Mary Magdalene and Resurrection

Easter Sunday [April 19, 2019] John 20:1-9

mary magdalene n resurrection 2
He Qi_Easter morning

Mary Magdalene is a female disciple that loves her Teacher deeply, and being a woman, there is something that she teaches us. Luke describes her in his Gospel as a woman “from whom seven demons have come out” [see Luk 8:2]. It must be a terrible experience to be tormented by seven demons, and when Jesus heals her, she expresses her deep gratitude by following Jesus. As one of Jesus’ disciples, she is proven to be the most faithful to her Teacher. When many followers of Jesus are running away to save their lives, and even Peter, the leading figure in the group, denies Jesus, Mary follows Jesus in His way of the Cross to the end. She received the insult Jesus receives, she bears the humiliation Jesus bears, she carries the cross Jesus carries. In fact, she is standing beside the cross together with the mother of Jesus and John the beloved.

However, Mary’s love is even bigger than death. She is the first person who visits the tomb early in the morning. We recall that after Jesus died on the cross, his body was hastily brought to the tomb by Nicodemus and Joseph Arimathea because the Sabbath was drawing near. During Sabbath, Jews are not allowed to bury the dead. Mary knows that Jesus’ body was not taken care of properly, and she wants to make sure that Jesus deserves the proper burial. She comes to the tomb to express her love for the last time for the Teacher by anointing the body of Jesus. Yet, she only sees the empty tomb. Fear seizes her. She may think that some bad guys stole, inflicted further damages and desecrated the body. Instinctively, she runs towards the men of authority after Jesus Himself, Peter and John.

After checking the tomb, Peter fails to understand, and he goes back to the house. She also does not understand and weeps for the loss of her love, but unlike Peter, Mary stays at the tomb. In utter confusion and meaninglessness, Mary does not abandon Jesus. Indeed, the Savior does not disappoint and gives Mary Magdalene a singular privilege to witness the resurrected Jesus. Her great love and fidelity lead her to the joy of Resurrection. She becomes the first preacher of Resurrection.

In the Gospel, often female disciples are depicted as a model of love and perseverance. God created man and woman as equal in dignity, but they differ in characters. Indeed, men like Peter, are the figures of authority, but women excel in what often is lacking in male disciples. I have visited many places in Indonesia and the Philippines, and I give talks and reflections, but one thing in common from these places, is that women often outnumber the men. I am newly assigned in Redemptor Mundi Parish, Surabaya, Indonesia, and a simple gaze will prove that more women are attending our daily morning masses.

Mary Magdalene, a woman disciple, shows to us that it is possible to love and to be faithful when things got tough and rough, when life throws us its trash, and when confusion and meaningless seem to reign. Mary is those women who unceasingly pray for the priests despite so many failures they have made Mary are those mothers who make daily sacrifices for their children despite being unappreciated. Mary is those religious sisters who serve the poor committedly despite many setbacks and trails. We must thank many Mary Magdalene around us. They show us that there love truly conquers death and that there is a resurrection in even the senseless empty tomb.

Happy Easter!

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Maria Magdalena dan Kebangkitan

Minggu Paskah [21 April 2019] Yohanes 20: 1-9

mary magdalene at tombMaria Magdalena adalah seorang murid perempuan yang sangat mencintai gurunya, dan sebagai seorang wanita, ada sesuatu yang dia ajarkan kepada kita. Lukas mengatakan dalam Injilnya bahwa Maria adalah sebagai seorang wanita “yang darinya tujuh setan keluar” [lihat Luk 8:2]. Pastinya merupakan pengalaman yang mengerikan untuk disiksa oleh tujuh setan, dan ketika Yesus menyembuhkannya, ia mengungkapkan rasa terima kasihnya yang mendalam dengan mengikuti Yesus. Sebagai salah satu murid Yesus, ia terbukti paling setia kepada gurunya. Ketika banyak pengikut Yesus melarikan diri untuk menyelamatkan hidup mereka, dan bahkan Petrus, tokoh utama dalam kelompok itu, menyangkal Yesus, Maria mengikuti Yesus dalam jalan Salib-Nya sampai akhir. Dia menerima penghinaan yang Yesus terima, dia menanggung malu yang Yesus tanggung. Bahkan, dia berdiri di samping salib bersama dengan ibu Yesus dan Yohanes yang terkasih.

Namun, cinta Maria bahkan lebih besar daripada kematian. Dia adalah orang pertama yang mengunjungi makam Yesus pagi-pagi buta. Kita ingat bahwa setelah Yesus mati di kayu salib, tubuhnya dengan tergesa-gesa dibawa ke makam oleh Nikodemus dan Joseph Arimathea karena hari Sabat semakin dekat. Selama hari Sabat, orang Yahudi tidak diizinkan untuk menguburkan orang mati. Maria tahu bahwa tubuh Yesus tidak dirawat dengan baik, dan dia ingin memastikan bahwa Yesus mendapatkan penguburan yang layak. Dia datang ke makam untuk mengekspresikan cintanya yang terakhir kalinya bagi sang Guru. Namun, sesuatu yang mengejutkan terjadi. Maria hanya melihat makam kosong. Ketakutan luar biasa merasuki dirinya. Dia mungkin berpikir bahwa beberapa pria jahat mencuri dan menodai tubuh sang Guru. Secara naluriah, dia berlari kepada para pemimpin Gereja setelah Yesus sendiri, Petrus dan Yohanes.

Setelah memeriksa makam, Petrus gagal untuk mengerti apa yang terjadi, dan dia kembali ke rumah. Maria juga tidak mengerti dan menangisi kehilangan cintanya, tetapi ada perbedaan yang signifikan, tidak seperti Petrus, Maria tidak meninggalkan makam. Dalam kebingungan dan ketidakberartian, Maria tidak meninggalkan Yesus. Sungguh, Juruselamat tidak mengecewakan dan memberi Maria Magdalena hak istimewa untuk menyaksikan Yesus yang telah bangkit. Cinta dan kesetiaannya yang luar biasa menuntunnya ke sukacita Kebangkitan. Dia pun menjadi pewarta pertama akan Yesus yang bangkit.

Dalam Injil, seringkali murid perempuan digambarkan sebagai model cinta kasih, kesetiaan dan ketekunan. Tuhan menciptakan pria dan wanita setara dalam martabat, tetapi mereka berbeda dalam karakter. Memang, pria seperti Petrus, adalah figur otoritas, tetapi wanita unggul dalam apa yang sering kurang pada murid pria. Saya telah mengunjungi banyak tempat, komunitas dan gereja di Indonesia dan Filipina, dan satu hal yang sama dari tempat-tempat ini, adalah bahwa wanita sering kali lebih banyak jumlahnya dari kaum pria. Saya baru saja ditugaskan di Paroki Redemptor Mundi, Surabaya, Indonesia, dan pandangan sederhana akan membuktikan bahwa lebih banyak wanita menghadiri misa pagi harian kami.

Maria Magdalena, seorang murid perempuan, menunjukkan kepada kita bahwa adalah mungkin untuk mencintai dan setia ketika segala sesuatu menjadi sulit, ketika hidup melempari kita segala permasalahan, dan ketika kebingungan dan ketidakberartian tampaknya berkuasa. Maria Magdalena adalah wanita-wanita yang terus-menerus berdoa untuk para imam meskipun begitu banyak kegagalan yang mereka buat. Maria adalah para ibu yang berkorban setiap harinya untuk anak-anak mereka meskipun tidak dihargai. Maria adalah para suster religius yang melayani orang miskin dengan penuh komitmen meskipun ada banyak jalan terjal dan gosip tidak sedap yang harus dihadapi. Kita harus berterima kasih banyak kepada Maria Magdalena di sekitar kita. Mereka menunjukkan kepada kita bahwa di sana kasih benar-benar mengalahkan maut, dan bahwa ada kebangkitan bahkan di kubur kosong yang tidak masuk akal.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Woman and Jesus’ Mercy

5th Sunday of Lent [April 7, 2019] John 8:1-11

adulterous woman 3Adultery is a serious sin according to the Law of Moses. It is a violence against the Basic Law, the Ten Commandments. It is in fact, one of the few crimes that are punishable by death [Lev 20:10]. Why so cruel? It is a grave sin because adultery profanes the holiness of marriage and the gift of sexuality. In the Book of Genesis, God has willed that man and woman through marriage and their sexuality participate in God’s work of creation and caring of creation. Since marriage is a sacred calling, violation to this holy mission is an utmost insult to God who calls man and woman into marriage.

Some Jewish people bring a woman caught in adultery to Jesus. It is a tough dilemma for Jesus who knows well the Law of Moses. If Jesus agrees to stone the woman, He upholds the Law of Moses, but He is going to invalidate His preaching of mercy and forgiveness. If Jesus refuses to condemn the woman, He violates the Law of Moses, condones the evil committed by the woman, and denies the justice of God. Stoning means he is not merciful but refusing to stone means he is not just. “Damned if you do, damned if you don’t”.

Jesus then begins to write on the ground. The Gospel does not specify what Jesus writes, but we may come up with an intelligent guess. In original Greek, to write is “grapho”, but in this episode, the word used is “katagraho”, and this can be translated as “to write against”. Jesus is writing the sins of the people who brought the woman. Jesus says, “Let the one among you who is without sin be the first to throw a stone at her (Jn. 8:7).” After Jesus reveals their sins, they realize that they themselves deserve to be stoned. They go away, leaving Jesus and the woman.

The Law of Moses states that both man and woman caught in adultery shall be punished, but where is the man? Jesus points out that she is merely a pawn used to trick Jesus, and some are ready to sacrifice this woman just to get what they want. Her humanity is disregarded, her identity as a daughter of God is trampled, and she is treated as a mere tool. Manipulating our neighbors, especially the weak and the poor, for our own gain is a graver sin than adultery!

Jesus knows that the woman has committed a serious sin, but she herself is a victim of injustice and more serious sin. Jesus surely hates evil, but He forgives the woman and gives her a second chance because He understands what has happened to her. She has fallen into sin because of her human weakness and temptation, but God is greater than all ugly things that has befallen her, if she just repents and goes back to God.

There was a movie entitled “Malena”. It was the story of a beautiful woman in an Italian rural village during World War II. She received news that her husband died in the war. After this, her father, her only family, also died when the German planes bombed their village. Because of the poverty and desperation to survive, she was forced into prostitution, even to serve the German soldiers. After the loss of German forces, the villagers condemned her not only as a whore but also as a traitor. She was expelled from the village with humiliation. Surprisingly, her husband came back to the village, alive. He learned of what happened to his wife. Instead of condemning his wife, and looking for another wife, he fetched his wife and brought her back to the village. He proudly walked with his wife around the village as if telling everyone, “it is not her fault that she becomes a prostitute. She is still my faithful wife!”

Mercy gives justice is the beauty. With mercy, we see the bigger picture of our own and other people’s failures. Mercy empowers us to be patient with others and ourselves.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Rahmat Yesus dan Sang Perempuan

Minggu Prapaskah ke-5 [7 April 2019] Yohanes 8: 1-11

adulterous woman 1Perzinahan adalah dosa serius menurut Hukum Musa. Ini adalah pelanggaran terhadap Sepuluh Perintah Allah. Pezinahan adalah satu dari sedikit dosa yang bisa dihukum mati [Im 20:10]. Kenapa begitu kejam? Ini adalah dosa besar karena perzinahan mencemarkan kekudusan pernikahan dan karunia seksualitas. Dalam Kitab Kejadian, Tuhan menghendaki pria dan wanita melalui pernikahan dan seksualitas mereka berpartisipasi dalam karya penciptaan. Karena pernikahan adalah panggilan suci, pelanggaran terhadap misi suci ini adalah salah satu penghinaan terbesar bagi Allah yang memanggil pria dan wanita ke dalam pernikahan.

Beberapa orang Yahudi membawa seorang wanita yang tertangkap dalam perzinahan kepada Yesus. Ini adalah dilema yang sulit bagi Yesus yang menjalankan dengan baik Hukum Musa. Jika Yesus setuju untuk melempari wanita itu dengan batu, Ia menegakkan Hukum Musa, tetapi Ia akan membatalkan pemberitaan belas kasih dan pengampunan-Nya. Jika Yesus menolak untuk mengutuk wanita itu, Dia melanggar Hukum Musa, mentolerir kejahatan yang dilakukan oleh wanita itu, dan menyangkal keadilan Allah. Merajam berarti Yesus tidak berbelas kasihan tetapi menolak untuk melempar batu berarti Dia tidak adil. “Bagaikan memakan buah simalakama.”

Yesus kemudian mulai menulis di tanah. Injil tidak menjelaskan secara spesifik apa yang ditulis oleh Yesus, tetapi kita mungkin dapat menebaknya. Dalam bahasa Yunani asli, menulis adalah “grapho”, tetapi dalam episode ini, kata yang digunakan adalah “katagraho”, dan ini dapat diterjemahkan sebagai “menulis tuntutan”. Yesus menulis dosa-dosa orang-orang yang membawa wanita tersebut. Yesus berkata, “Biarlah orang di antara kamu yang tanpa dosa menjadi yang pertama melemparkan batu ke arahnya (Yoh 8: 7).” Setelah Yesus mengungkapkan dosa-dosa mereka, mereka menyadari bahwa mereka sendiri layak dirajam. Mereka pergi, meninggalkan Yesus dan wanita itu.

Hukum Musa menyatakan bahwa pria dan wanita yang tertangkap dalam perzinahan akan dihukum, tetapi di mana sang pria? Kenapa hanya perempuan yang diadili? Yesus menunjukkan bahwa sang perempuan hanyalah pion yang digunakan untuk menjebaka Yesus, dan beberapa orang Yahudi siap untuk mengorbankan wanita ini hanya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Kemanusiaannya diabaikan, identitasnya sebagai putri Allah diinjak-injak, dan ia diperlakukan sebagai alat belaka. Memanipulasi sesama kita, terutama yang lemah dan yang miskin, demi keuntungan kita sendiri adalah dosa yang lebih besar daripada perzinahan!

Yesus tahu bahwa wanita itu telah melakukan dosa serius, tetapi dia sendiri adalah korban ketidakadilan dan dosa yang lebih berat. Yesus tentu membenci kejahatan, tetapi Dia mengampuni wanita itu dan memberinya kesempatan kedua karena Dia mengerti apa yang terjadi padanya. Dia jatuh ke dalam dosa karena kelemahan manusia dan godaannya, tetapi Tuhan jauh lebih besar dari segala hal buruk yang menimpannya, jikalah dia bertobat dan kembali kepada Tuhan.

Ada film berjudul “Malena”. Itu adalah kisah tentang seorang wanita cantik di pedesaan Italia selama Perang Dunia II. Dia menerima kabar bahwa suaminya meninggal dalam perang. Setelah ini, ayahnya, satu-satunya keluarganya, juga meninggal ketika pesawat Jerman membom desa mereka. Karena kemiskinan dan keputusasaan untuk bertahan hidup, dia terpaksa menjadi pelacur, bahkan untuk melayani tentara Jerman. Setelah kekelahan pasukan Jerman, penduduk desa mengutuknya, tidak hanya sebagai pelacur tetapi juga sebagai pengkhianat. Dia diusir dari desa dengan penghinaan. Namun, sesuatu yang mengejutkan terjadi, ternyatanya, suaminya tidak meninggal, dan kembali ke desa. Setelah dia mengetahui apa yang terjadi pada istrinya, alih-alih mengutuk istrinya, dan mencari wanita, ia menjemput istrinya dan membawanya kembali ke desa. Dia dengan bangga berjalan bersama istrinya di sekitar desa seolah-olah memberi tahu semua orang, “bukan salahnya kalau dia menjadi pelacur. Dia masih istriku yang setia!”

Kerahiman memberi keadilan yang tegas keindahannya. Dengan belas kasihan, kita melihat gambaran yang lebih besar dari kegagalan kita sendiri dan orang lain. Rahmat memberdayakan kita untuk bersabar dengan orang lain dan diri kita sendiri.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Tale of Two Mothers

Fourth Sunday of Advent [December 23, 2018] Luke 1: 46-56

“Blessed are you who believed that what was spoken to you by the Lord would be fulfilled.”  (Lk. 1:45)

5236277111_0c2ebf8133_bToday’s Gospel is truly beautiful. We have two protagonists. They are women, and they are both pregnant. Who are they? Mary and Elizabeth. Yet, why is the story beautiful? It is just natural for women to get pregnant. Unless we need to go closer to the stories and place ourselves in the shoes of Mary and Elisabeth, we can never see the true beauty of their story.

First, Mary, she is young, and at the same time, she is pregnant with no husband. St. Joseph is indeed the husband of Mary, but he is not the father of the baby. Perhaps, in our time, if a woman gets pregnant and yet without a husband, this is an unfortunate event, but life goes on for both the woman and child. however, if we go back to the time of Mary, way back two thousand years ago, that woman would be a great disgrace her family and community. She would be expelled from the community, and sometimes, they would be also stoned to death. Mary understands that when she accepts the will of God, to be the mother of Jesus, she faces death. Indeed, death is the future of Mary.

Second, Elizabeth. Elizabeth has a husband, so nobody will stone her, but her situation is also difficult. She is too old to get pregnant. Once I asked my medical doctor-friends, why is it risky to get pregnant if you are old? One said that as we grow old, so does our body and our muscles. With weaker muscles, a mother will have a difficult time during the process of giving birth, and this can be very dangerous to the baby and the mother.  I said further, why not caesarian? They said that it is also difficult if not deadly. As we grow old, our hearts weaken. If we place ourselves under the knife, with weaker hearts, there is a big possibility that we will not wake up. Like Mary, death may be the future of Elizabeth.

If Mary and Elizabeth know that it is dangerous and even deadly to be pregnant, why are they still following the will of the Lord?

The answer is at the very name of Elizabeth and her husband Zechariah. Zachariah is from the Hebrew word “Zakar”, meaning to remember. Meanwhile, Elizabeth is formed two Hebrew words, Eli and Sabbath, meaning God’s oath or promise. So if we combine the two names, Zachariah-Elizabeth, they mean “God remembers His promise” or “God fulfills His promise.”

Elizabeth knows it is deadly to have John in her womb, but she still follows the will of God, because she is aware the baby was a fulfillment of God’s promise. Mary from Nazareth, the north part of Israel, travels to Judea, the south of Israel, in haste. But, why in haste? Mary is excited, and she wishes to witness how God fulfills His promise to Elizabeth. The moment Mary sees Elizabeth; she knows that the baby inside her womb is also a fulfillment of God’s promise.

Every child, indeed every on us is the fulfillment of God’s promise. Mary and Elizabeth never see the babies in their wombs as mere inconveniences in their lives or unplanned garbage that can be disposed of. Yet, to accept these babies as gifts of God, Mary and Elizabeth have to be courageous because they are going to sacrifice a lot including their own lives. Elizabeth and Mary are brave women and mothers.

The questions are for us: Who among us is not coming from a woman’s womb? We are all here because of a mother. Indeed, not all mothers are perfect. Some of them are not rich, some are having attitude problems, some are not good examples. Yet, the mere fact we are here now, one woman in our life, against all odds, has decided to courageously accept us as a gift, as the fulfillment of God’s promise. To all mothers, thank you very much.

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kisah Dua Ibu

Hari Minggu Keempat Adven [23 Desember 2018] Lukas 1: 46-56

“Berbahagialah Anda yang percaya bahwa apa yang diucapkan kepada Anda oleh Tuhan akan digenapi.” (Luk 1:45)

The Visitation - Mary and Elizabeth meet - Luke 1:39-45Injil hari ini benar-benar indah. Kita memiliki dua protagonis. Mereka adalah wanita, dan mereka berdua sedang hamil. Siapa mereka? Maria dan Elizabeth. Namun, mengapa cerita mereka indah? Tentunya, wajar bagi wanita untuk hamil. Hanya dengan melihat lebih dekat kisah mereka berdua, kita baru bisa melihat keindahan sejati dari kisah mereka.

Pertama adalah Maria. Dia masih muda, dan pada saat yang sama, dia juga hamil tanpa suami. St Yosef memang suami Maria, tetapi ia bukan bapak bayi yang dikandung oleh Maria. Mungkin, di zaman kita, jika seorang wanita hamil tanpa suami, ini adalah peristiwa yang tidak tidak baik, tetapi hidup terus berlanjut bagi sang wanita dan anak. Namun, jika kita kembali ke zaman di saat Maria hidup, wanita yang hamil di luar nikah akan menjadi aib besar bagi keluarga dan komunitasnya. Dia akan diusir dari komunitas, dan kadang-kadang, dia juga akan dirajam sampai mati. Maria memahami bahwa ketika dia menerima kehendak Allah, untuk menjadi bunda Yesus, dia sebenarnya menghadapi kematian.

Kedua adalah Elizabeth. Dia bersuami, jadi tidak ada yang akan merajam dia, tetapi situasinya juga sulit. Dia terlalu tua untuk hamil. Saya pernah bertanya kepada teman dokter, mengapa hamil diusia tua cukup beresiko? Ia mengatakan bahwa ketika kita semakin tua, tubuh dan otot kita juga semakin lemah. Dengan otot yang lebih lemah, seorang ibu akan mengalami kesulitan saat proses melahirkan, dan ini bisa sangat berbahaya bagi bayi dan ibu. Saya kemudian bertanya, mengapa tidak operasi caesar? Ia mengatakan bahwa itu juga sulit dilakukan. Ketika kita semakin tua, jantung kita melemah. Jika kita menjalani operasi dengan jantung yang tidak kuat, ada kemungkinan besar bahwa kita tidak akan pernah bangun lagi. Seperti Maria, Elizabet juga menghadapi kematian.

Jika Maria dan Elizabeth tahu bahwa itu berbahaya dan bahkan mematikan untuk hamil, mengapa mereka masih mengikuti kehendak Tuhan?

Jawabannya adalah atas nama Elizabeth dan suaminya, Zakharia. Zakharia berasal dari kata Ibrani “Zakar”, yang berarti mengingat. Sementara itu, Elizabeth membentuk dua kata Ibrani, Eli dan Sabat, yang berarti janji atau janji Allah. Jadi jika kita menggabungkan kedua nama itu, Zakaria-Elisabet, itu berarti “Tuhan mengingat janji-Nya” atau “Tuhan menggenapi janji-Nya.”

Elizabeth mengerti bahwa ia bisa saja kehilangan nyawanya jika ia mengandung, tetapi ia tetap mengikuti kehendak Allah, karena ia mengerti bahwa sang bayi adalah penggenapan dari janji Allah. Maria melakukan perjalanan dari Nazaret ke Yudea. Tapi, mengapa Maria harus berjalan sangat jauh? Maria ingin menyaksikan bagaimana Tuhan memenuhi janji-Nya kepada Elizabeth. Saat Maria melihat Elizabeth, Maria mengerti bahwa bayi di dalam rahimnya juga merupakan pemenuhan janji Allah.

Setiap anak, memang setiap dari kita adalah pemenuhan janji Allah. Maria dan Elizabeth tidak pernah melihat bayi di dalam rahim mereka hanya sebagai ketidaknyamanan dalam hidup atau sampah yang dapat dibuang kapan saja. Namun, untuk menerima bayi-bayi ini sebagai sebuah penggenapan janji Tuhan, Maria dan Elizabeth harus menjadi wanita yang berani dan tangguh karena mereka akan banyak berkorban termasuk mengorbankan hidup mereka sendiri.

Pertanyaannya untuk kita semua: Siapa di antara kita yang tidak berasal dari rahim seorang wanita? Kita semua di sini karena seorang ibu. Memang, tidak semua ibu sempurna. Beberapa dari mereka tidak kaya, ada yang kurang perhatian, ada juga yang bukan contoh yang baik. Namun, fakta bahwa kita ada di sini sekarang, ini berarti ada seorang wanita dalam hidup kita, dengan menghadapi segala resiko dan bahaya, telah memutuskan untuk dengan berani menerima kita sebagai sebuah pemenuhan janji Allah. Kepada semua ibu, terima kasih banyak.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Woman of Faith

Thirteenth Sunday in Ordinary Time [July 1, 2018] Mark 5:21-43

“Daughter, your faith has saved you. Go in peace and be cured of your affliction.” (Mk. 5:34)

woman with hemorrhage 2Today’s Gospel seems to be just another healing miracles of Jesus, but if we read it closely, the story of the healing of the woman with hemorrhage is extraordinary tale of faith. We are not sure what kind of hemorrhage she suffers, but the fact that she bears the sickness for 12 years, spends a lot for the medication, and does not get any better, means it is pretty serious, if not terminal. During this time, the physicians are extremely rare, and expectedly, the patients need to spend a lot of money. The woman may come from a wealthy family, but she is impoverished because her prolong sickness. The woman is losing her life and facing despair. I am currently assigned as an associate chaplain in one of the hospitals in Metro Manila, and my duty is to make pastoral visit to these patients. I encounter some patients who are suffering from certain health conditions that drain all their resources, and it seems the situation does not get any better. I realize the story of the woman with hemorrhage is not only her story happened in the far past, but it is also our stories here and now.

 We must not forget that our protagonist is also a woman. Being a woman in the time of Jesus means being a second-class citizen in a patriarchal society and often, they are considered as mere properties of the husbands or the fathers. Generally, while the men work outside and socialize, women are expected to stay at home, and function as the housekeepers and babysitters. Normally, they are not allowed to communicate with the outsiders, especially men, except under the supervision of their husbands or fathers. Our protagonist is also having chronic hemorrhage, and this means she is ritually unclean, and those who are in contact with her shall be made unclean as well (Lv. 15:19).

The woman with hemorrhage has faith in Jesus and wants to be healed, yet to do that, she has to challenge the cultural norms that bind her. She traverses into greater danger. What if she is not healed? What if she makes Jesus and His disciples unclean? What if she will be branded as a shameless woman by the society? Shame restrains her, but faith propels her. Thus, she takes a ‘win-win’ approach. She tries to reach Jesus’ cloth, and she makes sure that she will not establish any contact with Jesus. Miracle happens, and she is healed. Yet, unfortunately, Jesus finds her. In tremble and fear, she fells down before Jesus and confesses. She is afraid not only because she “snatches” the power from Jesus, but because she has broken the standing cultural norms and the Law of Moses. However, Jesus’ response surprises his disciples and all who witness the event. Instead of castigating her for culturally improper behavior, Jesus praises her faith, “Daughter your faith has saved you.”

Indeed it is her faith that makes her a proactive protagonist of this particular story. She refuses to succumb to despair and makes her way all the way to Jesus. We notice most of the actions in this story is performed by the woman, and Jesus is there to affirm her. Rightly, Jesus calls her “daughter” acknowledging her also as the descendants of Abraham, the father of great faith. The story of a woman of hemorrhage is a journey of a woman of faith. It is a faith that grows even in the midst of hopeless situations of sickness, financial crisis, and uncertain future. It is a faith that thrives in the middle of human limitations, and transcend cultural boundaries. It is a faith that moves a mountain.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Iman Sang Perempuan

Minggu Ketiga Belas pada Masa Biasa [1 Juli 2018] Markus 5: 21-43

“Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkan engkau. Pergilah dengan selamat dan sembuhlah dari penyakitmu.” (Mrk 5:34)

woman with hemorrhageInjil hari ini tampaknya tidak berbeda dengan kisah-kisah mukjizat penyembuhan Yesus, tetapi jika kita membaca dengan seksama, kisah penyembuhan perempuan dengan pendarahan ini sebenarnya luar biasa. Kita tidak tahu dengan pasti pendarahan apa yang dideritanya, tetapi fakta bahwa ia menderita kondisi ini selama 12 tahun, menghabiskan banyak untuk pengobatan dan kondisinya semakin memburuk, ini berarti sangat serius. Pada zaman itu, tabib sangat jarang, dan berobat perlu mengeluarkan banyak uang. Perempuan ini mungkin berasal dari keluarga kaya, tetapi dia jatuh miskin karena kondisinya tersebut. Perempuan ini mulai kehilangan hidupnya dan menghadapi keputusasaan. Saya saat ini ditugaskan sebagai asisten imam di salah satu rumah sakit di Metro Manila, dan tugas saya adalah melakukan kunjungan pastoral ke pasien-pasien yang dirawat di rumah sakit tersebut. Tidak jarang saya menjumpai pasien yang menderita kondisi kesehatan yang menguras semua sumber daya mereka, dan tampaknya situasi mereka tidak menjadi lebih baik. Saya menyadari kisah perempuan dengan pendarahan ini bukan hanya kisahnya yang terjadi di masa lalu, tetapi juga kisah umat manusia di zaman ini.

 Kita tidak boleh lupa bahwa protagonis kita juga seorang perempuan. Menjadi seorang perempuan di zaman Yesus berarti menjadi warga kelas dua dalam masyarakat patriarkal Yahudi dan sering kali, mereka dianggap hanya sebagai barang milik suami atau kepala keluarga. Sementara pria bekerja di luar dan bersosialisasi, kaum perempuan tinggal di rumah, dan berfungsi sebagai pengurus rumah tangga dan pengasuh anak. Biasanya, mereka tidak diperbolehkan berkomunikasi dengan orang asing apalagi laki-laki, kecuali di bawah pengawasan suami atau ayah mereka. Ini bukan waktu yang mudah bagi perempuan untuk hidup. Sang perempuan juga mengalami pendarahan, ini berarti dia menjadi najis di Hukum Taurat, dan siapa pun yang menyentuh dia akan menjadi najis juga (Im 15:19).

Perempuan dengan pendarahan memiliki iman pada Yesus dan ingin disembuhkan, namun untuk melakukan itu, dia harus menantang norma-norma budaya yang mengikatnya. Dia mengambil resiko yang besar. Bagaimana jika dia tidak disembuhkan? Bagaimana jika ia membuat Yesus dan murid-murid-Nya menjadi najis? Bagaimana jika dia dicap sebagai perempuan yang tak tahu malu oleh masyarakat? Rasa malu menahannya, tetapi iman mendorongnya. Ia pun mengambil langkah “win-win solution“. Dia mencoba untuk mencapai jubah Yesus, dan dia memastikan bahwa dia tidak akan membuat kontak dengan Yesus. Mukjizat terjadi. Dia disembuhkan, tetapi sayangnya, Yesus menemukannya. Dengan gemetar dan ketakutan, dia jatuh di hadapan Yesus dan mengaku. Dia takut bukan hanya karena dia “mengambil” kekuatan dari Yesus, tetapi karena dia telah melanggar norma-norma budaya Yahudi. Namun, tanggapan Yesus mengejutkan murid-muridnya dan semua yang menyaksikan peristiwa itu. Alih-alih menghukumnya karena perilaku yang tidak pantas, Yesus memuji imannya, “Hai anak-Ku, imanmu telah menyelamatkanmu.”

Ini adalah imannya yang membuatnya menjadi protagonis yang proaktif dari cerita mukjizat ini. Dia menolak untuk menyerah pada keputusasaan dan membuat jalannya menuju ke Yesus. Kita melihat sebagian besar tindakan dalam cerita ini dilakukan oleh sang perempuan, dan Yesus ada di sana untuk meneguhkannya. Benar, Yesus menyebut dia “anak” karena Yesus mengakui dia juga sebagai keturunan Abraham, bapa iman yang besar. Kisah perempuan dengan pendarahan adalah perjalanan iman seorang perempuan yang terkurung dalam berbagai kondisi yang melemahkannya. Itu adalah iman yang tumbuh bahkan di tengah-tengah situasi tanpa harapan dari penyakit, krisis keuangan, dan masa depan yang tidak pasti. Ini adalah iman yang tumbuh di tengah keterbatasan manusia, dan melampaui batas-batas budaya. Itu adalah iman yang menggerakkan gunung. Ini adalah imam sang perempuan, dan ini adalah iman yang juga kita miliki.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Annunciations

4th Sunday of Advent [December 24, 2017] Luke 1:26-38

“…my spirit rejoices in God my savior. For he has looked upon his handmaid’s lowliness… (Luk 1:47-48).”

annunciation chinaLuke has a poignant and unique way in narrating the story of the Annunciation. He deliberately places the story of Zachariah and of Mary side by side, and lets his readers see both stories in comparison. The first story speaks of a holy man who serves in the Temple. Zachariah is a symbol of the ideal Israelite who stands at the center of the holy ground. The second story speaks of an ordinary woman who lives in Nazareth, a small town far from the center. In a patriarchal society, Mary is a symbol of the poor and marginalized Israelite who is pushed to the peripheries. Angel Gabriel appears to both, and God does marvelous deeds for both. Yet, the Annunciation to Mary turns to be far more excellent. The Angel greets Mary with the title of honor, the highly favored one, while the angel does not even greet Zachariah. The Angel makes Zachariah mute because of his doubt, but he assures Mary when she is confused. The conception of John the Baptist is done through natural means, while the conception of Jesus in the womb of Mary takes place through the supernatural way. Zachariah and Elizabeth represent the outstanding God’s marvel in the Old Testament like when God opened the womb of Sarah, the wife of Abraham, and Hannah, the mother of Samuel, despite their old age and barrenness. Yet, what happens to Mary surpasses and outshines these Old Testament miracles.

Reading through the Old Testament books and comparing to the story of Zachariah, we discover that the Annunciation to Mary stands at the summit. Never before, an angel will give honor to a mere mortal. Never before, God will highly favor an ordinary human. Yet, what makes it even marvelous is God’s choice of Mary who is a poor, young woman coming from the insignificant town. God chooses practically a “nobody” to become the mother of His Son. Therefore, Mary’s canticle or the “Magnificat” is not a cute little song, but turns to be the poignant testimony of God’s power on His lowly servant, “…my spirit rejoices in God my savior. For he has looked upon his handmaid’s lowliness… (Luk 1:47-48).”

The story of Annunciation becomes a powerful sign for all of us. We, like Mary, often feel that we are weak and hopeless with so many problems in life. We are bullied by our classmates, officemates, or even society because of our uniqueness and talent. We feel that we are insignificant because we produce so little and achieve nothing. Yet, God never abandons us. In fact, He works His wonders in time when we feel that we are nothing.

A newly ordained Dominican priest confesses that he did a lot of foolish things, he did not finish his college and squandered his life. His life was truly a mess and he was a failure. Nowhere to go, he decided to enter the seminary. Yet, things slowly began to fall into place, and he took that second chance seriously. He excelled in his studies, and became a good seminarian. Finally, he was deemed to be worthy of the priesthood. In his thanksgiving mass, he thanks the Lord for undoing his failure, and he professes that in his greatest weakness, God has shone brightly. Like Mary, we are called to discover God’s mighty deeds in our lives, and to proclaim it to the world.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kabar Sukacita

Minggu Adven ke-4 [24 Desember 2017] Lukas 1: 26-38

“… hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya… (Luk 1: 47-48).”

annunciation koreaLukas memiliki cara yang tajam dan unik dalam menulis kisah tentang Penerimaan Kabar Sukacita. Dia dengan sengaja menempatkan kisah Zakharia dan Maria secara berdampingan, dan membiarkan pembacanya melihat kedua cerita itu dalam perbandingan. Kisah pertama berbicara tentang seorang imam yang suci yang melayani di Bait Allah. Zakharia adalah simbol dari orang Israel ideal yang berdiri di pusat peribadatan bangsa Israel. Kisah kedua berbicara tentang seorang wanita sederhana yang tinggal di Nazaret, sebuah desa kecil yang jauh dari pusat pemerintahan dan keagamaan. Dalam masyarakat patriarki, Maria adalah simbol dari bangsa Israel yang miskin dan terpinggirkan dan terdorong ke pinggiran. Malaikat Gabriel menampakkan diri kepada keduanya, dan Tuhan melakukan perbuatan yang luar biasa bagi keduanya. Namun, Kabar Sukacita bagi Maria ternyata jauh lebih baik. Pertama, sang Malaikat menyapa Maria dengan gelar kehormatan, “Engkau yang dikaruniai, sementara sang malaikat tidak menyapa Zakharia sama sekali. Kedua, sang malaikat membuat Zakharia bisu karena keraguannya, tapi dia meyakinkan Maria saat Maria bertanya-tanya. Ketiga, pembuahan Yohanes Pembaptis terjadi secara alamiah, sementara Yesus di dalam rahim Maria terjadi melalui cara yang supernatural. Zakharia dan Elizabeth mewakili karya besar Tuhan dalam Perjanjian Lama seperti ketika Tuhan membuka rahim Sarah, istri Abraham, dan Hannah, ibu Samuel, meskipun sudah tua dan mandul. Namun, apa yang terjadi pada Maria melampaui segala mukjizat Perjanjian Lama ini.

Membaca buku-buku Perjanjian Lama dan membandingkan kisah Zakharia, kita menemukan bahwa Kabar Sukacita Maria berada di puncak. Belum pernah terjadi sebelumnya, malaikat akan memberi kehormatan kepada seorang manusia biasa. Belum pernah sebelumnya, Tuhan memberi karunia-Nya yang dahsyat kepada manusia biasa. Namun, yang membuat kisah ini bahkan luar biasa adalah pilihan Tuhan bagi Maria yang adalah seorang wanita muda miskin yang berasal dari desa yang tidak penting. Tuhan memilih seorang yang bukan siapa-siapa untuk menjadi ibu Putra-Nya. Oleh karena itu, kidung Maria atau “Magnificat” bukanlah sebuah lagu yang imut, namun ternyata merupakan kesaksian yang menyata tentang kekuatan Tuhan terhadap Maria, hamba-Nya, “…hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku, sebab Ia telah memperhatikan kerendahan hamba-Nya… (Luk 1: 47-48).”

Kita, seperti Maria, sering merasa bahwa kita lemah dan putus asa dengan begitu banyak permasalah dalam hidup. Kita diintimidasi oleh teman sekelas, kerja, pelayanan, dan bahkan masyarakat karena keunikan dan bakat kita. Kita merasa bahwa kita tidak penting karena kita memiliki pencapaian apa-apa. Namun, Tuhan tidak pernah meninggalkan kita. Dia mengerjakan karya besar-Nya pada saat kita merasa bahwa kita bukanlah apa-apa.

Seorang imam Dominikan yang baru saja ditahbiskan mengaku bahwa dia melakukan banyak hal bodoh waktu dia muda, dia tidak menyelesaikan kuliahnya dan menyia-nyiakan hidupnya. Hidupnya benar-benar berantakan dan dia adalah sebuah kegagalan. Merasa hilang, dia memutuskan untuk masuk seminari. Namun, hidupnya perlahan-lahan semakin membaik, dan dia mengambil kesempatan kedua itu dengan serius. Dia belajar dengan tekun, dan menjadi seorang frater yang baik. Akhirnya, dia dianggap layak menjadi imam. Dalam misa perdananya, dia mengucapkan terima kasih kepada Tuhan karena Dia telah memilihnya, hamba-Nya yang hina dan gagal, dan bahwa dalam kelemahan terbesarnya, Tuhan telah bersinar terang. Seperti Maria, kita dipanggil untuk menemukan perbuatan-perbuatan besar Allah dalam hidup kita, bahkan di dalam kegagalan hidup, dan menyatakannya kepada dunia.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP