Minggu Biasa ke-14/ 3 Juli 2016/ Lukas 10: 1-12, 17-20
“Kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini. (Luk 10: 5).”
Menjadi murid Yesus adalah sulit. Dan hal ini semakin sulit karena kita diutus untuk mewartakan kedamaian. Sekarang ini, kedamaian adalah hal yang paling sulit dipromosikan. Dalam dunia yang mabuk dengan ideologi fundamentalis dan kepimikiran sempit, kekerasan telah menjadi makanan sehari-hari. Di Suriah dan Irak, perang tampaknya tak akan berakhir, dan setiap harinya, mengklaim nyawa orang-orang tak berdosa. Bom bunuh diri dan penembakan gila-gilaan menjadi kejadian umum. Baru-baru ini, beberapa orang yang tidak dikenal meledakkan diri di dalam bandara sibuk di Istanbul, Turki, menewaskan lebih dari 40 orang dan melukai banyak lainnya. Beberapa minggu yang lalu, seorang pria bersenjata melepaskan tembakan di dalam sebuah bar di Orlando, AS, dan membunuh lebih 50 orang. Ini adalah kasus terburuk dalam sejarah AS.
Kekerasan menelurkan kekerasan. Ketakutan akan kekerasan bahkan melahirkan lebih banyak kekerasan. Beberapa hari yang lalu, saya bercakap-cakap dengan Prof. Steven Friesen dari University of Texas. Kami membahas banyak hal, tapi satu hal yang menarik perhatian saya adalah bagaimana rasa takut telah mempengaruhi banyak orang Amerika. Sebuah undang-undang telah disahkan bahwa sekarang mahasiswa dapat membawa senjata di dalam kampus dan ruang kelas. Prof. Friesen tidak bisa menemukan logika di dalamnya. Para siswa tidak diperbolehkan untuk merokok di dalam kampus, tapi mereka diizinkan untuk membawa senjata api!
Yang memprihatinkan adalah budaya kekerasan tidak jauh dari hidup kita sehari-hari. Kekerasan fisik adalah salah satu yang paling jelas, tetapi bukan satu-satunya. Kekerasan dapat mengambil bentuk intimidasi, pelecehan baik seksual dan perkataan, diskriminasi dan bahkan ketidakpedulian. Kekerasan bisa terjadi di tempat kerja kita dan rumah kita sendiri. Kita mungkin melakukan kekerasan terhadap teman-teman, anggota keluarga kita dan bahkan lingkungan kita. Bagian suramnya adalah bahwa sering, kita tidak sadar melakukan hal ini. Saat memberikan rekoleksi dan retret bagi kaum muda, saya bersyukur bisauk mendengarkan kisah-kisah pribadi mereka. Hal ini memprihatinkan bahwa beberapa dari mereka ini adalah korban kekerasan dalam rumah tangga. Pertumbuhan intelektual dan emosional mereka terhambat, dan mereka menanggung pengalaman traumatis di sepanjang hidup mereka. Ketakutan saya adalah bahwa mereka akan mewujudkan kemarahan dan kebencian yang tersembunyi dan berubah menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.
Kita adalah murid-murid Kristus. Ini berarti kita diutus untuk mengajarkan kedamaian. Kita mungkin bergabung dengan gerakan anti-kekerasan dalam masyarakat kita. Namun, tempat terbaik untuk mewartakan kedamaian dalam diri kita sendiri. Kita memeriksa hidup kita sendiri dan kita mungkin akan terkejut dengan tidak kekerasan yang kita lakukan setiap hari. Memberitakan perdamaian berarti kita berhenti melakukan kekerasan yang terkadang sangat halus, untuk meminta maaf, dan untuk memperbaiki keadaan. Saya harus mengakui bahwa kadang-kadang, saya melakukan kekerasan. Terlibat dalam pelayanan dan formasi kaum awam, terkadang, saya harus mendorong orang untuk melakukan yang terbaik. Namun, alih-alih membantu mereka, aku menyakiti mereka.
Memang benar memberitakan kedamaian adalah sulit. Kadang-kadang, dalam mewartakan kedamaian, kita menerima kekerasan. Kadang-kadang, kita tidak kecewa oleh hasilnya. Kadang, meskipun upaya yang terbaik, kita tetap melakukan kekerasan bahkan untuk orang-orang yang kita cintai. Namun, kita boleh menyerah. Tanpa mewartakan damai, kita akan selalu menjadi bagian dari kekerasan. Tanpa mewartakan damai, kita tidak akan pernah mencapai kedamaian dalam diri kita sendiri. Tanpa mewartakan damai, kita berhenti mengikuti Kristus di jalan salib.
Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
