Mary’s Fiat

Fourth Sunday in Ordinary Time [B]

December 20, 2020

Luke 1:28-36

Christmas is fast approaching, and the Church is inviting us to reflect on the story of the Annunciation. Allow me to once more focus on the Blessed Virgin’s Fiat. To appreciate her answer to God’s will and plan, we need to see at least two things. Firstly, it is her historical and social context. Secondly, it is the language analysis of her response.

Mary was a young girl. According to tradition, she was around 13 or 14 years old when she got married. For many of us, living in urban settings, Mary’s marriage was remarkably too early. But, this kind of practice was nothing but expected. Lives were hard, and many people died too young due to sickness, famine, calamity, or wars. To sustain a healthy number of populations, young girls were prepared for the duty of motherhood.

Mary was betrothed to Joseph from the family of David. In the Jewish community, betrothal is the first formal step in a Jewish marriage. The exchange of vows was done in this betrothal. Mary and Joseph were spouses in the eye of Jewish law and society, except for the intimate relationship. The couple had to wait around one year before the bride moved to the house prepared by the groom from the betrothal. Usually, there was a light procession from the bride’s original place to the new house, where the wedding ceremony and reception would occur.

Legally, Mary was Joseph’s wife, and if something wrong happened, it was judged to be adultery. The Law of Moses abhors adultery since it reflects Israel’s infidelity toward Yahweh, breaking the sacred covenant. Thus, for those who were unfaithful, severe punishment awaited them. In Deu 20:22, the Torah explicitly stated that if a betrothed woman commits adultery, she and the man shall be stoned to death.  As a good Jew, Mary was aware of this terrible consequence when archangel Gabriel announced the glad tiding. If she gave her affirmation, she might face certain, untimely death. Nobody would believe her if she tried to defend her supernatural virginal conception. “She must be insane!” some would say. However, despite this imminent horrible future, Mary accepted her mission.

Now, why did she say her Fiat? I used to think that Mary’s fiat is about surrendering everything to God.  She did not understand, but her faith enabled her to trust in God’s providence. In the face of ominous dangers, to have this kind of faith is extremely remarkable. However, as I read more about this Fiat, I discover that Mary’s Fiat is more than an act of self-surrender. The Greek word used by Mary is “genomai.” This word is rather special because it expresses not an act of submission but an act of longing. This tiny detail spells the great difference. Mary did not just submit to the will of God, but she longed to do it. She was not passively accepting her fate but rather proactively fulfilling God’s plan in her. There were no traces of fear, doubt, and worry. Her yes was driven by passion, hope, and eagerness. Despite bleak tomorrow, she knew that she was about to depart into an unimaginably amazing journey. For her, the Lord’s plan is always the best and the only way to reach our utmost potential.

Do we have what it takes to have Mary’s Fiat?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photocredit: Phil hearing

Fiat Maria

Minggu Keempat di Waktu Biasa [B]

20 Desember 2020

Lukas 1: 28-36

Natal semakin dekat dan Gereja mengundang kita sekali lagi untuk merenungkan kisah Kabar Sukacita. Izinkan saya untuk sekali lagi fokus pada “Fiat” atau jawaban Ya Perawan Maria [Fiat sendiri berasal dari bahasa Latin, artinya “terjadilah”]. Untuk mengerti lebih dalam jawaban Maria atas kehendak dan rencana Tuhan, kita perlu melihat setidaknya dua hal. Pertama, konteks sejarah dan sosialnya, dan kedua adalah analisis bahasa dari tanggapan Maria.

Maria adalah seorang gadis muda. Menurut tradisi, dia berusia sekitar 13 atau 14 tahun saat menikah dengan Yusuf. Bagi banyak dari kita yang tinggal di lingkungan perkotaan, pernikahan semacam ini terlalu dini. Tapi, praktik semacam ini tidak hanya wajar tetapi dibutuhkan. Kehidupan pada zaman itu sangat sulit, dan banyak orang meninggal dalam usia muda karena penyakit, kelaparan, bencana atau perang. Untuk menopang jumlah populasi yang sehat, gadis-gadis muda harus dipersiapkan untuk menjalankan tugas seorang  ibu.

Injil menjelaskan bahwa Maria “bertunangan” dengan Yusuf dari keluarga Daud. Kata pertunangan sebenarnya kurang tepat, karena tidak menggambarkan realitas yang terjadi. Dalam komunitas Yahudi, ada dua tahap pernikahan. Tahap pertama adalah pertukaran janji antara pria dan wanita. Dengan pertukaran janji ini, Maria dan Yusuf sudah menjadi pasangan suami istri di mata hukum dan masyarakat Yahudi. Dari pertukaran janji ini, pasangan ini harus menunggu sekitar satu tahun sebelum pengantin wanita memasuki rumah yang telah disiapkan oleh pengantin pria. Biasanya, tahap kedua ini dimulai dengan prosesi cahaya dari tempat asal pengantin wanita ke rumah barunya yang menjadi tempat berbagai ritual upacara pernikahan dan resepsi akan dilangsungkan.

Secara hukum, Maria adalah istri Yusuf, dan jika Maria tidak setia, hal ini dianggap perzinaan. Hukum Taurat membenci perzinaan karena hal ini mencerminkan ketidaksetiaan Israel terhadap Yahwe, sebuah pelanggaran dari perjanjian suci. Karena itu, bagi mereka yang tidak setia, hukuman berat menanti mereka. Dalam Ulangan 20:22, Hukum Taurat secara eksplisit menyatakan bahwa jika seorang wanita yang telah mengikrarkan janji nikah dan melakukan perzinaan, dia dan pria itu akan dilempari batu sampai mati. Sebagai seorang Yahudi yang baik, Maria menyadari konsekuensi yang mengerikan ini, ketika malaikat agung Gabriel menyatakan kepadanya sebuah kabar gembira. Jika dia memberikan persetujuannya, besar kemungkinannya Maria akan menghadapi kematian yang mengenaskan. Tentunya, siapa yang akan mempercayai Maria jika dia mencoba menjelaskan bahwa bayi yang dikandungannya adalah karena kuasa Roh Kudus. Orang-orang akan berkata, “Dia pasti sudah gila!”. Namun, meski masa depan mengerikan menunggunya, Maria tetap menerima misinya.

Sekarang mengapa dia mengatakan Fiat? Saya dulu berpikir bahwa Fiat Maria adalah tentang menyerahkan segalanya kepada Tuhan. Dia tidak mengerti tetapi imannya memungkinkan dia untuk percaya dan berpasrah kepada Tuhan. Dalam menghadapi bahaya yang mengancam jiwanya, iman seperti ini sanggatlah luar biasa. Namun, saat saya membaca lebih banyak tentang Fiat ini, saya menemukan bahwa Fiat Maria lebih dari sekadar tindakan penyerahan atau pasrah diri. Kata Yunani yang digunakan Maria adalah “genomai”. Kata ini istimewa karena sejatinya tidak mengungkapkan penyerahan, tetapi kerinduan.

Detail kecil ini menunjukkan perbedaan yang besar. Maria tidak hanya sekedar tunduk pada kehendak Tuhan, tetapi dia berhasrat untuk berpartisipasi dalam pemenuhannya. Dia tidak pasif menerima takdirnya, melainkan secara proaktif memenuhi rencana Tuhan dalam dirinya. Tidak ada jejak ketakutan, keraguan dan kekhawatiran. Fiat Maria didorong oleh semangat, harapan, dan keinginan kuat. Meskipun hari esok suram, dia tahu bahwa dia akan berangkat ke perjalanan yang luar biasa tak terbayangkan bersama Tuhan. Bagi Maria, rencana Tuhan selalu merupakan rencana terbaik, dan satu-satunya jalan untuk mencapai potensi terbaik kita, keselamatan kita.

Apakah kita melihat seperti Maria melihat? Apakah kita memiliki iman seperti Maria? Apakah Fiat Maria adalah Fiat kita juga?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

photo credit: arni svanur

 

 

Jesus, Women, and Perseverance

29th Sunday in Ordinary Time [C] – October 20, 2019 [Luke 18:1-8]

widowsThe widows are one of the most disfranchised groups in ancient Israel. In those times, women, in general, were considered to be less human. Every time a Jewish man in first-century Palestine woke up, he would pray and thank the Lord for he was not born as a Gentile, a slave or a woman. Often, women were treated as the properties of the patriarchs. While adult men were working outside the house, women were expected to stay behind to take care of the children and the household. Since many women were supported by their husbands, being a widow means loss of both financial foothold and honor. They were lucky if they had mature sons who would take care of them, but those widows without sons were the most pitiful.

However, Jesus comes to bring a fresh air of transformation. Especially, the Gospel of Luke, Jesus allows women to seize the center stage, and be protagonists. Jesus calls both men and women to follow Him and become His disciples. Jesus even allows Himself to be supported by the women [Luk 8:1]. Jesus has a close friendship with Martha and Mary [Luk 10:38-42]. Jesus places women as the main character of his parables like the story of the lost coin [Luk 15:8-10]. Today’s parable is even mind-blogging. Jesus presents a widow, representing the weakest group in the Jewish community, who is persistently pushing her cause against a corrupt judge, the most powerful person in the society. Beyond any expectation, the widow won her cause!

From this parable, we may learn several lessons. Firstly, the key to success is perseverance. While the context of our parable is on how we to pray, the value of perseverance can be applied also in many aspects of our life, like study, work, friendship, relationship, family life, and happiness. If we want to succeed, we need to be persistence and persevering. There is a saying attributed to Thomas Edison, “Success is one percent of inspiration, and ninety-nine perspiration.” Another one is by Isaac Newton, “If I have ever made any valuable discoveries, it has been owing more to patient attention, than to any other talent.” However, the problem with this view is that it is all about my persistence, my success, my glory. It is just too narrow and self-centered.

The second lesson we can draw from this parable is that Jesus empowers the women of His time and allows them to take leading roles. By doing this, Jesus introduces a wider understanding of salvation. When we encounter the word “salvation”, the first that comes to our mind is the salvation from sin, from sickness or from evil spirits. While this understanding is true, it does not capture the bigger mission of Jesus. Salvation also means to lead back into God’s original plan for the world. In the beginning, men and women were created equal in dignity despite their different roles and characters. It was because of sin that men and women were facing each other as enemies. Jesus is building the Kingdom of God, where men and women become truly the image of God. Yet, this is not easy because it is not only about our individual success and happiness. Thus, we need a lot of perseverance because if we want to follow Jesus and His mission of the Kingdom for all, we need to go even against our own selfish interest.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus, Perempuan dan Ketekunan

Minggu ke-29 dalam Masa Biasa [C] – 20 Oktober 2019 [Lukas 18: 1-8]

persistent widowPara janda adalah salah satu kelompok yang paling terpinggirkan di Israel kuno. Pada masa itu, wanita pada umumnya dianggap sebagai manusia yang lebih rendah. Setiap kali seorang pria Yahudi di Palestina abad pertama bangun, dia akan berdoa dan bersyukur kepada Tuhan karena dia tidak dilahirkan sebagai orang bukan Yahudi, budak atau wanita. Seringkali, perempuan diperlakukan sebagai properti para kepala keluarga. Sementara para pria dewasa bekerja di luar rumah, para perempuan diharapkan tetap tinggal untuk menjaga anak-anak dan rumah. Karena banyak perempuan yang tergantung pada suami mereka, menjadi janda berarti kehilangan pijakan ekonomi dan kehormatan. Mereka beruntung jika mereka memiliki putra yang dewasa yang akan merawat mereka, dan ini membuat para janda tanpa putra adalah yang paling menyedihkan.

Namun, Yesus datang untuk membawa angin segar perubahan. Terutama, di Injil Lukas, Yesus mengizinkan perempuan untuk berada di panggung utama, dan menjadi protagonis. Yesus memanggil pria dan wanita untuk mengikuti-Nya dan menjadi murid-Nya. Yesus bahkan membiarkan diri-Nya didukung oleh para wanita [Luk 8: 1]. Yesus memiliki persahabatan dekat dengan Marta dan Maria [Luk 10: 38-42]. Yesus menempatkan perempuan sebagai karakter utama dari perumpamaan-perumpamaannya seperti kisah koin yang hilang [Luk 15: 8-10]. Perumpamaan hari ini bahkan sangat mengejutkan. Yesus menghadirkan seorang janda, yang mewakili kelompok terlemah dalam komunitas Yahudi, yang terus-menerus berurusan dengan hakim yang korup, yang sejatinya adalah orang yang paling kuat di masyarakat. Tanpa disangka, janda itu memenangkan perjuangannya!

Dari perumpamaan ini, kita dapat melihat beberapa nilai. Pertama, kunci kesuksesan adalah ketekunan. Sementara konteks perumpamaan kita adalah tentang bagaimana kita berdoa, nilai ketekunan dapat diterapkan juga dalam banyak aspek kehidupan kita, seperti belajar, bekerja, persahabatan, relasi, keluarga dan kebahagiaan. Jika kita ingin sukses, kita harus gigih, tekun, dan ulet. Ada pepatah yang berasal dari Thomas Alva Edison, “Sukses adalah satu persen inspirasi, dan sembilan puluh sembilan keringat.” Perkataan bijak lain adalah oleh Isaac Newton, “Jika saya pernah membuat penemuan berharga, itu lebih karena perhatian dan kesabaran, daripada talenta-talenta yang lain.” Namun, permasalahan dengan pandangan ini adalah bahwa ini semua tentang kegigihan saya, kesuksesan saya, kemuliaan saya. Itu terlalu sempit dan egois.

Pelajaran kedua yang dapat kita ambil dari perumpamaan ini adalah bahwa Yesus memberdayakan para perempuan pada zaman-Nya dan memungkinkan mereka untuk mengambil peran utama. Dengan melakukan ini, Yesus memperkenalkan pemahaman yang lebih luas tentang arti keselamatan. Ketika kita berhadapan dengan kata “keselamatan”, hal pertama yang muncul di pikiran kita adalah keselamatan dari dosa, dari penyakit atau dari roh jahat. Sementara pemahaman ini benar, ini tidak mewakili misi Yesus yang lebih besar. Keselamatan juga berarti mewujudkan kembali ke rencana awal Allah bagi dunia. Pada awalnya, laki-laki dan perempuan diciptakan setara dalam martabat meskipun peran dan karakter mereka berbeda. Karena dosa laki-laki dan perempuan saling berhadapan sebagai musuh. Yesus sedang membangun Kerajaan Allah, di mana pria dan wanita benar-benar menjadi gambar Allah. Namun, ini tidak mudah karena ini bukan hanya tentang kesuksesan dan kebahagiaan individu kita. Karena itu, kita membutuhkan banyak ketekunan karena jika kita ingin mengikuti Yesus dan misi Kerajaan-Nya bagi semua orang, kita perlu melawan kepentingan egois kita sendiri.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Marta, Marta

Minggu Biasa ke-16 [C] – 21 Juli 2019 – Lukas 10:38-42

martha-and-mary-1Melakukan sesuatu untuk melayani Tuhan tentu baik dan terpuji. Dan karya-karya ini sangat banyak dan beragam. Tindakan-tindakan ini dapat secara langsung melayani Dia di Gereja, terutama dalam liturgi. Kita dapat berpartisipasi dalam ibadat sebagai anggota paduan suara, lektor, putra altar, asisten imam, atau bahkan sebagai imam yang mempersembahkan Ekaristi itu sendiri. Namun, kita juga dapat melayani Dia melalui sesama ketika kita terlibat dalam inisiatif amal untuk membantu orang miskin, untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian dan integritas ciptaan. Kita memiliki banyak cara, tetapi tujuannya adalah satu dan itu adalah untuk memuliakan Dia.

Dalam Injil hari ini, kita bertemu Marta dan Maria dari Bethania. Mereka berdua melayani Yesus dan mereka melakukannya sesuai dengan karakter unik mereka sendiri. Maria lebih pendiam dan mungkin seorang introvert, memilih untuk tetap dekat dengan Tuan dan mendengarkan-Nya. Sementara Marta, yang sebagian besar aktif dan mungkin ekstrovert, lebih suka memberi Yesus akomodasi terbaik. Keduanya ingin membuat Yesus merasa disambut dengan cara mereka sendiri. Namun, ada sedikit masalah. Tampaknya Yesus pilih kasih. Dia lebih menyukai Maria daripada Marta dan memberi tahu Marta bahwa Maria telah memilih bagian yang lebih baik.

Tentunya Yesus tidak pilih kasih, dan tentu saja itu bukan karena Maria lebih cantik dari Marta! Namun, kita masih harus menjelaskan pilihan Yesus. Pertama, kita perlu melihat bahwa keduanya baik, tetapi yang satu lebih baik dari yang lain karena sebuah alasan. Apakah tindakan mendengarkan lebih baik daripada memberi keramahan? Dalam konteks Yahudi kuno, memberikan keramahan pada seorang tamu adalah salah satu nilai utama. Kita ingat bagaimana Lot menawarkan bahkan putrinya sendiri untuk melindungi tamunya [lihat Kejadian 19]! Dengan standar ini, Marta melakukan hal yang lebih baik, tetapi Yesus berpendapat lain. Mengapa?

Sekali lagi, kita perlu lebih memahami Kitab Suci kita. Tindakan mendengarkan adalah tindakan mendasar baik dalam Perjanjian Lama maupun Baru. Setiap orang Yahudi yang saleh di zaman Yesus maupun di zaman sekarang, setiap hari mendaraskan doa syahadat yang mereka sebut sebagai “Shema Israel” – itu diambil langsung dari Ul 6: 4-5 “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Tindakan mendengarkan tidak hanya berarti mendengar suara dan menerima informasi, tetapi juga untuk mematuhi apa telah didengarkan. Yesus sendiri berkata, “Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. (Mat 7:24)” Maria mengambil bagian yang lebih baik karena dia telah mendengarkan Yesus yang adalah TUHAN, dan dia mendengarkan karena dia mengasihi TUHAN.

Marta memiliki sedikit masalah dengan pelayanannya karena dia memaksakan jalannya kepada Maria, mungkin dia berpikir cara pelayanannya adalah yang terbaik. Tetapi lebih dari itu, Marta menjadi terlalu terbebani dalam pelayanannya, dan Yesus menunjukkan bahwa Marta sendiri penuh kecemasan dan khawatir dengan banyak hal. Marta kehilangan tujuan pelayanannya; dia kehilangan Yesus dalam proses melayani. Betapa malang ya!

Belajar dari Maria dan Marta, kita dapat bertanya pada diri sendiri, “Apa gunanya pelayanan kita? Kemana kita akan pergi dengan banyak kegiatan yang kita miliki di Gereja? Apakah kita mendengar suara Kristus dalam pelayanan kita? Apakah kita benar-benar mencintai Yesus dalam pelayanan kita atau pada akhirnya kita melayani diri kita sendiri?”

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Martha, Martha

16th Sunday in Ordinary Time [C] – July 21, 2019 – Luke 10:38-42

To perform works to serve the Lord is certainly good and praiseworthy. And these works are numerous and varied. These acts may directly serve Him in the Church, especially during the liturgy. We may participate in the worship as the choir members, lectors, altar servers, ministers of the Holy Communion, or even as the presiders of the Eucharist itself, the priest. Yet, we may also serve Him through others as we involve in charitable initiatives to help the poor, to fight for justice and peace and integrity of creation. We have many ways, but the goal is one: to honor and glorify Him.

In today’s Gospel, we encounter Martha and Mary of Bethania. They both are serving Jesus, and they perform it according to their unique characters. Mary, more reserved and perhaps an introvert, chooses to stay close to the Master and listen to Him. While Marta, predominantly active and perhaps extrovert, prefers to provide Jesus with the best accommodation. Both want to make Jesus feel welcome in their way. However, there is a little problem. It seems that Jesus is playing little favoritism. He favors Mary over Martha and tells Martha that Mary has chosen a better part.

Surely Jesus does not play favoritism, and surely it is not because Mary is more beautiful than Martha!  Yet, we still have to explain Jesus’ choice. First, we need to see that both are good, but one is just happened to be better than the other. Is it the act of listening better than the act of giving hospitality? In an ancient Jewish context, to provide the hospitality to a guest is one of the prime values. We remember how Lot was offering even his daughters to protect his guests [see Gen 19]! By this standard, Martha is doing a better thing, but Jesus insists that it is not hers. Why?

Again, we need to understand better our Scriptures. The act of listening is fundamental in both Old and New Testament. Every devout Jew in the time of Jesus as well as in our time, daily prays a creedal prayer they call as “Shema Israel” – it was taken straight from Deu 6:4-5 “Hear, O Israel! The LORD is our God, the LORD alone! Therefore, you shall love the LORD, your God, with your whole heart, and with your whole being, and with your whole strength.” Acts of listening do not only mean to hear voices and receive information, but it is also to obey what one has heard. Jesus Himself says, “Everyone who listens to these words of mine and acts on them will be like a wise man who built his house on the rock. (Mat 7:24)” Mary is taking a better part because she has listened to Jesus, who is the LORD, and she listens because she loves her LORD.

Martha has a little problem with her service because she imposes her ways to Mary, perhaps thinking her way of service is the best one. But more than that, Martha becomes overburdened in her serving, and Jesus points out that Martha is anxious and worried with many things. Martha is losing the purpose of her service; she is losing Jesus in the process of serving. What a loss!

Learning from Mary and Martha, we may ask ourselves, “What is the point of our services? Where are we going with many activities we have in the Church? Do we hear the voice of Christ in our ministries? Do we love Jesus in our serving or we discover ourselves in the end?”

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Happy Mothers’ Day!

Solemnity of Blessed Virgin Mary, the Mother of God [January 1, 2019] Luke 2:16-21

mary and jesus - javaneseSome of us may wonder why the Church places the celebration of the solemnity of Mary, the Mother of God on January 1, or on the New Year. One may guess that the Church wants us to attend mass on the first day of the year, so as to start the year right. For those who wish to have a long holiday, it might be pretty a killjoy, but for some of us who wish to be blessed for the entire year, it is a nice thought. Yet, surely there is something deeper than that.

One reason is that the Church invites us all to reflect on the past year with gratitude as we count our blessings, and thus, we are able to look forward with faith and hope. In the Gospel, Mary is depicted as someone who always keeping things in heart and reflecting them (see Luk 2:19). Like Mary, we are asked to pause for a while on the momentous day of the year and ponder God’s works in our lives.

Another reason that I think more fundamental is that it is proper to conclude the Christmas octave with the Solemnity of Mother of God. “Octave” simply means eight, and in the Church’s liturgy, it means eight days prolonged celebration of particular grand events in the Church like Easter and Christmas. Like Christmas octave cover December 25 till January 1. If at Christmas day, we are celebrating the birth of Jesus, at the end of the Octave, we are celebrating the woman who gave birth to Jesus. Without a mother who receives the baby in her womb, carries the baby for nine months, and gambles her life in the process of delivery, a baby will not be born. In short, without Mary, there will be no Jesus.

To become a mother is a natural part of being a woman, and yet despite being natural, it remains a very difficult process for a woman. I am not a woman, but I can tell that it is a life of sacrifice because to take care of Br. Ruseno can cause a lot of high blood pressure! It is true that not all mother is perfect. Some have their own share of weakness and mistake, but the mere fact a mother has decided to give birth to her child, she has put her life on the line.

Now if to become the mother of any human being is super tough, how about to become the mother of God? We learn from Mary herself. She was pregnant out of wedlock, and this may lead people to stone her to death. She gave birth to Jesus in a dirty stable without professional help. This may cause her life. She raised the child Jesus who was often beyond her comprehension. Ultimately, she would witness with her own eyes how her only son was humiliated, tortured, and crucified. What a painful experience to bury one’s, own child! Simeon’s prophecy that a sword shall pierce Mary’s soul turned to be a reality (see Luk 2:35).

Indeed, Mary is most blessed among women, in fact among all human beings, but her blessedness does not mean an easy life. In fact, it is the opposite! St. Teresa of Avila once asked God, why He gives so many sufferings to His saints. God answered that it was the way He treated His friends. Then, St. Teresa replied, “That is why you do not have many friends!”

To become a mother is a blessing, but God’s blessing does not mean an easy life. God’s blessing means the opportunity and ability to love. To love despite challenges and trials of life, to give even when it hurts, and to sacrifice when it counts. At this New Year, we are celebrating the motherhood of Mary, indeed the motherhood of every woman. It is a Mothers’ Day in the Church. We pray for every mother that they may be blessed with the gift of love, and we also are given the same blessing in this year.

 

Deacon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Selamat Hari Ibu!

Hari Raya Santa Perawan Maria, Bunda Allah [1 Januari 2019] Lukas 2: 16-21

mary and jesus - javanese 2Kita mungkin bertanya-tanya mengapa Gereja menempatkan Hari Raya Maria, Bunda Allah pada tanggal 1 Januari, atau pada Tahun Baru. Orang mungkin berpikir bahwa Gereja ingin kita menghadiri misa pada hari pertama tahun baru ini. Bagi mereka yang ingin memiliki liburan panjang, ini mungkin tidak menyenangkan, tetapi bagi sebagian dari kita yang ingin diberkati sepanjang tahun, itu adalah ide yang bagus. Namun, pasti ada sesuatu yang lebih dalam mengapa tanggal 1 Januari.

Salah satu alasan adalah bahwa Gereja mengundang kita semua untuk merenungkan tahun yang baru berlalu dengan rasa syukur, ketika kita mengingat berkat-berkat yang telah kita terima, dan dengan demikian, kita dapat melihat ke depan dengan iman dan harapan. Dalam Injil, Maria digambarkan sebagai seseorang yang selalu menyimpan hal-hal di hatinya dan merenungkannya (lihat Luk 2:19). Seperti Maria, kita diminta untuk berhenti sebentar pada hari penting tahun ini dan merenungkan karya Tuhan dalam hidup kita.

Alasan lain yang saya pikir lebih mendasar adalah bahwa sudah sepantutnya untuk mengakhiri oktaf Natal dengan Perayaan Maria Bunda Allah. “Oktaf” berarti delapan, dan dalam liturgi Gereja, itu berarti delapan hari perayaan memperingati momen besar di Gereja seperti Paskah dan Natal. Seperti oktaf Natal dimulai dari tanggal 25 Desember hingga 1 Januari. Jika pada hari Natal, kita merayakan kelahiran Yesus, pada hari terakhir oktaf, kita memperingati perempuan yang melahirkan Yesus. Tanpa seorang ibu yang menerima bayi di dalam rahimnya, mengandung bayinya selama sembilan bulan, dan mempertaruhkan hidupnya saat melahirkan, seorang bayi tidak akan dilahirkan. Singkatnya, tanpa Maria, tidak akan ada Yesus.

Menjadi seorang ibu adalah bagian alami dari menjadi seorang perempuan, namun meskipun alami, ini tetap merupakan proses yang sangat sulit bagi seorang perempuan. Saya bukan seorang perempuan, tetapi saya dapat mengatakan bahwa ini adalah hidup penuh pengorbanan. Kenapa? Karena untuk merawat dan membesarkan Diakon Bayu menyebabkan banyak tekanan darah tinggi! Memang benar bahwa tidak semua ibu sempurna. Beberapa memiliki kelemahan dan kesalahan, tetapi fakta bahwa seorang ibu telah memutuskan untuk melahirkan anaknya, ia telah mempertaruhkan nyawanya bagi sang anak.

Sekarang jika menjadi ibu dari seorang manusia adalah luar biasa sulit, bagaimana dengan menjadi Bunda Allah? Kita bisa belajar dari Maria sendiri. Dia hamil di luar nikah, dan orang-orang bisa saja merajam dia sampai mati. Dia melahirkan Yesus di kandang yang kotor tanpa bantuan medis professional, dan ini sangat berbahaya. Dia membesarkan Yesus yang seringkali Dia tidak mengerti tingkah laku Yesus. Pada akhirnya, dia akan menyaksikan dengan matanya sendiri bagaimana putra satu-satunya dihina, disiksa, dan disalibkan. Betapa pengalaman yang menyakitkan untuk mengubur anaknya sendiri! Nubuat Simeon bahwa pedang akan menembus jiwa Maria menjadi kenyataan (lihat Luk 2:35).

Memang, Maria paling diberkati di antara para wanita, bahkan di antara semua manusia, tetapi walaupun diberkati ini tidak berarti hidupnya menjadi mudah. Justru sebaliknya! St. Teresa dari Avila pernah bertanya kepada Tuhan, mengapa Ia memberikan begitu banyak penderitaan kepada orang-orang kudus-Nya. Tuhan menjawab bahwa itu adalah cara-Nya memperlakukan sahabat-sahabat-Nya. Kemudian, St Teresa menjawab, “Itulah sebabnya Tuhan tidak memiliki banyak sahabat!”

Menjadi seorang ibu adalah berkat, tetapi berkat Tuhan tidak berarti hidup yang mudah. Berkat Tuhan yang sesungguhnya adalah kesempatan dan kemampuan untuk mengasihi lebih dalam. Mengasihi terlepas dari tantangan dan cobaan hidup, untuk memberi bahkan saat kita tidak punya, dan  berkorban saat kita tidak siap. Pada Tahun Baru ini, kita merayakan Maria sebagai seorang ibu, dan juga keibuan setiap perempuan. Itu adalah Hari Ibu di Gereja. Kita berdoa untuk setiap ibu agar mereka diberkati dengan rahmat cinta kasih, dan kita juga berkati dengan rahmat yang sama di tahun baru ini.

Diakon Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Touch

Fifth Sunday in Ordinary Time [February 4, 2018] Mark 1:29-39

“He came and took her by the hand and lifted her up. Then the fever left her, and she began to serve them.  (Mk 1:31)”

touching nazareno
photo by Harry Setianto Sunaryo, SJ

In today’s Gospel, we listen to the first healing miracle of Jesus, and the first person whom Jesus heals is actually a woman, Peter’s mother-in-law. Notice also Jesus’ threefold actions to this woman: comes nearer, takes her by the hand, and raises her up. These three actions are powerful not only because it brings immediate healing, but through them, Jesus empowers the woman to stand on her feet and serve (Diakonia). After the angels ministered to Jesus in the desert (Mrk 1:13), the first human who ministers to Jesus is a woman and mother.

We are human beings, and the sense of touch is the most basic in our nature. Our eyes need to be in contact with light particles to see, our ears have to receive sound wave to ears, and all our body is covered by nerve fabric just right under our skin that recognizes basic information like heat, pain, and pleasure. It is beautifully designed for us not just to survive, but also to live life to the fullest. Thus, the touch or physical contact is fundamental to human life and relationship.

We indeed learn the first values and the beauty of life through touch. As a baby, we are embraced by our parents; we begin to grow in comfort, security, and love. Yet, touch is not only needed by babies and children, but also by mature men and women. A brother who is doing ministry in one of the hospitals in Manila is once told by his mentor that an adult person needs at least a quality hug a day. He might not cure the disease, but by being physically present to the patients, he may bring hope and comfort. We shake hands to express trust to one another, we kiss as a sign of love, and even in very physical sports and games, we nurture our friendships and camaraderie.

Sadly, because of our sins and weakness, we change this powerful touch into an instrument of destruction and dehumanization. Many of our brothers and especially our sisters become victims of this inhuman touch. Many women and children receive physical and sexual abuses even inside their own houses. Many fall victim into prostitution, modern-day slavery, and child labor. Young children, instead of going to school and receiving kisses from their parent, are holding weapons to kill other children. Young women, instead of finishing their education and enjoying their youth, have to offer their bodies to feed their families. Young men, instead of taking care of their families, get into drug-addiction as to cope with joblessness and poverty.

Jesus shows us how powerful our touch is and He invites us to reclaim this power as to bring healing and empowerment, especially to those who have been suffering from this dehumanizing touch. Do our touch and action bring healing to our family and society? Does our touch empower people around us? Does our touch lead others to serve God?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Sebuah Sentuhan

Minggu di Biasa ke-5 [4 Februari 2018] Markus 1: 29-39

“Ia pergi ke tempat perempuan itu, dan sambil memegang tangannya Ia membangunkan dia, lalu lenyaplah demamnya. Kemudian perempuan itu melayani mereka. (Mrk 1:31) “

touch the sick
foto oleh Harry Setianto Sunaryo, SJ

Dalam Injil hari ini, kita mendengarkan kisah mukjizat penyembuhan Yesus yang pertama, dan orang pertama yang disembuhkan Yesus adalah seorang perempuan, ibu mertua Petrus. Perhatikan juga tiga tindakan Yesus terhadap wanita ini: mendekati, mengangkat tangannya, dan membangunkan dia. Ketiga tindakan ini sangat simbolis bukan hanya karena mereka membawa penyembuhan, tetapi juga melalui tindakan ini, Yesus memberdayakan perempuan tersebut untuk berdiri di atas kakinya dan melayani (Diakonia). Setelah malaikat melayani Yesus di padang gurun (Mrk 1:13), manusia pertama yang melayani Yesus adalah seorang wanita dan ibu.

Kita sebagai manusia, memiliki indra perasa sebagai yang paling mendasar bagi kita. Mata kita perlu bersentuhan dengan partikel cahaya untuk bisa melihat, telinga kita perlu menerima gelombang suara untuk mendengar, tetapi seluruh tubuh kita diselimuti oleh jaringan saraf yang berfungsi untuk mengenali informasi dasar seperti suhu, rasa sakit, dan tekanan. Ini dirancang dengan indah bagi kita bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga untuk menjalani hidup secara sepenuhnya. Dengan demikian, sentuhan atau kontak fisik sangat mendasar bagi kehidupan dan relasi kita sebagai manusia.

Kita belajar keutamaan-keutamaan dasar pertama dan keindahan hidup melalui sentuhan. Sebagai bayi, kita dipeluk oleh orang tua kita; kitapun mulai tumbuh dalam kenyamanan, keamanan, dan cinta. Namun, sentuhan tidak hanya dibutuhkan oleh bayi dan anak-anak, tapi juga oleh pria dan wanita dewasa. Seorang frater kami yang sedang melakukan pelayanan di salah satu rumah sakit di Manila pernah dinasihati oleh seniornya bahwa orang dewasa setidaknya membutuhkan satu pelukan berkualitas setiap hari. Dia mungkin tidak bisa menyembuhkan penyakit, tapi ketika ia secara fisik hadir untuk pasien, dia akan membawa harapan dan kenyamanan. Kita berjabat tangan sebagai ungkapan saling percaya dengan satu sama lain, kita memberi ciuman sebagai tanda kasih, dan bahkan dalam olahraga dan permainan yang memerlukan kontak fisik, kita menumbuhkan rasa persahabatan dan persaudaraan kita.

Sayangnya, karena dosa dan kelemahan kita, kita mengubah karunia sentuhan ini menjadi alat penghancur kemanusiaan kita. Banyak saudara dan saudari kita menjadi korban sentuhan tidak manusiawi ini. Banyak perempuan dan anak-anak menerima pelecehan fisik dan seksual bahkan di dalam rumah dan keluarga mereka sendiri. Banyak juga yang terjerat dalam prostitusi, perbudakan modern, dan pekerja anak. Anak kecil, alih-alih pergi ke sekolah dan menerima pelukan dari orang tua mereka, memegang senjata untuk membunuh anak-anak lainnya. Perempuan muda, alih-alih menyelesaikan pendidikan mereka dan menikmati masa muda, harus menjajakan tubuh mereka untuk sesuap nasi bagi keluarga mereka. Laki-laki muda, alih-alih bekerja dan menjadi ayah yang baik, bergulat dengan kecanduan obat-obatan untuk mengatasi depresi disebabkan oleh kemiskinan.

Yesus menunjukkan kepada kita betapa kuatnya sentuhan kita dan Dia mengundang kita untuk merebut kembali kekuatan ini untuk membawa penyembuhan dan pemberdayaan, terutama bagi mereka yang telah menderita karena sentuhan yang tidak manusiawi ini. Apakah sentuhan dan tindakan kita membawa kesembuhan bagi keluarga dan masyarakat kita? Apakah sentuhan kita memberdayakan orang di sekitar kita? Apakah sentuhan kita mengarahkan orang lain untuk melayani Tuhan?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP