Raja di kayu Salib

Hari Raya Kristus Raja [November 20, 2016] Lukas 23: 35-43

 Sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus. (Luk 23:43)”

king-on-the-crossPerayaan liturgi Kristus Raja merupakan perkembangan baru dalam Gereja. Paus Pius XI menetapkan hari raya ini pada tahun 1925 di bulan Oktober. Paus Paulus VI pada tahun 1969 kemudian mendedikasikan hari Minggu terakhir dari Masa Biasa dalam kalender liturgi Gereja bagi Kristus Raja Semesta Alam. Meskipun perayaan ini tergolong baru di Gereja, kebenaran ini sungguh berakar di dalam Kitab Suci.

Yesus memulai karya-Nya dengan mewartakan Kerajaan Allah. Jika Allah adalah Raja dan Yesus adalah Anak Tunggal Allah, Yesus adalah pewaris sah tahta Kerajaan ini. Namun, Yesus Kristus sebagai raja lebih jelas terlihat dalam kisah sengsara dan wafat-Nya. Para pemimpin agama Yahudi menuduh Yesus menistaan agama Yahudi karena Yesus mengaku sebagai Mesias, Anak Allah, bahkan Allah sendiri (lih. Yoh 8:58). Namun, para pemimpin ini tidak ingin sekedar merajam Yesus. Mereka menginginkan kematian lebih menyakitkan dan memalukan bagi Yesus. Mereka memutuskan untuk membawa-Nya ke Pontius Pilatus, pemimpin Romawi, agar Yesus disalib. Karena Pilatus tidak mau mengurusi permasalahan agama, para pemimpin Yahudi menuduh Yesus memproklamirkan diri-Nya Raja orang-orang Yahudi. Untuk menjadi seorang raja dan memimpin pemberontakan melawan Kaisar Romawi adalah pengkhianatan dan makar, dan pantas dihukum mati. Yesus pun akhirnya dijatuhi  hukuman mati di kayu salib. Alasan Yesus disalib inipun dipaku di kayu yang sama: Yesus dari Nazaret, Raja orang Yahudi, dalam bahasa Latin, Iesus Nazarenus Rex Iudaeorum atau INRI.

Dalam Injil hari ini, kita membaca dari St. Lukas yang menulis dengan indah. Bagi para musuh Yesus, penyaliban adalah kekalahan telak bagi Yesus sang raja dan Mesias. Salah satu tugas utama seorang raja dan Mesias adalah untuk menyelamatkan umat-Nya, tetapi Yesus dipaku di kayu salib, dan bahkan tidak mampu menyelamatkan diri-Nya sendiri. Orang-orang Yahudi yang membenci-Nya mengejek dia sebagai Mesias tidak berguna, sementara tentara Romawi mencemooh dia sebagai raja yang lemah. Bahkan salah satu penjahat yang tersalib ikut menghujat Yesus. Sungguh, Yesus tidak berdaya, sangat lemah dan menahan rasa sakit yang luar biasa dan berkepanjangan. Teman dan murid-murid-Nya meninggalkan dia. Pengikutnya lari dari-Nya. Kematian menunggu-Nya. Salib adalah momen kegagalan total bagi Yesus.

Namun, di saat kegelapan ini, ketika semua orang berpikir bahwa salib adalah akhir dari Kerajaan Yesus, Ia melakukan tindakan terbesar sebagai seorang raja. Dia mengampuni dan menyelamatkan sang penjahat yang bertobat di kayu salib. Daripada mengeluh atau mengutuk, dia mengucapkan berkat. Alih-alih membalas dendam, Dia menyembuhkan. Bukannya jatuh dalam keputusasaan, Dia justru memberi harapan. Kerajaan-Nya tidak berdasarkan kekerasan dan paksaan, tetapi pada keadilan dan belas kasih. Ini adalah Raja yang sejati, Yesus adalah Raja kita.

Jika kita menyambut Yesus sebagai Raja kita dan kita berbagi kerajaan-Nya dalam pembaptisan, sudah selayaknya bagi kita untuk menjalankan hidup kita seperti Yesus. Pada saat kita menghadapi banyak kesulitan, ketika kita terluka, dan ketika kita merasa begitu lemah, kita diberdayakan untuk bertindak seperti Kristus Raja: untuk memberkati, menyembuhkan, dan memberikan harapan. Ya, tentunya sangat sulit, tetapi jika kita memiliki seorang raja yang mampu mengasihi dihadapan semua keburukan, kita juga bisa mengasihi di tengah-tengah permasalahan hidup.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Leave a comment