar merajam Yesus. Mereka menginginkan kematian lebih menyakitkan dan memalukan bagi Yesus. Mereka memutuskan untuk membawa-Nya ke Pontius Pilatus, pemimpin Romawi, agar Yesus disalib. Karena Pilatus tidak mau mengurusi permasalahan agama, para pemimpin Yahudi menuduh Yesus memproklamirkan diri-Nya Raja orang-orang Yahudi. Untuk menjadi seorang raja dan memimpin pemberontakan melawan Kaisar Romawi adalah pengkhianatan dan makar, dan pantas dihukum mati. Yesus pun akhirnya dijatuhi  hukuman mati di kayu salib. Alasan Yesus disalib inipun dipaku di kayu yang sama: Yesus dari Nazaret, Raja orang Yahudi, dalam bahasa Latin, Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum atau INRI.

Dalam Injil hari ini, kita membaca dari St. Lukas yang menulis dengan indah. Bagi para musuh Yesus, penyaliban adalah kekalahan telak bagi Yesus sang raja dan Mesias. Salah satu tugas utama seorang raja dan Mesias adalah untuk menyelamatkan umat-Nya, tetapi Yesus dipaku di kayu salib, dan bahkan tidak mampu menyelamatkan diri-Nya sendiri. Orang-orang Yahudi yang membenci-Nya mengejek dia sebagai Mesias tidak berguna, sementara tentara Romawi mencemooh dia sebagai raja yang lemah. Bahkan salah satu penjahat yang tersalib ikut menghujat Yesus. Sungguh, Yesus tidak berdaya, sangat lemah dan menahan rasa sakit yang luar biasa dan berkepanjangan. Teman dan murid-murid-Nya meninggalkan dia. Pengikutnya lari dari-Nya. Kematian menunggu-Nya. Salib adalah momen kegagalan total bagi Yesus.

Namun, di saat kegelapan ini, ketika semua orang berpikir bahwa salib adalah akhir dari Kerajaan Yesus, Ia melakukan tindakan terbesar sebagai seorang raja. Dia mengampuni dan menyelamatkan sang penjahat yang bertobat di kayu salib. Daripada mengeluh atau mengutuk, dia mengucapkan berkat. Alih-alih membalas dendam, Dia menyembuhkan. Bukannya jatuh dalam keputusasaan, Dia justru memberi harapan. Kerajaan-Nya tidak berdasarkan kekerasan dan paksaan, tetapi pada keadilan dan belas kasih. Ini adalah Raja yang sejati, Yesus adalah Raja kita.

Jika kita menyambut Yesus sebagai Raja kita dan kita berbagi kerajaan-Nya dalam pembaptisan, sudah selayaknya bagi kita untuk menjalankan hidup kita seperti Yesus. Pada saat kita menghadapi banyak kesulitan, ketika kita terluka, dan ketika kita merasa begitu lemah, kita diberdayakan untuk bertindak seperti Kristus Raja: untuk memberkati, menyembuhkan, dan memberikan harapan. Ya, tentunya sangat sulit, tetapi jika kita memiliki seorang raja yang mampu mengasihi dihadapan semua keburukan, kita juga bisa mengasihi di tengah-tengah permasalahan hidup.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Bait Allah

Minggu dalam Pekan Biasa ke-33 [13 November  2016] Lukas 21:5-19

 “Apa yang kamu lihat di situ akan datang harinya di mana tidak ada satu batupun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan (Luk 21:6)”

jesus-teaching-at-the-temple-2Dalam banyak agama-agama kuno, kuil adalah tempat suci.  Hal ini karena dewa atau dewi mereka dianggap tinggal di sana dan orang-orang pun bisa melayani dan menyembah dewa-dewa mereka di kuil-kuil ini. Dengan demikian, banyak ritual kultus untuk menghormati dewa-dewa mereka berlangsung di kuil-kuil ini. Kuil ini menjadi tanda yang kasat mata dari kehadiran ilahi di antara manusia. Zeus terasa hidup di kuilnya di Gunung Olympus, atau dewa-dewi Roma terasa hadir di Pantheon.

Israel mengadopsi pola pikir yang hampir sama dan mereka membangun kuil-kuil mereka sendiri untuk Allah Israel. Bedanya tentunya adalah mereka tidak menyembah berhala, tetapi Allah yang benar. Awalnya, mereka memiliki beberapa kuil besar seperti di Bethel (lih. Kej 35: 1), Shiloh (lih. Yos 18: 1), dan Sikhem (lih. Kej 12:6). Namun, ketika Daud dan Salomo mencoba untuk mengkonsolidasikan suku-suku Israel menjadi satu bangsa yang bersatu, penyembahan Yahweh kemudian dipusatkan di kuil atau Bait Allah di Yerusalem. Akhirnya, Bait Yerusalem menjadi satu-satunya kuil di tanah Israel.

Di pusat Bait ini, ada tempat yang paling sakral bagi bangsa Yahudi yakni tempat Maha Kudus. Sekali setahun, hanya imam besar dapat masuk ke tempat ini dan mempersembahkan korban perdamaian bagi bangsa Israel. Yesus sendiri menyebut Bait Allah sebagai tempat Bapa-Nya. Tidak salah jika sang pemazmur bermadah bahwa ini adalah rumah Tuhan dan ke sana, suku-suku Israel datang, suku-suku-Nya Tuhan (Mzm 122: 4). Di zaman Yesus, Bait Allah telah secara struktural direnovasi dan dihiasi oleh Raja Herodes Agung. Tidak hanya ini menjadi situs paling suci bagi orang Yahudi, tapi mungkin ini adalah bangunan paling indah di Yerusalem. Karena keindahannya, pentingnya dan kesuciannya, orang Israel selalu berpikir bahwa Bait Allah tidak terhancurkan.

Namun, Yesus bernubuat bahwa Bait Allah yang megah inipun akan dihancurkan. Orang-orang Yahudi yang menghormati Bait Allah tentunya terkejut. Untuk mengatakan sesuatu yang buruk terhadap Bait Allah sama saja dengan mengatakan hal buruk terhadap Tuhan sendiri yang tinggal di dalamnya. Tidak heran Yesus pun dituduh telah menghujat Allah, dan memang ini adalah salah satu tuduhan terhadap Yesus saat Ia dianiaya oleh penguasa Yahudi. Yesus kemudian disalibkan, dan pada tahun 70 Masehi, empat puluh tahun setelah Kristus meninggal, Bait Allah pun mengikuti nasib yang serupa dengan Yesus. Para prajurit Romawi di bawah jendral Titus merebut Yerusalem dan menghancurkan Bait Allah. Nubuat Yesus berubah menjadi kenyataan. Apa yang masih hari ini adalah Tembok  bagian Barat dari Bait Allah, yang dikenal juga sebagai Tembok Ratapan.

Maka kita mungkin bertanya pada diri sendiri: Apakah kuil atau bait suci kita? Apa yang menjadi simbol kehadiran dan berkat Allah dalam hidup kita? Apa bagian dari hidup kita, yang kita berpikir, sangat penting dan tidak bisa dihancurkan? Apakah ini prestasi, kesuksesan, kekayaan kita atau status dan gelar dalam hidup kita? Apakah ini kita keluarga, persahabatan dan bahkan praktik-praktik keagamaan kita? Namun, semua hal ini bisa dihancurkan dalam seketika.

Memang, Bait Allah Yerusalem telah dihancurkan, tapi itu tidak berarti Tuhan juga hilang. Benar, Bait Allah selalu dikaitkan dengan Yang Mahatinggi, tetapi sebuah kuil atau Bait Allah ini bukanlah Allah itu sendiri. Ketika Yesus disalibkan, para murid berpikir bahwa ini adalah akhir dari segalanya, tetapi mereka salah. Yang berakhir adalah ekspektasi-ekspektasi semu mereka dan ide-ide yang salah tentang Yesus. Sungguh, Tuhan akan membiarkan simbol terbesar dari diri-Nya dalam hidup kita untuk dihancurkan, itu tidak berarti Tuhan kita hilang. Ini berarti bahwa Dia memanggil kita untuk mengatur kembali kehidupan kita, mencari sekali lagi yang paling penting dalam hidup, untuk tidak memuja diri kita sendiri tetapi Dia, Allah yang hidup, dan untuk menjalin hubungan yang lebih benar dan lebih dalam dengan-Nya.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Our God: the God of the Living

32nd Sunday in Ordinary Time. November 6, 2016 [Luke 20:27-38]

 “He is not God of the dead, but of the living, for to him all are alive.” (Luk 20:38)

resurrection-of-deadThe month of November is dedicated to honor all the saints in heaven as well as to pray for the souls in the purgatory. It begins with the celebration of All Saints’ Day on November 1 and the commemoration of the All Souls Day on November 2. We, the Dominicans, celebrate the all Dominican Saints on November 7 and pray for the souls of our Dominican family on November 8. This Church’s celebration traces its origin to Pope Boniface IV in the 7th century, yet its roots go deeper into Jesus Christ Himself.

In today’s Gospel, Jesus affirmed the truth of the resurrection of the dead. This truth presupposes that life is not ended in death but transformed. There is hope after this earthly sojourn. The probable context behind this verse is that of Jesus’ critique of the Sadducees’ unbelief as well as the pagan belief of the realm of the dead. During those times, ancient civilizations worshiped the gods of death more than other gods because they feared the power of death that could destroy life and bring human existence to nothing. The Greeks had Hades, the Romans worshiped Pluto and the Egyptians honored Osiris. Yet, Jesus revealed fundamentally a different truth: Our God is not God of the dead, but God of the living. He still gives us life despite our physical death. This means that we are not mere afterlife disposable garbage or useless souls wandering on earth. We are loved even if we are no longer here on earth. Thus when Jesus commanded us to love one another, this love is not only for our Christian fellows who are still alive, but also for our brothers and sisters who have gone ahead of us.

In ancient Roman tradition, the cemetery was located far away from the cities. These were called necropolis, literally the city of the dead, because the dead had nothing to do anymore with the living. Yet, early Christians opted to do their liturgy inside the catacomb, the underground cemetery. True, it was a hiding place from the Roman authority who persecuted the early Christians, but it was also reflected their faith that they were actually praying for and with the dead brothers and sisters. In many churches, the burial ground was within the same complex. Even in our place in Manila, the burial place of the departed Dominican brothers and priests is just beside our seminary. Their permanent rest place is just a few meters away from our temporary rest place! This proximity reminds us of the bond of brotherhood and love among us. We are reminded to pray for them and to imitate them who were faithful until death. We are reminded, too, that they also pray for us from heaven.

Following the teaching of Jesus, the Church believes that those who are no longer with us, are still part of the Church. Those in heaven are members of the Church triumphant; those in purgatory belong to the Church suffering, and we here on earth are part of the Church militant. Yet, all are one of the same Church, profess the same faith, and worship the same God. Since all are members of the body of Christ, we are united closely in Christ and His love. Thus, it is proper for us to manifest our love for our departed brothers and sister through our prayers and they help us in prayer and intercessions.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Mystery of the Trinity, the Mystery of Love

The Solemnity of the Most Holy Trinity. May 22, 2016 [John 16:12-15]

 “But when he comes, the Spirit of truth, he will guide you to all truth (Jn 16:13).”

Holy Trinity 2The mystery of the Holy Trinity is the most foundational yet the most difficult teaching of the Catholic Church. The greatest minds in the Church, like St. Augustine of Hippo, St. Thomas Aquinas and Karl Rahner have attempted to fathom the mystery, but their explanations hit a giant wall. One day, when St. Augustine was strolling along the beach, meditating the mystery of the Holy Trinity, the holy bishop saw a young boy digging a hole on the sand. He came close and noticed that the boy was trying to move the sea water inside that small hole. St. Augustine then told the lad that what he did was futile. Then, suddenly the little boy replied, ‘It is the same thing, when you try to put the Trinity inside your small head.’

Yet, we must not be in despair. To get nearer to the Holy Trinity, we will see that the mystery of the Holy Trinity as the mystery of Love. The word mystery means something that we cannot fully comprehend, yet we know that the reality is so true and undeniable. Love is a mystery precisely because at times, we cannot really understand it, but we are sure that it is real and undeniable. As parents, we love our children, we take care of them, and want the best things for them, yet we do not understand why they do not appreciate us, and often become tough to love. A young man who falls in love with his girlfriend, often finds hard time to please his girl, but he knows that his love is true. Even, for a couple who have been in marriage for decades, sometimes, they still face a bumpy road and fail to understand each other, yet again, they never doubt their love for each other.

The Trinity is love. Bishop Robert Baron of Los Angeles, explains that true love always involves the lover who loves, the beloved who receives the love, and the love itself that binds the lover and the beloved. In love, there is beautiful dynamic of the three loves. Love is one, yet it is three. The Father loves the Son totally, and the Son loves the Father radically, and the love that unites the Father and the Son is the Holy Spirit. No wonder, St. John would call God is love (1 John 4:6). Again, the real love is not about theory, but a life-transformation. We can discuss about Trinity for hours, yet it is useless if we fail to help a famish beggar who is in dire need of food. St. Thomas Aquinas has written very well of God. His treatise on Trinity remains foundational for theology students seek to understand better the mystery. Yet, at the end of his life, the Lord on the cross appeared to Thomas and asked what he would wish as a reward. Blessed Thomas humbly replied, “Nothing but You, Lord.” For Thomas, all what he wrote was just like a straw compare to the Love he personally encountered.

Indeed, the most Holy Trinity is a utmost mystery that cannot be fully understood by our little and limited minds, but every time we care for others, help our friends, forgive our enemies and love truly, the Trinity lives and manifests in us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Misteri Trinitas, Misteri Kasih

Hari Raya Tritunggal Mahakudus. 22 Mei 2016 [Yohanes 16:12-15]

Roh itu datang, yaitu Dia yang menyatakan kebenaran tentang Allah, kalian akan dibimbing-Nya untuk mengenal seluruh kebenaran. (Yoh 16:13).”

Holy Trinity 1Misteri Tritunggal Mahakudus adalah ajaran yang paling mendasar tetapi juga yang paling sulit untuk dimengerti. Pemikir-pemikir besar Gereja, seperti Santo Agustinus dari Hippo, St. Thomas Aquinas dan Karl Rahner telah berusaha untuk memahami misteri ini, tetapi penjelasan mereka menabrak dinding raksasa. Suatu hari, ketika St. Agustinus sedang berjalan di sepanjang pantai, bermeditasi tentang misteri Tritunggal Mahakudus, uskup yang kudus ini melihat seorang anak kecil menggali lubang di pasir. Dia datang mendekat dan melihat bahwa anak itu mencoba untuk memindahkan air laut ke dalam lubang kecil. St Agustinus kemudian mengatakan kepada anak itu bahwa apa yang ia lakukan adalah sia-sia. Tiba-tiba anak kecil itu menjawab, Sama halnya dengan apa yang kamu lakukan, ketika kamu mencoba mengerti Tritunggal di dalam kepalamu yang kecil.’

Namun, kita tidak boleh putus asa. Untuk mendapatkan gambaran yang sedikit lebih jelas tentang Tritunggal, kita mencoba melihat bahwa misteri Tritunggal sebagai misteri Kasih. Kata ‘Misteri’ berarti sesuatu yang kita tidak dapat sepenuhnya pahami, namun kita tahu bahwa kenyataan ini begitu benar dan tak terbantahkan. Kasih adalah misteri karena seringkali kita tidak bisa benar-benar memahami kasih, tapi kita yakin bahwa kasih itu nyata dan tak terbantahkan. Sebagai orang tua, kita mengasihi anak-anak kita, kita merawat mereka, dan menginginkan hal-hal yang terbaik bagi mereka, namun seringkali kita tidak mengerti mengapa mereka tidak menghargai kita, dan sering menjadi sulit untuk dikasihi. Seorang pemuda yang jatuh cinta dengan seorang gadis, seringkali kesulitan untuk mendapatkan hatinya, tapi dia tahu bahwa kasih dan cintanya bagi sang gadis itu benar adanya. Bahkan, bagi pasangan yang telah menikah selama puluhan tahun, kadang-kadang, mereka masih menghadapi jalan berbatu dan gagal untuk memahami satu sama lain, tetapi lagi-lagi, mereka tidak pernah meragukan kasih mereka satu sama lain.

Trinitas adalah kasih. Uskup Robert Baron dari Los Angeles, menjelaskan bahwa kasih sejati selalu melibatkan yang mengasihi, yang menerima kasih, dan kasih itu sendiri yang menyatukan mereka berdua. Di dalam kasih, ada dinamis yang indah dari tiga kasih. Kasih adalah salah satu, namun juga adalah tiga. Di dalam Trinitas, Allah Bapa mengasihi Allah Putra dengan total, dan Allah Putra mengasihi Allah Bapa secara radikal, dan kasih yang menyatukan Allah Bapa dan Putra adalah Allah Roh Kudus. Tidak heran, St. Yohanes menulis bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:6). Kasih sejati bukan tentang teori, tapi transformasi kehidupan. Kita bisa membahas tentang Tritunggal selama berjam-jam, namun percuma jika kita gagal untuk membantu pengemis menderita kelaparan yang sangat membutuhkan makanan. St. Thomas Aquinas telah menulis tentang Allah dengan sangat baik. Tulisannya tentang Tritunggal tetap menjadi pedoman bagi siswa teologi yang berusaha untuk memahami lebih baik misteri ini. Pada akhir hidupnya, Tuhan di kayu salib menampakkan diri kepada Thomas dan bertanya apa yang ia harapkan sebagai imbalan atas kerja kerasnya. St. Thomas dengan rendah hati menjawab, Hanya Engkau Tuhan, hanya Engkau.’ Bagi Thomas, semua apa yang ia tulis seperti jerami dibandingkan dengan Kasih ia secara pribadi temui.

Sungguh, Tritunggal Mahakudus adalah misteri yang tidak terselami, tetapi setiap kali kita peduli terhadap sesama, membantu teman-teman kita, mengampuni musuh-musuh kita dan mengasihi secara total, Trinitas menjadi nyata dan menampakan diri dalam diri kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Menjadi Berkat

Pesta Kenaikan Tuhan Yesus. 5 Mei 2016 [Lukas 24: 46-53]

“Di situ Ia mengangkat tangan-Nya dan memberkati mereka. Dan ketika Ia sedang memberkati mereka, Ia berpisah dari mereka dan terangkat ke sorga (Luk 24:51).”

ascension n cross

Cara terbaik untuk mengucapkan selamat jalan adalah dengan memberkati. Setiap kali saya berangkat ke Filipina dan melanjutkan formasi, orang tua saya akan memeluk dan memberkati saya dengan menandai dahi dengan tanda salib kecil. Rekan-rekan Filipina memiliki tradisi ‘Mano Po’ di awal dan akhir perjumpaan dengan orang-orang yang dituakan. Mereka akan memegang tangan orang tua mereka, dan menempatkannya di dahi mereka. Hal ini, saya percaya, adalah sebuah tanda dari berkat dan hormat. Setiap kali seorang frater Dominikan di Manila akan ditahbiskan, malam sebelumnya ia akan menerima berkat dari komunitas dan ia akan berlutut dan semua frater dan romo berdoa bersama dan memberkati dia. Pada akhirnya, setiap perayaan Ekaristi berakhir dengan berkat dan perutusan.

Namun, apa arti dari memberkati? Dalam bahasa Latin, memberkati adalah ‘benedicere’. Kata ini berasal dari dua kata Latin lainnya: bene (baik) dan dicere (mengucapkan). Dengan demikian, untuk memberkati adalah untuk mengucapkan kata yang baik. Karena kata cenderung menjadi daging, kita berharap bahwa kata-kata baik yang kita ucapkan pada giliran akan menjadi kenyataan juga. Jika kita teliti dengan seksama kisah penciptaan dalam Kejadian bab 1, kita melihat Allah melakukan tiga tindakan terhadap ciptaan-Nya: menciptakan, melihat kebaikan dan memberkati. Ketika Allah menciptakan alam semesta, Allah memastikan bahwa ciptaan-Nya adalah baik dan karena kebaikan ini, Iapun memberkati mereka. Memberkati tidak hanya tindakan manusia, tetapi juga ilahi. Memberkati tidak hanya mengucapkan yang baik, tetapi juga menemukan hal yang baik. Memberkati ini tidak hanya bersabda dengan kata-kata yang baik dan bagus, tetapi berharap hal-hal baik ini menjadi kenyataan.

Seperti Bapa telah memberkati ciptaan-Nya sebelum Ia beristirahat di hari ketujuh, sang Putra juga memberkati para murid yang dikasihi-Nya sebelum Ia naik ke surga. Ketika Tuhan memberkati Adam dan Hawa, Ia mengatakan, “Jadilah subur dan bertambah banyaklah! (Kej 1:28 – terjemahan sendiri)” Berkat Tuhan mengartikulasikan, menegaskan dan meremajakan kebaikan dalam diri kita. Karena kebaikan kita ditegaskan kembali, berkat memberdayakan pria dan wanita untuk berbuah, bahagia dan bermurah hati dengan sesama. Berkat Tuhan mengubah kita menjadi berkat juga bagi sesama.

Untuk memberkati adalah panggilan kita sebagai murid-murid Kristus. Catherine Marie Hilkert, OP pernah berkata bahwa ‘pewartaan’ adalah mengartikulasikan rahmat, maka tidak salah jika pewartaan dimengerti sebagai mengartikulasikan kebaikan. Sayangnya, bukannya berkat, kita memilih untuk mengutuk. Dalam bahasa Latin, mengutuk adalah ‘maledicere’, untuk berbicara buruk. Sama seperti berkat, kata-kata buruk cenderung menjadi daging. Keluarga rusak karena kita lupa untuk mengatakan berkat, dan fokus pada saling menyalahkan. Intoleransi, kekerasan dan bahkan terorisme berlatar belakang agama mulai di mimbar suci. Sayangnya, di saat pemilu, dari Amerika Serikat sampai ke Indonesia dan Filipina, para politisi yang mengejar posisi saling mengumpat, saling tuduh, dan mempekerjakan trik jahat. Seolah-olah kehilangan akal sehat, para pemilih berubah menjadi pendukung fanatik dan emotional, rela melakukan apa saja untuk calon yang mereka kagumi.

Dunia kita telah rusak dan cacat akibat kutukan yang kita ucapkan. Adam dan Hawa mengatakan tidak kepada Allah dan menyalahkan satu sama lain. Sebagai keturunan mereka, kita meneruskan kutukan yang menghancurkan ini. Kita sangat membutuhkan berkat untuk membatalkan lingkaran setan ini. Kemudian, Yesus datang dan memeluk segala kutuk di salib-Nya dan membuat kita berbuah lagi dalam kebangkitan-Nya. Sekarang, Ia naik ke surga dan sebelum Dia pergi, Dia memastikan bahwa berkat-Nya tetap tinggal. Kenaikan-Nya mengingatkan kita bahwa kita memiliki misi untuk mengartikulasikan kebaikan dan membiarkan diri kita menjadi berkat bagi sesama. Hanya dengan menjadi berkat, kita dapat menyembuhkan diri kita sendiri, keluarga, masyarakat dan dunia ini.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Jesus and the Woman

Fifth Sunday of Lent. March 13, 2016 [John 8:1-11]

 “The woman replied, ‘No one, sir.’”

jesus and woman caught in adultery 3In time of Jesus, women were not standing at the same level with men. Crudely speaking, women were considered to be the property of men. Except for several outstanding female figures in the Bible like Deborah, the judge, and Judith, the warrior, the ancient Jewish women had to live under the patriarchal domination. The Bible is not loud at the stories of abused and battered women, but we can safely assume that the exploitations took place here and there.

Our today’s Gospel is rarely seen as the story of woman being exploited by the some group of Jewish and religious male, but this was what really happening. The Book of Leviticus has regulated that both the male and female adulterers shall be put to death (Lev 20:10), but the Pharisees only forcefully brought the woman. Their goal was crystal-clear: to trap Jesus, and the rest were means to it, including if they had to use and stone the woman. Here lies the fundamental reason why women always turn to be victims of abuses and violence: the objectification and depersonalization of women. The adulterous woman lost her personhood and became a tool of the Pharisees in achieving their objective. I guess the same underlying motive influence men of different generations. Heartless men change women into their sex objects, cheap labors, or step stone to success.

Jesus got to stop this. Not only He need to save the woman victim, but he had to challenge the corrupt mentality of male abusive domination. He then wrote on the ground. Now, this has been subject of debate and discussion for centuries, and nobody really knew what Jesus wrote. My wild imagination would tell me that he wrote, “Guys, where is the adulterous man?” Jesus read their evil intention not only to Him about to the lady. They were planning for the death for both Jesus and the woman, and the Law says that the murderers and those who pre-meditated on murder shall be put to the death (Lev 21:14). Surely, killing is graver evil than adultery. When Jesus said, Let the one among you who is without sin be the first to throw a stone at her,” Jesus exposed their malicious motivation to kill Him and the woman. The scribes and the Pharisees also deserved death and they should throw the stone to themselves. Losing the battle, they left Jesus and the woman.

Yet, the story does not end there. Jesus had one more mission. After being objectified and depersonalized by her sin and the violent men, Jesus restored her dignity by giving back her voice. Jesus did not unveil her name, but Jesus allowed her to speak for her own. She answered Jesus, “No one, sir.” Indeed, no men shall make her a mere object and no one shall degrade her anymore. She is the beautiful daughter of God and she will remain to be so.

We are living two millennia after Jesus, yet a lot of women still fall victim to this objectification and depersonalization effort of the Evil one. As Jesus fought for the woman, we shall to fight for the women around us. If Jesus was able to expose the subtle form of woman’s exploitation, we shall too expose the various forms of abuses around us. If Jesus restored the dignity of the woman, we shall too respect the dignity of woman around us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus dan Sang Perempuan

Minggu Prapaskah Kelima. 13 Maret 2016 [Yohanes 8: 1-11]

Jawab sang perempuan, ‘Tidak ada, Tuhan.’”

jesus and woman caught in adultery 5Dalam masa Yesus, perempuan tidak memiliki posisi yang sama dengan lelaki. Mereka bahkan dianggap sebagai barang kepemilikan kaum adam. Kecuali beberapa tokoh perempuan dalam Alkitab seperti Deborah dan Judith, perempuan Yahudi masa lalu harus hidup di bawah dominasi patriarki. Alkitab juga tidak banyak menjabarkan kisah perempuan korban kekerasan dan pelecehan, tapi kita bisa berasumsi bahwa dengan mentalitas patriarki ini, kekerasan dan eksploitasi berlangsung di berbagai tempat.

Injil kita hari ini jarang dilihat sebagai kisah seorang perempuan yang dieksploitasi oleh beberapa kelompok laki-laki Yahudi yang adalah pemuka agama, tapi hal ini benar-benar terjadi. Kitab Imamat telah mengatur bahwa baik laki-laki dan perempuan yang berzinah harus dihukum mati (Im 20:10), tetapi orang-orang Farisi hanya membawa paksa sang perempuan. Tujuan mereka sangat jelas: untuk menjebak Yesus, dan selebihnya adalah sarana untuk mencapai tujuan ini, termasuk jika mereka harus menggunakan dan merajam sang perempuan. Di sinilah terletak alasan mendasar mengapa banyak perempuan selalu menjadi korban pelanggaran dan kekerasan: objektifikasi dan depersonalisasi perempuan. Perempuan yang berzina ini telah kehilangan kepribadian dan menjadi sekedar alat bagi orang-orang Farisi dalam mencapai tujuan mereka. Saya percaya motif ini jugalah yang memgaruhi kaum lelaki dari berbagai generasi. Para laki-laki yang tak berhati menjadikan perempuan sebagai objek kepuasan seksual, tenaga kerja yang murah, atau sebuah langkah menuju kesuksesan.

Yesus harus menghentikan hal ini. Tidak hanya Dia menyelamatkan sang perempuan yang adalah korban, tapi ia harus menantang mentalitas korup dan dominasi kasar kaum adam ini. Dia kemudian menulis di tanah. Apa yang Ia tulis telah menjadi subyek perdebatan dan diskusi selama berabad-abad, dan tak seorang pun benar-benar tahu apa yang Yesus tulis. Namun, dugaan saya adalah Yesus menulis, Di mana lelaki yang berzinah? Kok hanya sang perempuan? Yesus membaca niat jahat para Farisi yang tidak hanya ditujukan kepada-Nya tetapi juga kepada sang perempuan. Mereka merencanakan kematian bagi Yesus dan sang perempuan, dan Hukum Yahudi mengatakan bahwa pembunuh dan mereka yang merencanakan pembunuhan harus dihukum mati (Im 21:14). Tentunya, pembunuhan adalah perbuatan yang jauh lebih jahat dari perzinahan. Ketika Yesus berkata,Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu,” Yesus paham benar motivasi jahat mereka untuk membunuh-Nya dan sang perempuan. Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi juga patut dihukum mati dan mereka harusnya melempar batu kepada diri mereka sendiri. Kalah dalam pertempuran, mereka pun meninggalkan Yesus dan sang perempuan.

Namun, cerita tidak berakhir di sana. Yesus memiliki satu misi lagi. Setelah dijadikan sekedar objek dan kehilangan harga dirinya oleh dosa dan para lelaki kejam itu, Yesus memulihkan martabatnya dengan memberikan suara kembali kepadanya. Yesus tidak mengungkap nama sang perempuan, tapi Yesus memungkinkan dia untuk berbicara bagi dirinya sendiri. Dia menjawab Yesus, “Tidak ada, Tuhan.” Sungguh, tidak ada lagi laki-laki yang akan membuatnya sebagai obyek belaka dan tidak ada lagi yang akan menurunkan derajatnya. Dia adalah putri perempuan dari Allah dan dia akan tetap sebagai demikian.

Kita hidup dua ribu tahun setelah Yesus, namun banyak perempuan masih menjadi korban objektifikasi dan depersonalisasi. Seperti Yesus berjuang untuk sang perempuan, kita akan juga berjuang bagi para perempuan di sekitar kita. Jika Yesus mampu mengekspos eksploitasi perempuan pada zaman-Nya, kita akan juga mengekspos berbagai bentuk pelanggaran di sekitar kita. Jika Yesus memulihkan martabat sang perempuan, kita juga akan menghormati martabat para perempuan di sekitar kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Melawan Fundamentalisme

Minggu ketiga di Masa Biasa. 24 Januari 2016 [Lukas 1:1-4; 4:14-21]

 

“setelah aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur bagimu, Theophilus (Luk 1: 3)”

 

Fundamentalisme adalah keputusan kita untuk memeluk sebuah pandangan atau paham sebagai satu-satunya yang benar dan akibatnya, yang lain dianggap sebagai salah dan bahkan harus dimusnahkan. Meskipun kita dengan mudah mengasosiasikan fundamentalisme dengan agama, fundamentalisme dapat terjadi juga di berbagai aspek dari masyarakat. Ada fundamentalisme agama, politik, ilmu pengetahuan/science dan bahkan fundamentalisme ekonomi. Science tentunya baik dan bermanfaat bagi umat manusia, tetapi ketika beberapa orang membuat science, terutama teori-teori tertentu, sebagai satu-satunya jalan untuk mengetahui kebenaran, maka kita memiliki fundamentalisme. Ekonomi sungguhnya diperlukan bagi masyarakat untuk berfungsi, tetapi ketika kita melihat keuntungan sebagai satu-satunya hal yang penting dan bahkan mengorbankan nyawa manusia dan lingkungan hidup untuk ini, maka kita telah jatuh ke dalam fundamentalisme.

Hari ini, kita mendengarkan awal Injil menurut Lukas. Dia sedikit berbeda dari penginjil lain karena ia sengaja menempatkan di prolognya metodologi petulisan Injilnya: aku menyelidiki segala peristiwa itu dengan seksama dari asal mulanya, aku mengambil keputusan untuk membukukannya dengan teratur.” Mungkin karena Lukas, sebagai tradisi mengatakan, adalah seorang dokter dan sebagai dokter, ia dilatih untuk bekerja secara teratur dan menggunakan metode ilmiah yang tersedia pada zamannya. Dalam Lukas, kita bisa menemukan bahwa kisah Yesus ditulis berdasarkan penelitian menyeluruh dan prosedur yang ketat dari waktu itu. Singkatnya, Lukas menulis tentang iman dengan metode ilmiah. Yesus lahir dari seorang wanita, namun Dia dikandung oleh kuasa Roh Kudus. Ia menderita dan wafat, namun ia juga bangkit. Dia benar-benar manusia, namun juga benar-benar Allah. Injil terlahir sungguh untuk mencabut setiap bentuk fundamentalisme dari jiwa Theophilus.

Saat ini saya belajar di Institute of Preaching di Quezon City, Metro Manila, dan di sana, kami belajar bagaimana mewartakan iman dibantu oleh berbagai ilmu pengetahuan seperti retorika, hermeneutika (studi penafsiran), psikologi dan banyak lagi. Kitab Hukum Kanonik telah mengatur bahwa setiap imam masa depan harus mengambil setidaknya empat tahun Teologi. Teologi, menurut definisi yang sederhana, adalah ‘science of God’. Kita mencoba untuk terjun ke dalam misteri Allah melalui berbagai metode ilmiah. Dengan demikian, pelatihan imam yang saya terima adalah untuk mengusir segala bentuk fundamentalisme keagamaan dalam diri saya.

Di jantung Ordo Dominikan adalah Kebenaran. Dan St. Thomas Aquinas, seorang Dominikan dan salah satu pemikir terbesar, telah menunjukkan kepada kita bahwa Kebenaran ini dapat ditemukan juga di filsuf pagan seperti Plato dan Aristoteles, pada sarjana Yahudi dan Muslim, dan teolog lain yang memiliki pandangan yang bertentangan. Dalam opus-nya, Summa Theologiea, kita dapat dengan mudah melihat bagaimana ia dengan nyaman dan teratur mengumpulkan semua pandangan, baik yang pro dan contra, menjadi kesatuan yang indah. St. Thomas mengajarkan kita untuk tidak memonopoli kebenaran, tetapi dengan kerendahan hati, belajar juga dari orang lain, terutama mereka yang berbeda dari kita.

Sekarang, kita mungkin menyadari bahwa kita tidak merangkul absolutisme agama dan pandangan ekstrim, tapi fundamentalisme masih bisa merambat masuk ke dalam kehidupan kita sehari-hari. Ketika kita menjadi suami yang keras kepala yang berpikir bahwa kita selalu benar, ketika kita menjadi orang tua yang mendominasi dan yang menolak untuk mendengarkan anak-anak kita, kita adalah fundamentalis. Ketika seorang imam bertindak seperti raja dan semua umatnya harus mematuhi, ketika suster pimpinan berprilaku seperti ratu dan memperlakukan lainnya seperti pelayannya, ini adalah fundamentalisme. Kita harus ingat bahwa kita Katolik dan menjadi seorang Katolik fundamentalis sebenarnya kontradiksi. Katolik berarti universal, pria dan wanita bagi semua orang, dan kita tidak boleh dibatasi oleh bentuk-bentuk fundamentalisme.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Against Fundamentalism

Third Sunday in the Ordinary Time. January 24, 2016 [Luke 1:1-4; 4:14-21]

“I too have decided, after investigating everything accurately anew, to write it down in an orderly sequence for you, most excellent Theophilus (Luk 1:3)”

Fundamentalism is man’s decision to hold a particular view as the only one that is right and consequently, the others are considered as dissenting views and even dead wrong. Though we easily associate fundamentalism with religions, fundamentalism can take place also in other realms of our human society. There are religious, politic, scientific and even economic fundamentalism. Science doubtless is good and beneficial for humankind, but when some people make science, especially certain theories, as the only way to know the truth, then we have fundamentalism. Economics is necessary for human society to function, but when people consider profit as the only thing that matters and even sacrifice other human lives and environment for this, then we have fundamentalism.

Today, we listen to the beginning of the Gospel according to Luke. He slightly differed from other evangelists because he intentionally placed in his prologue his methodology of writings: “investigating everything accurately anew, to write it down in an orderly sequence.” It may be because Luke, as the tradition says, was a physician and being one, he was trained to work in orderly fashion and use the available methods and scientific tools in his own time. In Luke, we may discover that even the story of Jesus was written based on a thorough research and rigorous procedures of that time. In short, Luke comfortably wrote about faith in scientific manners. Jesus was born from a woman, yet He was conceived by the power of the Holy Spirit. He suffered and died, yet He also resurrected. He was truly divine, yet truly human. The Gospel was born precisely to uproot any fundamentalism in the heart of Theophilus.

I am currently studying at the Institute of Preaching in Quezon City, Metro Manila, and there, we learn how to preach our faith aided by various human sciences like rhetorics, hermeneutics (study of interpretation), psychology and more. The Code of Canon Law has legislated that every future priest shall take at least four years of Theology. Theology, by simple definition, is ‘science of God’. We try to plunge into the mystery of God through various scientific methods. Thus, my priestly training is to drive away any form of religious fundamentalism in me.

In the heart of the Dominican Order is the Truth. And St. Thomas Aquinas, a Dominican and one of the greatest Christian thinkers, has showed to us that event this Truth can be discovered in pagan philosophers like Plato and Aristotle, in Jewish and Muslim scholars, and other theologians who had opposing views. In his opus, Summa Theologiea, we can easily see how he comfortably and orderly gathered all the views, both against and for his main argument, into single unity. St. Thomas taught us not to monopolize truth, but with humility, to learn also from the others, especially those who are different from us.

Now, we may be aware that we don’t subscribe to any religious absolutism and extreme views, but fundamentalism still can creep in our daily lives. When we become stubborn husbands who think that we are always right, when we become domineering parents who refuse to listen to our children, those are fundamentalism. When a priest acts like a king and all his parishioners have to obey, when a sister superior behaves like an empress and treats other like her servants, these are fundamentalism. We must remember that we are Catholic and being a fundamentalist Catholic is actually contradiction in term. Catholic means universal, man and woman for all, and we must not be limited by any form of fundamentalism.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP