Mengasihilah dan Kamu akan Hidup!

Minggu Biasa ke-15/ 10 Juli 2016 [Lukas 10: 25-37]

 “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal? (Luk 10:25)”

jesus and scholarPara ahli Taurat mewakili kelompok intelektual elit di dalam masyarakat Yahudi pada zaman Yesus. Saat sebagian besar dari bangsa Yahudi berjuang untuk mengisi perut mereka, kelompok ahli Taurat memiliki akses langka untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik. Kita bisa menduga bahwa para ahli hukum Taurat adalah cukup kaya untuk membaca dan mempelajari Kitab Suci bangsa Yahudi tak terganggu. Dibandingkan dengan orang-orang Yahudi biasa, mereka tentunya ahli dengan berbagai rincian dan interpretasi hukum Taurat. Tidak heran, mereka bisa dengan mudah menjadi tinggi hati atau sombong.

Lukas menggambarkan sang ahli Taurat sebagai salah seseorang yang ‘berdiri’ dan ‘mencobai’ Yesus. Jelas, ia datang membawa superioritas intelektualnya dan menantang Yesus untuk membuktikan bahwa ia jauh lebih baik dari-Nya. Dia mungkin berpikir, Yesus, anak tukang kayu; dia tahu apa-apa! Tapi, kesombongannya tidak memberinya apa-apa selain kekalahan. Dia menyerang Yesus dengan pertanyaan yang paling sulit. “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Namun, Yesus menyadari niatnya. Yesus mengingatkan bahwa jawabannya terletak di jantung Taurat itu sendiri, dan memungkinkan dia untuk menjawab pertanyaannya sendiri. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri (Ul 6: 5).” Jawabannya sangat sederhana tapi sungguh benar, dan setiap orang Yahudi yang bersama Yesus, akan segera memberikan anggukan mereka.

Menolak untuk menerima kekalahannya, sang ahli Taurat membuat upaya terakhir untuk membenarkan dirinya sendiri. Dia meminta Yesus untuk menjelaskan siapakah ‘sesama’ ini yang dia harus menkasihi. Yesus kemudian menerangkan kepadanya salah satu perumpamaan terindah yang pernah kita dengar: Orang Samaria yang Baik. Mengasihi berarti mengasihi secara radikal. Mengasihi berarti berbuat baik bahkan bagi mereka yang tidak layak kita kasihi. Namun, Yesus tidak hanya untuk memaksa sarjana untuk mengakui kekalahannya, namun Dia juga mengajak sang ahli untuk merefleksikan tujuan hidupnya lebih dalam sebagai seorang Yahudi.

Ada kalanya, kita sangat yakin dengan diri kita sendiri. Kita merasa kita mengetahui banyak hal. Kita terlibat dalam diskusi dan perdebatan tentang berbagai isu di Gereja dan masyarakat. Kita mengambil kubu, baik di kelompok progresif ataupun konservatif, dan berdebat tanpa henti. Kita belajar teologi, spiritualitas dan kepemimpinan, dan kita merasa kita lebih baik dari seluruh Gereja. Kita terlibat dalam sebuah pelayanan atau kelompok tertentu begitu lama, dan kita melihat dengan rendah para pendatang baru di dalam kelompok. Secara tidak sadar, kita menjadi seperti ahli Taurat di dalam Injil ini yang berdiri dan mencobai sesama. Saya akui juga kadang, saya memiliki sikap sombong ini. Ketika saya mengajar, saya sering memproyeksikan diri saya sebagai guru yang mahatahu dan melemparkan pertanyaan yang paling sulit untuk murid-murid saya. Sungguh menyenangkan ketika saya tahu bahwa hanya saya yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tuhan, ampunilah aku!

Namun, Yesus mengingatkan kita hari ini suatu kebenaran sederhana namun mendasar: kesombongan hanya membawa kekalahan, hanya kerendahan hati yang dapat membawa kita kehidupan yang kekal. Dan kerendahan hati ini hanya bisa dipraktekkan di dalam kasih. Meminjam kata-kata Santo Paulus, “Sekalipun aku mempunyai karunia untuk bernubuat dan aku mengetahui segala rahasia dan memiliki seluruh pengetahuan; dan sekalipun aku memiliki iman yang sempurna untuk memindahkan gunung, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, aku sama sekali tidak berguna. Dan sekalipun aku membagi-bagikan segala sesuatu yang ada padaku, bahkan menyerahkan tubuhku untuk dibakar, tetapi jika aku tidak mempunyai kasih, sedikitpun tidak ada faedahnya bagiku (1 Kor 13: 2-3).

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Leave a comment