Family: The Best Thing in Life

Feast of the Holy Family of Jesus, Mary and Joseph [Luke 2:41-52] December 27, 2015

Our families are fiercely attacked than never before in any history of humanity. Divorce, infidelity, domestic violence, child abuse and labor, sexual exploitation, pornography, contraception, abortion, and dehumanizing poverty are diseases that threaten the family. It is a sacred duty of every Christian to protect the family. Yet, why we need to guard the family from all these evil?

One of the ultimate reasons is that it is within the family that we all learn the best things in life. Aside from learning to say ‘Mama’ or how to walk, we learn to love genuinely, to trust others, to be faithful to one other, to give generously, and to make true sacrifice. If we are always hesitant to love, or unwilling to share, the root causes may be in the family. We did not see these virtues strive in our family. St. Teresa of Avila herself testified in her autobiography, “If I had not been so wicked it would have been a help to me that I had parents who were virtuous and feared God, and also that the Lord granted me His favor to make me good.”

Jesus was born into a family. It was not a perfect family since Mary and Joseph was not rich and perhaps could not provide much for Jesus, but still, Mary and Joseph were the right parents for Jesus. He obeyed His Father as He saw Mary who had been obedient to God’s will in the Annunciation. He was hard-working preacher because Jesus was trained by dedicated Joseph, the carpenter. Most importantly, if Jesus was able to love fully and sacrifice Himself for our salvation, it is because He saw in Mary and Joseph who wholeheartedly willing to abandon everything for the sake of Jesus.

Family may be just the smallest unit in the society, but we need to remember our salvation comes from the family. Our journey to heaven takes its first step in our families.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Keluarga: Sumber dari Hal-Hal Terbaik dalam Hidup

Pesta Keluarga Kudus Yesus, Maria dan Yusuf [Lukas 2:41-52] 27 Desember 2015

Di zaman ini, keluarga terus diserang dan menghadapi pencobaan yang bertubi-tubi. Perceraian, perselingkuhan, kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan terhadap wanita dan anak, eksploitasi anak, pornografi, penyalahgunaan kontrasepsi, aborsi, dan kemiskinan adalah penyakit-penyakit yang terus mengancam keluarga. Ini adalah tugas kudus dari setiap orang baik Katolik maupun bukan untuk melindungi keluarga. Namun, mengapa kita perlu menjaga keluarga dari segala kejahatan ini?

Salah satu alasan utama adalah bahwa di dalam keluarga, kita semua belajar hal-hal terbaik dalam hidup. Selain belajar untuk mengatakan ‘Mama’ atau ‘Papa’ atau bagaimana cara berjalan, kita juga belajar untuk mengasihi dengan sungguh, untuk mempercayai orang lain, untuk setia kepada sesama, untuk memberi dengan murah hati, dan membuat pengorbanan yang sejati. Jika kita selalu ragu-ragu untuk mencintai, atau tidak mau untuk berbagi, akar penyebabnya mungkin ada dalam keluarga. Kita tidak melihat nilai-nilai luhur ini tumbuh berkembang di dalam keluarga kita. St Theresa dari Avila sendiri bersaksi dalam otobiografinya, “Jika saya tidak begitu jahat itu, ini karena saya dibantu dengan memiliki orang tua yang saleh dan takut akan Allah, dan juga bahwa Tuhan memberikan saya rahmat-Nya untuk membuat saya baik.”

Yesus dilahirkan di dalam sebuah keluarga. Keluarga-Nya bukanlah yang paling sempurna karena Maria dan Yusuf bukan orang kaya dan tidak bisa memberikan banyak untuk Yesus, tapi tetap saja, Maria dan Yusuf adalah orang tua yang tepat bagi Yesus. Dia taat kepada Bapa-Nya di surga sebagai Ia melihat Maria yang telah taat kepada kehendak Allah saat Maria menerima kabar dari malaikat Gabriel. Yesus adalah pengkhotbah yang tekun karena Yesus dilatih oleh Yusuf, sang tukang kayu yang tekun. Dan yang paling penting, jika Yesus mampu mengasihi sepenuhnya dan mengorbankan diri-Nya untuk keselamatan kita, itu karena Dia melihat Maria dan Yusuf yang sepenuh hati bersedia untuk meninggalkan segalanya demi Yesus.

Keluarga mungkin hanya unit terkecil dalam masyarakat, tetapi kita perlu mengingat bahwa keselamatan kita berasal dari keluarga. Perjalanan kita ke surga mengambil langkah pertama dalam keluarga kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

St. Elizabeth: the Spotter of the Good News

Fourth Sunday of Advent. December 20, 2015 [Luke 1:39-45]

“…for at the moment the sound of your greeting reached my ears, the infant in my womb leaped for joy (Luk 1:44).”

St. Elizabeth seemed to have this special skill that often escaped our eyes. She had this ability to spot that Mary, her relative, was with a child. That was their first encounter after years. Nobody told Elizabeth that Mary was pregnant, and surely, no cellphone and Facebook were yet available during that time for speedy communication. Mary’s pregnancy was not yet physically obvious since it was barely a month since the Annunciation. Yet, she did it. We remember that the primary intention of Mary’s visit was to prove Gabriel’s message that Elizabeth was pregnant, but it turned out that Elizabeth was the first one who recognized the Mary’s pregnancy.

Before the presence of Mary and the baby, Elizabeth’s reaction was astonishing. She did not grill Mary with investigative questions like ‘who is the father?’ or ‘why did you break the Law?’ Neither did she harbor any hatred to Mary for breaking the Jewish sacred Law, nor reporting her to authority. She chose rather to embrace Mary and to rejoice with her in the Lord. Elizabeth did not only have the ability to spot the pregnancy, but more importantly, the ability to discover the Good News.

Our world is loaded with bad news. Wars and bloody violence are raging from Sahara desert to tropical jungles in South East Asia, from North America to Syria. Our news outlets are full of this terrible information: killing within the family, abuses against women and children, and natural and man-made disasters. What is horrified is that we buy these kind of news and serve them as our breakfast. We can easily spot the problems and issues in our lives. Financial difficulties, health issues, broken relationships, name it and you have it. We are trained to see the bad news and linger in them. We, thus, become announcers of the bad news or simply the complainers or gossipers.

However, echoing the words of Antonio Cardinal Tagle, the Archbishop of Manila, in the opening of Dominican Jubilee Door in Santo Domingo Church, Metro Manila few weeks ago, “We do not need another proclaimer of the bad news. Our world has already a lot of bad news. We desperately need the preachers of good news.” No wonder if St. Dominic de Guzman is called the preacher of grace, because it is the main mission of every preacher to discover the working of God in our midst. As Sr. Mary Catherine Hilkert OP once said ‘preaching is to articulate grace’.

The Advent season gives us Elizabeth. Her ability to spot the grace among ordinary events and even among unlikely circumstances makes her a humble yet true model of preacher of the Good News. Yet, we must not forget that Elizabeth’s skill is not merely human effort, but in itself a grace of God. She was under the influenced of the Holy Spirit, when she was able to discover Jesus. Eventually, it is the grace of God within us that enables us to unearth the grace around us. In turn, the grace around us brings joy and meaning in our lives as well as strengthens the grace within us. It is all about grace.

To spot grace and to become happy is not simply a matter of choice, but it is primarily the fruits and gift of Holy Spirit. We constantly pray to God to shower us with His grace and blessings so that in the midst of various earthly concerns and problems, we may not miss Jesus this Christmas.

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

St. Elisabet: Menjadi Penemu Kabar Baik

 

 

Keempat Minggu Adven. 20 Desember 2015 [Lukas 1: 39-45]

“… ketika salammu sampai kepada telingaku, anak yang di dalam rahimku melonjak kegirangan. (Luk 1:44).”

Santa Elisabet tampaknya memiliki keahlian khusus yang sering luput dari mata kita. Dia memiliki kemampuan untuk melihat bahwa Maria, saudaranya, sedang mengandung. Kunjungan Maria adalah pertemuan pertama mereka setelah bertahun-tahun. Tidak ada yang memberi tahu Elisabet tentang kehamilan Maria, dan pasti, ponsel dan Facebook yang belum tersedia pada zaman ini untuk berkomunikasi dengan cepat. Kehamilan Maria belum secara fisik tampak jelas karena itu baru saja beberapa minggu sesuah Maria menerima Kabar Baik dari Malaikat Gabriel. Namun, Elisabet bisa mengetahuinya. Kita ingat bahwa tujuan utama dari kunjungan Maria adalah untuk membuktikan pesan Gabriel bahwa Elisabet sedang mengandung, tapi ternyata Elisabet menjadi orang pertama yang memahami kehamilan Maria.

Dihadapan Maria dan sang Bayi di dalam rahimnya, reaksi Elisabet sungguh menakjubkan. Dia tidak menginvestigasi Maria dengan pertanyaan seperti ‘Siapa ayah sang bayi?’ atau ‘Mengapa kamu melanggar Hukum Taurat?’ Begitu pula dia tidak memendam kebencian kepada Maria karena dia melanggar hukum suci Yahudi, atau melaporkan Maria ke otoritas untuk diadili. Dia memilih untuk merangkul Maria dan bersukacita dengan dia di dalam Tuhan. Elisabet tidak hanya memiliki kemampuan untuk melihat kehamilan Maria, tetapi yang jauh lebih penting, kemampuannya untuk menemukan Kabar Baik.

Dunia kita penuh dengan berita buruk. Perang dan kekerasan berdarah yang mengamuk dari gurun Sahara ke hutan tropis di Asia Tenggara, dari Amerika Utara ke Suriah. Berbagai sumber berita kita penuh dengan informasi yang mengerikan: pembunuhan di dalam keluarga, pelecehan terhadap perempuan dan anak-anak, dan bencana alam maupun buatan manusia. Apa yang mengerikan adalah bahwa kita justru membayar untuk berita semacam ini dan menyuguhkan sebagai sarapan pagi kita. Kitapun bisa dengan mudah melihat masalah dan isu-isu dalam kehidupan kita. Kesulitan keuangan, masalah kesehatan, hubungan yang rusak, dan masih banyak lagi. Tanpa sadar kitapun dilatih untuk melihat berita buruk dan tinggal di dalamnya. Dengan demikian, kita berubah menjadi penyiar kabar buruk atau pengeluh atau tukang gosip.

Namun, menggemakan kata-kata dari Kardinal Antonio Tagle, Uskup Agung Manila, dalam pembukaan Pintu Jubilee Dominikan di Gereja Santo Domingo, Metro Manila, Kita tidak perlu tambahan penyebar kabar buruk. Dunia kita memiliki sudah banyak berita buruk. Yang kita sangat butuhkan adalah pengkhotbah kabar baik.Tak heran jika St. Dominikus de Guzman disebut sebagai pewarta rahmat, karena adalah misi utama setiap pengkhotbah untuk menemukan karya Allah di tengah-tengah kita. Sebagaimana Maria Catherine Hilkert OP pernah berkata ‘berkhotbah adalah mengartikulasikan rahmat.’

Mas Adven memberi kita santa Elisabet. Kemampuannya untuk melihat rahmat di antara peristiwa-peristiwa yang biasa dan bahkan di antara keadaan yang tidak terduga menjadikan dia seorang model dari pengkhotbah dari Kabar Baik. Namun, kita tidak boleh lupa bahwa kemampuan Elisabet ini bukan sekedar usaha manusia biasa, tetapi sebuah rahmat Allah. Dia berada di bawah pengaruh Roh Kudus, ketika ia mampu menemukan Yesus. Sungguhnya, ini adalah rahmat Allah dalam diri kita yang memungkinkan kita untuk mengenali rahmat di sekitar kita. Dan pada gilirannya, rahmat di sekitar kita membawa sukacita dan makna dalam kehidupan kita serta memperkuat rahmat dalam diri kita. Ini adalah semua tentang rahmat Allah.

Untuk melihat rahmat dan menjadi bahagia bukan hanya soal pilihan pribadi kita, tetapi pada dasarnya buah dan karunia Roh Kudus. Kita terus berdoa kepada Tuhan untuk memberikan rahmat dan berkat-Nya sehingga di tengah-tengah berbagai permasalahan dan kepentingan duniawi, kita tidak kehilangan Yesus di Natal ini.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Excesses

Third Sunday of Advent. December 13, 2015 [Luke 3:10-18]

“Stop collecting more than what is prescribed (Luk 3:13).”

We often think that having more is the sure path to happiness and greatness. Surely, it feels good to own high-end gadgets in our hands, rather than to see them in the hands of our friends. That’s why we work so hard to earn money and buy a lot of things, like fashionable clothes, electronic devices, cars, and more. The more we have, the better we feel. Prosperity is happiness. No wonder books on the secret formula of success and richness are mushrooming and best sold. We spend a lot money to invite management gurus or enroll in programs with great coaches. Even, preachers of various religious groups proclaim wealth as blessing and they sound pleasing to our ears.

However, the Gospel, through John the Baptist, offers us a radical shift of perspective. John told the people to live simply, be avoid excesses and share their surplus. Prosperity is not happiness. Yet, deep inside, we do not like the idea. It is counterintuitive, countercultural and as if we swim against the current of contemporary wisdom. We want to work harder, we like to earn more, and it just feel good to have money and things we desire. Sometimes, priests, religious brothers and sisters are not immune to this temptation. We work so hard, preach a lot, do a lot of ministries and we build many new buildings for our apostolates. We unconsciously are running after another form of prosperity.

Yet, despite preaching against our desire, John is actually proclaiming a Good News, and what good is in having less? When Michelangelo was asked by the Pope, “Tell me the secret of your genius. Tell me how you have made the magnificent statue of David.” He answered, “It is simple. I just remove what is not David.” We are not less human when we stop having excesses, like excessive works, undue problems, complicated relationship, all things that are not essential. In fact, it opens up to other fresh and vibrant possibilities in life, and unforeseen opportunities to discover our true self. Let’s be honest. We are not truly sure what the key to success and happiness is. If we do, we have been as rich as Bill Gate or as powerful as Barack Obama long time ago. If adding things in our lives does not mean happiness, why don’t we just remove those unessential things all together?

John focused on the essential. When he was asked if he was the Messiah, he firmly said no, though it could have been a great opportunity. People of Israel would adore and give him the glory, but John remained firm in his decision. Because his refusal to heed the temptation, he opened up another creative possibility, he became the best man of the Bridegroom, the voice in the wilderness. He then effectively led people to Jesus.

The Advent season is a high time for us to slow down and ask ourselves, “I am working so hard, but am I doing the right thing? I have a lot of things in my hands, but are there really essential?” St. Thomas Aquinas once argued that God is so simple, and because His total simplicity, He was utterly beautiful and lovable. We were created in the image of God, and only going back to that simplicity of God, we are going to discover who we truly are. Like Michelangelo who chiseled out that is not David, we need to detach also those who are not us.

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ekses

Minggu Adven Ketiga. 13 Desember 2015. [Lukas 3: 10-18]

“Jangan mengambil lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu.” (Luk 3:13)

Kita sering berpikir bahwa dengan memiliki lebih banyak adalah jalan pasti menuju kebahagiaan dan kesuksesan. Itu sebabnya kita bekerja keras untuk mendapatkan uang dan membeli banyak hal, seperti pakaian modis, gadget tercanggih, mobil terbaru, dan banyak lagi. Semakin kita miliki, semakin besar kepuasaan yang kita rasakan. Kekayaan adalah kebahagiaan. Tidak heran jika banyak buku tentang formula rahasia kesuksesan dan kekayaan menjamur dan laris manis. Kita juga menghabiskan banyak uang untuk mengundang pembicara tenar atau mendaftar di program sukses dengan coach yang hebat. Bahkan, pengkhotbah dari berbagai kelompok agama menyatakan kekayaan sebagai berkat dan mereka tampak sangat menarik untuk didengarkan.

Namun, Injil, melalui Yohanes Pembaptis, menawarkan kita perubahan perspektif radikal. Yohanes mengatakan kepada orang-orang Israel untuk hidup sederhana, menghindari ekses dan berbagi surplus mereka. Kekayaan bukanlah kebahagiaan. Namun, jauh di dalam lubuk hati, kita tidak menyukai ide ini. Hal ini berlawanan dengan intuisi, budaya zaman ini dan seolah-olah kita berenang melawan arus kebijaksanaan kontemporer. Kita ingin bekerja lebih keras, kita ingin mendapatkan lebih, dan kita puas ketika memiliki uang dan hal-hal yang kita inginkan. Kadang-kadang, para imam dan para religius pun tidak kebal terhadap godaan ini. Kita bekerja begitu keras, melakukan banyak pelayanan dan membangun banyak gedung baru untuk kerasulan kita. Tanpa menyadari, kita terjebak dalam godaan untuk mencari kekayaan pribadi.

Namun, walaupun Yohanes menyatakan sesuatu yang kita tidak sukai, sebenarnya ia tetap memberitakan sebuah Kabar Baik. Apa yang baik saat kita tidak memiliki ekses? Ketika Michelangelo ditanya oleh Paus, “Apakah rahasia kamu? Katakan padaku bagaimana kamu bisa membuat patung David yang luar biasa indah!” Dia menjawab, Hal ini sederhana. Saya hanya menanggalkan apa saja yang bukan Daud. Kita tidak akan menjadi setengah manusia ketika kita berhenti memiliki ekses, seperti karya dan kerjaan yang berlebihan, masalah yang tidak perlu, relasi yang terlalu ruwet, semua hal-hal yang tidak penting. Bahkan, hal ini membuka kemungkinan baru dan inovatif dalam hidup, dan kesempatan yang tak terduga untuk menemukan diri kita yang sebenarnya. Mari kita jujur. Kita sebenarnya tidak benar-benar yakin dan tahu apa kunci keberhasilan dan kebahagiaan itu. Jika kita sungguh tahu, kita sudah sekaya Bill Gates atau sekuat Barack Obama sejak lama. Jika memiliki ekses dalam hidup kita tidak berarti kebahagiaan, mengapa kita tidak menanggalkan hal-hal tidak penting dalam hidup kita?

Yohanes memfokuskan dirinya pada yang esensial. Ketika ia ditanya apakah ia adalah Mesias, ia dengan tegas mengatakan tidak, meskipun itu adalah kesempatan besar. Orang Israel akan memuja dan memuliakan dia, tapi Yohanes tetap tegas untuk keputusannya. Karena penolakannya terhadap godaan itu, ia membuka kemungkinan kreatif lain bagi dirinya, dan dia bias menjadi orang terbaik dari mempelai pria dan suara di padang gurun. Dia kemudian secara efektif membawa kita kepada Yesus.

Masa Advent adalah waktu yang tepat untuk bertanya kepada diri sendiri, “Saya bekerja begitu keras, tapi apakah yang saya lakukan adalah hal yang benar? Saya memiliki banyak hal di tangan saya, tetapi apakah ini benar-benar penting?” St. Thomas Aquinas berpendapat bahwa Allah sesungguhnya begitu sederhana, dan karena kesederhanaan-Nya, Dia benar-benar indah dan mulia. Kita diciptakan menurut citra Allah, dan hanya akan kembali ke kesederhanaan Allah ini, kita akan menemukan siapa kita sejatinya. Seperti Michelangelo yang menanggalkan semua hal yang bukan Daud, kita perlu melepaskan juga hal-hal yang bukan kita.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Humility: A Tough Job

Second Sunday of Advent [December 6, 2015] – Luke 3:1-6

 “A voice of one crying out in the desert: ‘Prepare the way of the Lord, make straight his paths (Luk 3:4).”

We want to be successful, to be the number one, and to be the winners. Turning out to be number two after all-out effort is just excruciatingly painful. Today’s gospel affirms this natural inclination to be dominant. Luke began his Gospel by enumerating the alpha males in that time: Caesar Tiberius of Rome, Pontius Pilate of Judea, Herod of Galilea, and Annas and Caiaphas, the high priests of Jerusalem. They were the standard and embodiment of success. Perhaps, they were Barack Obama, Steve Jobs and Mark Zuckerberg of our time. People might adore, envy or fear them, yet still they were the axis where the people revolved.

However, the second part of the Gospel tells us a different character. His name is John the Baptist. Doubtless he was a man of integrity and courage. He converted all his energy and devotion into fearless action and passionate preaching. He was the rising star, and people followed and admired him. I guess it was a dream of every preacher when people from all walks of life come and listen to us. Yet, he received a particular divine mission that he was to prepare the way for someone greater than him. He was not the Messiah.

He might question God, “Why can I not become the number one? I have the skills, right attitudes and strong character. People come to me, they love me and are ready to give their lives for my cause. But, why does God just want me to be second after the Christ? I should be the Christ!” Adding to his inner conflict was some Israelites asking and pressing him to be their Savior. Perhaps, the greatest doubt hit him hard when he was well aware that Jesus, his own Galilean cousin, was the Messiah. “Hi, I am better than this small guy. I am true-blooded Jew, son of Zachariah, the respectable priest, while he was a Galilean, son of Joseph, a poor carpenter. I preach boldly while He cutely narrates parables. I fast and keep vigil while He is busy attending parties. And remember, I am the one who baptized Him!”

However, despite the inner tension and overwhelming emotions, John never fell into the great temptation. In fact, he publicly declared, “He must increase, I must decrease! (John 3:30)” John became the embodiment of true humility. A wise man once said that humility before the authority is a duty, humility before equal is a courtesy, but humility before people whom we know that we are much better, is nobility and holiness. John struggled a lot to follow God’s will that went against the very grain of his nature as leader, yet without this inner conflict, his humility is just another politeness. Because of this true humility, John is always remembered throughout generation as the greatest prophet.

We want things so badly, but we know that this is not God’s will. As a seminarian, I am struggling a lot to remain faithful because life inside is often demanding and difficult and knowing that I can have better and easy life outside. A wife who is fighting for her marriage and refuses to leave her sick husband for a better and richer guy, may be another John. A man who is sacrificing his dream job offer because he needs to spend more time with his kids and to educate them to be true Christians, may be another John. John the Baptist is the appropriate main character of Advent season because he teaches us one precious value that true humility is following God’s will and this is a tough job.

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kerendahan hati: Tidak Mudah!

Kedua Minggu Adven [6 Desember 2015]

Lukas 3:1-6

 

“Ada suara yang berseru-seru di padang gurun: Persiapkanlah jalan untuk Tuhan, luruskanlah jalan bagi-Nya (Luk 3: 4).”

Kita ingin sukses, menjadi nomor satu, dan menjadi pemenang. Tentunya, hanya menjadi nomor dua setelah usaha habis-habisan menjadi number satu adalah menyakitkan. Injil hari ini menegaskan kecenderungan dominan alami ini. Lukas memulai Injilnya dengan menyebutkan ‘alpha males’ pada zaman itu: Kaisar Tiberius di Roma, Pontius Pilatus di Yudea, Herodes di Galilea, dan Hanas dan Kayafas, imam besar di Yerusalem. Mereka adalah standar dan perwujudan dari keberhasilan. Mungkin, mereka adalah Barack Obama, Steve Jobs dan Mark Zuckerberg di zaman kita. Ada yang memuja, ada yang membenci dan yang lain takut kepada mereka, namun mereka tetap menjadi sumbu di mana orang-orang berotasi.

Namun, bagian kedua dari Injil mengambarkan sosok yang berbeda. Namanya adalah Yohanes Pembaptis. Tidak diragukan lagi dia adalah seseorang yang berintegritas dan berani. Dia tak kenal takut dan berkhotbah dengan berapi-api. Dia adalah bintang baru, dan orang-orang mengikuti dan mengaguminya. Namun, ia menerima misi ilahi khusus bahwa ia mempersiapkan jalan bagi seseorang yang lebih besar daripadanya. Ia bukanlah Mesias.

Dia mungkin mempertanyakan Allah, “Mengapa saya tidak bisa menjadi nomor satu? Saya memiliki kemampuan, prilaku dan karakter yang kuat. Orang-orang datang kepada saya, mereka mencintai saya dan siap untuk memberikan hidup mereka untuk tujuan saya. Tapi, mengapa Tuhan hanya ingin saya menjadi orang nomer dua setelah Kristus? Aku seharus menjadi Mesiah! Konflik batinnya pun semakin bertambah setelah beberapa orang Israel membujuk dia untuk menjadi Mesias. Namun, pergulatan tersebarnya adalah ketika Dia menyadari bahwa Yesus, sepupunya dari Galilea, adalah Mesias. “Hai, saya lebih baik dari sepupu kecil saya ini. Saya Yahudi tulen, anak Zakaria, imam terhormat, sementara ia adalah seorang Galilea, anak Yusuf, seorang tukang kayu miskin. Saya berkhotbah dengan berani sementara Dia adalah sang pendongeng perumpamaan. Saya berpuasa dan terus berjaga sementara Dia sibuk menghadiri pesta. Dan ingat, saya adalah orang yang membaptis-Nya! “

Namun, meskipun ketegangan dan pergulatan yang luar biasa, Yohanes tidak pernah jatuh ke dalam godaan besar ini. Bahkan, ia secara terbuka menyatakan, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil. (Yoh 3:30)Yohanes menjadi perwujudan dari kerendahan hati yang sejati. Seorang bijak pernah berkata bahwa kerendahan hati dihadapan otoritas adalah kewajiban, kerendahan hati dihadapan rekan yang setara adalah sopan santun, tapi kerendahan hati dihadapan orang-orang yang kita tahu bahwa kita jauh lebih baik, adalah kekudusan. Yohanes bergulat dengan dirinya sendiri untuk mengikuti kehendak Allah yang sangat bertentangan dengan naluri kepemimpinannya, namun tanpa konflik batin ini, kerendahan hatinya tidak akan teruji dan hanya menjadi sekedar basa-basi. Karena kerendahan hati yang sejati ini, Yohanes pun akan selalu dikenang sepanjang generasi sebagai nabi terbesar.

Ada kalanya kita sangat ingin sesuatu yang baik terjadi pada hidup kita, tetapi kita tahu bahwa ini bukan kehendak Allah. Sebagai seorang frater, saya bergulat untuk tetap setia karena hidup di dalam biara banyak tuntutan dan tidak mudah, dan juga godaan bahwa saya dapat memiliki kehidupan yang lebih baik dan mudah di luar sana. Seorang istri yang berjuang mempertahankan pernikahannya dan menolak untuk meninggalkan suami yang sakit, dan hidup dengan seorang pria yang lebih tampan dan lebih kaya, adalah seorang Yohanes di zaman ini. Seorang pria yang mengorbankan tawaran akan pekerjaan impiannya karena dia perlu menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak-anaknya dan mendidik mereka untuk menjadi orang Katolik sejati, adalah Yohanes. Tidak salah jika Yohanes Pembaptis terpilih menjadi karakter utama pada masa Adven ini karena ia mengajarkan kita satu nilai berharga bahwa kerendahan hati yang sejati adalah mengikuti kehendak Allah dan ini adalah pekerjaan yang tidak mudah.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP