Featured

True Happiness and Where to Find It

6th Sunday of Easter [B]
May 5, 2024
John 15:9-17

Happiness is a result of fulfilling our needs and desires. Since human beings have different needs, we also experience various kinds of happiness. We feel happy when we satisfy our hunger and complete our studies, but we also recognize that these are two distinct forms of happiness. Some types of happiness are emotionally intense but short-lived. Others do not give us thrills but are profound and lasting. Then, what kind of happiness do we need to set our eyes on?

To understand human needs, desires, and happiness, we need to understand who we are as a human person. We are beings with biological needs, and fulfilling these needs guarantees our survival. That is why things like good food, nice clothes and a proper house give us immediate pleasure. Part of our biological needs is the need to reproduce. Since this need relates to our basic survival as a species, nature has designed us to experience the most intense pleasure, but it also tends to be short-lived.

Yet, we are also beings with psychological needs. We look for emotional comfort, affirmation, and support. We do not only seek things to satisfy us but also other people who love us and to whom we express our emotions. The fulfilment of psychological needs yields more profound happiness and helps to counter various mental problems and disorders.

More than that, we are also beings with intellect and will. We also have a need to seek the truth and express our freedom and creativity. However, unlike other needs, this intellectual need requires us to spend a lot of effort and time, and often, it does not give us immediate, intense, emotionally charged pleasures. Yet, we know that though a good education is challenging and demands a lot of resources, its completion brings us profound satisfaction. Through education, we have grown, acquired skills and knowledge, and become better persons.

However, the Gospel teaches us that we are not only beings with biological, psychological, and intellectual needs. We are created not only for this earth. As the image of God, we are designed to go beyond this earthly life. The fathers of the Church speak of the human person as ‘capax Dei,’ that is ‘capable of God.’ Men and women are created for God. Then, how do we fulfil this spiritual need?

If we notice the dynamics between needs and happiness, we discover that the higher the needs, the more profound and lasting happiness we receive. Yet, the high-level needs require a higher level of effort. Consequently, to fulfil our need for God, we must be ready to give the most extraordinary effort, offering ourselves. More concretely, Jesus teaches us the way of true love, and the greatest love is to offer our lives to the persons we love. This is the paradox of true happiness. While other types of happiness are related to fulfilling needs for ourselves (we are the center), spiritual joy is moving away from ourselves. The more we are losing ourselves in love, the more we are open to God, the more we experience heavenly joy here on earth.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Kebahagiaan Sejati dan Di Mana Menemukannya

Minggu ke-6 Paskah [B]
5 Mei 2024
Yohanes 15:9-17

Manusia ingin bahagia, dan kebahagiaan sendiri datang dari terpenuhinya kebutuhan dan keinginan kita. Karena manusia adalah makhluk yang memiliki berbagai jenis kebutuhan, maka manusia juga mengalami berbagai jenis kebahagiaan. Sebagai contoh, kita merasa senang saat kita kenyang, dan kita juga merasa senang saat kita lulus sekolah, namun kita menyadari bahwa ini adalah dua bentuk kebahagiaan yang berbeda. Yang pertama bahagianya terasa intens tapi singkat, sementara yang kedua, tidak intens tapi mendalam. Lalu, kebahagiaan seperti apa yang perlu kita cari?

Untuk memahami kebahagiaan manusia, kita perlu memahami bahwa kita, manusia, adalah makhluk yang memiliki banyak jenis kebutuhan. Ada kebutuhan biologis, psikologis, dan intelektual. Kebutuhan biologis seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal, dan jika terpenuhi, akan menjamin kelangsungan hidup kita. Inilah sebabnya hal-hal ini memberi kita kesenangan secara cepat dan intens. Karena jika tidak memberikan rasa bahagia yang cepat, maka manusia akan menunda untuk mencari makan, dan terlalu lalu lama menunda maka kita akan mati.

Selain kebutuhan biologis, kita juga memiliki kebutuhan psikologis. Kita mencari kenyamanan, afirmasi, dan dukungan emosional. Kita membutuhkan orang-orang yang menyayangi kita dan juga kita butuh untuk mengekspresikan emosi kita dengan baik. Pemenuhan kebutuhan psikologis menghasilkan kebahagiaan yang lebih mendalam dan membantu mengatasi berbagai masalah dan gangguan mental.

Lebih dari itu, kita juga adalah makhluk yang memiliki akal budi dan kehendak bebas. Akal budi membuat kita mencari kebenaran, sementara kehendak bebas mendorong kita untuk mengekspresikan kebebasan dan kreativitas kita. Namun, tidak seperti kebutuhan lainnya, kebutuhan intelektual ini menuntut kita untuk mengeluarkan banyak usaha dan waktu, dan sering kali tidak memberikan kita kesenangan yang cepat dan intens. Contohnya, menyelesaikan pendidikan yang baik menuntut banyak waktu dan tenaga. Namun, saat kita bisa menyelesaikan pendidikan, kita akan mengalami kepuasan yang jauh lebih mendalam dari sekedar makan kenyang. Karena kita tahu bahwa, melalui pendidikan, kita telah bertumbuh, memperoleh keterampilan dan pengetahuan, dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Namun, Injil mengajarkan bahwa kita bukan hanya makhluk yang memiliki kebutuhan biologis, psikologis, dan intelektual. Kita diciptakan tidak hanya untuk dunia ini. Sebagai citra Allah, kita dirancang untuk melampaui kehidupan duniawi ini. Para Bapa Gereja berbicara tentang pribadi manusia sebagai ‘capax Dei’, yang berarti ‘mampu untuk (hidup bersama) Allah.’ Dengan kata lain, pria dan wanita diciptakan untuk hidup bersama Tuhan. Lalu, bagaimana kita memenuhi kebutuhan rohani ini?

Jika kita memperhatikan dinamika antara kebutuhan dan kebahagiaan, kita akan menemukan bahwa semakin tinggi jenis kebutuhan yang kita penuhi (seperti kebutuhan intelektual), semakin dalam kebahagiaan yang kita terima. Namun, jenis kebutuhan yang tinggi membutuhkan usaha yang lebih tinggi pula. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan kita akan Tuhan (kebutuhan yang paling tinggi), kita harus siap untuk memberikan usaha yang paling luar biasa, yakni mempersembahkan diri kita sendiri. Bagaimana caranya?

Yesus mengajarkan bahwa kasih yang paling besar adalah mempersembahkan hidup kita kepada orang yang kita kasihi. Inilah paradoks dari kebahagiaan sejati. Sementara jenis kebahagiaan lainnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan untuk diri kita sendiri (kita adalah pusatnya), sukacita rohani bergerak berlawan arah, yakni pengosongan diri. Semakin kita kehilangan diri kita sendiri dalam kasih, semakin kita terbuka kepada Tuhan, semakin kita mengalami sukacita surgawi di dunia ini.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

God’s Word Prunes Us

5th Sunday of Easter [B]

April 28, 2024

John 15:1-8

Jesus is the vine, and we are His branches. He then declares that unfruitful branches will be cut, and healthy ones shall be ‘pruned.’ In fact, Jesus says, “You are already pruned because of the word that I spoke to you (John 15:3).” What does it mean? How does His word prune us? What is Jesus’ purpose?

If we have the opportunity to visit a vineyard, we will see how the vinedressers work. Among the things that they do is to cut the unhealthy and dead branches and prune the healthy ones. Pruning itself may include removing dead or unhealthy parts of the plant so that the vine may supply its nutrients to healthy branches. But also, the vinedressers would trim and slim down some overgrown branches since these branches typically don’t yield good grapes and suck up nutrients from their neighbour branches. All are done for one purpose: to produce a good quality grape.

Then, how does Jesus’ word prune us, the branches? Firstly, we recognize that we are creatures of language. The language we listen to and learn form who we are. Children who used to hear violent words tend to grow to be violent persons. Children who are fed with discouraging words tend to have low self-esteem. Yet, children who are never told words of proper corrections and discipline may become weak characters who always blame others. Children need to hear both encouraging and loving words as well as words of constructive corrections. Good words will make them grow confident, and proper discipline will make them avoid failures and dangers in the future.

It is the same with the Word of God. Listening to God’s word in the Bible, we discover many affirming words and heart-warming stories. Yet, the same Bible contains words, instructions, and stories that are strong and even demanding. The Gospel has lovely stories like those of Jesus, who blessed children and embraced sinners. Yet, the same Bible narrates Jesus, who said, “repent from our sins and believe in the Gospel.” Jesus, who opens the heavens for all of us, is also the same Jesus who teaches the reality of hell.   

Listening to the holy Scriptures every Sunday in the Eucharist, or even every day in our personal reading, allows God’s word to prune us. If we also do our parts to meditate on the words and internalize them, we are growing in holiness. In times of trials, God’s words strengthen us to hope. When in doubt, God’s words give clarity of faith. When we do wrong, God’s words correct us and invite us to repentance. When in fear, God’s words encourage us to love more and do good works. This is spiritual fruitfulness.

Another exciting thing also is that John used the word ‘καθαίρω’ (kathairo, I clean). This word can mean the act of pruning in the context of a vineyard, but the same word is used to describe Jesus’ act in healing the leper (see Mark 1:40-41). God’s words do not only prune our characters but also directly heal and purify our souls. The Church teaches us that we receive indulgences when we read the Bible for at least 30 minutes in a prayerful way. Have you read God’s words today?

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Sabda Tuhan Membentuk Kita

Minggu ke-5 Paskah [B]

28 April 2024

Yohanes 15:1-8

Yesus adalah pokok anggur, dan kita adalah ranting-ranting-Nya. Dia kemudian menyatakan bahwa ranting yang tidak berbuah akan dipotong, dan ranting yang sehat akan ‘dibersihkan’. Bahkan, Yesus berkata, “Kamu telah dibersihkan karena firman yang telah Kukatakan kepadamu (Yohanes 15:3).” Apa artinya? Bagaimana firman-Nya ‘membersihkan’ kita?

Jika kita berkesempatan untuk mengunjungi kebun anggur, kita akan melihat bagaimana para petani anggur bekerja. Di antara hal-hal yang mereka lakukan untuk ‘membersihkan’ pohon anggur adalah dengan memotong ranting-ranting yang tidak sehat dan mati serta memangkas ranting-ranting yang sehat. ‘Pembersihan’ itu sendiri dilakukan agar pokok anggur dapat memasok nutrisinya ke cabang dan ranting yang sehat. Tetapi juga, para tukang kebun anggur akan memangkas dan merampingkan beberapa ranting yang tumbuh terlalu besar karena ranting ini biasanya tidak menghasilkan buah anggur yang baik dan menyedot nutrisi dari ranting-ranting di sekitarnya. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan: menghasilkan anggur berkualitas baik.

Lalu, bagaimana firman Yesus memangkas ranting-ranting kita? Pertama, kita menyadari bahwa kita adalah makhluk yang menggunakan bahasa. Bahasa yang kita dengarkan dan pelajari membentuk diri kita. Anak-anak yang terbiasa mendengar kata-kata kasar cenderung bertumbuh menjadi pribadi yang kasar. Anak-anak yang terus diberi kata-kata celaan cenderung memiliki self-esteem yang rendah. Namun, anak-anak yang tidak pernah diberitahu kata-kata koreksi dan disiplin yang tepat akan menjadi karakter yang lemah dan selalu menyalahkan orang lain. Anak-anak perlu mendengar kata-kata yang membesarkan hati dan penuh kasih dan juga kata-kata koreksi yang membangun. Kata-kata yang baik akan membuat mereka tumbuh percaya diri, dan disiplin yang tepat akan membuat mereka terhindar dari kegagalan dan bahaya di masa depan.

Demikian pula halnya dengan Firman Tuhan. Mendengarkan firman Tuhan dalam Alkitab, kita menemukan banyak kata-kata yang meneguhkan dan kisah-kisah yang menghangatkan hati. Namun, Alkitab yang sama juga berisi kata-kata, instruksi, dan kisah-kisah yang kuat dan bahkan menuntut. Injil memiliki kisah-kisah yang indah seperti kisah Yesus, yang memberkati anak-anak dan merangkul orang-orang berdosa. Namun, Alkitab yang sama juga menceritakan tentang Yesus yang berkata, “bertobatlah dari dosa-dosamu dan percayalah kepada Injil.” Yesus, yang membuka surga bagi kita semua, juga merupakan Yesus yang sama yang mengajarkan realitas neraka.  

Mendengarkan Kitab Suci setiap hari Minggu dalam Ekaristi, atau bahkan setiap hari dalam bacaan pribadi kita, memungkinkan firman Tuhan untuk membentuk kita. Jika kita juga melakukan bagian kita untuk merenungkan firman dan menghayatinya, kita bertumbuh dalam kekudusan. Pada saat pencobaan, firman Tuhan menguatkan kita untuk berharap. Saat ragu, firman Tuhan memberikan kejelasan iman. Ketika kita melakukan kesalahan, firman Tuhan mengoreksi kita dan mengundang kita untuk bertobat. Ketika dalam ketakutan, firman Tuhan mendorong kita untuk lebih mengasihi dan melakukan perbuatan baik. Inilah panen anggur rohani.

Hal lain yang menarik adalah Yohanes menggunakan kata ‘καθαίρω’ (kathairo, aku membersihkan). Kata ini dapat berarti tindakan pemangkasan dalam konteks kebun anggur, tetapi kata yang sama juga digunakan untuk menggambarkan tindakan Yesus menyembuhkan orang kusta (lihat Markus 1:40-41). Firman Tuhan tidak hanya membentuk karakter kita, tetapi juga secara langsung menyembuhkan dan memurnikan jiwa kita. Gereja mengajarkan bahwa kita menerima indulgensi ketika kita membaca Alkitab dalam kondisi doa dan setidaknya selama 30 menit. Sudahkah kita membaca firman Tuhan hari ini?

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Vocation and Profession

4th Sunday of Easter [B]

April 21, 2024

John 10:11-18

Profession and vocation look similar and can even be interchanged. A woman, feeling a calling to heal others, chooses to pursue a career as a doctor. After years of training, she begins to work at a hospital or clinic, serve her patients, and earn a living. In this example, there is no significant difference between a profession and a vocation. But, looking deeper, the two are fundamentally different. However, what are the differences? How does this affect our faith and lives?

Simply put, professions are what we do, and vocations are who we are. The former is about ‘doing,’, and the latter is about ‘being.’ We do professions for a living, whereas vocations are our lives. The professions remain as long as we work or are employed, but when we are no longer working, we lose that profession or change to another. However, vocations define who we are. We do not lose our vocations when we stop working; in fact, our vocation gives identity to our actions. Some vocations only stop when we die, but some go into eternity.

Jesus, the Good Shepherd, is the best example we have. Jesus distinguishes Himself from ‘the hired men’ who do the same stuff as the shepherd but for profit. Thus, they will prioritize themselves, run, and abandon the flock when dangers come. Jesus’ vocation is shepherd; consequently, the sheep are an integral part of Jesus’ identity. Without sheep, a shepherd cannot be a shepherd. Yet, it is not enough to accept one’s vocation; we must live fully our vocations fully. Like Jesus, it is not enough to be any shepherd; Jesus chooses to be the ‘good’ shepherd, one who sacrifices his life for the salvation of his sheep.

There are different types of vocations in the Catholic Church. Firstly, our vocation is to be Christians. Then, we have those called to married lives, as husbands and wives, to families, fathers, and mothers. Some are also called to become religious women and men, as well as ordained ministers. These are vocations because they tell us about our identity, mission, and life. As a father, one does not simply do the fatherly stuff; in everything he does, he does it as a father. The same goes for other vocations.

One day, a parishioner came and told me that she had just had a miscarriage. She was distraught. Losing her baby daughter was extremely painful, and without a child, she believed that she had failed to be a mother. Then, I told her that she did not fail, and once she was a mother, she was always a mother. Even though she lost her daughter on earth, she still had her in the afterlife. The Catholic faith teaches that she must keep loving and caring for her daughter, albeit in different ways, spiritually. Her vocation as a mother is everlasting.

We all have our vocations, but it is not enough to accept them. Like Jesus, the good shepherd, we must choose to live our vocations fully.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Panggilan dan Profesi

Minggu ke-4 Paskah [B]

21 April 2024

Yohanes 10:11-18

Profesi dan panggilan sepertinya dua hal yang serupa. Seorang perempuan merasa bahwa ia terpanggil untuk menyembuhkan orang lain dan memutuskan untuk menjadi seorang dokter. Setelah bertahun-tahun menjalani pelatihan, ia mulai bekerja di rumah sakit atau klinik, melayani pasien, dan akhirnya membantu menyembuhkan orang yang sakit dan juga menghidupi dirinya dan keluarganya. Dari contoh ini, tidak ada perbedaan yang signifikan antara profesi dan panggilan. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, dua hal ini pada dasarnya berbeda. Namun, apa saja perbedaannya? Dan bagaimana hal ini mempengaruhi iman dan kehidupan kita?

Sederhananya, profesi adalah apa yang kita lakukan, dan panggilan adalah siapa diri kita. Profesi adalah tentang ‘aksi’, dan panggilan adalah tentang ‘identitas’. Kita melakukan profesi untuk mencari nafkah, sementara panggilan adalah hidup kita. Profesi tetap ada selama kita bekerja atau dipekerjakan, tetapi ketika kita tidak lagi bekerja, kita kehilangan profesi tersebut atau beralih ke profesi lain. Namun, panggilan mendefinisikan siapa diri kita. Kita tidak kehilangan panggilan kita ketika kita berhenti bekerja; pada kenyataannya, panggilan kita memberikan identitas pada setiap tindakan kita. Beberapa panggilan hanya berhenti ketika kita mati, tetapi beberapa lainnya berlanjut hingga kekekalan.

Contoh terbaik yang kita miliki adalah Yesus, gembala yang baik. Yesus membedakan diri-Nya dengan ‘orang-orang upahan’ yang melakukan hal yang sama seperti gembala tetapi hanya untuk mendapatkan keuntungan. Dengan demikian, mereka akan memprioritaskan diri mereka sendiri, sehingga mereka lari dan meninggalkan kawanan domba ketika bahaya datang. Panggilan Yesus adalah sebagai gembala, oleh karena itu, domba-domba-Nya adalah bagian integral dari identitas Yesus. Seorang gembala bukanlah gembala tanpa domba-dombanya. Namun, tidak cukup hanya dengan menerima panggilan; kita harus menghidupi panggilan kita sepenuhnya. Seperti Yesus, tidak cukup hanya menjadi gembala biasa, tetapi Yesus memilih untuk menjadi gembala yang baik, gembala yang mengorbankan nyawa-Nya demi keselamatan domba-domba-Nya.

Ada beberapa jenis panggilan dalam Gereja Katolik. Pertama, panggilan kita adalah menjadi orang Kristen. Kemudian, ada yang dipanggil untuk hidup berumah tangga, sebagai suami dan istri, untuk berkeluarga, menjadi ayah dan ibu. Beberapa orang juga dipanggil untuk menjadi rohaniawan wanita dan pria, serta menjadi imam yang ditahbiskan. Semua itu merupakan panggilan karena panggilan-panggilan itu membentuk identitas, misi, dan kehidupan kita. Sebagai seorang bapa, dia tidak hanya melakukan hal-hal yang kebapakan; dalam segala hal yang ia lakukan, ia melakukannya sebagai seorang bapa. Hal yang sama juga berlaku untuk panggilan-panggilan lainnya.

Suatu hari, seorang umat datang dan menceritakan bahwa dia baru saja mengalami keguguran. Dia sangat sedih. Kehilangan bayi perempuannya sangat menyakitkan, dan tanpa seorang anak, dia percaya bahwa dia telah gagal menjadi seorang ibu. Kemudian, saya mengatakan bahwa dia tidak gagal, dan sekali dia menjadi seorang ibu, dia akan selalu menjadi seorang ibu. Meskipun ia kehilangan putrinya di dunia, ia masih memiliki putrinya di alam sana. Iman Katolik mengajarkan bahwa ia harus tetap mencintai putrinya meskipun dengan cara yang berbeda, yaitu dengan cara rohani. Panggilannya sebagai seorang ibu adalah abadi.

Kita semua memiliki panggilan, tetapi tidak cukup hanya dengan menerimanya. Seperti Yesus, gembala yang baik, kita harus memilih untuk menghidupi panggilan kita sepenuhnya.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

The Church and the Gospel

3rd Sunday of Easter [B]
April 14, 2024
Acts 3:13-15, 17-19

The first reading gives us St. Peter’s first preaching at the Pentecost. After the Holy Spirit descended upon the disciples, they began speaking about the great wonders God had performed in different languages. Some people who witnessed the event thought that they were drunk. However, St. Peter, as the leader of the apostles, denied this allegation and went further to preach the Gospel (see Acts 2). This was the first Gospel proclaimed by the Church. What is this Gospel, and what is its content?

Gospel (εὐαγγέλιον, euangelion) originally refers to the imperial announcement of great news that affects many lives in the Roman empire, like the ascension of the new emperor or the major war victories. Jesus adopted the term as He proclaimed the ‘Gospel of God’ (see Mar 1:14). Then, guided by the Holy Spirit, the Church, through her leaders, especially Peter, embraced the same vocabulary in his preaching.

The Gospel that the primitive Church proclaimed focuses on Jesus and what God of Israel did to Him. Peter said that out of ignorance, some Jewish leaders handed Jesus to the Roman authority to be crucified. By doing that, the author of life was denied and put to death. Yet, God raised Him from the dead. Through this great twist of events, God has fulfilled what he had announced through the prophets. The summary of the Gospel is the death and resurrection of Jesus Christ as the fulfillment of God’s plan (see also 1 Cor 15:1-6).

Yet, the good news does not stop there. Though the Jews, the Romans, and all of us, through our sins, have a share in the death of Christ, it does not mean that we are all forever condemned. In fact, through His death and resurrection, He has brought the grace of salvation. Yet again, to make this grace effective in our lives, we must open ourselves and accept it. How to do that? St. Peter explicitly says, “Repent and be converted!”

‘I repent’ in Greek is ‘μετανοέω’ (metanoeo), and this word suggests a transformation (meta) of mindset (nous). While ‘I convert’ in Greek is ‘ἐπιστρέφω’ (epistrepho), and this verb indicates a physical movement of turning back or away. Therefore, two words point both to internal renewal and external manifestation of repentance. To believe in the Gospel is not enough to mentally say, “I accept Jesus Christ in my heart” or “I believe in His resurrection,” but we continue to live in our sinful ways. On the other hand, if we perform many services and attend many prayers but do not enthrone Jesus in our hearts, it is mere showoff or even narcissistic.

This is the Gospel that the Church preaches, and since we are part of the Church, we are also responsible for sharing and living the Gospel. We announce to our families, friends, neighbors, and indeed all people. Yet, the Gospel is never a burden but rather a proof of love. If we love our brothers and sisters, then we desire the best for them, that is their salvation. Thus, preaching the Gospel is necessary to offer them this gift of salvation.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Gereja dan Injil

Minggu ke-3 Paskah [B]

14 April 2024

Kisah Para Rasul 3:13-15, 17-19

Bacaan pertama menceritakan pewartaan pertama Santo Petrus pada hari Pentekosta. Setelah Roh Kudus turun ke atas para murid, mereka mulai berbicara tentang karya-karya besar Tuhan dalam berbagai bahasa. Beberapa orang yang menyaksikan peristiwa itu mengira bahwa mereka sedang mabuk. Namun, Santo Petrus, sebagai pemimpin para rasul, menyanggah tuduhan ini dan menggunakan kesempatan itu untuk pemberitaan Injil (lihat Kisah Para Rasul 2). Inilah Injil pertama yang diberitakan oleh Gereja. Apakah Injil ini? Apa isinya? Apa dampaknya bagi kita sekarang?

Injil (εὐαγγέλιον, euangelion) pada mulanya merujuk kepada pemberitahuan kekaisaran tentang berita besar yang mempengaruhi nasib banyak orang di kekaisaran Romawi, seperti naiknya kaisar yang baru atau kemenangan besar dalam peperangan. Yesus menggunakan istilah ini ketika Ia memberitakan ‘Injil Allah’ (lihat Mar 1:14). Kemudian, dibimbing oleh Roh Kudus, Gereja, melalui para pemimpinnya, terutama Petrus, menggunakan kosakata yang sama dalam khotbahnya.

Injil yang diberitakan oleh Gereja perdana berfokus pada Yesus dan apa yang dilakukan oleh Allah Israel kepada-Nya. Petrus mengatakan bahwa karena ketidaktahuan, beberapa pemimpin Yahudi menyerahkan Yesus kepada penguasa Romawi untuk disalibkan. Dengan melakukan hal itu, Sang Pencipta kehidupan disangkal dan dihukum mati. Namun, Allah membangkitkan Dia dari antara orang mati. Melalui peristiwa yang luar biasa ini, Allah telah menggenapi apa yang telah Dia nubuatkan melalui para nabi. Kesimpulan dari Injil adalah kematian dan kebangkitan Yesus Kristus sebagai penggenapan dari rencana Allah (lihat juga 1 Kor. 15:1-6).

Namun, kabar baik tidak berhenti sampai di situ. Meskipun orang-orang Yahudi, Romawi, dan kita semua, melalui dosa-dosa kita, memiliki andil dalam kematian Kristus, itu tidak berarti bahwa kita semua akan dihukum selamanya. Bahkan, melalui kematian dan kebangkitan-Nya, Dia telah membawa rahmat keselamatan. Namun sekali lagi, untuk membuat rahmat ini efektif dalam hidup kita, kita harus membuka diri dan menerimanya. Bagaimana caranya? Santo Petrus mengatakan, “Bertobatlah dan berpalinglah! (Kis 3:19)”

‘Saya bertobat’ dalam bahasa Yunani adalah ‘μετανοέω’ (metanoeo), dan kata ini menunjukkan sebuah perubahan (meta) pola pikir (nous). Sementara ‘Saya berpaling’ dalam bahasa Yunani adalah ‘ἐπιστρέφω’ (epistrepho), dan kata kerja ini menunjukkan gerakan fisik untuk mengubah haluan. Oleh karena itu, dua kata tersebut menunjuk baik pada pembaruan internal dan juga manifestasi eksternal dari pertobatan. Percaya kepada Injil tidak cukup hanya dengan mengatakan dalam hati, “Saya menerima Yesus Kristus di dalam hati” atau “Saya percaya kepada kebangkitan-Nya”, tetapi kita terus hidup dalam dosa. Di sisi lain, jika kita melakukan banyak amal dan menghadiri banyak doa tetapi tidak mentakhtakan Yesus di dalam hati kita, itu hanyalah pamer atau bahkan narsis.

Inilah Injil yang diberitakan oleh Gereja, dan karena kita adalah bagian dari Gereja, kita juga bertanggung jawab untuk mewartakan dan menghidupi Injil. Kita memberitakan Injil kepada keluarga, teman, sesama, dan tentu saja kepada semua orang. Namun, Injil tidak pernah menjadi sebuah beban, melainkan sebuah bukti kasih. Jika kita mengasihi saudara-saudari kita, maka kita menginginkan yang terbaik bagi mereka, yaitu keselamatan mereka. Dengan demikian, memberitakan Injil adalah penting untuk menawarkan kepada mereka karunia keselamatan ini.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Holiness and Mercy

2nd Sunday of Easter – Divine Mercy [B]

April 7, 2024

John 20:19-31

The second Sunday of Easter is also known as the Divine Mercy Sunday. Though the title is relatively recent (St. John Paul II established this celebration on April 30, 2000), the truth about divine mercy is essential part of God’s characteristics revealed in the Bible.  How do we understand divine mercy and how do we practice mercy to others?

Mercy is related to the word ‘rahamim,’ which is rooted in the word ‘Rahim’ meaning ‘womb.’ Thus, ‘rahamim’ implies a mother’s natural feelings and attitude toward her children. Our good mothers keep accepting and loving us as their children, despite our stubbornness and pains we gave them. Some mothers even will not hesitate to sacrifice themselves for their children’s lives.

Another perspective to understand mercy is its indispensable connection with justice. Justice is ‘to give someone’s due,’ while mercy is to give someone that is not his due (in positive way). Good fathers generally exemplify this point. A father is a figure of justice in the family. He imposes discipline to his children, and sometimes inflict punishments if his children fail to behave properly. Yet, a good father know that justice he establishes is also an act of mercy. Aside from the fact that father’s discipline tend to be more gentle, his tough education is actually a form of tough love that shapes his children’s characters. Failure to perform justice might result in his children’s bad attitudes, and bad personality is never good for our children’s future. Thus, justice in wider perspective is mercy.

Going deeper into the divine mercy in the Bible, we also discover the intimate connection between mercy and holiness. In Sinai, God instructed the newly established Israel to be holy as God is holy (see Lev 11:44-45; 19:2; 20:26). How to be holy like God? In Sinai, God gave His laws for Israel. These laws were to form Israel as God’s nation, and by observing these laws, they separated themselves from other nations. Therefore, to be holy, to be separated from others and for God, the Israel had to obey God-given laws.

However, in the Gospel of Luke, Jesus taught, “Be merciful as your Father is merciful (Luk 6:36).” Jesus deliberately translated holiness into mercy. In Luke 6, Jesus taught beatitudes and chartered new laws just like God had done in Sinai. However, Jesus’ laws are not to make His disciples ‘exclusively separated’ from other people, but rather to touch other with acts of mercy. Holiness definitely is separation from sins and for God, but being holy is also being merciful. Holiness is to allow others to experience the divine mercy in their lives. And as our neighbours are touched by mercy, they may come closer to God.

How do you experience divine mercy in our lives? How do we express mercy to others? Do we do justice as the foundation of our mercy? Do our acts of mercy lead us closer to God?

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Kekudusan dan Kerahiman

Minggu ke-2 Paskah – Kerahiman Ilahi [B]

7 April 2024

Yohanes 20:19-31

Hari Minggu kedua Paskah juga dikenal sebagai Hari Minggu Kerahiman Ilahi. Meskipun perayaan ini relatif baru (Paus Yohanes Paulus II menetapkan perayaan ini pada tanggal 30 April 2000), kebenaran tentang kerahiman (belas kasih) ilahi adalah bagian penting dari karakteristik Allah yang diwahyukan dalam Alkitab.  Bagaimana kita memahami kerahiman ilahi?

Kerahiman dalam bahasa Ibrani berkaitan dengan kata ‘rahamim’, yang berakar dari kata ‘Rahim’ yang berarti ‘kandungan’. Dengan demikian, ‘rahamim’ menyiratkan perasaan dan sikap alamiah seorang ibu terhadap anak-anaknya. Ibu yang baik tetap menerima dan mencintai anak-anaknya, terlepas dari sikap keras kepala dan rasa sakit yang mereka berikan kepada sang ibu. Beberapa ibu bahkan tidak akan ragu untuk mengorbankan diri mereka sendiri demi kehidupan anak-anak mereka.

Perspektif lain untuk memahami belas kasih adalah hubungannya yang tak terpisahkan dengan keadilan. Definisi sederhana keadilan adalah ‘memberikan seseorang apa yang menjadi haknya’, sedangkan kerahiman adalah memberikan sesuatu yang bukan haknya (secara positif). Ayah yang baik umumnya mencontohkan hal ini. Seorang bapa adalah figur keadilan dalam keluarga. Ia menerapkan disiplin kepada anak-anaknya, dan terkadang memberikan hukuman jika anak-anaknya tidak berperilaku baik. Namun, seorang ayah yang baik tahu bahwa keadilan yang ia tegakkan juga merupakan sebuah tindakan kerahiman. Selain karena disiplin yang diterapkan bapa cenderung lebih lembut, pendidikan yang tegas sebenarnya merupakan bentuk kerahiman yang membentuk karakter anak-anaknya. Kegagalan dalam menegakkan keadilan dapat berakibat pada karakter buruk anak-anaknya, dan kepribadian yang buruk tidak akan baik untuk masa depan anak. Dengan demikian, keadilan dalam perspektif yang lebih luas adalah kerahiman.

Mendalami belas kasih ilahi dalam Alkitab, kita juga menemukan hubungan yang erat antara belas kasih dan kekudusan. Di Sinai, Allah memerintahkan bangsa Israel yang baru saja dibentuk untuk menjadi kudus sebagaimana Allah itu kudus (lihat Im. 11:44-45; 19:2; 20:26). Bagaimana menjadi kudus seperti Allah? Di Sinai, Allah memberikan hukum-hukum-Nya untuk Israel. Hukum-hukum ini membentuk Israel sebagai bangsa Allah, dan dengan menaati hukum-hukum ini, mereka memisahkan diri mereka dari bangsa-bangsa lain. Oleh karena itu, untuk menjadi kudus, terpisah dari yang lain dan untuk Tuhan, bangsa Israel harus menaati hukum-hukum yang diberikan Tuhan.

Namun, dalam Injil Lukas, Yesus mengajarkan, “Hendaklah kamu berbelaskasihan seperti Bapamu berbelaskasihan (Luk 6:36).” Yesus dengan sengaja menerjemahkan kekudusan menjadi belas kasihan. Dalam Lukas 6, Yesus mengajarkan sabda bahagia dan membuat hukum baru seperti yang dilakukan Tuhan di Sinai. Namun, hukum-hukum Yesus bukan untuk membuat para murid-Nya ‘terpisah secara eksklusif’ dari orang lain, melainkan untuk menyentuh orang lain dengan tindakan belas kasih. Kekudusan tentu saja adalah pemisahan diri dari dosa dan untuk Tuhan, tetapi menjadi kudus juga berarti berbelas kasih. Kekudusan adalah memungkinkan sesama untuk mengalami belas kasihan ilahi melalui kita. Dan ketika sesama kita tersentuh oleh belas kasihan, mereka dapat menjadi lebih dekat dengan Allah.

Bagaimana kita mengalami kerahiman ilahi dalam hidup kita? Bagaimana kita mengungkapkan belas kasih kepada orang lain? Apakah kita melakukan keadilan sebagai dasar belas kasih kita? Apakah tindakan belas kasihan kita membawa kita lebih dekat kepada Allah?

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

The Empty Tomb 

Easter Vigil – Easter Sunday [B]

March 31, 2024

Mark 16:1-7

Jesus is either everything or nothing at all. Why? Because He made an extraordinary claim that He is divine. C.S. Lewis responded to this claim with three possible answers, ‘Lunatic, Liar or Lord.’ Either Jesus was a delusional man believing that He was God, or Jesus was an evil man who wanted to deceive the world for His profit, or He is the Lord because what He claimed is true. If Jesus’ claim is true, then He deserves all our worship, our love and adoration. Yet, if Jesus’ claim is false, then He is just nobody who happened to be a lunatic or liar. Then, what is the evidence of His claim?

The answer is the resurrection of Jesus. And what is the proof of His resurrection? The empty tomb! Yes, this is the first evidence we have. If we read the four gospels, we will find a resurrection story with slight variations, but all agree with the reality of the empty tomb. If I were Jesus, I would have chosen a more dramatic and visible way of resurrection. I would have even appeared to Pilate and the chief priests to make a bold statement. Yet, Jesus chose to show an empty tomb and later appeared to the women. But, these women? These women were the same women who stood near the cross of Jesus, and they went back early in the morning to anoint the body of Jesus to give a proper burial to Jesus. These women exhibited their faithfulness and love to Jesus. 

The evidence for Jesus’ resurrection has been discussed extensively by many scholars, and I would not have enough time to cover it here. Jesus did not appear to Pilate or Annas and Caiaphas because they had decided to reject Jesus as a lunatic or liar. Thus, Jesus’ resurrection is nothing but useless. They even spread lies that the body was stolen. One scholar said, ‘For disbelievers, no proofs are ever sufficient.’

However, we are here, just like the women who visited the tomb early in the morning. We are here because we believe in Jesus, and we love Him. Jesus’ choice for an empty tomb, rather than a grandeur showoff of His resurrection, invites us to enter the empty tomb and make decisions for ourselves. Pope Francis once said that Jesus did not need to remove the stone to go out from the tomb, but for us to enter the tomb. Do we still love Jesus even when we only see emptiness? Are we still faithful even if we did not find the Lord?

Yes, we believe in Jesus, and yes, we love Him. Yet, faith, hope and love are not static, but rather something that grows. God allows us to experience crosses and even empty tombs because, through these events, we may grow in our faith and love. We must not forget that when we carry a cross, we may be like Simon of Cyrene, who carried the cross of Jesus. We must not forget that Jesus was few steps away from the empty tomb, waiting to bless us.

Celebration of Easter is not just a annual ritual, with different fancies symbols, but an invitation for us to renew and deepen our faith and love for God. Afterall, Jesus is everything to us. Blessed Easter!

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Makam Kosong 

Malam Paskah – Minggu Paskah [B]

31 Maret 2024 

Markus 16:1-7 

Yesus adalah segalanya atau tidak sama sekali. Mengapa? Karena Dia membuat klaim yang luar biasa bahwa Dia adalah Allah. C.S. Lewis, seorang pujangga dari Inggris, menanggapi klaim ini dengan tiga kemungkinan jawaban, ‘Orang Gila, Pembohong, atau Tuhan’. Entah Yesus adalah orang gila yang percaya bahwa Dia adalah Tuhan, atau Yesus adalah orang jahat yang ingin menipuc dunia demi keuntungannya, atau Dia adalah sungguh Tuhan karena apa yang diklaimnya adalah benar. Jika klaim Yesus benar, maka Dia layak mendapatkan semua penyembahan, cinta dan pemujaan kita. Namun, jika klaim Yesus itu salah, maka Dia bukan siapa-siapa yang kebetulan adalah orang gila atau pembohong. Lalu, apa bukti dari klaim-Nya? 

Jawabannya adalah kebangkitan Yesus dari kematian. Namun, apa bukti dari kebangkitan Yesus? Ya, kubur yang kosong! Ya, ini adalah bukti pertama yang kita miliki. Jika kita membaca keempat Injil, kita akan menemukan kisah kebangkitan dengan sedikit variasi, tetapi semuanya setuju dengan kenyataan tentang kubur yang kosong. Jika saya adalah Yesus, saya akan memilih cara kebangkitan yang lebih dramatis dan terlihat. Saya bahkan akan menampakkan diri kepada Pilatus dan para imam kepala untuk membuktikan kebangkitan. Namun, Yesus memilih untuk menunjukkan kubur yang kosong dan kemudian menampakkan diri kepada para wanita. Tetapi, mengapa wanita-wanita ini? Perempuan-perempuan ini adalah perempuan-perempuan yang sama yang berdiri di dekat salib Yesus, dan mereka kembali pagi-pagi sekali untuk meminyaki tubuh Yesus untuk memberikan penguburan yang layak bagi Yesus. Para perempuan ini menunjukkan kesetiaan dan kasih mereka kepada Yesus.

Bukti-bukti kebangkitan Yesus telah dibahas secara ekstensif oleh banyak ahli, dan saya tidak memiliki cukup waktu untuk membahasnya di sini. Yesus tidak menampakkan diri kepada Pilatus atau Hanas dan Kayafas karena mereka telah memutuskan untuk menolak Yesus sebagai orang gila atau pembohong. Dengan demikian, kebangkitan Yesus tidak ada gunanya. Mereka bahkan menyebarkan kebohongan bahwa jenazahNya dicuri. Seorang ahli pernah berkata, “Bagi orang yang tidak percaya, sebanyak apapun bukti tidak akan pernah cukup.” Namun, kita ada di sini, sama seperti para wanita yang mengunjungi kubur di pagi hari. Kita berada di sini karena kita percaya kepada Yesus, dan kita mengasihi-Nya. 

Pilihan Yesus untuk memilih kubur yang kosong, daripada memamerkan kemegahan kebangkitan-Nya, mengundang kita untuk masuk ke dalam kubur yang kosong itu dan mengambil keputusan untuk diri kita sendiri. Paus Fransiskus pernah berkata bahwa Yesus tidak perlu memindahkan batu untuk keluar dari kubur, tetapi agar kita bisa masuk ke dalam kubur. Apakah kita masih mengasihi Yesus bahkan ketika kita hanya melihat kekosongan? Apakah kita masih setia meskipun kita tidak menemukan Tuhan? Ya, kita percaya kepada Yesus, dan kita mengasihi Dia. Namun, iman, pengharapan dan kasih bukanlah sesuatu yang statis, melainkan sesuatu yang bertumbuh. Allah mengizinkan kita untuk mengalami salib dan bahkan kubur yang kosong karena melalui peristiwa-peristiwa ini, kita dapat bertumbuh dalam iman dan kasih. Kita tidak boleh lupa bahwa ketika kita memikul salib, kita dapat menjadi seperti Simon dari Kirene, yang memikul salib Yesus. Kita tidak boleh lupa bahwa Yesus hanya beberapa langkah lagi dari kubur yang kosong, menunggu untuk memberkati kita.

Perayaan Paskah bukan hanya sebuah ritual tahunan, tetapi sebuah undangan bagi kita untuk memasuki misteri makam kosong, dan memperbaharui dan memperdalam iman dan cinta kita kepada Tuhan. Bagaimanapun juga, Yesus adalah segalanya bagi kita. Selamat Paskah!

 Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Being Truly Human

Palm Sunday of the Lord’s Passion [B]

March 24, 2024

Mark 14:1 – 15:47

Jesus’ defining moment just before His Passion is His agony in the garden of Gethsemane. This year, we are fortunate to hear from the Gospel of Mark because Mark is not shy to express the inner life of Jesus in this crucial time. For some, this is embarrassing because Jesus was expressing His great sorrow, and thus, Jesus is seen to be too human and weak. However, we believe that God inspired Mark to write God’s words, and thus, we are to learn something precious in Jesus’ desperate moment.

Jesus was aware of what would happen to Him. He would soon face the betrayal of his disciple, a clandestine arrest, unjust trials from His haters, dreadful torture, and humiliating and most painful death. Thus, Jesus who is not only fully divine but also fully human, was experiencing the full weight of human emotions. Mark gave us some important details. Jesus was ‘troubled and distressed’ and then expressed what He felt, “My soul is sorrowful even to the death.”

St. Irenaeus once said, ‘God’s glory is a man truly alive. Here, Jesus teaches us how to be truly human and, thus, become God’s glory. He avoided two dangerous extremes in dealing with His emotions. The first extreme is neglecting or suppressing His emotions. Jesus did not act tough and pretend to be ‘the stoic man’. He did not say, ‘I am okay’, ‘everything will be alright.’ Jesus named the emotions and was frank about it. The second extreme is not to be consumed by emotions. When the emotion is extremely strong, the emotions easily engulf us and, thus, control us. Though recognizing His feelings, Jesus did not yield to them. He stood His ground.

Jesus further gave us two ways to face these overwhelming emotions. The first one is to seek good companions. Jesus invited the three closest disciples in the garden, Peter, James and John. He expressed His grave sorrow and asked them to accompany Him in this crucial moment. Unfortunately, they fell asleep, but the three were there for Jesus in His agony. The second way is to pray. Jesus bent His knees and talked to His Father. Here, we have extremely rare content of Jesus’ prayer.

Jesus said, “Abba, Father, all things are possible to you. Take this cup away from me, but not what I will but what you will (Mk 14:36).” This prayer is short but extraordinarily rich. One can say that this prayer is a short form of Our Father. Here, Jesus expressed and offered His wish that He would have been spared from suffering and violent death, but He also recognized that it is His Father’s will that Jesus would offer Himself up as the sacrifice of love for the world. In this prayer, Jesus reaffirmed His mission and did not allow the emotions to blur His vision.

Gethsemane is the precious moment that Jesus teaches us to fulfil God’s will despite difficulties and, at the same time, to become truly human. It is not God’s will to destroy our humanity but rather to perfect it, and Jesus is our model of a perfect man.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Menjadi Manusia Sejati

Minggu Palem Sengsara Tuhan [B]

24 Maret 2024

Markus 14:1 – 15:47

Momen yang menentukan bagi Yesus sebelum salib-Nya adalah sakratul maut di taman Getsemani. Tahun ini, kita bersyukur dapat mendengar versi Injil Markus karena Markus tidak ragu mengungkapkan kondisi batin Yesus pada saat yang genting ini. Bagi sebagian orang, hal ini memalukan karena Yesus mengungkapkan kesedihan-Nya yang mendalam, dan dengan demikian, Yesus terlihat terlalu manusiawi dan lemah. Namun, kita percaya bahwa ini adalah Firman Tuhan, dan dengan demikian, kita dapat belajar sesuatu yang berharga dari saat-saat genting Yesus ini.

Yesus menyadari apa yang akan terjadi pada-Nya. Dia akan segera menghadapi pengkhianatan dari murid-Nya, penangkapan, pengadilan yang tidak adil, penghujatan dari para pembenci-Nya, penyiksaan yang mengerikan, dan kematian yang sangat menyakitkan. Yesus yang tidak hanya sepenuhnya ilahi tetapi juga sepenuhnya manusiawi, mengalami beban penuh emosi manusiawi. Markus memberikan kita beberapa detail penting. Yesus ‘sangat takut dan gentar’ dan kemudian mengungkapkan apa yang Yesus rasakan, “Jiwaku sangat sedih seperti mau mati.”

St. Irenaeus pernah berkata, “Kemuliaan Allah adalah manusia yang sungguh-sungguh hidup.” Di sini, Yesus mengajarkan kepada kita bagaimana menjadi manusia yang sesungguhnya dan dengan demikian menjadi kemuliaan Allah. Yesus mengajarkan kita untuk menghindari dua hal ekstrem yang berbahaya dalam menangani emosi. Ekstrim yang pertama adalah mengabaikan atau menekan emosi. Yesus tidak berpura-pura menjadi ‘orang yang kuat.’ Dia tidak berkata, ‘Saya tidak apa-apa’, atau ‘semuanya akan baik-baik saja’. Yesus mengartikulasikan emosi-emosi yang Dia rasakan, dan dengan demikian, Dia merangkul emosi dan kemanusian-Nya. Ekstrim kedua adalah tidak dikuasai oleh emosi. Ketika emosi itu sangat kuat, emosi dengan mudah menelan kita dan, dengan demikian, mengendalikan kita. Meskipun menyadari perasaan-Nya, Yesus tidak memberikan kendali pada perasaan itu. Dia tetap berdiri teguh.

Yesus kemudian memberikan dua cara agar tidak termakan oleh emosi yang meluap ini. Yang pertama adalah memiliki sahabat-sahabat yang baik. Yesus mengundang tiga murid terdekat-Nya ke taman, yaitu Petrus, Yakobus dan Yohanes. Dia mengungkapkan kesedihan-Nya yang mendalam dan meminta mereka untuk menemani-Nya di saat-saat genting ini. Sayangnya, mereka tertidur, tetapi ketiganya ada di sana untuk menemani Yesus dalam masa sulit ini. Cara kedua adalah dengan doa. Dalam kesedihan, Yesus berbicara kepada Bapa-Nya. Di sini, kita mendengarkan isi doa Yesus yang sangat langka.

Yesus berkata, “Ya, Bapa, bagi-Mu segala sesuatu mungkin. Ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki (Mrk. 14:36).” Doa ini singkat tetapi luar biasa dalam. Bisa dikatakan bahwa doa ini adalah bentuk singkat dari doa ‘Bapa Kami’. Di sini, Yesus mengungkapkan dan mempersembahkan hasrat-Nya agar Dia terhindar dari penderitaan dan kematian yang kejam. Namun, Ia juga menyadari bahwa misi-Nya adalah untuk melaksanakan kehendak Bapa. Inilah kehendak Allah agar Yesus akan mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban kasih bagi dunia. Dalam doa ini, Yesus menegaskan kembali misi-Nya dan tidak membiarkan emosi mengaburkan visi-Nya.

Getsemani adalah momen berharga dimana Yesus mengajarkan kita untuk memenuhi kehendak Tuhan meskipun menghadapi kesulitan dan, pada saat yang sama, menjadi manusia yang sesungguhnya. Bukanlah kehendak Allah untuk menghancurkan kemanusiaan kita melainkan untuk menyempurnakannya, dan Yesus adalah teladan kita sebagai manusia yang sempurna.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

The Covenant

5th Sunday of Lent [B]

March 17, 2024

Jeremiah 31:31-34

 In the bible, the word covenant (in Hebrew בְּרִית (Berit), in Greek διαθήκη (diatheke)) is an agreement between individual, families, tribes or nations. It is commonly used to bind the overlord king and his vassals. The supreme lord was obligated to give protection in times of need, while the vassals must be loyal and pay tributes. At the individual level, a covenant forged a familial bond between the parties. They become brothers, and thus, they must protect and help one another. Or, when the covenant involves man and woman, they become husband and wife, a new family.

Though covenant is a complex reality and even still debated by scholars, one thing is sure: that covenant is an agreement about the ‘exchange of people’ rather than the ‘exchange of items.’ A radical change of their identities is expected for those who enter the covenant. 

The term covenant is a key to understanding the bible because God took the initiative to bind Himself to Israel through covenant. There are several moments where God formed a covenant with Israel, but the most famous one is the covenant at Mount Sinai through the mediation of Moses. The Lord said, “Now, therefore, if you will obey my voice and keep my covenant, you shall be my own possession among all peoples; for all the earth is mine, and you shall be to me a kingdom of priests and a holy nation (Exo 19:5-6).”

The covenant created Israel as a nation under God’s leadership. Thus, Israelites, as citizens of God’s nation, must obey and be faithful to one God alone, that is, the Lord, and follow His Laws. However, the covenant does not only form a king-people relationship but also a family. Often, Israelites are addressed as ‘sons of God’ (see Exo 4:22 and Deu 14:1). And what is even more intriguing is that a marriage relationship is also established through this covenant. Prophet Hosea famously describes the relationship between God and Israelites as husband and wife.

Prophet Jeremiah prophesized that there would be a new covenant (Jer 31:31, first reading). This is fulfilled in Jesus Christ. In the last supper, Jesus said, “This cup that is poured out for you is the new covenant in my blood (Luk 22:20).” One of the main purposes Jesus offered up himself at the cross is to forge and ratify this new covenant. Since the divine blood of Christ ratifies it, the covenant is everlasting and unbreakable.

Jesus offers us a covenant despite our unworthiness. Through faith and baptism, we enter the covenant, and our identity is radically transformed. The Lord is our God, and we become the people of the Kingdom of God. Yet, because of the same covenant, we are also His children, and we have a right to call God ‘our Father’. Moreover, a marriage is established. The Church is the spouse of Christ, and Christ loves His spouse so much to the point of giving His life for her. As the people of the new covenant, constantly renewed in the Eucharist, do we need to behave ourselves as obedient and loving children to our Father? Do we act as a faithful and loving spouse to Christ, our bridegroom?

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Perjanjian Baru

Minggu ke-5 Masa Prapaskah [B]

17 Maret 2024

Yeremia 31:31-34

Dalam Alkitab, kata perjanjian memiliki arti khusus (dalam bahasa Ibrani בְּרִית (Berit), dalam bahasa Yunani διαθήκη (diatheke), dan bahasa inggris covenant). Ini adalah sebuah ikatan yang dibuat antara individu, keluarga, suku atau bangsa. Perjanjian ini biasanya digunakan untuk mengikat raja yang lebih berkuasa dan raja-raja yang tunduk padanya. Raja tertinggi berkewajiban untuk memberikan perlindungan saat dibutuhkan, sementara raja bawahan harus setia dan membayar upeti. Pada tingkat individu, perjanjian membentuk ikatan kekeluargaan. Mereka menjadi saudara, dan dengan demikian, mereka harus saling melindungi dan membantu. Atau, ketika perjanjian itu melibatkan pria dan wanita, mereka menjadi suami dan istri, sebuah keluarga baru.

Meskipun perjanjian adalah sebuah realitas yang kompleks dan bahkan masih diperdebatkan oleh para ahli, satu hal yang pasti: perjanjian adalah sebuah kesepakatan tentang ‘pertukaran orang’ dan bukan ‘pertukaran barang’. Sebuah perubahan radikal dari identitas terjadi pada mereka yang masuk ke dalam perjanjian. 

Istilah perjanjian adalah kunci untuk memahami Alkitab karena Allah mengambil inisiatif untuk mengikatkan diri-Nya dengan Israel melalui perjanjian. Ada beberapa momen di mana Tuhan membentuk perjanjian dengan Israel, tetapi yang paling terkenal adalah perjanjian di Gunung Sinai melalui perantaraan Musa. Tuhan berfirman, “Jadi, sekarang, jika kamu mendengarkan suara-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi milik kepunyaan-Ku sendiri di antara segala bangsa, sebab seluruh bumi ini adalah kepunyaan-Ku, dan kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam dan bangsa yang kudus (Kel. 19:5-6).”

Perjanjian tersebut menjadikan Israel sebagai sebuah bangsa di bawah kepemimpinan Allah. Dengan demikian, orang Israel, sebagai warga dari bangsa Allah, harus taat dan setia kepada satu Allah saja, yaitu Tuhan, dan mengikuti hukum-hukum-Nya. Namun, perjanjian tersebut tidak hanya membentuk hubungan raja-rakyat tetapi juga keluarga. Sering kali, orang Israel disebut sebagai ‘anak-anak Allah’ (lihat Kel. 4:22 dan Ul. 14:1). Dan yang lebih menarik lagi adalah bahwa hubungan pernikahan juga terjalin melalui perjanjian ini. Nabi Hosea menggambarkan hubungan antara Tuhan dan bangsa Israel sebagai suami dan istri.

Nabi Yeremia menubuatkan bahwa akan ada perjanjian yang baru (Yer. 31:31, bacaan pertama). Hal ini digenapi di dalam Yesus Kristus. Pada perjamuan terakhir, Yesus berkata, “Cawan yang ditumpahkan bagi kamu ini adalah perjanjian baru dalam darah-Ku (Luk 22:20).” Salah satu tujuan utama Yesus mengorbankan diri-Nya di kayu salib adalah untuk mengesahkan perjanjian yang baru ini. Karena darah ilahi Kristus mengesahkannya, maka perjanjian tersebut bersifat kekal dan tak terhapuskan.

Yesus menawarkan kepada kita sebuah perjanjian meskipun kita tidak layak. Melalui iman dan baptisan, kita masuk ke dalam perjanjian, dan identitas kita diubahkan secara radikal. Tuhan adalah Allah kita, dan kita menjadi umat Kerajaan Allah. Namun, karena perjanjian yang sama, kita juga adalah anak-anak-Nya, dan kita memiliki hak untuk memanggil Tuhan sebagai ‘Bapa kami’. Selain itu, sebuah pernikahan telah terjalin. Gereja adalah mempelai Kristus, dan Kristus sangat mengasihi mempelai-Nya sampai memberikan hidup-Nya untuk kita. Sebagai umat perjanjian yang baru, yang terus-menerus diperbarui di dalam Ekaristi, apakah kita sudah bersikap sebagai putra-putri yang taat dan mengasihi Bapa kita? Apakah kita bertindak sebagai Gereja, sang mempelai, yang setia dan penuh kasih kepada Kristus, mempelai laki-laki kita?

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Is Faith Enough?

4th Sunday of Lent [B]

March 10, 2024

Ephesians 2:4-10

St. Paul wrote in his letter to the Ephesians, “For by grace you have been saved through faith, and this is not from you; it is the gift of God; it is not from works, so no one may boast (Eph 2:8-9, first reading).” Does it mean that what we need to do is to believe? Do we still have to receive the Eucharist and other sacraments like the Catholic Church instructs? Are we still required to do good works and acts of charity?

Often, the Catholic teaching of salvation is comically understood as ‘faith and work,’ which means that to be saved, Catholics must both believe in God and do various works prescribed by the Church, like receiving the sacraments and performing acts of mercy. Yet, this is frankly not the authentic teaching of the Church. Council of Trent decreed that “none of those things that precede justification, whether faith or works, merit the grace of justification (Decree on Justification).” The grace of God that brings us salvation, the forgiveness of sins, and holiness is always a gift from God. Nothing we do can earn it.

Since grace is a gift, just like any other gift, we either freely accept or refuse the gift. Thus, Catechism states, “God’s free initiative demands man’s free response, for God has created man in his image by conferring on him, along with freedom, the power to know him and love him (CCC 2002).” Here comes the role of faith. We say ‘yes’ to God through faith and embrace His grace. But does it mean having faith is enough, and we no longer do anything? If we believe, can we do anything we want, even evil things?

St. Paul indeed says that the grace is not from our works (verse 9), but in the next verse, St. Paul adds, “For we are his handiwork, created in Christ Jesus for the good works that God has prepared in advance, that we should live in them (Eph 2:10).” Is St. Paul contradicting himself? To understand this, we must distinguish the two ‘works’ that St. Paul uses. The first work (verse 9) refers to our efforts to get salvation outside of grace, which is futile. Meanwhile, the second work (verse 10) points to our good works in grace that are pleasing to God.

Yes, grace is freely given, but it does not mean a cheap one. Grace is not something static but active and dynamic. Grace gives us the capacity to do good works, and when we respond to it faithfully, we grow spiritually and open ourselves to more grace. The more good works in grace we offer, the more grace we receive, and the more extraordinary grace we receive, the greater capacity we have to do good works. 

We do not see our involvement in the Eucharist and other sacraments as our efforts to bribe God and get grace, but rather our ways of growing in grace. Our acts of mercy in the family and community are not our works but participation in God’s love for His people. 

(For a deeper understanding of grace, please read CCC paragraph 1987-2006)

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Iman saja Cukup?

Minggu Prapaskah ke-4 [B]

10 Maret 2024

Efesus 2:4-10

Paulus menulis dalam suratnya kepada jemaat di Efesus, “Sebab karena rahmat kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Ef. 2:8-9, bacaan kedua). Apakah ini berarti bahwa satu-satunya yang perlu kita lakukan adalah percaya? Apakah kita masih perlu ke Gereja dan melakukan tindakan amal kasih seperti yang diajarkan Gereja Katolik?

Seringkali, ajaran Katolik tentang keselamatan dipahami secara keliru sebagai ‘iman dan perbuatan’, yang berarti bahwa untuk diselamatkan, umat Katolik harus percaya kepada Tuhan dan juga melakukan berbagai perbuatan yang ditetapkan oleh Gereja, seperti menerima sakramen-sakramen dan melakukan perbuatan amal kasih. Namun, hal ini sebenarnya bukanlah ajaran otentik Gereja. Konsili Trente telah mengajarkan secara definitif bahwa “tidak ada satu pun dari hal-hal yang mendahului pembenaran, baik iman maupun perbuatan, yang layak mendapatkan rahmat pembenaran (Decree on Justification).” Rahmat Allah yang membawa kita kepada keselamatan, pengampunan dosa, dan kekudusan selalu merupakan anugerah dari Allah. Tidak ada yang dapat kita lakukan untuk mendapatkannya.

Karena rahmat adalah sebuah anugerah, sama seperti anugerah atau hadiah lainnya, kita bisa memilih untuk menerima atau menolak anugerah tersebut. Dengan demikian, Katekismus Gereja Katolik menyatakan, “Inisiatif bebas Allah menuntut respons bebas manusia, karena Allah telah menciptakan manusia menurut gambar-Nya dengan menganugerahkan kepadanya, bersama dengan kebebasan, kuasa untuk mengenal-Nya dan mengasihi-Nya (KGK 2002).” Di sinilah terletak peran iman. Iman adalah respons positif pertama kita kepada Allah, dan dengan demikian, membuka diri terhadap rahmat-Nya. Tetapi apakah itu berarti memiliki iman saja sudah cukup, dan kita cukup duduk santai dan tidak lagi melakukan apa pun?

Paulus memang mengatakan bahwa rahmat itu bukan karena perbuatan kita (ayat 9), tetapi di ayat berikutnya, Paulus menambahkan, “Karena kita ini buatan Allah, diciptakan dalam Kristus Yesus untuk melakukan perbuatan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya. (Ef. 2:10).” Apakah Santo Paulus salah menulis? Untuk memahami hal ini, kita harus membedakan dua ‘perbuatan’ di ayat 9 dan 10. Perbuatan pertama (ayat 9) mengacu pada usaha kita untuk mendapatkan keselamatan di luar rahmat, dan ini yang sia-sia. Sementara itu, perbuatan kedua (ayat 10) menunjuk pada perbuatan baik kita di dalam rahmat, dan ini yang berkenan kepada Allah.

Ya, rahmat diberikan secara cuma-cuma, tetapi bukan berarti murahan. Rahmat bukanlah sesuatu yang statis, tetapi aktif dan dinamis. Rahmat memberi kita kemampuan untuk melakukan perbuatan baik, dan ketika kita meresponsnya dengan setia, kita bertumbuh secara rohani dan membuka diri kita untuk menerima lebih banyak rahmat. Semakin banyak perbuatan baik dalam rahmat yang kita persembahkan, semakin banyak rahmat yang kita terima, dan semakin banyak rahmat yang kita terima, semakin besar kapasitas yang kita miliki untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik. Ini adalah siklus kekudusan.

Jadi, kita tidak melihat keterlibatan kita dalam Ekaristi dan sakramen-sakramen lainnya sebagai upaya kita untuk menyuap Allah untuk mendapatkan rahmat, melainkan sebagai cara-cara kita untuk bertumbuh di dalam rahmat. Tindakan-tindakan belas kasih kita di dalam keluarga dan komunitas bukanlah perbuatan-perbuatan kita, melainkan partisipasi kita di dalam kasih Allah bagi umat-Nya. Rahmat memampukan kita berbuat baik, dan ini yang berkenan di hadapan Allah.

(Untuk pemahaman yang lebih dalam tentang rahmat, silakan baca KGK paragraf 1987-2006)

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

The Ten Commandments

3rd Sunday of Lent [B]
March 3, 2024
Exodus 20:1-17

On the third Sunday of Lent, the Church invites us to reflect on the Ten Commandments (our first reading). However, if we read the original Hebrew text, we may find something exciting.
God did not say that He handed down ‘the commandments,’ but instead, He gave ‘the words’ (הַדְּבָרִ֥ים – read: a-debarim). Why did God choose ‘words’ rather than ‘commandments’? After all, the content of what he said was really about laws.

The first answer may return to the creation account (Gen 1). God created the world and humanity with His ‘word,’ and now, in Mount Sinai, God formed Israel as His people with the laws given through His ‘word.’ This parallel points to us that the ‘laws’ passed in Sinai were not new, but God had placed them since the beginning. The ‘ten laws’ were not imposed from outside but an integral part of creation and human persons. God’s design is that by obeying the ‘commandments,’ the Israelites may return to Eden, where they may find their true happiness.

The second answer is that the choice of ‘words’ rather than ‘commandment’ shows the nature of the laws that God gave in Sinai. God did not treat Israelites (and also all of us) like slaves under the regime of terror. He did not force His rules upon us and punished us severely when we disobeyed Him. Yet, God treated us as adult children who can freely embrace these laws because we realize that these ‘laws’ are indeed beneficial for us.

The ‘laws’ are not externally imposed upon us but are following out from our being. Like gravity, it is not something externally added but an integral part of our universe, and so are the ‘ten words.’ We can use our natural reason to discover the laws. Our correct thinking will agree that killing, stealing, and adultery are wrong. Our right mind will support our efforts to honor our parents. And our logical thinking will lead us to one and true God. Since the ‘laws’ are integral to our nature, violating them means we bring harm to ourselves.

The third answer is that ‘words’ are a means of communication. The ten commandments are His words; thus, through them, we may communicate and understand Him better. And, as we get to know God better, we become closer to Him. The Ten Commandments are not a mighty wall to keep us away from God but a bridge connecting us to His immense love.

In this season of Lent, we are invited to reflect deeper into these ‘Ten Words .’We can reflect on each commandment: What is its purpose? What benefits do they bring us? What harm does it cause us when we violate it? What does it tell us about God, who created them?

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Sepuluh Perintah Allah

Minggu ke-3 Masa Prapaskah [B]

3 Maret 2024

Keluaran 20:1-17

Pada hari Minggu ini, Gereja mengajak kita untuk merenungkan Sepuluh Perintah Allah (bacaan pertama). Namun, jika kita membaca teks asli bahasa Ibrani, kita akan menemukan sesuatu yang sangat menarik. Allah tidak mengatakan bahwa Dia memberikan ‘perintah-perintah-Nya’, tetapi Dia memberikan ‘Sabda-sabda-Nya’(הַדְּבָרִ֥ים – baca: a-debarim). Mengapa Allah memilih ‘sabda’ daripada ‘perintah’? Lagi pula, isi dari sabda-Nya sebenarnya adalah tentang hukum atau perintah?

Jawaban pertama dapat kita temukan dalam kisah penciptaan (Kej. 1). Allah menciptakan dunia dan umat manusia dengan ‘sabda-Nya’, dan di Gunung Sinai, Allah membentuk Israel sebagai umat-Nya dengan hukum-hukum yang diberikan melalui ‘sabda’-Nya. Paralel ini menunjukkan kepada kita bahwa ‘hukum-hukum’ yang diturunkan di Sinai bukanlah hal yang baru, tetapi Tuhan telah menetapkannya sejak awal mula. ‘Sepuluh Perintah’ bukan sesuatu yang dipaksakan dari luar, tetapi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ciptaan dan pribadi manusia. Rancangan Allah adalah dengan menaati ‘perintah-perintah’ tersebut, bangsa Israel dapat kembali ke Eden, di mana mereka dapat menemukan kebahagiaan sejati mereka.

Jawaban kedua adalah bahwa pilihan kata ‘sabda’ dan bukan ‘perintah’ menunjukkan kodrat dari hukum-hukum yang Tuhan berikan di Sinai. Allah tidak memperlakukan bangsa Israel (dan juga kita semua) seperti budak di bawah rezim teror. Dia tidak memaksakan aturan-Nya kepada kita dan akan menghukum kita dengan keras ketika kita tidak menaati-Nya. Namun, Tuhan memperlakukan kita sebagai anak-anak-Nya yang dewasa, dan dapat dengan bebas menerima hukum-hukum ini karena kita menyadari bahwa ‘hukum-hukum’ ini memang bermanfaat bagi kita.

‘Hukum-hukum’ ini tidak dipaksakan dari luar kepada kita, tetapi berasal dari dalam diri kita. Seperti gravitasi yang bukanlah sesuatu yang ditambahkan secara eksternal tetapi merupakan bagian integral dari alam semesta, begitu juga dengan ‘sepuluh Sabda Allah’. Kita dapat menggunakan akal sehat kita untuk menemukan hukum-hukum tersebut di dalam hidup kita. Menggunakan pikiran yang jernih, kita akan setuju bahwa membunuh, mencuri, dan berzina adalah hal buruk. Dengan nalar yang benar, kita tahu bahwa menghormati orang tua kita adalah upaya yang baik. Dan, dengan pemikiran logis, kita akan menemukan Tuhan yang esa dan benar. Karena ‘hukum’ adalah bagian integral dari sifat alami kita, melanggarnya berarti kita membahayakan diri kita sendiri.

Jawaban ketiga adalah bahwa ‘sabda’ adalah media komunikasi. Sepuluh perintah Allah adalah sabda-Nya; dengan demikian, melalui sabda-Nya, kita dapat berkomunikasi dan memahami Dia dengan lebih baik. Dan, ketika kita mengenal Allah dengan lebih baik, kita menjadi lebih dekat dengan-Nya. Sepuluh Perintah Allah bukanlah tembok besar yang menjauhkan kita dari Allah, melainkan sebuah jembatan yang menghubungkan kita dengan kasih-Nya yang luar biasa.

Di masa Prapaskah ini, kita diundang untuk merenungkan lebih dalam tentang ‘Sepuluh Sabda’ ini. Kita dapat merenungkan setiap perintah: Apa tujuannya? Manfaat apa yang diberikannya kepada kita? Apa kerugian yang ditimbulkannya jika kita melanggarnya? Allah seperti apa yang menciptakan hukum ini?

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Isaac’s Faith

2nd Sunday of Lent [B}

February 25, 2024

Gen 22:1-18

Isaac’s binding is one of the Bible’s most dramatic and intense stories. From this story, the Church sees that Isaac is the type of Christ. Isaac and Jesus were both the sons of the fulfillment of God’s promise. Both were born in the miraculous conditions. Isaac and Jesus were the sacrifices of their fathers. Yet, Isaac’s sacrifice was halted because his sacrifice would be fulfilled in Jesus on the cross. However, though typological analysis is beautiful, some questions remain unanswered. How did Isaac feel when he knew that he was about to sacrifice? Was he forced or freely giving himself? What was his motive?

Whether or not Isaac was forced as a sacrifice revolves around this age during the event. Many imagine that Isaac was still a small child, and thus, Abraham forcibly tied him and made him ready for the sacrifice. Yet, the text suggests that he was no longer a small child because he carried on his shoulder the wood for the sacrifice. Since wood was not for simple fire but a ritual sacrifice, Isaac must have brought a significant amount. Indeed, it was a job for a strong young man. Thus, we can conclude that Isaac was not forced because, as a young man, he had the physical power to resist the aging Abraham. Isaac was freely giving himself as a sacrifice and, perhaps, asked Abraham to bind him.

Yet, the question remains: Why did Isaac feel? Why did he offer himself? Unfortunately, the text of the Bible does not give us a window into Isaac’s heart. Yet, putting ourselves in the place of Isaac, it is not difficult to feel the great distress, sorrow, and fear. He was a young man with many years to come, and yet he was about to lose his life at that moment. He was not only facing death but a violent death. In fact, unlike his father, he had little to ponder about God’s will since he knew about it just a few moments before the sacrifice. Why?

The story usually focuses on the faith of Abraham, who obeyed God’s will and gave up his only son. God Himself blessed Abraham for his steadfast faith (see Gen 22:16-17). Yet, the story is also about Isaac’s faith. In the Bible, Isaac is considered a minor character among Israel’s patriarchs compared to Abraham and Jacob. He has fewer stories and often takes a more passive role. Yet, the story has proved that Isaac is a man of great faith. In fact, without his faith, Abraham would not have received the blessing.

Isaac’s faith is mature and profound. Amid extreme anguish and debilitating fear, he remained steadfast and believed that God would eventually turn things well. His faith also helped him to recognize that his life was a sacrifice to God. As he offered himself as a sacrifice, God’s blessing came to Abraham. Isaac’s faith is not only about ‘believing in God’s existence, not only about passive reception of situations but actively participating in God’s will.

How do we react in the face of uncertain situations and suffering? Fear, anxiety, or anger? What is faith to us? A mere belief in God, a passive surrender to avoidable situations, or proactively seeking God’s will? Do we also offer our lives as sacrifices to God so that others may receive blessings?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Iman Ishak

Minggu Prapaskah ke-2 [B]

25 Februari 2024

[Kejadian 22:1-18]

Pengorbanan Ishak adalah salah satu kisah yang paling dramatis dan intens dalam Alkitab. Dari kisah ini, Gereja melihat bahwa Ishak adalah ‘tipos’ dari Kristus. Ishak dan Yesus sama-sama terlahir sebagai penggenapan janji Allah. Keduanya dilahirkan dalam kondisi yang luar biasa. Ishak dan Yesus sama-sama menjadi kurban dari bapa mereka. Namun, pengorbanan Ishak terhenti, dan pengorbanannya akan digenapi di dalam Yesus di kayu salib. Namun, meskipun analisis tipologi ini sangat mengagumkan, ada beberapa pertanyaan yang masih belum terjawab. Bagaimana perasaan Ishak ketika dia tahu bahwa dia akan dikurbankan? Apakah dia dipaksa atau dengan sukarela memberikan dirinya? Apa alasannya?

Apakah Ishak dipaksa atau tidak untuk menjadi kurban? Jawabannya terletak pada usia Ishak pada saat kejadian. Banyak orang membayangkan bahwa Ishak masih kecil, dan dengan demikian, Abraham secara paksa mengikatnya dan dikorbankan. Namun, teks Kitab Suci menunjukkan bahwa dia bukan lagi seorang anak kecil karena dia memikul kayu untuk pengorbanan di bahunya. Karena kayu yang dibawa Ishak bukan untuk api biasa, melainkan untuk sebuah ritual pengorbanan, maka Ishak pastikan membawa kayu yang cukup banyak. Tentu saja, itu adalah pekerjaan yang TIDAK bisa dilakukan anak kecil. Dengan demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa Ishak tidak dipaksa karena, sebagai seorang pemuda, ia memiliki kekuatan fisik untuk melawan Abraham yang sudah tua. Ishak dengan sukarela memberikan dirinya sebagai kurban dan, mungkin bahkan, meminta Abraham untuk mengikatnya.

Namun, pertanyaannya belum terjawab: Apa yang Ishak rasakan? Mengapa ia rela untuk mengurbankan dirinya? Sayangnya, teks Alkitab tidak memberi kita jendela ke dalam hati Ishak. Namun, tidaklah sulit untuk merasakan kesusahan, kesedihan, dan ketakutan yang luar biasa. Dia adalah seorang pemuda yang masih memiliki masa depan yang masih panjang, namun dia akan kehilangan nyawanya pada saat itu. Dia tidak hanya menghadapi kematian, tetapi juga kematian yang kejam. Ia tidak memiliki banyak waktu merenungkan kehendak Tuhan. Semua akan terjadi dengan cepat. Tapi, Ishak tetap memberikan dirinya.

Kisah ini biasanya berfokus pada iman Abraham, yang menaati kehendak Allah dengan menyerahkan putra tunggalnya. Allah sendiri memberkati Abraham karena imannya yang teguh (lihat Kej. 22:16-17). Namun, kisah ini juga bercerita tentang iman Ishak. Dalam Alkitab, Ishak dianggap sebagai tokoh kecil di antara para bapa leluhur Israel. Dibandingkan dengan Abraham dan Yakub, kisah Ishak jauh lebih sedikit dan seringkali dia hanya mengambil peran yang lebih pasif. Namun, kisah ini telah membuktikan bahwa Ishak adalah tokoh yang memiliki iman yang besar. Bahkan, tanpa imannya, Abraham tidak akan menerima berkat Tuhan.

Iman Ishak sangat dewasa dan mendalam. Di tengah kesedihan dan ketakutan yang luar biasa, ia tetap teguh dan percaya bahwa Tuhan pada akhirnya akan menjadikan semua baik. Imannya juga membantunya untuk menyadari bahwa hidupnya adalah sebuah persembahan bagi Tuhan. Ketika ia mempersembahkan dirinya sebagai kurban, berkat Tuhan datang kepada Abraham. Iman Ishak bukan hanya tentang ‘percaya bahwa Tuhan itu ada’, bukan hanya tentang penerimaan pasif terhadap situasi, tetapi secara aktif berpartisipasi dalam kehendak Tuhan.

Bagaimana kita bereaksi dalam menghadapi situasi yang tidak pasti dan penderitaan? Takut, cemas, atau marah? Apakah iman itu bagi kita? Sekadar percaya kepada Allah, penyerahan diri secara pasif terhadap situasi yang tidak dapat dihindari, atau secara proaktif mencari kehendak Allah? Apakah kita juga mempersembahkan hidup kita sebagai persembahan kepada Tuhan sehingga orang lain dapat menerima berkat?

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

The Desert

1st Sunday of Lent [B]

February 18, 2024

Mark 1:12-15

What do we imagine when we hear the word ‘desert’? The image in our mind may vary depending on our experience and knowledge of the desert. Yet, we agree that the desert is barren, plagued by an unfriendly climate, and not a suitable place for humans to live. Then, why does the Spirit lead Jesus to the desert? Why do we need to experience desert moments?

When we have an image of a desert, we can think of a fertile garden as its opposition. The Bible gives us these two images, a garden, and a desert, as two contrasting places. Adam and Eve originally lived in the perfect garden, with everything provided. They had the best food and safest place; most of all, God was with them. Yet, they fell, and they had to leave the garden. They began their journey in a ‘desert’ where they had to work hard to earn their livings, where many dangers lurked, and death was their final destination.

Then, why did Jesus follow the Spirit to the desert? The answer is that Jesus is in the desert for us to find Him. Even the desert may become a holy place because our Saviour is there and blesses this place. Yes, the desert is a dangerous place, and even the evil spirits are lurking to snatch us away from God, yet Jesus is also there. His presence makes even the ugliest place on earth a beautiful and holy ground.

The presence of God in the desert is not even something new. Interestingly, the word desert in Hebrew is מדבר (read: midbar) and can be literally translated as ‘the place of the word.’ Indeed, the desert is where the Israelites endured many hardships and were tested, yet it is also where God manifested Himself and made a covenant with Israel through Moses. In fact, through the desert experience, God disciplined and formed His people.

Our natural inclination is to avoid a desert, whether a natural geographical place or a symbol of our difficult moments in life. We don’t want to experience pain and sickness, we hate to endure financial and economic difficulties, and we detest difficult relationships in our family or community. We want to be blessed, to be in the Paradise. Yet, we must not fear to walk through our deserts because Jesus is there. Indeed, our hardships can exhaust us and become the devil’s opportunity to tempt us hard, yet with Jesus, these experiences can be a means of holiness.

In the season of Lent, the Church teaches us to fast, to pray more frequently, and to increase our acts of charity. These practices invite us into the desert to feel hunger, experience discomfort, and enjoy fewer things that give us pleasure. Yet, paradoxically, when we enter voluntarily and faithfully this difficult desert of Lent, we may find Christ even there, and we are renewed in holiness.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Padang Gurun

Hari Minggu Pertama Masa Prapaskah [B]

18 Februari 2024

Markus 1:12-15

Apa yang kita bayangkan ketika mendengar kata padang gurun? Gambaran yang ada di benak kita mungkin sangat beragam, tergantung pada pengalaman dan pengetahuan kita tentang gurun. Namun, kita sepakat bahwa padang gurun adalah tempat yang tandus, diliputi oleh iklim yang tidak bersahabat, dan bukan tempat yang cocok untuk dihuni oleh manusia. Lalu, mengapa Roh Kudus membawa Yesus ke padang gurun? Mengapa kita perlu mengalami momen-momen padang gurun?

Ketika kita memiliki gambaran tentang padang gurun, kita dapat berpikir tentang hutan hijau atau taman yang subur sebagai kebalikannya. Faktanya, Alkitab memberikan dua gambaran ini, taman dan padang gurun, sebagai dua tempat yang kontras. Adam dan Hawa pada awalnya tinggal di taman yang sempurna, dengan segala kenikmatannya. Mereka memiliki makanan terbaik, tempat teraman, dan yang paling penting, Tuhan bersama mereka. Namun, mereka jatuh dalam dosa, dan mereka harus meninggalkan taman itu. Mereka memulai perjalanan mereka di ‘padang gurun’ di mana mereka harus bekerja keras untuk mencari nafkah, di mana banyak bahaya mengintai, dan kematian menjadi tujuan akhir mereka.

Lalu, mengapa Yesus berada di padang gurun? Jawabannya adalah bahwa Yesus ada di padang gurun agar kita dapat menemukan-Nya juga di sana. Bahkan padang gurun pun dapat menjadi tempat yang kudus, karena Juruselamat kita ada di sana dan memberkati tempat itu. Ya, padang gurun adalah tempat yang berbahaya, dan bahkan roh-roh jahat pun mengintai untuk merenggut kita dari Tuhan, namun Yesus juga ada di sana. Kehadiran-Nya membuat tempat yang paling jelek sekalipun di dunia ini menjadi tempat yang indah dan kudus.

Kehadiran Tuhan di padang gurun bukanlah sesuatu yang baru. Kata gurun dalam bahasa Ibrani adalah מדבר (baca: midbar), dan secara harfiah dapat diterjemahkan sebagai ‘tempat sabda’. Memang, gurun Sinai adalah tempat di mana bangsa Israel mengalami banyak kesulitan, dan diuji, namun juga tempat di mana Tuhan menyatakan diri-Nya dan membuat perjanjian dengan Israel melalui Musa. Bahkan, melalui pengalaman di padang gurun, Tuhan mendisiplinkan dan membentuk umat-Nya.

Kecenderungan alamiah kita adalah menghindari padang gurun, baik itu tempat geografis yang nyata maupun simbol untuk saat-saat sulit dalam hidup kita. Kita tidak ingin mengalami rasa sakit dan penyakit, kita benci menanggung kesulitan keuangan dan ekonomi, dan kita tidak mau hubungan yang sulit dalam keluarga atau komunitas kita. Kita ingin selalu diberkati, berada di Firdaus. Namun, sekarang, kita tidak perlu takut untuk berjalan melewati padang gurun karena Yesus ada di sana. Memang, kesulitan kita dapat membuat kita lelah dan menjadi kesempatan bagi iblis untuk mencobai kita dengan keras, namun bersama Yesus, pengalaman-pengalaman ini dapat menjadi sarana kekudusan.

Pada masa Prapaskah, Gereja mengajarkan kita untuk berpuasa, berdoa lebih intens dan meningkatkan amal kasih. Praktik-praktik ini mengundang kita untuk memasuki padang gurun, merasakan kelaparan, mengalami ketidaknyamanan, dan mengurangi hal-hal yang memberi kita kesenangan. Namun, secara paradoks, ketika kita memasuki padang gurun Prapaskah yang sulit ini dengan sukarela dan setia, kita dapat menemukan Kristus di sana, dan kita diperbaharui dalam kekudusan.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

For God’s Glory and Human Salvation

Sixth Sunday in Ordinary Time [B]

February 11, 2024

Mark 1:40-45

1 Cor 10:30 – 11:1

Towards the end of his letter to the Corinthians, St. Paul reminded us of two basic purposes of every disciple of Christ. The first one is, “…whatever you do, do all to the glory of God (1 Cor 10:31).” The second one is, “…in everything I do, not seeking my own advantage, but that of many, that they may be saved (1 Cor 10:33).” If we summarize these two verses, St. Paul said that in everything we do, we do for the glory of God and the salvation of others.

However, is it possible to do everything for God’s glory and others’ salvation? Many of us are busy working and occupied with many other things, and often, we just barely remember the presence of God, let alone praise and thank Him. Some of us even are struggling to attend Sunday Masses. Does it mean that we are failing in this regard?

We must remember that St. Paul did not instruct us to ‘say glory to Go’ but rather ‘do everything for God’s glory.’ It is not only about singing praise or uttering from our months “glory to God, glory to God” the whole day. But, fundamentally, it is to choose to do things pleasing to God, even the ordinary and routinary things. In our works, we give glory to God when we do honest jobs. Even as we watch something on the television or our gadgets, we can do it for God’s glory when we avoid seeing things that lead us to sins and choose to engage in what is truly beneficial. Certainly, we cannot give glory to God if we are idle or wasting our time on useless things.

The second purpose is to do everything so that others may find salvation. It is a wrong attitude if we are only focused on our salvation. Our faith is not selfish and individualistic but community-oriented and loving faith. Our salvation depends on the salvation of our neighbors, also. That is a Catholic faith, a faith for universal salvation. A man’s fundamental mission is to bring his wife closer to God. Parents’ salvation hinges on the growth of their children’s holiness.

But are we responsible for the salvation of all? Yes, we are called to preach the Gospel to all, but we are mainly responsible for those close to us, like family or community members. Yet, St. Paul also made a clear message, “Give no offense to Jews or to Greeks or to the church of God (1 Cor 10:32).” Though we are not actively responsible for the salvation of all, we are expected not to cause harms or scandals that may push people away from God. We are always witnesses and disciples of Christ in the world.

Lastly, these two basic missions instructed by St. Paul are the concretization of the most fundamental laws taught by Jesus: to love God and to love our neighbors (see Mat 22:37-38). In everything we do, we do it for the glory of God and the salvation of souls.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Untuk Kemuliaan Allah dan Keselamatan Manusia

Minggu ke-6 dalam Masa Biasa [B]
11 Februari 2024
Markus 1:40-45
1 Korintus 10:30 – 11:1

Menjelang akhir suratnya kepada jemaat di Korintus, Santo Paulus mengingatkan kita akan dua tujuan dasar setiap murid Kristus. Yang pertama adalah, “…segala sesuatu yang kamu perbuat, perbuatlah semuanya untuk kemuliaan Allah (1 Kor 10:31).” Yang kedua adalah, “…dalam segala sesuatu yang kulakukan, aku tidak mencari keuntungan bagiku sendiri, tetapi keuntungan bagi banyak orang, supaya mereka diselamatkan (1 Kor. 10:33).” Paulus mengatakan bahwa dalam segala sesuatu yang kita lakukan, kita melakukannya untuk kemuliaan Allah dan keselamatan sesama.

Namun, apakah mungkin kita melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan dan keselamatan sesama? Banyak dari kita yang sibuk bekerja dan disibukkan dengan banyak hal lain untuk kelangsungan hidup kita, dan seringkali, kita hampir tidak ingat akan hadirat Tuhan, apalagi memuji dan bersyukur kepada-Nya. Beberapa dari kita bahkan kesulitan untuk menghadiri Misa Mingguan. Apakah ini berarti kita gagal dalam hal ini?

Paulus tidak memerintahkan kita untuk ‘mengucapkan kemuliaan bagi Tuhan’ melainkan ‘melakukan segala sesuatu untuk kemuliaan Tuhan’. Ini bukan hanya tentang menyanyikan pujian atau mengucapkan “kemuliaan bagi Allah di surga” sepanjang hari. Pada dasarnya, apa yang bisa kita lakukan adalah memilih untuk melakukan hal-hal yang berkenan kepada Tuhan, bahkan dalam hal-hal yang biasa dan rutin. Dalam pekerjaan kita, kita memuliakan Allah ketika kita melakukan pekerjaan yang jujur. Bahkan ketika kita menonton sesuatu di televisi atau melihat konten di gadget kita, kita dapat melakukannya untuk kemuliaan Tuhan ketika kita menghindari melihat hal-hal yang membawa kita kepada dosa dan memilih untuk melakukan apa yang benar-benar bermanfaat. Tentu saja, kita tidak dapat memuliakan Allah jika kita menganggur atau membuang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak berguna.

Tujuan kedua adalah melakukan segala sesuatu agar orang lain mendapatkan keselamatan. Adalah sikap yang salah jika kita hanya berfokus pada keselamatan kita sendiri. Iman kita bukanlah iman yang mementingkan diri sendiri dan individualistis, tetapi iman yang berorientasi pada sesama dan penuh kasih. Keselamatan kita bergantung pada keselamatan sesama kita juga. Itulah iman Katolik, sebuah iman untuk keselamatan universal. Misi mendasar seorang suami adalah membawa istrinya lebih dekat kepada Allah. Keselamatan orang tua bergantung pada pertumbuhan kekudusan anak-anak mereka.

Tetapi, apakah kita bertanggung jawab atas keselamatan semua orang? Ya, kita dipanggil untuk memberitakan Injil kepada semua orang, tetapi kita terutama bertanggung jawab atas mereka yang dekat dengan kita, seperti keluarga atau anggota komunitas kita. Namun, Santo Paulus juga menyampaikan pesan yang jelas, “Jadilah tanpa cela bagi orang Yahudi atau orang Yunani atau Gereja Allah (1 Kor. 10:32).” Meskipun kita tidak secara aktif bertanggung jawab atas keselamatan semua orang, kita diharapkan untuk tidak menyebabkan kerugian atau skandal yang dapat mendorong orang menjauh dari Tuhan. Kita selalu menjadi saksi dan murid Kristus di dunia.

Terakhir, dua misi dasar yang diinstruksikan oleh Santo Paulus ini adalah konkretisasi dari hukum yang paling mendasar yang diajarkan oleh Yesus: mengasihi Allah dan mengasihi sesama kita (lihat Mat. 22:37-38). Dalam segala sesuatu yang kita lakukan, kita melakukannya untuk kemuliaan Allah dan keselamatan jiwa-jiwa.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Preaching the Gospel

5th Sunday in Ordinary Time [B]

February 5, 2024

Mark 1:29-39

Often, we believe that the task of preaching the Gospel is only for the bishops, the priests, and the deacons, or for the religious brothers and sisters or lay catechists. Yet, this is only partially true. The truth is that each baptized person has a responsibility. Yes, you and me! But How do we preach if we don’t have the talents or capacity to do that?

Firstly, we must recognize that to preach the Gospel is an essential part of our identity as Christians. To be Christian means we become the image of Christ, or ‘the other Christ’. In today’s Gospel, Jesus made it clear that His mission is to preach the Gospel. He refused to stop in one town and enjoy the praises of the people, but rather, He had to go to other places and preach. If Jesus is committed Himself in announcing the Good News, then we, as His image, are called to reflect this commitment also. A true Christian is one who faithfully preaches the Gospel.

Jesus recognizes this mission as part of His identity and hands it down to His Church as a commandment. After His resurrection, He instructed His disciples, “Go therefore and make disciples of all nations, baptizing them in the name of the Father and of the Son and of the Holy Spirit, and teaching them to obey everything that I have commanded you (Mat 28:19-20).” Again, this mission is not optional but a must for every disciple of Jesus.

The Church understands this mission, and thus, she teaches us, “Lay people also fulfill their prophetic mission by evangelization, “that is, the proclamation of Christ by word and the testimony of life… (CCC 905).” St. Thomas Aquinas, a theologian, wrote, “To teach to lead others to faith is the task of every preacher and of each believer (STh. III,71,4 ad 3).”

Yet, how do we preach if we do not have a talent and gift? Firstly, we recognize that they are kinds of preaching particularly entrusted to the clergy, like in the liturgy. The reason is that the Church wants to ensure that preaching in this sacred venue will be done solemnly and according to orthodoxy. However, there are many other opportunities for lay people to preach, and even, in fact, there are contexts in which only lay people can bring the Gospel: marriage and family.

In the family context, men and women are bound not only by their baptism to preach the Gospel but also by their marriage’s promises. Husband and wife bring each other closer to God, and parents educate their children to love God and train them in holiness. This mission requires no special talent or training but time and commitment. We spend time praying together as a family at home or in the church. We teach our children basic prayers. We offer a good role model to our children. We bring our children to our parish for baptism and other sacraments and receive various faith instructions from the priests and catechists.

The mission to preach the Gospel is not only essential to our identity as disciples of Christ, and even our salvation depends on it. Let St. Paul’s words be our motto, “Woe to me if I don’t preach the gospel (1 Cor 9:16).”

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Kita dan Pewartaan Injil

Hari Minggu ke-5 dalam Masa Biasa [B]

4 Februari 2024

Markus 1:29-39

Sering kali, kita berasumsi bahwa tugas pewartaan Injil hanya untuk para uskup, imam, dan diakon, atau untuk biarawan-biarawati atau katekis-katekis awam. Namun, anggapan ini kurang tepat. Yang benar adalah bahwa setiap orang yang dibaptis memiliki sebuah tanggung jawab untuk mewartakan Injil. Ya, Anda dan saya! Tetapi, bagaimana kita mewartakan jika kita tidak memiliki talenta atau kemampuan untuk melakukannya?

Pertama, kita harus menyadari bahwa mewartakan Injil adalah bagian penting dari identitas kita sebagai orang Kristen. Menjadi Kristen berarti kita menjadi ‘citra Kristus’, atau ‘Kristus yang lain.’ Dalam Injil hari ini, Yesus menegaskan bahwa misi-Nya adalah untuk mewartakan Injil. Dia menolak untuk berhenti di satu kota dan menikmati pujian dari orang-orang, tetapi Dia harus pergi ke tempat lain dan berkhotbah. Jika Yesus sendiri berkomitmen untuk memberitakan Kabar Baik, maka kita, sebagai citra-Nya, dipanggil untuk mewujudkan komitmen ini juga. Orang Kristen sejati adalah orang yang dengan setia mewartakan Injil.

Yesus mengakui misi ini sebagai bagian dari identitas-Nya dan menyerahkannya kepada Gereja-Nya sebagai sebuah perintah. Setelah kebangkitan-Nya, Dia mengamanatkan kepada murid-murid-Nya, “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu” (Mat. 28:19-20). Sekali lagi, misi ini bukanlah pilihan, melainkan kewajiban bagi setiap murid Yesus.

Gereja memahami misi ini, dan dengan demikian, Gereja mengajarkan kepada kita, “Kaum awam juga memenuhi misi kenabian mereka melalui penginjilan, “yaitu pewartaan Kristus dengan kata-kata dan kesaksian hidup… (KGK 905).” Santo Thomas Aquinas, seorang teolog, menulis, “Mengajar untuk menuntun orang lain kepada iman adalah tugas setiap pengkhotbah dan setiap orang beriman (STh. III, 71,4 ad 3).”

Namun, bagaimana kita berkhotbah jika kita tidak memiliki talenta dan karunia? Pertama, kita perlu menyadari bahwa ada jenis-jenis pewartaan yang secara khusus dipercayakan kepada para klerus, seperti di dalam liturgi. Alasannya adalah karena Gereja ingin memastikan bahwa pewartaan di tempat yang sakral ini akan dilakukan dengan khidmat dan sesuai dengan ajaran-ajaran Gereja yang benar. Namun, ada banyak kesempatan lain bagi umat awam untuk pewartaan, dan bahkan, pada kenyataannya, ada konteks-konteks di mana hanya umat awam yang dapat mewartakan Injil: pernikahan dan keluarga.

Dalam konteks keluarga, pria dan wanita tidak hanya terikat oleh baptisan mereka untuk memberitakan Injil, tetapi juga oleh janji pernikahan mereka. Suami dan istri membawa satu sama lain lebih dekat kepada Allah, dan orang tua mendidik anak-anak mereka untuk mengasihi Allah dan melatih mereka dalam kekudusan. Kita meluangkan waktu untuk berdoa bersama sebagai sebuah keluarga di rumah atau di gereja. Kita mengajarkan anak-anak kita doa-doa dasar. Kita memberikan teladan yang baik kepada anak-anak kita. Kita membawa anak-anak kita ke paroki untuk pembaptisan dan sakramen-sakramen lainnya serta menerima berbagai petunjuk iman dari para imam dan katekis. Misi ini tidak membutuhkan bakat atau pelatihan khusus, melainkan waktu dan komitmen, sesuatu yang dimiliki semua orang.

Misi pewartaan Injil tidak hanya sesuatu yang esensial dari identitas kita sebagai murid Kristus, dan bahkan keselamatan kita bergantung pada hal ini. Biarlah kata-kata Santo Paulus menjadi moto kita, “Celakalah aku, jika aku tidak mewartakan Injil” (1 Kor. 9:16).

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

The unclean spirits

Fourth Sunday in Ordinary Time [B]

January 28, 2024

Mark 1:21-28

One of the highlights of Jesus’ ministry is the exorcism of the unclean spirits. Mark, the evangelist even, does not hesitate to write that expelling the unclean spirits is part of Jesus’ teaching with authority. Jesus’ authority does not only affect His human hearers but also controls the unclean spirits. Yet, who are these unclean spirits? Why does Jesus have authority over them? And how do they affect our lives?

Based on the revelation and the tradition, the Church teaches that these spirits are also God’s creation. By nature, they are spirits or angels. As a spirit, they are creatures without a body, and since they are not affected by material limitations, they are naturally superior to us humans. However, unlike the good angels that use their power to help humans, these spirits do the opposite. They wish to harm men and women. That’s why they are called the evil spirits.

If God is good, why did God create evil beings? In the beginning, God created them as good spirits. Yet, as creatures with freedom, they made a definitive choice to go against their Creator. Their rebellion against God made them fall from grace, and thus, they were called ‘the fallen angels.’ (see CCC 391-395)

Then, why do the unclean spirits obey Jesus? The answer is straightforward. Jesus is their Creator. Jesus’ authority is reflected in the Greek word chosen when Jesus drives away the demons, ‘φιμοω’ (read: phimoo). Ordinarily, this word is translated as ‘be quiet,’ but literally, it means ‘to put a muzzle.’ It is like a farmer who places a muzzle on the mouth of his rowdy ox and thus puts it under submission. The idea is that Jesus is extremely powerful to the point that He could easily put evil spirits that are beyond human comprehension under His control.

One interesting fact also is that Mark does not call these fallen angels ‘evil spirits’ but rather ‘unclean spirits’ (πνευμα ἀκάθαρτον – pneuma akatarton). In the Jewish context, to be unclean means to be ritually unfit for God. Something or someone impure cannot enter the Temple of God and, thus, cannot offer worship and become far from God. These spirits are unclean precisely because they are not fit for God and, thus, far from Him.

We can also see the uncleanliness as an effect of the evil spirits. One who is under the dominion of the evil spirits becomes unclean and, thus, is far from God. One who lives in sin and, thus, distant from God is under the influence of evil spirits to a certain extent. From here, we can understand that Jesus’ mission to drive out the unclean spirits is an integral part of His mission to make people holy and to unite people with God.

The discussion on the evil spirits is certainly vast and intriguing, but it suffices to say that Jesus is infinitely superior to the evil spirits. Therefore, to live with and in Jesus is the only way to drive away the unclean ones. It is also true that as we go closer to Jesus, the evil spirits will double their efforts, and in this situation, all the more we must cling to Jesus.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Roh-Roh Jahat dan Najis

Hari Minggu Keempat dalam Masa Biasa [B]

28 Januari 2024

Markus 1:21-28

Salah satu hal yang paling menarik dalam pelayanan Yesus adalah pengusiran roh-roh jahat. Markus, sang penulis Injil, bahkan tidak ragu-ragu menuliskan bahwa mengusir roh-roh jahat merupakan bagian dari pengajaran Yesus yang penuh otoritas. Otoritas Yesus tidak hanya mempengaruhi pendengar manusia, tetapi juga mengendalikan roh-roh jahat. Namun, siapakah roh-roh jahat itu? Mengapa Yesus memiliki otoritas atas mereka? Dan bagaimanakah pengaruhnya terhadap kehidupan kita?

Berdasarkan Kitab Suci dan tradisi, Gereja mengajarkan bahwa roh-roh ini juga merupakan ciptaan Allah. Pada dasarnya, mereka adalah roh atau malaikat. Sebagai roh, mereka adalah makhluk tanpa tubuh, dan karena mereka tidak terpengaruh oleh keterbatasan materi, mereka secara alamiah jauh unggul daripada kita manusia. Namun, tidak seperti malaikat baik yang menggunakan kekuatan mereka untuk membantu manusia, roh-roh ini justru melakukan sebaliknya. Mereka ingin mencelakakan manusia. Itulah mengapa mereka disebut sebagai roh-roh jahat.

Jika Allah itu baik, mengapa Allah menciptakan makhluk yang jahat? Pada awalnya, Allah menciptakan mereka sebagai roh-roh yang baik. Namun, sebagai makhluk yang memiliki kebebasan, mereka membuat pilihan yang definitif untuk menentang Pencipta mereka. Pemberontakan mereka terhadap Allah membuat mereka jatuh dari rahmat, dan oleh karena itu, mereka disebut “malaikat-malaikat yang jatuh”. (lihat KGK 391-395)

Lalu, mengapa roh-roh jahat bisa taat kepada Yesus? Jawabannya sangat mudah. Yesus adalah Pencipta mereka. Otoritas Yesus tercermin dalam kata Yunani yang dipilih ketika Yesus mengusir roh-roh jahat, ‘φιμοω’ (baca: phimoo). Biasanya, kata ini diterjemahkan sebagai ‘diam,’ tetapi secara harfiah, kata ini berarti ‘memasang moncong’ (alat yang dipasang di mulut binatang untuk membuatnya diam). Ini seperti seorang petani yang meletakkan moncong di mulut lembu yang gaduh sehingga membuatnya tunduk. Idenya adalah bahwa Yesus sangat berkuasa sampai-sampai Dia dapat dengan mudah menundukkan roh-roh jahat di bawah kendali-Nya.  

Satu fakta yang menarik adalah bahwa Markus tidak menyebut malaikat-malaikat yang jatuh itu sebagai ‘roh-roh jahat’, melainkan ‘roh-roh najis’ (πνευμα ἀκάθαρτον – pneuma akatarton). Dalam konteks Yahudi, najis berarti tidak layak bagi Allah secara ritual. Sesuatu atau seseorang yang najis tidak dapat masuk ke dalam Bait Allah dan, sebagai konsekuensi, tidak dapat mempersembahkan penyembahan dan menjadi jauh dari Allah. Roh-roh ini najis karena mereka tidak layak bagi Allah dan jauh dari-Nya.

Kita juga dapat melihat kenajisan sebagai efek dari roh-roh jahat. Orang yang berada di bawah kekuasaan roh-roh jahat menjadi najis dan jauh dari Allah. Orang yang hidup dalam dosa dan jauh dari Allah, berada di bawah pengaruh roh-roh jahat sampai batas tertentu. Dari sini, kita dapat memahami bahwa misi Yesus untuk mengusir roh-roh jahat merupakan bagian integral dari misi-Nya untuk membuat manusia menjadi kudus dan menyatukan manusia dengan Allah.

Pembahasan mengenai roh-roh jahat tentu saja sangat luas dan menarik, tetapi cukuplah untuk mengatakan bahwa Yesus jauh lebih unggul daripada roh-roh jahat ini. Oleh karena itu, hidup bersama dan di dalam Yesus adalah satu-satunya cara untuk mengusir roh-roh jahat. Juga benar bahwa ketika kita semakin dekat dengan Yesus, roh-roh jahat akan melipatgandakan usaha mereka, dan justru dalam situasi ini, kita harus semakin berpegang teguh pada Yesus.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

What is Gospel?

Third Sunday in Ordinary Time [B]

January 21, 2023

Mark 1:14-20

Jesus began His ministry by preaching, “The time has been fulfilled, the kingdom is at hand; repent and believe in the Gospel!” Yet, the question is, ‘What is the Gospel we need to believe in?’ Indeed, it is not the four written Gospels (Matthew, Mark, Luke, and John) since these were written years after Jesus’ death and resurrection. So, what is the Gospel here?

The most basic understanding of the Gospel is ‘the good news.’ It comes from the Greek word ‘ευαγγελιον’ (read: Evangelion). This word itself is composed of two elements: ‘ευ’ meaning ‘happy’ or ‘good,’ then ‘αγγελιον’ meaning ‘news.’ In the time of Jesus, the word ‘ευαγγελιον’ is not just any good news like “I passed the exam” or “I received a bonus.” The word is an imperial technical term to point to the emperor’s major victory or to the emperor’s birthday celebration. Every time ‘ευαγγελιον’ was announced, there would be great joy among the people because the enemy had been defeated, and now the residents of the empire may live in peace.

Jesus used the same imperial vocabulary but adjusted its content to His purpose. It was no longer about the good news about the Roman empire but about the Kingdom of God. It was no longer about the emperor’s glory but now about Jesus. Those living at that time may respond differently to Jesus’ Gospel. One could consider Jesus insane, delusional, or a liar, and thus, His Gospel was nothing but a laughable lie. Others might see Jesus as subversive; thus, His Gospel was a call to rebellion against the Roman empire. We recall also that this subversive understanding of the Gospel was later used to accuse Jesus before Pilate. Jesus was ‘the king of the Jews’ against the Roman emperor.

However, Jesus proved these assumptions were simply incorrect. Jesus did not preach empty words; He taught with authority and performed mighty miracles. Even the demons were obedient to His words. He was not also a revolutionary political fighter because His Kingdom is not of this world (see John 18:36), and how He refused to be made king by his supporters (see John 6:15). Jesus’ Kingdom is the Kingdom of God of holiness. The only way to enter is repentance (metanoia). The word metanoia presupposes a change of ‘mind’ or ‘lifestyle’ from a life of sins and far from God into a life according to God’s law and, thus, life with God.

Thus, from this perspective, we can say that ‘believe in the Gospel’ means that we believe in the Kingdom of God and Jesus, the king of the Kingdom, who saves us from sins and brings us back to God. And the way to believe is none other than repentance. To say, “I believe in Jesus,” yet we keep stealing other people’s money, is just nonsense. To say, “I trust in God,” but we keep breaking His laws and commandments, is useless. ‘

Another interesting fact! The actual Greek Mark used for ‘believe’ is ‘πιστεύετε’ (pisteuete), and grammatically, it is imperative mode in the present tense. In ancient Greece, this imperative presence means a command to do something, not one time but continuously. Thus, Mark wants to emphasize that belief is a continuous process rather than a one-time action. Belief in Jesus is something that is growing and dynamic rather than static.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Apa itu Injil?

Hari Minggu Ketiga dalam Masa Biasa [B]

21 Januari 2024

Markus 1:14-20

Yesus memulai misi-Nya dengan menyatakan, “Waktunya telah genap, Kerajaan Allah sudah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil!” Namun, pertanyaannya adalah, “Injil apakah yang harus kita percayai?” Tentu saja, Injil yang dimaksud bukanlah keempat Injil tertulis (Matius, Markus, Lukas, dan Yohanes) karena Injil-injil tersebut ditulis beberapa tahun setelah kematian dan kebangkitan Yesus. Jadi, apakah yang dimaksud dengan Injil di sini?

Pengertian paling dasar dari Injil adalah ‘kabar baik’. Kata ini berasal dari kata Yunani ‘ευαγγελιον’ (baca: Evangelion). Kata ini sendiri terdiri dari dua unsur: ‘ευ’ yang berarti ‘bahagia’ atau ‘baik’, lalu ‘αγγελιον’ yang berarti ‘berita’. Pada zaman Yesus, kata ‘ευαγγελιον’ bukanlah sembarang kabar baik seperti “Saya lulus ujian” atau “Saya menerima hadiah.” Kata ini adalah istilah teknis kekaisaran Roma untuk menunjukkan kemenangan besar kaisar atau perayaan ulang tahun kaisar. Setiap kali ‘ευαγγελιον’ diumumkan, akan ada sukacita besar bagi rakyat karena musuh telah dikalahkan, dan sekarang penduduk kekaisaran dapat hidup dengan tenang.

Yesus menggunakan kosakata kekaisaran yang sama tetapi menyesuaikan isinya dengan tujuan-Nya. Injil bukan lagi tentang kabar baik tentang kekaisaran Romawi, tetapi tentang Kerajaan Allah. Injil ini bukan lagi tentang kemenangan kaisar, tetapi tentang kemenangan Yesus. Mereka yang hidup pada masa itu mungkin akan merespons Injil Yesus dengan cara yang berbeda. Orang mungkin menganggap Yesus gila, atau bahkan pembohong, dan dengan demikian, Injil-Nya tidak lain adalah kebohongan yang menggelikan. Orang lain mungkin melihat Yesus sebagai seorang yang subversif-revolusioner, dan dengan demikian, Injil-Nya adalah sebuah seruan untuk memberontak terhadap kekaisaran Romawi. Kita juga ingat bahwa pemahaman subversif tentang Injil ini kemudian digunakan untuk menuduh Yesus di hadapan Pilatus. Yesus adalah ‘raja orang Yahudi’ yang menentang kaisar Romawi.

Namun, Yesus membuktikan bahwa anggapan ini tidak benar. Yesus tidak mewartakan Injil kata-kata kosong; Dia mengajar dengan penuh kuasa dan melakukan mukjizat-mukjizat yang dahsyat. Bahkan setan-setan pun taat kepada perkataan-Nya. Dia juga bukan seorang pejuang politik yang revolusioner karena Kerajaan-Nya bukan dari dunia ini (lihat Yoh 18:36), dan bagaimana Dia menolak untuk diangkat menjadi raja oleh para pendukung-Nya (lihat Yoh 6:15). Kerajaan Yesus adalah Kerajaan Allah yang kudus. Satu-satunya cara untuk masuk ke dalamnya adalah melalui pertobatan (metanoia). Kata metanoia mengandaikan adanya perubahan ‘pikiran’ atau ‘gaya hidup’ dari kehidupan yang penuh dengan dosa dan jauh dari Allah menjadi kehidupan yang sesuai dengan hukum Allah, dan dengan demikian, hidup bersama Allah.

Jadi, dari perspektif ini, kita dapat mengatakan bahwa ‘percaya kepada Injil’ berarti kita percaya kepada Kerajaan Allah dan Yesus, raja dari Kerajaan itu, yang menyelamatkan kita dari dosa-dosa dan membawa kita kembali kepada Allah. Dan bukti kita percaya tidak lain adalah dengan bertobat. Mengatakan, “Saya percaya kepada Yesus,” tetapi kita tetap mencuri uang orang lain, adalah omong kosong. Mengatakan, “Saya percaya kepada Tuhan,” tetapi kita tetap melanggar hukum dan perintah-Nya, adalah sia-sia.

Fakta menarik lainnya! Kata Yunani yang sebenarnya digunakan oleh Markus untuk ‘percaya’ adalah ‘πιστεύετε’ (pisteuete), dan secara tata bahasa, kata ini merupakan bentuk imperatif dalam bentuk waktu sekarang (present tense). Dalam bahasa Yunani kuno, bentuk imperatif ini berarti perintah untuk melakukan sesuatu, bukan hanya sekali tetapi terus menerus. Dengan demikian, Markus ingin menekankan bahwa percaya adalah sebuah proses yang berkelanjutan dan bukannya sebuah tindakan yang dilakukan sekali saja. Percaya kepada Yesus adalah sesuatu yang bertumbuh dan dinamis, bukan statis.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Name and Holiness

2nd Sunday in the Ordinary Time [B]

January 14, 2024

John 1:35-42

At the beginning of John’s Gospel, we encounter three acts of naming. Firstly, when John the Baptist saw Jesus, he called Him ‘The Lamb of God’. Then, after staying for a day with Jesus, Andrew called Him the ‘Messiah’ or ‘Christ’ [meaning: the anointed one]. Lastly, after Jesus encountered Simon, Andrew’s brother, He named him ‘Cephas’ in Aramaic, or ‘Petros’ in Greek [meaning: rock]. Why the act of naming is important in the Gospel?

We recall that the act of naming fundamentally belongs to God. God is omnipotent, and so, with every name God uttered, that name became a reality, from nothing to something. “God said, ‘Let there be light!’ And, there was light.” Every time God named and created something, the ever-greater goodness took place. On the final day, God named ‘the seventh day’ as ‘holy.’ Holiness is when a name becomes a reality and that reality reaches its fullness and perfection according to God’s plan.

The Holy Spirit inspired John the Baptist to name Jesus as the Lamb of God. This brings forth the reality that Jesus would be ‘slaughtered’ and ‘consumed’ to save His people from the slavery of sin, like the Passover lamb that was slaughtered and eaten to protect the Israelites from death and liberate them from slavery in Egypt. The Holy Spirit also inspired Andrew to name Jesus as the Messiah. This reveals the reality that Jesus is the promised Anointed one who would fulfill the promises and prophecies of the Old Testament, especially as the King of the New Israel. Jesus’ name is holy because precisely in His name, God’s redemption plan reached its full reality. After all, He is the Word that was made flesh (see John 1:14).

When Jesus called Simon and gave him a new name, ‘Cephas,’ the new reality came into existence. Simon would become the rock where Jesus’ Church rested. Obviously, Simon was impulsive, short-tempered, and even cowardly. Yet, since Jesus named him, the name was part of Jesus’ divine plan. Jesus knew Simon was weak; Jesus allowed Simon to falter, yet Jesus also transformed and empowered him. The name that Jesus had planted at their first encounter finally became a full reality when Simon offered his life as a martyr of Christ in the city of Rome.

We believe that we exist not because of random chance, utterly unplanned, but because of God’s divine plan. We are in the world not only because of biological processes but because God gives us a name, from nothingness to reality. Indeed, God allows us to experience suffering and even failures, yet this is also part of His plan to make us holy.

Holiness is when the names God gave us become more and more reality. How? Like Simon, we do our best to follow His will in our lives, be more patient in suffering, and avoid anything that strays from Him.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Nama dan Kekudusan

Hari Minggu ke-2 dalam Masa Biasa [B]

14 Januari 2024

Yohanes 1:35-42

Di awal Injil Yohanes, kita menemukan tiga peristiwa pemberian nama. Pertama, ketika Yohanes Pembaptis melihat Yesus, ia menyebut-Nya ‘Anak Domba Allah’. Kemudian, setelah tinggal satu hari bersama Yesus, Andreas menyebut-Nya ‘Mesias’ atau ‘Kristus’ [artinya: yang diurapi]. Terakhir, setelah Yesus bertemu dengan Simon, saudara Andreas, Yesus menamai dia ‘Kefas’ dalam bahasa Aram, atau ‘Petros’ dalam bahasa Yunani [artinya: batu karang]. Mengapa tindakan memberi nama itu penting dalam Injil dan juga hidup kita?

Kita ingat bahwa tindakan pemberian nama pada dasarnya adalah milik Allah. Allah itu mahakuasa, sehingga dengan setiap nama yang diucapkan, nama tersebut menjadi kenyataan, dari tidak ada menjadi ada. “Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang! Maka jadilah terang.” Setiap kali Allah menamai dan menciptakan sesuatu, kebaikan yang lebih besar terjadi. Pada hari terakhir, Allah menamai ‘hari ketujuh’ sebagai hari yang ‘kudus’. Kekudusan adalah ketika sebuah nama menjadi sebuah kenyataan dan kenyataan itu mencapai kepenuhan dan kesempurnaannya sesuai dengan rencana Allah.

Roh Kudus mengilhami Yohanes Pembaptis untuk menamai Yesus sebagai Anak Domba Allah. Hal ini memunculkan realitas bahwa Yesus akan ‘disembelih’ dan ‘dimakan’ untuk menyelamatkan umat-Nya dari perbudakan dosa, sama seperti anak domba Paskah yang disembelih dan dimakan untuk melindungi orang Israel dari kematian dan membebaskan mereka dari perbudakan di Mesir. Roh Kudus juga mengilhami Andreas untuk menamai Yesus sebagai Mesias. Hal ini mengungkapkan kenyataan bahwa Yesus adalah Yang Diurapi yang akan menggenapi janji-janji dan nubuat-nubuat dalam Perjanjian Lama, terutama sebagai Raja Israel Baru. Nama Yesus adalah nama yang kudus karena justru di dalam nama-Nya, rencana penebusan Allah mencapai kenyataan sepenuhnya. Bagaimanapun juga, Dia adalah Firman yang telah menjadi manusia (lihat Yohanes 1:14).

Ketika Yesus memanggil Simon dan memberinya nama baru, ‘Kefas,’ realitas baru pun muncul. Simon akan menjadi batu karang di mana Gereja Yesus bertumpu. Jelas sekali, Simon adalah orang yang impulsif, pemarah, dan bahkan pengecut. Namun, karena Yesus telah menamainya, nama itu adalah bagian dari rencana ilahi Yesus. Yesus tahu bahwa Simon lemah; Yesus mengizinkan Simon goyah bahkan menyangkal-Nya, tetapi Yesus juga mengubah dan memberdayakannya. Nama yang telah ditanamkan Yesus pada pertemuan pertama mereka akhirnya menjadi kenyataan ketika Simon mempersembahkan nyawanya sebagai martir Kristus di kota Roma.

Kita percaya bahwa kita ada bukan karena kebetulan, sesuatu yang sama sekali tidak direncanakan, tetapi karena rencana ilahi. Kita ada di dunia bukan hanya karena proses biologis, tetapi karena Tuhan memberi kita nama, dari ketiadaan menjadi ada. Memang, Tuhan mengijinkan kita mengalami penderitaan dan bahkan kegagalan, namun ini juga merupakan bagian dari rencana-Nya untuk menjadikan kita kudus.

Kekudusan adalah ketika nama-nama yang Tuhan berikan kepada kita menjadi semakin nyata. Bagaimana caranya? Seperti Simon, kita melakukan yang terbaik untuk mengikuti kehendak-Nya dalam hidup kita, menjadi lebih sabar dalam penderitaan, dan menghindari apa pun yang menyimpang dari-Nya.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

The Magi and the Truth

The Epiphany of the Lord
January 7, 2024
Matthew 2:1-12 [B]

The Christmas season ends with the feast of Epiphany. This ancient feast is associated with the story of the Magi from the East who visited the child Jesus in Bethlehem. The story is a fitting conclusion to the Christmas season since the Magi represented the nations of the world who came and worshiped the newborn king. Jesus was born not only to be the Messiah of the Jews but also the Savior of the nations.

The identity of the Magi remains largely a mystery. The earliest depiction in the Basilica of the Nativity in Bethlehem presented them dressed in Persian clothes (presently Iran). But, some fathers of the Church believed that they were Chaldeans (now Iraq). Others still argued that they were coming from northern Syria because they were thought to be the descendants of Baalam (see Num 22). Finally, we are not really sure. The Bible describes them as ‘Magos’; in the Bible itself, ‘Magos’ has ambiguous meanings. The word Magos can be negatively associated with a sorcerer, one who practiced magic and even to earn money and fame (see Acts 13:6). Yet, the term can also be translated as a sage or wise man, one who dedicated himself in search of Truth.

The Church’s traditions tend to see the Magi as the wise men from the East. These were people who offered their lives in search of the Truth. Yet, living two millennia before us, they did not enjoy the fruits of scientific revolutions and methods. They had to rely on limited resources and information, often mixed with myths and superstitions. They did not have chemistry yet, but rather alchemy (protoscience that aims to transform one material into something else like gold or medicine). They did not yet understand astronomy principles but contended with astrology (a pseudo-science that reads the celestial bodies and how they relate to human fates). The majority of their literature probably dealt with magic rather than true science.

However, despite their limitations, God recognized their sincere effort and thus led them to the Truth himself through the star. After all, God placed in their hearts the profound thirst for Truth. They proved their commitment as they left their palaces’ comfort and embarked on a long, dangerous journey. We are also not sure what Baltazar, Melchior, and Gaspar (as the tradition calls them) truly experienced when they discovered Jesus, the Truth. We are confident that the Magi are the symbols of humanity in search of Truth for God Himself.

Like the Magi, God also created us as beings that possess a fundamental hunger for Truth. Unfortunately, this hunger for Truth does not find its fulfillment because of sins. The sin of laziness poisons our desire for Truth and chains us in our comfort zones. The sin of lust turns our desire for Truth into carnal desire. The sin of pride makes us believe that we already possess the Truth and we do not need God’s grace. Learning from the Magi, we recognize that sciences are also parts of God’s providence to lead us into ultimate Truth to Himself.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Orang Majus dan Kebenaran

Hari Raya Penampakan Tuhan – Epifani [B]
7 Januari 2024
Matius 2:1-12

Masa Natal berakhir dengan perayaan Epifani. Perayaan kuno ini erat hubungannya dengan kisah orang Majus dari Timur yang mengunjungi bayi Yesus di Bethlehem. Kisah ini merupakan penutup yang tepat untuk masa Natal karena orang Majus mewakili bangsa-bangsa di dunia yang datang dan menyembah raja yang baru lahir. Yesus lahir bukan hanya sebagai Mesias bagi orang Yahudi, tetapi juga Juruselamat bagi semua bangsa.

Identitas orang Majus masih menjadi misteri besar. Lukisan paling awal di Basilika Kelahiran Yesus di Bethlehem menampilkan mereka mengenakan pakaian Persia (sekarang Iran). Namun, beberapa bapa Gereja percaya bahwa mereka adalah orang Kasdim (sekarang Irak). Yang lain berpendapat bahwa mereka berasal dari Suriah utara karena mereka dianggap sebagai keturunan Baalam (lihat Bil. 22). Alkitab menggunakan kata ‘Magos’, dan di dalam Alkitab sendiri, kata ‘Magos’ memiliki arti yang ambigu. Kata Magos dapat diasosiasikan secara negatif dengan tukang sihir, untuk mendapatkan uang dan ketenaran (lihat Kisah13:6). Namun, istilah ini juga dapat diterjemahkan sebagai orang bijak, mereka yang mendedikasikan dirinya untuk mencari Kebenaran.

Tradisi Gereja cenderung melihat orang Majus sebagai orang bijak dari Timur. Mereka adalah orang-orang yang memberikan hidup mereka untuk mencari Kebenaran. Namun, hidup dua milenium sebelum kita, mereka tidak menikmati metode ilmiah dan ilmu pengetahuan modern. Mereka harus mengandalkan sumber daya dan informasi yang terbatas, yang sering kali bercampur dengan mitos dan takhayul. Mereka belum mengenal ilmu kimia, melainkan alkimia (proto-sains yang bertujuan untuk mengubah suatu bahan menjadi bahan lain seperti emas atau obat-obatan). Mereka belum memahami prinsip-prinsip astronomi, namun mereka lebih banyak berkutat pada astrologi (ilmu semu yang membaca benda-benda langit dan bagaimana hubungannya dengan nasib manusia). Mayoritas literatur mereka mungkin lebih banyak membahas tentang ilmu gaib daripada ilmu pengetahuan yang benar.

Namun, terlepas dari keterbatasan mereka, Tuhan melihat upaya tulus mereka, dan dengan demikian menuntun mereka kepada Kebenaran sejati melalui bintang-Nya. Bagaimanapun juga, Tuhan jugalah menempatkan kehausan yang mendalam akan Kebenaran di dalam hati mereka. Mereka membuktikan komitmen mereka ketika mereka meninggalkan kenyamanan istana mereka dan memulai perjalanan yang panjang dan berbahaya. Kita juga tidak yakin apa yang sebenarnya dialami oleh Baltazar, Melkior, dan Gaspar (sebagaimana tradisi menyebutnya) ketika mereka menemukan Yesus, Sang Kebenaran. Namun, kita yakin bahwa orang Majus adalah simbol dari umat manusia yang sedang mencari Kebenaran untuk Tuhan sendiri.

Seperti orang Majus, Tuhan juga menciptakan kita sebagai makhluk yang memiliki rasa lapar yang mendalam akan Kebenaran. Sayangnya, rasa lapar akan Kebenaran ini sering kali tidak terpenuhi karena dosa. Dosa kemalasan meracuni hasrat kita akan Kebenaran dan membelenggu kita dalam zona nyaman. Dosa hawa nafsu mengubah keinginan kita akan Kebenaran menjadi keinginan daging. Dosa kesombongan membuat kita percaya bahwa kita telah memiliki kebenaran dan kita tidak membutuhkan rahmat Allah. Belajar dari orang Majus, kita menyadari bahwa ilmu pengetahuan juga merupakan bagian dari penyelenggaraan Allah untuk menuntun kita ke dalam Kebenaran yang hakiki.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Wives, Husband and Family in God’s Plan

Feast of the Holy Family of Jesus, Mary and Joseph

December 31, 2023

Luke 2:22-40

“Wives, be subordinate to your husbands, as is fitting in the Lord [Col 1:18].” To us, modern readers, the words of St. Paul raise our eyebrows. How come St. Paul instructed women to be subjected and even slaves to men? Were not men and women created equal in dignity? Is St. Paul anti-women or even a misogynist?

To answer these objections, we must understand the historical context of St. Paul and the Church in Colossae. In the Greco-Roman society of the first century AD, women were basically the household property of men. They were primarily responsible for producing legitimate heirs to their husbands and were expected to care for the house. They were to obey their husbands in all respects. Indeed, there were strong and dominant women, but these were exceptions. Even for the women of nobility, though they enjoyed rare lives of luxury, they also turned out to be political tools. They were offered as brides to secure political alliances and the families’ economic security.

Reading St. Paul in this context, his letter is, in fact, revolutionary. In the section of the instructions to the Christian families (see Col 3:18-21), St. Paul did not write, “Husbands, tell your wives that they need to be your subjects!” Instead, he addressed his female readers directly and made his instructions clear to them. This writing style unearthed Paul’s fundamental understanding of the relationship between men and women: wives stand on equal ground with their husbands. What is even more remarkable is that St. Paul mentioned the women first and the men second. This was unheard of! St. Paul transgressed the cultural limitations to preach, “For as many of you as were baptized into Christ have put on Christ. There is neither Jew nor Greek, there is neither slave nor free, there is neither male nor female; for you are all one in Christ Jesus [Gal 3:27-28].”

Now, how do we understand Paul’s word, ‘be subordinate’? St. Paul used the original Greek word ‘ὑποτάσσω’ (read: hupotasso). It literally means ‘to be assigned under.’ So, the wives are assigned under the husbands. Yet, it does not mean that women are lower in human dignity and status in the family. St. Paul understood that the human family is also a form of human community, and any human community need ‘order’ to flourish. A leader is a responsible person who ensures that the order works properly and, thus, generates the greatest good for everyone in the community. In a family context, St. Paul recognized the husband is the leader of an order called family.

St. Paul further clarified this ‘subordination’ by his instruction to the husbands, “Husbands, love your wives, and avoid any bitterness toward them.” For Paul, family is an order of love. Yes, the men are the heads of families, but they are not tyrants but the leaders of love. Men who are naturally stronger physically are expected to protect and provide for the family. Paul expected husbands to give up their lives for their families, as Christ gave His life for the Church (see Eph 5:25). Thus, ‘ὑποτάσσω’ means that wives are under the radical love of husbands.

We recognize that Paul’s ideal is not always happening. Because of our weakness and the devil’s attack, we fall into sin, and we fail to become a good husband or wife. Yet, we must not lose hope because this is God’s plan for us, and we continue to strive in holiness through God’s grace.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Istri, Suami dan Keluarga dalam Rencana Ilahi

Pesta Keluarga Kudus Yesus, Maria dan Yusuf
31 Desember 2023
Lukas 2:22-40

“Hai istri-istri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.” [Kol 1:18-19].” Bagi kita, para pembaca modern, kata-kata Santo Paulus ini membuat kita terheran-heran. Paulus memerintahkan wanita untuk tunduk dan menjadi bawahan dari suami? Bukankah pria dan wanita diciptakan sederajat? Apakah Santo Paulus anti perempuan?

Untuk menjawab keberatan-keberatan ini, kita harus memahami konteks historis Santo Paulus dan Gereja di Kolose. Dalam masyarakat Yunani-Romawi pada abad pertama Masehi, perempuan pada dasarnya adalah properti rumah tangga laki-laki. Mereka terutama bertanggung jawab untuk menghasilkan keturunan yang sah bagi suami dan diharapkan untuk merawat rumah tangga. Mereka harus mematuhi suami mereka dalam segala hal. Memang, ada wanita-wanita yang kuat dan dominan, tetapi ini adalah pengecualian. Bahkan bagi para wanita bangsawan, meskipun mereka menikmati kehidupan mewah yang langka, mereka juga menjadi alat politik. Mereka ditawarkan sebagai pengantin untuk mengamankan aliansi politik dan keamanan ekonomi keluarga.

Dalam konteks ini, surat Paulus sebenarnya sesuatu yang revolusioner. Pada bagian instruksi untuk keluarga Kristiani (lihat Kol 3:18-21), Santo Paulus tidak menulis, “Hai suami, beritahukanlah kepada istrimu, bahwa mereka harus tunduk kepadamu!” Sebaliknya, ia menyapa para pembaca wanitanya secara langsung (tidak melalui suami mereka). Gaya penulisan ini menunjukkan pemahaman Paulus yang mendasar tentang hubungan antara pria dan wanita: istri berdiri sejajar dengan suami mereka. Yang lebih luar biasa lagi adalah Paulus menyebutkan perempuan terlebih dahulu dan laki-laki di urutan kedua. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya! Paulus melanggar batasan budaya pada zamannya untuk mewartakan, “Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus [Gal. 3:27-28].”

Sekarang, bagaimana kita memahami kata Paulus, ‘tunduklah’? Paulus menggunakan kata Yunani ‘ὑποτάσσω’ (baca: hupotasso). Secara harfiah kata ini berarti ‘ditugaskan di bawah’. Jadi, para istri ditugaskan di bawah para suami. Namun, ini tidak berarti bahwa perempuan lebih rendah martabatnya dan statusnya dalam keluarga. Paulus memahami bahwa keluarga juga merupakan suatu bentuk komunitas manusia, dan setiap komunitas manusia membutuhkan sebuah ‘tatanan’ (organisasi) untuk berkembang. Seorang pemimpin adalah orang yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa ‘tatanan’ berjalan dengan baik dan, dengan demikian, menghasilkan kebaikan terbesar bagi semua orang dalam komunitas. Santo Paulus menyatakan bahwa suami adalah pemimpin dari tatanan keluarga.

Paulus memperjelas ‘ὑποτάσσω’ ini dengan instruksinya kepada para suami, “Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.” Bagi Paulus, keluarga adalah sebuah tatanan kasih. Ya, para pria adalah kepala keluarga, tetapi mereka bukanlah diktator, melainkan pemimpin kasih. Laki-laki yang secara alamiah lebih kuat secara fisik diharapkan untuk melindungi dan menafkahi keluarga. Paulus mengharapkan para suami untuk menyerahkan hidup mereka bagi keluarga mereka, sebagaimana Kristus telah menyerahkan hidup-Nya bagi Gereja (lihat Efesus 5:25). Dengan demikian, ‘ὑποτάσσω’ berarti istri berada di bawah perlindungan dan kasih dari para suami.

Kita menyadari bahwa cita-cita Paulus tidak selalu terjadi. Karena kelemahan kita dan serangan iblis, kita jatuh ke dalam dosa, dan kita gagal menjadi suami atau istri yang baik. Namun, kita tidak boleh kehilangan harapan karena ini adalah rencana Allah bagi kita, dan kita terus berjuang dalam kekudusan melalui kasih karunia Allah.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

The Joy of Christmas

The Nativity of our Lord (Christmas)

December 25, 2023

Luke 2:1-14

Merry Christmas!

The Lord is born, and there is a great joy in heaven and earth. However, what is the reason behind this joy of Christmas? There is joy not because we can gather with our family and relatives and have a good Christmas party. The joy is not because we have gifts and bonuses, nor because we travel and have our vacations. So, what is behind this joy?

Christmas is the day that our Savior is born. This birth is not just a natural biological process involving a man and a woman. This birth is a supernatural event that takes its root from God’s love for us, pitiful sinners. God had countless options to redeem us, yet He chose the most intimate way. God the Father sent His Son, and the Son took His second nature, that is, human nature in the Virgin Mary. In this way, God becomes intimately close to us, thus, His title, Immanuel, God-with-us. He is with us not only in spiritual or mystical manners but in the most humanly possible. He is a baby Mary could feed, Joseph could embrace, and shepherds could see.

However, Christmas is the cause of rejoicing not only in a theological sense but also because it is a strong reminder for all of us. We are living in a changing culture and mindset. Many couples no longer want to have children. Indeed, there are some valid reasons, such as economic hardship that makes it impossible to raise children or certain medical conditions that can be dangerous for the mothers. Yet, many also consider having children a burden, and thus, want only to have the fun things in marriage but get away with the difficult parts, including raising children.

However, Christmas reminds us that while it is true that having children carries its own hardship, it also brings joy. It is true that after receiving Jesus, Mary and Joseph did not get a better life; in fact, they had to endure more suffering. Yet, Mary and Joseph celebrated the birth of the Son of God. We must not forget that the countless angelic community sang glory to the Lord in heaven, and on earth, the shepherds rushed to joyfully greet Mary and Joseph [see Luk 2].

Getting pregnant is indeed a painful and laborious process, and educating our children can often be economically and emotionally challenging. Yet, God also provides abundant joy for parents. There is immense and indescribable joy when the mother sees her newborn baby for the first time. When the parents lovingly interact with their babies, the bodies intensely produce ‘positive’ hormones like oxytocin and dopamine. A friend who recently had a baby recounted her joy every time she noticed simple yet significant growth in her baby. There is joy when the baby begins to pronounce words clearly. There is joy when the baby starts recognising and distinguishing her parents’ faces from others.

Christmas teaches us that there is great joy in heaven when a baby is conceived and born because this baby is a potential citizen of heaven. Now, it is our joy to bring our children entrusted to us to God and share the fullness of life with Him.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Sukacita Natal

Hari Raya Kelahiran Tuhan Yesus (Natal)
25 Desember 2023
Lukas 2:1-14

Selamat Natal!
Tuhan telah lahir, dan ada sukacita besar di surga dan di bumi. Namun, apa alasan di balik sukacita Natal ini? Sukacita ini ada bukan karena kita bisa berkumpul dengan keluarga dan kerabat dan mengadakan pesta Natal yang meriah. Sukacita ini ada bukan karena kita mendapatkan hadiah dan bonus, juga bukan karena kita berlibur dan healing. Jadi, apa sebenarnya di balik sukacita ini?

Natal adalah hari kelahiran Juruselamat kita. Kelahiran ini bukan hanya sebuah proses biologis alamiah yang melibatkan seorang pria dan wanita. Kelahiran ini adalah sebuah peristiwa adikodrati yang berakar dari kasih Allah kepada kita, para pendosa. Allah memiliki banyak sekali pilihan untuk menebus kita, namun Dia memilih cara yang paling intim. Allah Bapa mengutus Putra-Nya, dan Sang Putra mengambil kodrat-Nya yang kedua, yaitu kodrat manusia dalam diri Perawan Maria. Dengan cara ini, Allah menjadi sangat dekat dengan kita, sehingga gelar-Nya, Imanuel, Allah yang bersama kita, menjadi sebuah kenyataan. Dia bersama kita tidak hanya dalam cara-cara rohani atau mistik, tetapi dalam cara yang paling manusiawi. Dia adalah bayi yang Maria susui, Yusuf peluk, dan para gembala kunjungi. Dia adalah yang wafat disalib dan bangkit pada hari ketiga. Dia adalah yang naik ke surga, dan yang hadir di setiap Ekaristi. Dia, sang Immanuel, Allah yang bersama kita sampai akhir zaman.

Namun, Natal juga memberikan kita alasan lain untuk bersukacita. Kita hidup dalam budaya dan pola pikir yang telah berubah. Banyak pasangan yang tidak lagi ingin memiliki anak. Memang, ada beberapa alasan yang sah, seperti kesulitan ekonomi yang tidak memungkinkan untuk membesarkan anak atau kondisi medis tertentu yang dapat membahayakan ibu. Namun, banyak juga yang menganggap memiliki anak hanya sebagai beban, dan dengan demikian, hanya ingin menikmati hal-hal yang menyenangkan dalam pernikahan tetapi tidak ingin terlibat dalam hal-hal yang sulit, termasuk membesarkan anak.

Namun, Natal mengingatkan kita bahwa meskipun benar bahwa memiliki anak membawa kesusahan tersendiri, namun juga membawa sukacita. Memang benar bahwa setelah menerima Yesus, Maria dan Yusuf tidak mendapatkan kehidupan yang lebih baik; bahkan mereka harus menanggung lebih banyak penderitaan. Namun, Maria dan Yusuf tetap merayakan kelahiran Anak Allah. Kita tidak boleh lupa bahwa bala malaikat yang tak terhitung jumlahnya penuh suka cita dan bernyanyi kemuliaan bagi Allah di surga, dan di bumi, para gembala bergegas menyambut Maria dan Yusuf dengan penuh sukacita [lihat Lukas 2].

Kehamilan memang merupakan proses yang menyakitkan dan melelahkan, dan mendidik anak-anak sering kali dapat menjadi tantangan secara ekonomi dan emosional. Namun, Tuhan juga menyediakan sukacita yang berlimpah bagi para orang tua. Ketika orang tua berinteraksi dengan penuh kasih dengan bayi mereka, tubuh akan memproduksi hormon ‘positif’ seperti oksitosin dan dopamin. Seorang teman yang baru saja memiliki bayi menceritakan kegembiraannya setiap kali ia melihat pertumbuhan yang sederhana namun signifikan pada bayinya. Ada kegembiraan ketika bayi mulai mengucapkan kata-kata dengan jelas. Ada sukacita ketika bayi mulai mengenali dan membedakan wajah orang tuanya dengan orang lain. Seorang teman lain juga bercerita bagaimana ada sukacita yang tak terlukiskan saat melihat wajah sang bayi yang terlahir sehat, setelah mengalami beberapa kali keguguran.

Natal mengajarkan kepada kita bahwa ada sukacita yang besar di surga ketika seorang bayi dikandung dan dilahirkan karena bayi ini adalah calon warga surga. Sekarang, adalah sukacita kita untuk membawa anak-anak yang dipercayakan kepada kita kepada Tuhan dan berbagi kepenuhan hidup dengan-Nya.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Full of Grace

4th Sunday of Advent [B]

December 24, 2023

Luke 1:26-38

‘Full of Grace’ is the most iconic title of the Blessed Virgin Mary. Every time we recite ‘Hail Mary,’ we immediately recognize that the first title after the name of Mary is full of grace. Not only is it her most recognized title, but it is also the most ancient. Even it goes back to the Bible, the first chapter of Luke’s Gospel. The angel Gabriel appeared and greeted Mary, ‘Hail, full of grace!’ (Luk 1:28). However, if we carefully read this passage, the title ‘Full of Grace’ is not there. What did the angel say to Mary? Why do we have ‘Full of Grace’ in the first place?

The title ‘Full of Grace’ appears in the Vulgate version of the Bible. Vulgate is the Latin Bible translation done by St. Jerome in the early fifth century. In Latin, it is ‘gracia plena’. Since Latin is the official language of the Roman Catholic Church, ‘gracia plena’ became the standard title of Blessed Virgin Mary and got translated into different languages. When ‘Hail Mary’ and the holy rosary became the most popular devotion in the Catholic world, the title ‘full of grace’ could no longer be separated from Mary, the mother of Jesus. But what is written in the Bible?

What St. Luke wrote in Greek is ‘κεχαριτωμένη’ (read: kecharitomene), and it literally means ‘one who has been graced’ or ‘one who has received grace.’ So, is St. Jerome mistaken? Not really. St. Jerome decided not to make a literal translation but rather a more poetic one, and by this choice, St. Jerome wanted to draw our attention to the total and continuous presence of grace in the life of Mary. Yet, why is the title ‘κεχαριτωμένη’ extremely important for Mary and us?

Firstly, we need to understand the meaning of the word ‘grace .’In Greek, it is ‘χάρις’ (read: Charis), and its most fundamental meaning is ‘gift’ or ‘favor .’Yet, in the New Testament, the word grace does not simply mean any gift, like birthday or graduation gifts, but it is the ultimate and the most important gift. Grace refers to God’s gift of salvation. The salvation is not only from sins and death but also for God. When we are saved, not only are our sins forgiven, but we are also enabled to share the divine life of the Holy Trinity. Grace is the gift of salvation, the gift of holiness, and the gift of heaven. (for a fuller discussion, see CCC 1996-2007)

Mary is wholly unique because she is the first person who has received grace even before our Lord was crucified and resurrected, and in fact, before He was born. The reality of grace perfectly manifested in her. It is not that Mary was worthy but that she was chosen. She did not earn it, but grace was given freely. It is not because of Mary’s plan but God’s providence. Yet, the moment of Annunciation also shows us that grace is free but never cheap. Though grace has filled her since the beginning, Mary still has to make the free choice to accept the grace and make it fruitful in her life. Thus, she said, “May it be done to me according to your word!” Mary’s yes to God’s grace is not only a one-time action but a lifetime commitment, even in the face of the cross.

Our Savior has died, risen for us, and poured out His grace for our redemption. Yet, like Mary, we must choose freely to accept the grace in our lives; through it, we flourish in God’s friendship. This is why we avoid sins, go to the mass regularly and devoutly, or do works of mercy. Not because we want to earn salvation, but to grow in God’s grace and express our thanks for the grace freely given.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Penuh Rahmat

Minggu ke-4 Masa Adven [B]
24 Desember 2023
Lukas 1:26-38

“Penuh Rahmat” adalah gelar yang tak terpisahkan dari Maria. Setiap kali kita mengucapkan doa ‘Salam Maria’, kita langsung menyadari bahwa gelar pertama setelah nama Maria adalah ‘penuh rahmat’. Tidak hanya gelar ini yang paling dikenal, tetapi juga yang paling kuno. Bahkan gelar ini berasal dari Alkitab, yaitu pada bab pertama Injil Lukas. Malaikat Gabriel menampakkan diri dan menyapa Maria, “Salam, penuh rahmat!” Namun, jika kita membaca ayat ini dengan saksama, sebutan ‘Penuh Rahmat’ sebenarnya tidak ada di sana (lih. Luk 1:28). Lalu, apa yang dikatakan malaikat kepada Maria? Mengapa kita mengunakan kata ‘Penuh Rahmat’?

Kata ‘Penuh Rahmat’ muncul dalam Alkitab versi Vulgata. Vulgata sendiri adalah terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin oleh Santo Heronimus pada awal abad ke-5. Dalam bahasa Latin, kata ini adalah ‘gratia plena’. Karena bahasa Latin adalah bahasa resmi Gereja Katolik Roma, ‘gratia plena’ akhirnya menjadi gelar standar Maria dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia, ‘penuh rahmat.’ Ketika ‘Salam Maria’ dan doa rosario menjadi devosi yang paling populer di dunia Katolik, gelar ‘penuh rahmat’ tidak dapat lagi dipisahkan dari Maria. Namun, apa yang sebenarnya tertulis di dalam Alkitab?

Lukas menulis dalam bahasa Yunani ‘κεχαριτωμένη’ (baca: kecharitomene) yang secara harfiah berarti ‘dia yang telah diberi rahmat.’ Jadi, apakah Santo Heronimus keliru? Tidak juga. Heronimus memutuskan untuk tidak membuat terjemahan harfiah, melainkan terjemahan yang lebih puitis. Dengan pilihan ini, Santo Heronimus ingin menarik perhatian kita pada kehadiran rahmat secara total dan terus menerus dalam kehidupan Maria. Namun, mengapa gelar ‘κεχαριτωμένη’ sangat penting bagi Maria dan bagi kita?

Pertama, kita perlu memahami arti kata ‘rahmat’. Dalam bahasa Yunani, kata ini berarti ‘χάρις’ (baca: charis) dan arti yang paling mendasar adalah ‘anugerah’, ‘pemberian’ atau ‘hadiah’. Namun, dalam Perjanjian Baru, kata rahmat tidak hanya berarti hadiah secara umum, seperti hadiah ulang tahun atau hadiah kelulusan, tetapi rahmat adalah hadiah yang paling utama dan paling penting. Rahmat mengacu pada anugerah keselamatan dari Tuhan. Dan, keselamatan itu tidak hanya selamat dari dosa dan kematian, tetapi juga selamat untuk Allah. Ketika kita diselamatkan, bukan hanya dosa-dosa kita yang diampuni, tetapi kita juga dimampukan untuk berpartisipasi pada kehidupan ilahi sang Allah Tritunggal. Rahmat adalah karunia keselamatan, karunia kekudusan, dan karunia surga. (untuk diskusi yang lebih lengkap, lihat KGK 1996-2007)

Maria sepenuhnya unik karena dia adalah orang pertama yang telah menerima rahmat bahkan sebelum Tuhan kita disalibkan dan bangkit, dan bahkan, sebelum Dia dilahirkan. Realitas rahmat secara sempurna dimanifestasikan di dalam diri Maria. Rahmat hadir bukan karena Maria layak, tetapi karena ia dipilih. Bukan karena usahanya, tetapi karena rahmat diberikan secara cuma-cuma. Bukan karena rencana Maria, tetapi karena penyelenggaraan Allah. Namun, momen Kabar Sukacita juga menunjukkan kepada kita bahwa rahmat itu benar-benar cuma-cuma, tetapi tidak pernah murahan. Meskipun rahmat telah memenuhi diri Maria sejak awal, Maria masih harus membuat pilihan bebas untuk menerima rahmat tersebut dan membuatnya berbuah dalam hidupnya. Karena itu, ia berkata, “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu!” Jawaban ya dari Maria terhadap rahmat Allah bukan hanya satu kali, tetapi sebuah komitmen seumur hidup, bahkan dalam menghadapi salib.

Juruselamat kita telah wafat dan bangkit bagi kita dan mencurahkan rahmat-Nya untuk penebusan kita. Namun, seperti Maria, kita harus memilih dengan bebas untuk menerima rahmat tersebut dalam hidup kita, dan melaluinya, kita bertumbuh dalam persahabatan dengan Allah. Inilah sebabnya mengapa kita berusaha menghindari dosa, pergi ke misa secara teratur dan pantas, dan melakukan karya-karya belas kasih. Bukan karena kita ingin mendapatkan keselamatan dengan usaha kita sendiri, melainkan kita ingin bertumbuh dalam rahmat Allah, dan mengungkapkan rasa syukur kita atas rahmat keselamatan yang diberikan secara cuma-cuma.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Rejoice, Pray, and Give Thanks

Gaudete Sunday. 3rd Sunday of Advent [B]

December 17, 2023

John 1:6-8, 19-28

In this Gaudete Sunday, St Paul teaches, “Rejoice always. Pray without ceasing. In all circumstances, give thanks, for this is the will of God for you in Christ Jesus. [1 The 5:16].” St. Paul gives us three fundamental characteristics of Christians: to rejoice always, pray ceaselessly, and give thanks in all things. St. Paul reminds us that these characters are not an option but God’s will for us. Yet, how can we be joyful amid suffering? How can we pray when we are occupied with our duties and work? How can we give thanks in times of trial?

The key is that we cannot rely on our power but on God’s grace that empowers us to do these three impossible tasks. Through God’s grace, we are empowered to rejoice always, even amid difficult times. Rejoice [Greek ‘χαίρω’ – chairo] is neither simply a fleeting emotion nor happiness that comes from externally induced substance. To rejoice is an action we choose to do. This action flows from the realization that God is in control of every event of our lives. Even in the most painful moments, God allows those to occur because He has a good purpose for us. Indeed, God does not tell us in advance His plans, making it complicated. Yet, the Holy Spirit comes and bestows us faith and hope in Him and His providence.

God’s grace also enables us to thank the Lord every moment. To be grateful and to rejoice are, in fact, closely connected, just like two sides of the same coin. We can give thanks in all circumstances because the Holy Spirit helps us to see that everything we do and experience has a purpose. And, when everything we do, we do for the love of God. This act became a blessing and a cause of joy. The word for give thanks in Greek is ‘εὐχαριστέω’ [eucharisteo], and it has the same root as the word Eucharist. Thus, every time we celebrate the Eucharist, we offer our sacrifice of Jesus Christ and our lives as thanksgiving to God.

Lastly, how do we pray without ceasing? To spend a little time for prayer every day is already difficult. Does it mean we have to resign from our jobs, abandon our responsibilities in the family, and enter seclusion to pray? Indeed, there are better things to do than this. To pray unceasingly can be done at least in two ways. Firstly, we pray as a community of believers, the Church, one body of Christ. Thus, when we cannot pray this time, other brothers and sisters in other places will pray for us and on our behalf. Since millions of Catholics pray worldwide, our prayers are unbroken and unstoppable.

Secondly, we rely on the Holy Spirit to pray for us. St. Paul himself told us, “Likewise the Spirit helps us in our weakness; for we do not know how to pray as we ought, but the Spirit himself intercedes for us with sighs too deep for words (Rom 8:26-27).” We ask the Holy Spirit to be present and sanctify every activity of our day, and before we rest, we offer our day to the Lord.

Rejoice always, pray ceaselessly, and give thanks in all things!

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Bersukacita, Berdoa, dan Bersyukur

Hari Minggu Gaudete. Minggu ke-3 Masa Adven [B]
17 Desember 2023
Yohanes 1:6-8, 19-28

Pada Minggu Gaudete ini, Santo Paulus mengajarkan, “Bersukacitalah selalu. Berdoalah tanpa henti. Dalam segala keadaan, mengucap syukurlah, karena itulah yang dikehendaki Allah bagi kamu dalam Kristus Yesus. (1 Tes 5:16).” Paulus memberi kita tiga karakteristik dasar orang Kristen: bersukacita senantiasa, berdoa tanpa henti, dan mengucap syukur dalam segala hal. Paulus mengingatkan kita bahwa karakter-karakter ini bukanlah sebuah pilihan, melainkan kehendak Tuhan bagi kita. Namun, bagaimana kita dapat bersukacita di tengah penderitaan? Bagaimana kita dapat berdoa ketika kita disibukkan dengan tugas dan pekerjaan kita? Bagaimana kita dapat mengucap syukur di tengah-tengah pencobaan?

Kuncinya adalah kita tidak dapat mengandalkan kekuatan kita sendiri, tetapi pada rahmat Allah yang memampukan kita untuk melakukan ketiga tugas yang mustahil ini. Melalui rahmat Allah, kita dimampukan untuk selalu bersukacita, bahkan di tengah-tengah masa-masa sulit. Bersukacitalah [bahasa Yunani ‘χαίρω’ – chairo] bukanlah sekadar emosi sesaat atau rasa senang yang berasal dari hal-hal yang berasal dari luar. Bersukacita adalah sebuah pilihan. Tindakan ini mengalir dari kesadaran bahwa Tuhan memegang kendali atas setiap peristiwa dalam hidup kita. Bahkan pada saat-saat yang paling menyakitkan sekalipun, Tuhan mengizinkan hal itu terjadi karena Dia memiliki tujuan yang baik bagi kita. Memang, Tuhan tidak memberitahukan kepada kita sebelumnya rencana-Nya. Namun, Roh Kudus datang dan memberikan kita iman dan pengharapan kepada-Nya dan penyelenggaraan-Nya.

Rahmat Tuhan juga memampukan kita untuk bersyukur kepada-Nya setiap saat. Bersyukur dan bersukacita, pada kenyataannya, berhubungan erat, seperti dua sisi mata uang yang sama. Kita dapat mengucap syukur dalam segala situasi karena Roh Kudus menolong kita untuk melihat bahwa segala sesuatu yang kita lakukan dan alami memiliki tujuan. Dan, ketika segala sesuatu yang kita lakukan, kita lakukan demi kasih Allah. Tindakan ini menjadi berkat dan penyebab sukacita. Kata untuk mengucap syukur dalam bahasa Yunani adalah ‘εὐχαριστέω’ [eucharisteo], dan kata ini memiliki akar kata yang sama dengan kata Ekaristi. Dengan demikian, setiap kali kita merayakan Ekaristi, kita mempersembahkan kurban Yesus Kristus dan hidup kita sebagai ucapan syukur kepada Allah.

Terakhir, bagaimana kita berdoa tanpa henti? Meluangkan sedikit waktu untuk berdoa setiap hari saja sudah sulit. Apakah itu berarti kita harus mundur dari pekerjaan kita, meninggalkan tanggung jawab kita dalam keluarga, dan menyepi masuk goa untuk berdoa? Tentu saja tidak! Berdoa tanpa henti dapat dilakukan setidaknya dengan dua cara. Pertama, kita berdoa sebagai komunitas orang beriman, yakni Gereja, tubuh Kristus yang satu. Dengan demikian, ketika kita tidak dapat berdoa pada saat ini, saudara-saudari kita di tempat lain akan berdoa untuk kita dan atas nama kita. Karena jutaan umat Katolik berdoa di seluruh dunia, doa-doa kita tidak terputus.

Kedua, kita mengandalkan Roh Kudus untuk berdoa bagi kita. Paulus sendiri mengatakan kepada kita, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita, sebab kita tidak tahu, bagaimana harus berdoa seperti yang seharusnya, tetapi Roh sendiri yang berdoa untuk kita dengan keluhan-keluhan yang tidak terungkapkan dengan kata-kata (Rm. 8:26-27).” Kita meminta Roh Kudus untuk hadir dan menguduskan setiap kegiatan kita, dan sebelum kita beristirahat, kita mempersembahkan hari kita kepada Tuhan.

Bersukacitalah selalu, berdoalah tanpa henti, dan mengucap syukurlah dalam segala hal!

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Hope and Dream

2nd Sunday of Advent [B]

December 10, 2023

Mark 1:1-8

What are your dreams and hopes in life? The answers can be extremely diverse. Students dream of finishing their studies and graduating from their schools with honors. Others wish to work in big companies or have respectable businesses. Others hope to achieve high-level careers or acquire cozy properties and flashy cars. Yet, we can also dream for other people, like parents, who wish their children to grow healthy and succeed.

Why do we have hopes and dreams and hopes? Unlike animals, we not only wish to survive but also want to become a much better version of ourselves. Our material and biological composition alone cannot explain this ability to hope. There is something beyond this body and this world. Pope Benedict XVI beautifully offers us an answer through his encyclical Spe Salvi, “Man was created for greatness—for God himself; he was created to be filled by God. But his heart is too small for the greatness to which it is destined. It must be stretched.” The reason that God has given us these immortal souls and through our dreams and hopes, we are enlarging our souls and eventually being ready, through the help of grace, to receive God.

Advent is the season of hope because this season teaches us to hope rightly. We can learn from our Gospel. St. Mark opened his Gospel by presenting John the Baptist, who announced the true hope of Israel, that the Lord is coming. During this time, Israelites lived through extremely harsh times under the Roman Empire. The taxes were choking their necks, the Roman-appointed rulers like Herod were cruel, and some Jews were stealing and scamming fellow poorer Jews. At this time, it was easy to fall into despair and stop hoping, or they developed a delusion that the Messiah would come as a military leader that would lead them to bloody victory against their oppressors. John told them to keep hoping because the Lord was coming, but he also reminded them that the best preparation was not political nor military ways but repentance. For, God of Israel is neither a god of war, nor a god of wealth, nor a god of politics, but He is the God of holiness.

We live in a much better time than the ancient Israelites, yet terrible things can always diminish or even corrupt our capacity to hope. Economic difficulties, broken relationships, and failures to achieve our dreams are to name a few. We may live depressed, hopeless, and in survival mode, no different from many animals. Or, we may grow delusions and false expectations. We falsely expect God to be a magician, so we go to the Church and pray because God will grant us anything we wish. We also may fall into the temptation to utilize evil and unjust ways to realize our dreams.

The season of Advent teaches us to hope and dream. The season introduces us to the biggest dream in our lives: to be saints, that is, to welcome God, and to be with God. We must dare to hope despite countless challenges and failures, yet we shall see our hopes and dreams into building blocks to stretch our souls to receive God.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Harapan dan Impian

Minggu ke-2 Masa Adven [B]
10 Desember 2023
Markus 1:1-8

Apa impian dan harapan Anda dalam hidup ini? Jawabannya bisa sangat beragam. Para pelajar bermimpi untuk menyelesaikan studi mereka dan lulus dari sekolah dengan prestasi. Ada juga yang ingin bekerja di perusahaan besar atau memiliki bisnis sendiri. Yang lain ingin mencapai karier yang tinggi atau memiliki rumah yang nyaman dan mobil yang keren. Namun, pertanyaannya: Mengapa kita memiliki harapan, impian, dan cita-cita?

Tidak seperti hewan, kita tidak hanya tergerak oleh insting untuk bertahan hidup, tapi kita juga memiliki hasrat untuk menjadi versi yang jauh lebih baik dari diri kita sendiri. Kemampuan untuk berharap ini tidak dapat dijelaskan oleh komposisi biologis kita saja. Ada sesuatu di luar tubuh dan dunia ini. Paus Benediktus XVI dengan indahnya memberikan jawaban melalui ensikliknya Spe Salvi, “Manusia diciptakan untuk sesuatu yang besar – untuk Tuhan sendiri; ia diciptakan untuk dipenuhi oleh Tuhan. Namun hatinya terlalu kecil untuk hal besar yang disiapkan untuknya. Ia harus diluaskan.” Kenapa kita punya harapan? Karena Tuhan menciptakan kita di dunia ini, tetapi bukan untuk dunia ini, tetapi untuk-Nya. Dia telah memberikan kita jiwa yang abadi, dan melalui mimpi dan harapan kita, kita memperbesar jiwa kita dan pada akhirnya siap, melalui bantuan rahmat, untuk menerima Tuhan.

Masa Adven adalah masa pengharapan karena masa ini mengajarkan kita untuk berharap dengan benar. Kita dapat belajar dari Injil hari ini. Markus membuka Injilnya dengan menampilkan Yohanes Pembaptis yang mewartakan pengharapan sejati bangsa Israel, bahwa Tuhan akan datang. Pada masa itu, bangsa Israel telah hidup dalam masa-masa yang sangat sulit di bawah kekaisaran Romawi. Pajak mencekik leher mereka, para penguasa yang ditunjuk Romawi seperti Herodes sangat kejam dan brutal, dan beberapa orang Yahudi mencuri dan menipu sesama orang Yahudi yang lebih miskin. Pada saat itu, mudah sekali untuk jatuh dalam keputusasaan dan berhenti berharap, atau mereka mengembangkan khayalan bahwa Mesias akan datang sebagai pemimpin militer yang akan membawa mereka ke dalam kemenangan berdarah melawan para penindas mereka. Yohanes mengatakan kepada mereka untuk tetap berharap karena Tuhan memang akan datang, tetapi ia juga mengingatkan mereka bahwa persiapan yang terbaik bukanlah dengan bermanuver politis atau mengumpulkan kekuatan militer, tetapi dengan pertobatan. Tuhan Allah Israel bukanlah dewa perang, bukan dewa uang, dan juga bukan dewa politik, tetapi Allah kekudusan.

Kita hidup di masa yang jauh lebih baik daripada bangsa Israel kuno, namun selalu ada hal-hal buruk yang dapat mengurangi atau bahkan merusak kemampuan kita untuk berharap dan bermimpi. Kesulitan ekonomi, rusaknya relasi, dan kegagalan dalam meraih impian kita, adalah beberapa di antaranya. Hal-hal ini dapat menyebabkan kita hidup dengan kekecewaan, dan bahkan putus asa. Kemudian, kita mungkin mengembangkan pengharapan yang salah. Kita secara keliru mengharapkan Tuhan sebagai tukang sulap, sehingga kita pergi ke Gereja dan berdoa karena Tuhan akan mengabulkan apa pun yang kita inginkan. Kita juga dapat jatuh ke dalam pencobaan untuk menggunakan cara-cara yang jahat dan tidak adil untuk mewujudkan impian-impian kita.

Masa Adven mengajarkan kita untuk berharap dan bermimpi. Bahkan, masa ini mengajarkan kita untuk memiliki mimpi terbesar dalam hidup kita: menjadi kudus, yakni menyambut Tuhan dan hidup bersama-Nya. Kita harus berani berharap meskipun ada banyak tantangan dan kegagalan, namun kita harus melihat harapan dan impian kita sebagai batu-batu bangunan yang dapat memperluas jiwa kita untuk menerima Tuhan.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Kedatangan Ketiga Yesus Kristus

Minggu Pertama Masa Adven [B]
3 Desember 2023
Markus 13:33-37

Kita memasuki masa Adven, dan tahun liturgi baru Gereja telah dimulai. Adven sendiri berasal dari kata Latin ‘Adventus,’ dan secara harfiah berarti ‘kedatangan.’ Berdasarkan Kitab Suci dan Tradisi, Gereja mengajarkan bahwa Kristus datang dua kali. Kedatangan-Nya yang pertama terjadi di Bethlehem sekitar dua ribu tahun yang lalu, dan kedatangan Yesus yang kedua akan terjadi pada penghakiman terakhir sebagai raja di atas segala raja dan hakim atas segalanya. Masa liturgi ini mengingatkan dan mempersiapkan kita untuk kedua kedatangan Yesus. Namun, ada kedatangan Kristus yang lain, yang juga disebut kedatangan Kristus yang ketiga. Apakah artinya? Dan, bagaimana kedatangan Kristus yang ketiga menghubungkan dua kedatangan lainnya?

Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, kita akan merenungkan lebih dalam tentang hubungan antara kedatangan Kristus yang pertama dan yang kedua, karena bagaimana Yesus datang untuk pertama kalinya memberikan kita pelajaran yang sangat berharga untuk mempersiapkan diri kita bagi kedatangan-Nya yang kedua kali. Bagaimanakah Yesus datang untuk pertama kalinya? Dia dilahirkan oleh Maria, seorang perawan yang sederhana, istri Yusuf, seorang tukang kayu miskin. Dia bukan berasal dari keluarga Herodes yang berpengaruh atau dinasti Kaisar Romawi yang berkuasa. Dia lahir di tempat yang paling tidak layak, sebuah gua kandang yang kotor di Betlehem, dan bukan di istana kerajaan atau rumah sakit kelas satu. Dia dilahirkan sebagai manusia yang paling lemah, seorang bayi, dan tidak turun dari langit seperti superhero. Kedatangan-Nya yang pertama mengajarkan kita sebuah pelajaran berharga bahwa Yesus hadir di tempat yang paling hina, di antara orang-orang sederhana, dan pada saat-saat yang paling tidak terduga. Sebagaimana Yesus tiba di Betlehem secara tidak terduga, demikian juga, Dia akan datang pada saat-saat terakhir dalam kedatangan-Nya yang kedua.

Sebagaimana banyak orang gagal mengenali kedatangan Mesias yang pertama, kita juga mungkin gagal untuk bersiap-siap menghadapi penghakiman terakhir. Lalu, apa yang harus kita lakukan untuk mengantisipasi kedatangan-Nya yang kedua? Kebenaran ini menuntun kita kepada “kedatangan Kristus yang ketiga”. Apakah itu? Kedatangan yang ketiga mengacu pada kedatangan dan kehadiran Yesus di antara kita dalam kehidupan kita sehari-hari, meskipun dengan cara yang tidak terduga. Pada masa Adven, kita mempersiapkan diri kita untuk kedatangan Kristus yang kedua dengan merefleksikan kedatangan-Nya yang pertama dan, dengan demikian, mengenali dan menyambut “kedatangan-Nya yang ketiga” dalam hidup kita. Semakin kita dapat menemukan Kristus dalam kedatangan-Nya yang ketiga, semakin kita dipersiapkan untuk kedatangan-Nya yang terakhir.

Lalu, apa saja manifestasi dari kedatangan Kristus yang ketiga?

  1. Yang pertama dan utama adalah Ekaristi yang kudus. Di sini, Yesus sungguh-sungguh dan benar-benar hadir, namun kita membutuhkan iman yang besar untuk menerima Dia, yang hadir dalam bentuk roti dan anggur.
  2. Dia juga hadir dalam kata-kata Kitab Suci. Gereja dengan teguh percaya bahwa Alkitab adalah Firman Allah dalam bentuk tertulis. Dengan membaca dan merenungkannya, kita berjumpa dengan Yesus yang berbicara kepada kita.
  3. Santo Paulus juga mengajarkan kepada kita bahwa Gereja adalah tubuh Kristus. Dengan demikian, berjumpa dengan Kristus tidak dapat dilakukan tanpa berjumpa dengan tubuh-Nya, yaitu Gereja. Namun, juga benar bahwa seringkali, adalah hal yang paling sulit untuk melihat Kristus di dalam Gereja karena beberapa anggota Gereja masih jauh dari keserupaan dengan Kristus. Namun, hal ini menjadi kesempatan yang sangat baik untuk melakukan tindakan kasih dan menjadi serupa dengan Kristus.
  4. Terakhir, kita berjumpa dengan Kristus dalam diri saudara dan saudari kita yang kurang beruntung, seperti yang Yesus katakan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40).

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

The Third Coming

First Sunday of Advent [B]

December 3, 2023

Mark 13:33-37

We are entering the Advent season, and the new liturgical year of the Church has begun. Advent itself is from the Latin word ‘Adventus,’ and it literally means ‘the coming.’ In light of the Scriptures and Tradition, the Church teaches two arrivals of Christ. His first coming was in Bethlehem around two millennia ago, and the second coming of Jesus will be at the final judgment as the king of kings and the judge of all. This liturgical season reminds and prepares us for both comings of Jesus. However, there is another coming of Christ, also called the third coming of Christ. What does it mean? And, how does the third coming of Christ connect the other two comings?

Before we answer this question, we shall reflect more deeply on the relationship between the first and second coming of Christ because how Jesus came for the first time should give us precious lessons in preparing ourselves for His second coming. How did Jesus come for the first time? He was born of Mary, a humble virgin married to Joseph, a poor carpenter, and neither to the powerful family of Herod nor to the ruling dynasty of Caesar. He was born in the most unworthy place, a dirty cave in Bethlehem, and not in a royal palace or a first-class hospital. He was born as the weakest human being, a baby, and not coming down from the skies like a superhero. The first coming teaches us a precious lesson that Jesus is present in the humblest places, among the simple people, and at the most unexpected moments. As Jesus arrived in Bethlehem most unexpectedly, so also, He will come for the final moment in His second coming.

As many people failed to recognize the first arrival of the Messiah, we might also fail to be ready for this last judgment. Then, how shall we do to anticipate His coming down from the heavens? This truth leads us to “the third coming of Christ.” What is it? The third coming refers to Jesus’ coming and presence among us in our daily lives, albeit in the most unexpected ways. In the Advent season, we prepare ourselves for the second coming of Christ by reflecting on His first coming and, thus, recognizing and welcoming ‘His third coming’ in our lives. The more we can discover Christ in His third coming, the more we are prepared for His final appearance.

Then, what are the manifestations of the third coming of Christ? The first and foremost is the holy Eucharist. Here, Jesus is truly and really present, yet we need great faith to perceive Him, who appears in the forms of bread and wine. He is also present in the words of the Holy Scriptures. The Church firmly believes that the Bible is the Word of God in the written form. By reading and meditating, we encounter Jesus, who speaks to us. St. Paul also teaches us that the Church is the body of Christ. Thus, encountering Christ cannot be done without encountering His body, the Church. However, it is also true that often, it is the most difficult to see Christ in the Church because some members of the Church are far from Christ-like. Yet, this has become an excellent opportunity to perform acts of charity and be Christ-like. Lastly, we encounter Christ in our unfortunate brothers and sisters, as Jesus said, “Amen, I say to you, whatever you did for one of these least brothers of mine, you did for me (Mat 25:40).”

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Persiapan untuk Akhir Zaman

Hari Raya Yesus Kristus, Raja Semesta Alam
26 November 2023
Matius 25:31-46

Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam mengingatkan kita bahwa akhir zaman itu nyata dan pasti akan datang. Ini adalah saat Yesus akan datang kembali sebagai Raja di atas segala raja dan hakim tertinggi bagi semua makhluk. Bagi orang benar, surga siap menyambut mereka, dan bagi orang jahat, neraka akan mengikat mereka selamanya. Namun, saat kita berbicara akhir zaman, banyak yang terobsesi dengan pertanyaan, “Kapan Dia akan datang?” Dengan peperangan dan konflik yang berkecamuk di berbagai penjuru dunia, dengan bencana alam yang dahsyat, dan dengan penyakit yang melanda seluruh bumi, banyak yang percaya bahwa akhir zaman sudah dekat. Namun, bertanya ‘kapan’ adalah pertanyaan yang salah.

Dalam Injil, Yesus tidak mengungkapkan kapan Dia akan datang. Kapan Dia datang, tidaklah penting bagi Yesus; sebaliknya, ‘bagaimana menghadapi kedatangan-Nya yang kedua’ adalah hal yang sangat penting. Mengapa? Sebab tidak ada gunanya jika kita mengetahui waktu kedatangan-Nya yang kedua kali, tetapi kita tidak mengetahui bagaimana cara menghadapi penghakiman itu. Dan, terkadang, ketika kita mengetahui waktunya, alih-alih melakukan persiapan yang panjang dan konsisten, kita malah menunda-nunda dan berharap bahwa usaha kita di menit-menit terakhir akan cukup. Oleh karena itu, Yesus dan para penulis Perjanjian Baru lainnya secara konsisten mengatakan kepada kita bahwa waktunya akan tiba seperti pencuri di malam hari. Dan jika pertanyaan tentang waktu penghakiman terakhir masih mengganggu kita, kita harus mengingat perkataan Yesus, “Karena itu janganlah kamu khawatir akan hari esok, karena hari esok akan membawa kekhawatirannya sendiri. Kesusahan hari ini cukuplah untuk hari ini (Mat. 6:34).”

Jadi, bagaimana kita mempersiapkan diri untuk kedatangan-Nya yang kedua? Santo Yohanes dari Salib meringkasnya dengan baik, “Pada akhir hidup kita, kita akan dihakimi oleh kasih.” Dari terang Injil, Gereja mengakui bahwa ‘kasih’ ini diwujudkan dalam karya belas kasih, terutama kepada saudara-saudari kita yang kurang beruntung. Yesus menyebutkan setidaknya enam tindakan: memberi makan orang yang lapar, memberi minum orang yang haus, memberi tempat tinggal kepada para tunawisma, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, merawat orang yang sakit, dan mengunjungi mereka yang dipenjara. Gereja menambahkan tindakan ketujuh, yaitu menguburkan orang yang meninggal. Hal ini terinspirasi dari Yusuf Arimatea, yang mengurus penguburan Yesus dan bahkan memberikan makam baru bagi Yesus.

Gereja tidak hanya membatasi kata ‘miskin’ pada miskin secara jasmani, ekonomi, dan sosial, tetapi juga mencakup pada miskin secara rohani. Oleh karena itu, Gereja juga mengajarkan tujuh karya kerahiman rohani: menasihati orang yang ragu-ragu, mengajar orang yang tidak tahu, menegur orang berdosa, menghibur orang yang bersedih hati, menanggung kesalahan dengan sabar, memaafkan kesalahan dengan sukarela, dan mendoakan orang yang masih hidup dan yang sudah meninggal.

Yang menarik, kita tidak harus meninggalkan rumah kita untuk melakukan pekerjaan belas kasih ini. Suami dan istri dapat dengan sabar menanggung kelemahan satu sama lain dan belajar untuk saling mengampuni. Orang tua dapat memberi makan bergizi kepada anak-anak mereka, membelikan mereka pakaian untuk perlindungan, dan menyediakan tempat tinggal yang baik. Orang tua juga dapat memberikan pendidikan yang berkualitas kepada anak-anak mereka, mengoreksi mereka ketika mereka melakukan kesalahan, dan menghibur mereka di saat-saat kegagalan. Sementara, anak-anak dapat mendoakan orang tua mereka, terutama yang telah meninggal dunia.

Inilah Kabar Baik bagi kita. Kristus Raja kita telah memilih kasih sebagai jalan kekudusan dan menjadikan keluarga kita sebagai langkah pertama menuju surga.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Featured

Preparation for the End Time

The Solemnity of Our Lord Jesus Christ, King of the Universe

November 26, 2023

Matthew 25:31-46

The solemnity of the Christ of the King of the Universe reminds us that the end time is real and will surely come to all of us. This is the moment when Jesus will come again as the King of kings and the supreme judge of all. For the righteous, heaven is ready to welcome them, and for the evildoers, hell is binding them forever. Then, many of us are obsessed with the question, “When is He coming?” With wars and conflicts raging around the globe, with deadly natural calamities, and with sickness that scourges the entire earth, many believe the end is near. Yet, to ask when is to ask the wrong question.

In the Gospel, Jesus did not reveal when He would come. The time is not important for Jesus; rather, ‘how to face the second coming’ is critical for Jesus. Why? It is useless if we recognize the time of the second coming, yet we must learn how to face the judgment. And, sometimes, when we recognize the time, instead of making a long and consistent preparation, we procrastinate and hope that our last-minute and instant effort will suffice. Therefore, Jesus and other writers of the New Testament consistently tell us that the time will come like a thief in the night. And if the question of the time of the final judgment still bothers us, we shall recall Jesus’ words, “So do not worry about tomorrow, for tomorrow will bring worries of its own. Today’s trouble is enough for today (Mt 6:34).”

So, How do we prepare for the second coming? St. John of the Cross sums it up nicely: “At the evening of our lives, we will be judged by love alone.” From the light of the Gospel, the Church recognizes this ‘love’ manifests itself in the works of mercy, especially to our unfortunate brothers and sisters. Jesus listed at least six acts: to feed the hungry, to give drink to the thirsty, to shelter the homeless, to clothe the naked, to take care of the sick, and to visit those who are imprisoned. The Church adds the seventh act, that is, to bury the dead. This takes inspiration from Joseph Arimathea, who took care of Jesus’s burial and even offered his family’s new tomb.

The Church does not only limit the word ‘poor’ to the bodily, economic, and social poor but also extends to the spiritually poor. Thus, the Church also teaches seven spiritual works of mercy: to counsel the doubtful, to instruct the ignorant, to admonish the sinner, to comfort the sorrowful, to bear wrongs patiently, to forgive offenses willingly, and to pray for the living and the dead.

Interestingly, we don’t have to leave our homes to do the works of mercy. Husband and wife can patiently bear each other’s weaknesses and learn to forgive one another. Parents can feed their hungry children, buy them clothes for protection, and provide a good living place. Parents can also provide their children with a quality education, correct them when they commit mistakes, and console them in their moments of failure. Children can pray for their parents, especially those who have passed away.

This is our Good News. Christ our King has chosen charity as the path of holiness and made our families the first step to heaven.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP