Caesar or God?

29th Sunday in Ordinary Time

October 18, 2020

Matthew 22:15-21

To understand today’s Gospel, we need to make time travel to the time of Jesus. The Jewish people in the first century AD Palestine were not free people, and they were subject to the Roman empire. Being subjects, they were required to submit heavy taxes. This money would eventually use to pay the army that maintained “the security” of Palestine. Naturally, paying taxes was one of the most irritating and politically charged issues. “Why should I pay for my own oppression?”

The issue of paying taxes is even more sensitive since the coin used for the transaction is bearing the image of Caesar. Not only having the graven face of Caesar, around the image, but there was also an inscription that said “Tiberivs Caesar Divi Avgvsti Filivs Avgvstvs (Caesar Augustus Tiberius, son of the Divine Augustus).” The coin was simply blasphemous for the Jews who recognized that there is no god, but the Lord God.

With this background, the Pharisees were plotting to trap Jesus with an extremely dilemmatic question: “should we pay tax to Caesar?” If Jesus nodded, He would be considered a traitor for many Jewish nationalists and an idol-worshipper to pious Israelites. But, if Jesus voted negatively, He would be immediately labeled as a rebel and face the wrath of the Romans. However, it was never wise to test Jesus, because it would never be successful. Again, Jesus did not only escape the dilemma wisely but also taught a profound lesson for everyone.

He took a Roman coin and showed that it has an image of Caesar. Then, He said, “render to Caesar what belongs to Caesar…” The basis of ownership is the presence of “image.” The coin belongs to Caesar because it has his image. Thus, paying tax is simply giving back to the coins that since the beginning belongs to Caesar and the Roman Empire.  Yet, Jesus did not stop there. He taught also, “render to God what belongs to God.” And what belongs to God? The answer is those who possess the image of God. Going back to the Genesis 1:26, we discover that we were created in the image of God, and therefore, we belong to God.

Here, Jesus was not dodging the Pharisees’ bullet, but teaching a fundamental truth about who we are and where we are going. We were created in the image of God, not in the image of cellular phone, not of money, not of trophies. While they may offer instant pleasure, not of these things will ever grant us true happiness. Only God can truly fulfill our deepest longing. While these things are naturally good and can be beneficial, they are mere means to achieve our true end, God Himself. We might be preoccupied with pursuing wealth, popularity, or influence, but what is the point when we lose our final purpose?

St. Ignatius of Loyola in his Spiritual Exercises reminds us that, “Man is created to praise, reverence, and serve God our Lord, and by this means to save his soul. The other things on the face of the earth are created for man to help him in attaining the end for which he is created…Therefore, we must make ourselves indifferent [detached] to all created things… Our one desire and choice should be what is more conducive to the end for which we are created”

 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Untuk Kaisar atau Untuk Tuhan?

Minggu ke-29 di Masa Biasa

18 Oktober 2020

Matius 22: 15-21

Untuk memahami Injil hari ini, kita perlu melakukan perjalanan waktu ke zaman Tuhan Yesus. Orang-orang Yahudi pada abad pertama Masehi Palestina bukanlah orang-orang merdeka, dan mereka tunduk pada kekaisaran Romawi. Sebagai penduduk jajahan, mereka diharuskan membayar pajak yang cukup berat. Uang ini pada akhirnya akan digunakan untuk membayar tentara yang menjaga “keamanan” di Palestina. Tak ayal, membayar pajak adalah salah satu hal yang paling dibenci dan menimbulkan gejolak. “Mengapa saya harus membayar untuk penindasan saya sendiri?”

Masalah pembayaran pajak bahkan lebih sensitif karena koin yang digunakan untuk transaksi memiliki gambar atau citra Kaisar. Tidak hanya berukir wajah Caesar, di sekitar gambar, ada tulisan, “Tiberivs Caesar Divi Avgvsti Filivs Avgvstvs (Kaisar Augustus Tiberius, putra Augustus yang ilahi).” Koin itu menjadi semacam hujatan kepada orang-orang Yahudi yang mengakui bahwa tidak ada tuhan, selain Tuhan Allah.

Dengan latar belakang ini, orang Farisi berencana untuk menjebak Yesus dengan pertanyaan yang sangat dilematis: “haruskah kita membayar pajak kepada Kaisar?” Jika Yesus mengangguk, Dia akan dianggap sebagai pengkhianat bagi banyak nasionalis Yahudi dan penyembah berhala bagi orang Israel yang saleh. Tetapi, jika Yesus menggelengkan kepala, Dia akan segera dicap sebagai pemberontak dan menghadapi murka orang Romawi. Namun, tidak pernah bijaksana untuk menguji Yesus, karena itu tidak akan pernah berhasil. Sekali lagi, Yesus tidak hanya lolos dari dilema dengan bijaksana tetapi juga memberikan pelajaran yang mendalam bagi semua orang.

Dia mengambil koin Romawi dan menunjukkan bahwa koin itu memiliki citra Kaisar. Kemudian, Dia berkata, “berikan kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar …” Dasar kepemilikan adalah kehadiran “citra.” Koin itu milik Kaisar karena memiliki citra Kaisar. Jadi, membayar pajak sejatinya bentuk pengembalian koin yang sejak awal adalah milik Kaisar dan Kekaisaran Romawi. Namun, Yesus tidak berhenti sampai di situ. Dia juga mengajarkan, “berikan kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.” Dan apakah yang menjadi milik Tuhan? Jawabannya adalah hal-hal yang memiliki citra Tuhan. Kembali ke Kejadian 1:26, kita menemukan bahwa kita diciptakan menurut citra Allah, dan oleh karena itu, Yesus ingin menunjukan bahwa kita adalah milik Allah.

Di sini, Yesus tidak hanya menghindari serangan orang Farisi, tetapi mengajarkan kebenaran mendasar tentang siapa kita dan ke mana kita akan pergi. Kita diciptakan menurut citra Tuhan, bukan citra HP, bukan uang, bukan juga piala. Meskipun mereka mungkin menawarkan kesenangan instan, hal-hal ini tidak bisa memberi kita kebahagiaan sejati. Hanya Tuhan yang benar-benar dapat memenuhi kerinduan kita yang terdalam. Meskipun hal-hal ini secara alami baik dan dapat bermanfaat, mereka hannyalah sarana untuk mencapai tujuan sejati kita, Tuhan sendiri. Kita mungkin sibuk mengejar kekayaan, popularitas atau pengaruh, tetapi apa gunanya kita kehilangan Tuhan?

St Ignatius dari Loyola dalam Latihan Rohaninya mengingatkan kita bahwa, “Manusia diciptakan untuk memuji, menghormati, dan melayani Tuhan, dan dengan cara-cara inilah manusia menyelamatkan jiwanya. Hal-hal lain di muka bumi diciptakan bagi manusia untuk membantunya dalam mencapai tujuan penciptaannya… Oleh karena itu, kita harus membuat diri kita sendiri tak terikat terhadap semua ciptaan… Satu keinginan dan pilihan kita haruslah jatuh pada hal-hal yang lebih kondusif untuk mencapai tujuan penciptaan kita.”

 

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Belas Kasih: Jalan Kehidupan

Minggu ke-24 di Masa Biasa [A]

13 September 2020

Matius 18: 21-35

josue-escoto-UkpYNiJyx8A-unsplash

Minggu lalu, Injil berbicara tentang bagaimana perlu menegur saudara kita yang berdosa. Jika seorang saudara berdosa kepada kita, kita wajib memberikan koreksi dalam kasih. Minggu ini, Injil berbicara tentang apa yang harus kita lakukan jika seseorang yang telah menerima koreksi, bertobat dan meminta pengampunan. Jawabannya sederhana: kita memaafkannya, dan kita merangkulnya kembali ke dalam persekutuan.

Simon Petrus mencoba untuk mengesankan Guru-nya. Dia menyatakan bahwa dia bersedia memaafkan hingga tujuh kali. Simon Petrus ingin menunjukkan kepada Yesus bahwa dia juga mampu memiliki standar yang tinggi. Yang mengejutkan adalah Yesus tidak terkesan, dan pada kenyataannya, mengajarkan kepada para murid keutamaan lainnya yakni tentang keadilan, belas kasihan dan pengampunan.

Kali ini, Yesus mengajar dengan metode favorit-Nya: menceritakan sebuah perumpamaan, dan kita akan menghargai perumpamaan ini jika kita dapat mengenali konteks sejarah dan hal yang tidak terduga. Seorang hamba berhutang 10.000 talenta kepada seorang raja. Pada zaman Yesus, talenta adalah koin emas yang berharga, dan itu setara dengan 6.000 dinar. Satu dinar sendiri setara dengan upah satu hari kerja. Jadi, hamba ini berhutang 60.000.000 hari kerja kepada tuannya [atau sekitar 160.000 tahun kerja!]. Yang paling mengejutkan bukanlah jumlah hutang sang hamba, tetapi sikap sang raja yang dengan mudah mengampuni dan menghapus seluruh hutang ketika hamba memohon belas kasihan.

Oleh karena itu, ketika raja menerima berita bahwa hamba yang telah dimaafkan ini menolak untuk mengampuni sesama hamba yang memiliki hutang yang jauh lebih kecil [100 dinar], kemarahannya dapat dibenarkan, dan belas kasihannya berubah menjadi keadilan.

Dengan bercermin pada perumpamaan ini, kita memahami bahwa di hadapan Tuhan Allah, kita tidak berbeda dengan hamba ini. Kita tidak berhak mendapatkan apapun dari Tuhan kecuali satu hal: neraka! Dosa telah menghancurkan hubungan kita dengan Tuhan, dan kita menciptakan lubang yang sangat dalam. Tidak ada yang dapat kita lakukan untuk menutup celah yang tidak terbatas ini. Hanya Tuhan yang mahakuasa yang memiliki kemampuan untuk membangun jembatan yang mustahil diseberangi ini. Syukurlah, Yesus telah meyakinkan kita bahwa Bapa-Nya juga adalah kerahiman itu sendiri. Meskipun kita tidak pantas mendapatkan apa-apa selain neraka, Tuhan telah membukakan pintu surga bagi kita.

Karena tidak ada yang bisa mendapatkan belas kasihan Tuhan, kerahiman-Nya selalu cuma-cuma, tetapi tidak berarti hal ini murahan. Tuhan ingin kita melakukan sesuatu juga untuk menerima belas kasihan-Nya. Dia mau kita untuk berbelas kasihan. Dia mengampuni kita, maka kita juga perlu mengampuni mereka yang telah menyakiti kita. Yesus sendiri mengingatkan kita bahwa kita harus berbelas kasihan seperti Bapa kita di surga yang penuh belas kasihan [Luk 6:36]. Berbelas kasihan bukanlah sekedar pilihan. Sesungguhnya, keadilanlah yang akan diterapkan pada kita di penghakiman terakhir.

Kita tahu bahwa mengampuni itu sulit, tetapi sekali lagi kita bisa belajar dari Yesus bagaimana cara mengampuni. Di kayu salib, Dia berkata, “Bapa, ampunilah mereka; karena mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan [Luk 23:34]. ” Langkah pertama adalah berdoa untuk orang-orang yang telah bersalah kepada kita. Dengan sering berdoa, kita melatih hati kita untuk melepaskan amarah dan kepahitan kita, dan bahkan belajar mengasihi seperti Tuhan mengasihi orang-orang yang memusuhi Dia.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mercy is the Option

24th Sunday in Ordinary Time [A]

September 13, 2020

Matthew 18:21-35

felix-koutchinski-QARM_X5HWyI-unsplash

 

Last Sunday, the Gospel spoke about the fraternal correction. If a brother has offended us, we are obliged to offer charitable correction. This Sunday, the Gospel tells us what to do if a person who has received a correction, is repenting and asking for forgiveness. The answer is simple: we forgive him, and we embrace him back into the communion.

Simon Peter, the spokesperson of the disciples, is trying to impress his Master. He offers that he is willing to forgive up to seven times. Simon Peter wants to show Jesus that he is also capable of having a high standard. To his surprise, Jesus is not impressed, and in fact, teaches the disciples another great lesson about justice, mercy and forgiveness.

This time, Jesus pulls out His favorite method: telling a parable, and we will appreciate the parable if we are able to recognize the historical context and its surprise. A servant owes 10,000 talents to a king. In Jesus’ time, talent is a precious gold coin, and it equals to 6,000 denarii. One denarius itself is equivalent to a wage of one day labor. Thus, this servant owes 60,000,000 days of work to His Master [or around 160,000 years of work!]. Yes, despite the unthinkably fantastic amount of debt, the king easily forgives and erases the entire debt when the servant begs for mercy. This king’s attitude is even more insane!

Therefore, when the king receives the news that this forgiven servant refuses to forgive another fellow servant with infinitely smaller debt [100 denarii], his anger is justifiable, and expectedly, his mercy turns to justice.

Reflecting this parable, we understand that before the Lord God, we are no different from this servant. We deserve nothing from the Lord except one thing: hell! Sin has destroyed our relationship with God, and we created an infinitely bottomless pit. Finite as we are, nothing we can do to close the infinite gap. Only the infinitely powerful God possesses the ability to build the impossible bridge. Fortunately, Jesus has assured us that His Father is also the Mercy Himself. Though we deserve nothing but hell, God has opened the gate of Paradise to us.

Since nobody can earn God’s mercy, His mercy is always free, but it does not mean it is cheap. God wants us to do something also to receive His mercy. He expects us to be merciful. If He forgives us, then we need to forgive those who have hurt us. Jesus Himself reminds us that we should be merciful as our Father in heaven is merciful [Luk 6:36]. Being merciful is not an option. In fact, it is the justice that will be applied to us in the final judgment.

We know that to forgive is tough, but again we may learn from Jesus how to forgive. At the cross, He said, “Father, forgive them; for they do not know what they are doing [Luk 23:34].” The first step is to pray for those people who have offended us. By praying often, we train our heart to let go of our anger and bitterness, and even to learn to love the way God loves even those people who wish Him not to exist at all.

Valentinus Bayuhadi Ruseno

Road to Emmaus, Road Back to God

3rd Sunday of Easter

April 26, 2020

Luke 24:13-35

emmaus 10The two disciples went back home to Emmaus. One of them was Cleopas, and his companion probably was his wife. Perhaps they got afraid of the Roman and Jewish authorities who might go after them after they killed Jesus, the leader. Or maybe, they just got their hope and expectation shattered when Jesus, their expected Messiah, was crucified.

Cleopas and his wife were doing what we usually do in times of sadness and troubles. They told stories and tried to make sense of what had happened. Yet, the thing did not go right. Their dialogue did not make them better. Instead, they became so depressed, and they even failed to recognize Jesus, who was very close. Indeed, we need someone to share our stories, but when this person is not prepared, despite his goodwill, our stories can go from bad to worse. We need to remember that the first dialogue in the Bible took place in the garden of Eden between Eve and the serpent.

Fortunately, Jesus intervened at the right moment. Jesus brought in the missing piece. Jesus offered the word of God. The couple was so blessed because they experienced the first-ever Bible study, and it was Jesus Himself who guided them. Yet, Jesus made it clear that they knew their scriptures, but they were lack of faith. When we read the Bible without faith, it is nothing more than a lovely and inspiring novel or an ancient and mysterious text. Only with faith, we encounter God who is telling His stories. No wonder Jesus said to them that the scriptures are about Him because Jesus is the same God who was present in the creation, who led the Hebrew peoples in their exodus, and who sent prophets to guide the Israelites in the promised land.

Cleopas and his wife remind us of the first couple who also failed to have faith in God, Adam, and Eve. After the first dialogue with Satan that led them to doom, they deserved nothing but death. Yet, God did not allow death to overcome them immediately, but instead He made them leather cloth as a sign of His protection, as well as the sign of the first blood sacrifice. When they left the beautiful garden as a consequence of their choice, it was also the last time we heard about what happened inside the garden. Why? God was no longer in the garden. He was following Adam and Eve. God did not wish they wondered even farther but guided them back to paradise. As God journeyed with Adam and Eve, he also walked with Cleopas and his wife, as they make their way to the new Eden. In the end of their journey, they recognized Jesus when He took bread, blessed, broke and shared it. These were the eucharistic gestures. They entered the new Paradise, the celebration of the Eucharist.

Our stories in life, even in the most destressing moment like now, make sense when God enters into the pictures with His stories. The journey to Emmaus sheds a brighter light on the purpose of the Holy Mass. In the Mass, we always begin with the reading of the scriptures because we are invited to see our little stories in God’s greatest stories. When we find the meaning of our lives in God, that is the time we discover Jesus alive and fresh in the breaking of the bread.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Emaus: Perjalanan kembali kepada Tuhan

Minggu Paskah ke-3

26 April 2020

Lukas 24: 13-35

road to emmaus
Rowan LeCompte (American, 1925–2014) and Irene Matz LeCompte (American, 1926-1970), “Third Station of the Resurrection: The Walk to Emmaus” (detail), 1970. Mosaic, Resurrection Chapel, National Cathedral, Washington, DC. Photo: Victoria Emily Jones. Tags: woman

Kedua murid pulang ke Emaus. Salah satunya adalah Kleopas, dan temannya mungkin adalah istrinya sendiri [lih. Yoh 19:25]. Mungkin mereka takut pada otoritas Romawi dan Yahudi yang mungkin mengejar mereka setelah mereka menghabisi Yesus, sang pemimpin. Atau mungkin, mereka merasa harapan dan mimpi mereka hancur ketika Yesus, sang Mesias yang mereka harapkan, telah disalibkan.

Kleopas dan istrinya melakukan apa yang biasanya kita lakukan di saat kesedihan dan kesulitan melanda hidup kita. Mereka saling berbagi cerita dan mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, bagi Kleopas dan istrinya, hal ini tidak berjalan dengan baik. Dialog yang terjadi tidak membuat mereka lebih baik. Sebaliknya, mereka menjadi lebih sedih, dan mereka bahkan tidak bisa mengenali Yesus, yang sebenarnya sangat dekat. Memang, kita membutuhkan seseorang untuk berbagi cerita kita, tetapi ketika orang ini tidak siap, terlepas dari niat baiknya, kondisi kita bisa menjadi semakin buruk. Kita perlu ingat bahwa dialog pertama dalam Alkitab terjadi di taman Eden antara Hawa dan sang ular!

Yesus turun tangan pada saat yang tepat. Yesus membawa bagian penting yang hilang. Yesus membawa Sabda Allah. Pasangan ini sangat diberkati karena mereka mengalami Bible Study yang pertama, dan Yesus sendirilah yang membimbing mereka. Namun, Yesus menjelaskan bahwa mereka sebenarnya tahu Kitab Suci, tetapi mereka kurang iman. Ketika kita membaca Alkitab tanpa iman, buku ini tidak lebih dari sebuah novel yang indah atau sebuah teks kuno yang penuh misteri. Hanya dengan iman, kita bisa bertemu Tuhan yang menceritakan kisah-Nya di dalam Kitab Suci ini. Tidak heran Yesus berkata kepada mereka bahwa Kitab Suci adalah tentang Dia karena Yesus adalah Allah yang sama yang hadir dalam penciptaan, yang memimpin bani Ibrani dalam eksodus mereka, dan yang mengutus para nabi untuk membimbing orang Israel di tanah terjanji.

Kleopas dan istrinya mengingatkan kita tentang pasangan pertama yang juga gagal untuk beriman kepada Allah. Mereka adalah Adam dan Hawa. Setelah dialog pertama dengan Setan yang membawa mereka pada malapetaka, mereka sebenarnya layak menerima kematian. Namun, Tuhan tidak membiarkan kematian merenggut mereka dengan segera, tetapi sebaliknya Dia membuat bagi mereka pakaian dari kulit sebagai tanda perlindungan-Nya. Ketika mereka meninggalkan taman Eden yang indah sebagai konsekuensi dari pilihan mereka, itu juga terakhir kali kita mendengar tentang apa yang terjadi di dalam taman tersebut. Mengapa? Tuhan tidak ada lagi di taman itu. Dia mengikuti Adam dan Hawa yang pergi dari Eden. Tuhan tidak ingin mereka pergi lebih jauh dari-Nya tetapi dengan sabar membimbing mereka kembali ke surga. Tuhan tidak hanya membimbing dan menemani Adam dan Hawa, Dia juga berjalan dengan Kleopas dan istrinya, dan membimbing mereka ke sebuah tempat di mana mereka menemukan ke Eden yang baru. Mereka mengenali Yesus saat Dia mengambil, memberkati, memecah-mecah dan memberikan roti kepada mereka. Mereka mengenali Yesus saat Ekaristi kudus pertama setelah kebangkitan. Ekaristi adalah Firdaus yang baru.

Kisah-kisah kita dalam kehidupan, bahkan yang paling buruk sekalipun seperti di masa pandemi ini, hanya sungguh bermakna ketika Allah menjadi bagian dari cerita kita. Perjalanan ke Emaus memberi pengertian yang lebih dalam tentang tujuan Misa Kudus. Dalam Misa, kita selalu memulai dengan membaca Kitab Suci karena kita diundang untuk melihat kisah-kisah kecil kita dalam kisah-kisah terbesar Allah. Ketika kita menemukan makna hidup kita di dalam Allah, itulah saatnya kita menemukan Yesus sungguh hidup dalam liturgi Ekaristi.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ignoring Jesus

Second Sunday of the Ordinary Time [A]

January 19, 2020

John 1:29-34

reading the bibleWe begin the ordinary time of the liturgical year. In the Church, we have three cycles of the liturgical year: A, B, and C. every year, we have a different set of readings. In year A, the Gospel readings are mainly from the Gospel of Matthew, meanwhile, year B is from Mark and year C is from Luke. The Gospel of John does not have its separate year, but the readings from John are scattered through the years, especially in the Easter season.

The first reading is usually taken from the Old Testament and it is thematically related to the Gospel. While the second reading is coming from the letters of the apostles like St. Peter, St. John and the letter to the Hebrews, yet the majority of the second reading comes from letters of St. Paul. The second readings have their own sequence and it is not necessarily thematically related to the Gospel. The reason behind why we have this kind of liturgical setting is that to help us, the regular mass-goers, to read the Scriptures together with the Church. If we are faithfully attending the mass every Sunday, or even every day, and attentive to the readings, we will have a good grasp of the Scriptures and especially the life and works of Jesus.

However, not all the Scriptures are there in the Mass. If we go every day to participate in the Eucharist for three years, we only listen to around 30 percent of the Bible. We still have 70 percent to complete the Bible! Thus, it is highly recommended that we take the initiative to read the Bible on our own. Three to four chapters a day, and hopefully, within a year, we are able to read the entire Bible cover to cover.

I guess one of the “great sickness” of Catholics nowadays is the ignorance of the Scriptures. When I ask some Catholics whether they have the Bible, they unanimously answer that they have a Bible, and in fact, they have a collection of Bible coming from different countries. However, when I inquire whether they read the Bible regularly, only a few would confidently reply that they do.

The task of reading the Bible is getting difficult in our time because young generations or the millennials and generation Z, despite their high education, prefer to playing electronic gadgets rather than to read books, and printed materials become an obsolete. Yes, it is easy now to install a Bible on our cellphone but to spend time to read it is another thing. With so many other competing applications in our handheld device, reading the Word of God is easily relegated to the sideline.

St. Jerome reminds us that ignorance of Scriptures is ignorance of Christ. Indeed, it is too easy to say “I love Jesus”, but in reality, we are ignoring Him because we never read or attentively listen to the Scriptures. St. Paul in the beginning of his letter to the Corinthians reminds us that we are called to saints or holy. And holiness for Paul is nothing but living in Christ, but how we can live in Christ, if we do not know Christ, worse ignore him? Reading a Bible on a daily basis can become a simple yet concrete act of loving Jesus, and in fact, the way to holiness as we become more and more like Christ.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Mengabaikan Yesus

Minggu Kedua dari Masa Biasa [A]

19 Januari 2020

Yohanes 1: 29-34

joseph marie lagrangeKita memulai masa biasa pada tahun liturgi ini. Di Gereja Katolik, kita memiliki tiga siklus tahun liturgi: A, B, dan C. Di setiap tahun, kita memiliki serangkaian bacaan yang berbeda. Pada tahun A, bacaan Injil terutama dari Injil Matius, sementara tahun B dari Markus dan tahun C dari Lukas. Injil Yohanes tidak memiliki tahun yang khusus, tetapi bacaan dari Yohanes tersebar di sepanjang tahun, terutama di masa Paskah.

Bacaan pertama biasanya diambil dari Perjanjian Lama dan secara tematis terkait dengan bacaan Injil. Sementara bacaan kedua berasal dari surat-surat para rasul seperti St. Petrus, St. Yohanes dan surat kepada orang-orang Ibrani, namun mayoritas bacaan kedua berasal dari surat-surat St. Paul. Bacaan kedua memiliki urutannya sendiri dan tidak harus secara tematis terkait dengan Injil. Alasan di balik mengapa kita memiliki pengaturan liturgi semacam ini adalah untuk membantu kita untuk membaca Kitab Suci bersama dengan Gereja. Jika kita dengan setia menghadiri misa setiap hari Minggu, atau bahkan setiap hari, dan memperhatikan bacaan, kita akan memiliki pemahaman umum yang baik tentang Kitab Suci dan khususnya kehidupan dan karya Yesus.

Namun, tidak semua Alkitab ada dalam tahun liturgi ini. Jika kita pergi setiap hari untuk berpartisipasi dalam Ekaristi selama tiga tahun, kita hanya mendengarkan sekitar 30 persen dari Alkitab. Kita masih memiliki 70 persen untuk menyelesaikan Alkitab! Karena itu, sangat disarankan agar kita mengambil inisiatif untuk membaca Alkitab sendiri. Tiga hingga empat bab sehari, dan semoga, dalam waktu satu tahun, kita dapat membaca seluruh Alkitab.

Salah satu “penyakit berat” yang menjakiti umat Katolik dewasa ini adalah ketidaktahuan akan Kitab Suci. Ketika saya bertanya kepada beberapa orang Katolik apakah mereka memiliki Alkitab, mereka dengan mantab menjawab bahwa mereka memiliki Alkitab, dan pada kenyataannya, mereka memiliki lebih dari satu Alkitab di rumah. Namun, ketika saya menanyakan apakah mereka membaca Alkitab secara teratur, hanya sedikit yang akan menjawab dengan yakin.

Tugas membaca Alkitab semakin sulit di zaman kita karena generasi muda atau genarasi milenial dan generasi Z, meskipun berpendidikan tinggi, lebih suka bermain gadget elektronik daripada membaca buku. Ya, sekarang mudah untuk menginstal Alkitab di ponsel kita, tetapi meluangkan waktu untuk membacanya adalah hal lain. Dengan begitu banyak aplikasi lain yang bersaing dalam perangkat genggam kita, membaca Firman Tuhan dengan mudah dikesampingkan, dan bahkan kadang-kadang kita lupa ada Kitab Suci di HP kita.

St. Heronimus mengingatkan kita bahwa mengabaikan Kitab Suci adalah sama saja dengan mengabaikan Kristus. Memang, sangat mudah untuk mengatakan “Aku cinta Yesus”, tetapi dalam kenyataannya, kita mengabaikan Dia karena kita tidak pernah membaca atau mendengarkan dengan penuh perhatian Kitab Suci. Santo Paulus di awal surat pertamanya kepada jemaat Korintus mengingatkan kita bahwa kita dipanggil untuk orang-orang kudus. Dan kekudusan bagi Paulus tidak lain adalah hidup di dalam Kristus, tetapi bagaimana kita dapat hidup di dalam Kristus, jika kita tidak mengenal Kristus, lebih buruk mengabaikannya? Membaca Alkitab setiap hari dapat menjadi tindakan sederhana namun konkret untuk mengasihi Yesus, dan pada kenyataannya, jalan menuju kekudusan saat kita menjadi semakin mirip Kristus.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Jesus, Women, and Perseverance

29th Sunday in Ordinary Time [C] – October 20, 2019 [Luke 18:1-8]

widowsThe widows are one of the most disfranchised groups in ancient Israel. In those times, women, in general, were considered to be less human. Every time a Jewish man in first-century Palestine woke up, he would pray and thank the Lord for he was not born as a Gentile, a slave or a woman. Often, women were treated as the properties of the patriarchs. While adult men were working outside the house, women were expected to stay behind to take care of the children and the household. Since many women were supported by their husbands, being a widow means loss of both financial foothold and honor. They were lucky if they had mature sons who would take care of them, but those widows without sons were the most pitiful.

However, Jesus comes to bring a fresh air of transformation. Especially, the Gospel of Luke, Jesus allows women to seize the center stage, and be protagonists. Jesus calls both men and women to follow Him and become His disciples. Jesus even allows Himself to be supported by the women [Luk 8:1]. Jesus has a close friendship with Martha and Mary [Luk 10:38-42]. Jesus places women as the main character of his parables like the story of the lost coin [Luk 15:8-10]. Today’s parable is even mind-blogging. Jesus presents a widow, representing the weakest group in the Jewish community, who is persistently pushing her cause against a corrupt judge, the most powerful person in the society. Beyond any expectation, the widow won her cause!

From this parable, we may learn several lessons. Firstly, the key to success is perseverance. While the context of our parable is on how we to pray, the value of perseverance can be applied also in many aspects of our life, like study, work, friendship, relationship, family life, and happiness. If we want to succeed, we need to be persistence and persevering. There is a saying attributed to Thomas Edison, “Success is one percent of inspiration, and ninety-nine perspiration.” Another one is by Isaac Newton, “If I have ever made any valuable discoveries, it has been owing more to patient attention, than to any other talent.” However, the problem with this view is that it is all about my persistence, my success, my glory. It is just too narrow and self-centered.

The second lesson we can draw from this parable is that Jesus empowers the women of His time and allows them to take leading roles. By doing this, Jesus introduces a wider understanding of salvation. When we encounter the word “salvation”, the first that comes to our mind is the salvation from sin, from sickness or from evil spirits. While this understanding is true, it does not capture the bigger mission of Jesus. Salvation also means to lead back into God’s original plan for the world. In the beginning, men and women were created equal in dignity despite their different roles and characters. It was because of sin that men and women were facing each other as enemies. Jesus is building the Kingdom of God, where men and women become truly the image of God. Yet, this is not easy because it is not only about our individual success and happiness. Thus, we need a lot of perseverance because if we want to follow Jesus and His mission of the Kingdom for all, we need to go even against our own selfish interest.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Yesus, Perempuan dan Ketekunan

Minggu ke-29 dalam Masa Biasa [C] – 20 Oktober 2019 [Lukas 18: 1-8]

persistent widowPara janda adalah salah satu kelompok yang paling terpinggirkan di Israel kuno. Pada masa itu, wanita pada umumnya dianggap sebagai manusia yang lebih rendah. Setiap kali seorang pria Yahudi di Palestina abad pertama bangun, dia akan berdoa dan bersyukur kepada Tuhan karena dia tidak dilahirkan sebagai orang bukan Yahudi, budak atau wanita. Seringkali, perempuan diperlakukan sebagai properti para kepala keluarga. Sementara para pria dewasa bekerja di luar rumah, para perempuan diharapkan tetap tinggal untuk menjaga anak-anak dan rumah. Karena banyak perempuan yang tergantung pada suami mereka, menjadi janda berarti kehilangan pijakan ekonomi dan kehormatan. Mereka beruntung jika mereka memiliki putra yang dewasa yang akan merawat mereka, dan ini membuat para janda tanpa putra adalah yang paling menyedihkan.

Namun, Yesus datang untuk membawa angin segar perubahan. Terutama, di Injil Lukas, Yesus mengizinkan perempuan untuk berada di panggung utama, dan menjadi protagonis. Yesus memanggil pria dan wanita untuk mengikuti-Nya dan menjadi murid-Nya. Yesus bahkan membiarkan diri-Nya didukung oleh para wanita [Luk 8: 1]. Yesus memiliki persahabatan dekat dengan Marta dan Maria [Luk 10: 38-42]. Yesus menempatkan perempuan sebagai karakter utama dari perumpamaan-perumpamaannya seperti kisah koin yang hilang [Luk 15: 8-10]. Perumpamaan hari ini bahkan sangat mengejutkan. Yesus menghadirkan seorang janda, yang mewakili kelompok terlemah dalam komunitas Yahudi, yang terus-menerus berurusan dengan hakim yang korup, yang sejatinya adalah orang yang paling kuat di masyarakat. Tanpa disangka, janda itu memenangkan perjuangannya!

Dari perumpamaan ini, kita dapat melihat beberapa nilai. Pertama, kunci kesuksesan adalah ketekunan. Sementara konteks perumpamaan kita adalah tentang bagaimana kita berdoa, nilai ketekunan dapat diterapkan juga dalam banyak aspek kehidupan kita, seperti belajar, bekerja, persahabatan, relasi, keluarga dan kebahagiaan. Jika kita ingin sukses, kita harus gigih, tekun, dan ulet. Ada pepatah yang berasal dari Thomas Alva Edison, “Sukses adalah satu persen inspirasi, dan sembilan puluh sembilan keringat.” Perkataan bijak lain adalah oleh Isaac Newton, “Jika saya pernah membuat penemuan berharga, itu lebih karena perhatian dan kesabaran, daripada talenta-talenta yang lain.” Namun, permasalahan dengan pandangan ini adalah bahwa ini semua tentang kegigihan saya, kesuksesan saya, kemuliaan saya. Itu terlalu sempit dan egois.

Pelajaran kedua yang dapat kita ambil dari perumpamaan ini adalah bahwa Yesus memberdayakan para perempuan pada zaman-Nya dan memungkinkan mereka untuk mengambil peran utama. Dengan melakukan ini, Yesus memperkenalkan pemahaman yang lebih luas tentang arti keselamatan. Ketika kita berhadapan dengan kata “keselamatan”, hal pertama yang muncul di pikiran kita adalah keselamatan dari dosa, dari penyakit atau dari roh jahat. Sementara pemahaman ini benar, ini tidak mewakili misi Yesus yang lebih besar. Keselamatan juga berarti mewujudkan kembali ke rencana awal Allah bagi dunia. Pada awalnya, laki-laki dan perempuan diciptakan setara dalam martabat meskipun peran dan karakter mereka berbeda. Karena dosa laki-laki dan perempuan saling berhadapan sebagai musuh. Yesus sedang membangun Kerajaan Allah, di mana pria dan wanita benar-benar menjadi gambar Allah. Namun, ini tidak mudah karena ini bukan hanya tentang kesuksesan dan kebahagiaan individu kita. Karena itu, kita membutuhkan banyak ketekunan karena jika kita ingin mengikuti Yesus dan misi Kerajaan-Nya bagi semua orang, kita perlu melawan kepentingan egois kita sendiri.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP