Trinity and Us

The Solemnity of the Most Holy Trinity [May 27, 2018] Matthew 28:16-20

“Go, therefore, and make disciples of all nations, baptizing them in the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit, (Matt. 28:19)”

big bang
photo by Harry Setianto, SJ

This Mystery of Trinity is rightly called the mystery of all the mysteries because the Holy Trinity is at the core of our Christian faith. Yet, the fundamental truth we believe is not only extremely difficult to understand, but in fact, it goes beyond our natural reasoning. How is it possible that we believe in three distinct Divine Persons, the Father, the Son and the Holy Spirit, and yet they remain One God? Some of the greatest minds like St. Augustine, St. Thomas Aquinas and Pope Emeritus Benedict XVI have attempted to shed a little light on the mystery. However, in the face of such immense truth, the best explanations would seem like a drop of water in the vast ocean.

 

I have no illusion that I could explain the mystery better than the brightest minds of the Church, but we may reflect on its meaning in our ordinary lives. The joyful Easter season ended with the celebration of the Pentecost Sunday last week, and we resume the liturgical season of the year or simply known as the ordinary season. As we begin once again the ordinary season, the Church invites us to celebrate the Solemnity of the Most Holy Trinity or the Trinity Sunday. The Church seems to tell us that the unfathomable mystery of Trinity is in fact intimately closed to our day-to-day living, to our daily struggles and triumphs, to our everyday pains and joys. How is our faith in the greatest mystery of all connected to our ordinary and mundane lives?

We often have false images of God. We used to think that God or Trinity is the greatest person (or three persons) among things that exist He is like a universal CEO that manages things from an undisclosed location or a super big and powerful being that controls practically everything. Yet, this is not quite right. He is not just one among countless beings. God is the ground of our existence. He is the very reason why anything exists rather than nothing. Thus, the act of creation is not what happened at the Big Bang 13.7 billion years ago. It is fundamentally God’s gift of existence to us. To be created means that we do not necessarily exist. Every single moment of our life is God’s gratuitous gift.

The Scriptures reveals the mystery of our God. He is not solitary and self-absorbed God, but our God is one God in three divine persons. Our God is a community founded on creative mutual love and constant self-giving. Therefore, our creation is not a mere accident, but God’s creative act and His gift of love. We exist in the world because God cannot but love us and wants us to share in the perfect life of the Trinity. St. Thomas Aquinas rightly says that we only believe two fundamental teachings, two credibilia : first, God exists, and second, we are loved in Jesus Christ.

We often take for granted our lives and immerse in daily concern of life; we rarely ask what the purpose of this life is. Yet, it does not diminish the truth that God lovingly sustains our existence and cares for us, even to the tiniest fraction of our atom. Whether we are busy doing our works, focus on our family affairs, or simply enjoying our hobbies, God is intimately involved. Thus, apart from God, our lives, our daily toils, and concerns, our sorrows and joys are meaningless and even revert to nothingness. Celebrating the Trinity Sunday means to rejoice in our existence as a gift, and to glorify God who is immensely loving and caring for us.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Allah Tritunggal dan Kita

Hari Raya dari Tritunggal Mahakudus [27 Mei 2018] Matius 28: 16-20

Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. (Mat. 28:19)”

star gazing
photo by Harry Setianto, SJ

Hari ini kita merayakan Misteri Tritunggal Mahakudus. Misteri ini tepat disebut misteri dari semua misteri karena Tritunggal Mahakudus merupakan inti dari iman Kristiani kita. Namun, kebenaran mendasar ini tidak hanya sangat sulit untuk dimengerti, tetapi juga pada kenyataannya, melampaui penalaran manusiawi kita. Bagaimana mungkin kita bisa percaya pada tiga Pribadi Ilahi yang berbeda, Bapa, Putra dan Roh Kudus, namun mereka tetap satu Allah? Beberapa tokoh besar seperti St. Agustinus, St. Thomas Aquinas dan Paus Emeritus Benediktus XVI telah berusaha untuk memberi sedikit cahaya pada misteri ini. Namun, dihadapan kebenaran maha besar ini, penjelasan terbaik pun akan tampak seperti setetes air di samudra raya

 

Saya sendiri tidak memiliki ilusi bahwa saya dapat menjelaskan misteri ini dengan baik, tetapi kita mungkin merefleksikan bersama maknanya dalam kehidupan sehari-hari kita. Masa Paskah yang penuh sukacita berakhir dengan perayaan hari Pentakosta Minggu lalu, dan kitapun melanjutkan masa biasa tahun liturgi. Ketika kita melanjutkan masa biasa, Gereja mengundang kita untuk merayakan Hari Raya Tritunggal Mahakudus. Gereja tampaknya mengajarkan kita bahwa misteri Trinitas yang melebihi segala nalar sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia, dengan perjuangan kita sehari-hari, dengan rasa sakit dan sukacita kita sehari-hari. Bagaimana iman kita dalam misteri terbesar dari semua misteri ini dapat terhubung dengan kehidupan sehari-hari dan bahkan duniawi kita?

Kita sering memiliki gambaran salah tentang Tuhan. Kita kadang berpikir bahwa Tuhan atau Allah Tritunggal adalah pribadi terbesar (atau tiga pribadi terbesar) di antara hal-hal yang ada. Dia seperti seorang CEO universal yang mengelola semua hal dari lokasi yang dirahasiakan atau makhluk super besar dan super kuat yang mengendalikan hampir segalanya. Namun, gambaran ini tidak sepenuhnya benar. Ia bukan sekedar “satu” di antara makhluk yang tak terhitung jumlahnya. Tuhan adalah dasar dari segala yang ada. Dia adalah alasan mengapa sesuatu ada, daripada tidak ada sama sekali. Jadi, penciptaan bukanlah yang terjadi pada “Big Bang” 13,7 miliar tahun lalu. Penciptaan pada dasarnya adalah karunia keberadaan dari Allah bagi kita. Menjadi makhluk ciptaan berarti keberadaan kita tidak mutlak. Kita ada fana. Namun, saat kita tahu bahwa kita sungguh ada di dunia, kita menyadari bahwa setiap saat dalam hidup kita adalah karunia Tuhan.

Kitab Suci mengungkapkan misteri Allah kita. Dia bukan Tuhan yang menyendiri dan mementingkan diri sendiri, tetapi Tuhan kita adalah satu Tuhan dalam tiga pribadi ilahi. Tuhan kita adalah komunitas yang berdasarkan pada kasih hidup dan kreatif dan pada pemberian diri yang total dan konstan. Oleh karena itu, perciptaan kita bukanlah sekedar ketidaksengajaan semata, tetapi tindakan kreatif Allah dan karunia kasih-Nya. Kita ada karena kita adalah bagian dari rencana kasih-Nya. Kita ada di dunia karena Tuhan tidak dapat tidak mengasihi kita dan ingin kita berbagi dalam kehidupan yang sempurna dalam Tritunggal. St Thomas Aquinas pun mengatakan bahwa kita hanya percaya dua ajaran dasar, dua “credibilia”: pertama, Tuhan itu ada, dan kedua, kita dikasihi dalam Yesus Kristus.

Kita sering menerima begitu saja hidup kita dan terlarut dalam masalah sehari-hari; kita jarang bertanya apa tujuan dan makna kehidupan ini. Namun, hal ini tidak mengurangi kebenaran bahwa Tuhan dengan penuh kasih menopang keberadaan, bahkan sampai ke bagian terkecil dari atom kita, dan peduli kepada kita, setiap detik dari hidup kita. Apakah kita sibuk melakukan pekerjaan, fokus pada urusan keluarga, atau hanya menikmati hobi, Tuhan terlibat dan memperhatikan. Jadi, terlepas dari Tuhan, hidup kita, kerja harian kita, dan kekhawatiran, kesedihan dan sukacita kita tidak ada artinya dan bahkan kembali ke ketiadaan. Merayakan Tritunggal Mahakudus berarti bersuka-cita dalam keberadaan kita sebagai karunia, dan memuliakan Tuhan yang sangat mengasihi kita.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Holy Spirit of Pentecost

Pentecost Sunday [May 20, 2018] Jn 20:19-23

“We hear them speaking in our own tongues of the mighty acts of God (Acts 2:11)”

small candle
picture by Harry Setianto SJ

Just a week ago, three churches in Surabaya, Indonesia were attacked by suicide bombers.  Fear immediately seized me knowing the bombing sites were not far from our Dominican community. Some of my good friends were from Surabaya, and they might have been harmed by the senseless explosions. I was somehow able to breathe upon knowing that they were safe, but part of my heart remained deeply hurt because many people, Christians and Moslems, police officers, ordinary citizen, and even children, died and were wounded. These were people with their hopes and dreams, their stories and faith, with family and friends. Yet, the brutal attacks instantly destroyed all. As we are now celebrating the Pentecost, we may ask ourselves: What does it mean to celebrate the outpouring of the Holy Spirit in a world chocked by fear and violence? How do we call ourselves the hopeful Pentecost People in the midst of persecution and death?

 

On the day of Pentecost, the Holy Spirit does appear in the form of the tongues of fire and rests on each apostle and disciple. They are filled with the Holy Spirit and begin to speak different languages and to proclaim the mighty acts of God to people coming from many nations. From the story, we discover that people from different languages and nations are able to understand, and begin to be one community as they listen to the mighty acts of God. Thus, the mission of the Holy Spirit is to become the principle of connection and unity among people separated by many walls and divisions.

We are coming from different languages, culture, and nations, having diverse upbringings, characters, and value system. We possess different convictions, beliefs, and faith. It is the work of the devil to sow the seed of fear and lies, and with so much fear and misconceptions of the others, it is easier to build higher fences and dig deeper trenches. These are the roots of fundamentalism and radicalism that kills rather than heals.

The Holy Spirit pushes us to go out from ourselves and reach to the others. If we are created in the image of the Holy Trinity, and if the Trinity is three unique divine persons living in the unity of love, we are designed to be unique individuals and yet we are also made as a person with others and for others. The Holy Spirit is like a mother eagle that when the right time comes, will throw its young brood from the cliff and let them learn how to fly gracefully like a mature eagles.

Hours after the bombing, people also flooded the hospitals where the terror victims were treated and offered themselves to be blood donors for the victims. One remarks that blood knows no ethnicity, religion or nation; it only knows type O, A, B or AB! The Holy Spirit works against the work of the devil, the father of lies. Thus, the Holy Spirit empowers us to proclaim the truth and the mighty acts of God. Minutes after the bombing, the social media was flooded by a graphic picture of people killed as to spread fear, but then the Indonesian netizens refused to share further the fear and began to place in their social media accounts hashtag #wearenotafraid.

The heroic stories also emerge. There is Aloysius Bayu, a parish volunteer, who died in the explosion. Had he not stopped the terrorists who tried to enter the church premises, countless people could have died that day. His death does not only end his life but also scatters the life of a woman who expects his husband to come home and a little baby who needs her father. Yet, it is not without hope. It succumbs to fear or anger, Bayu’s friends see his death as a sacrifice that leads to a new hope. One of his friends remarks, “We must not stop going to the Church because of fear. If we stop, Bayu would have died for nothing.” The Holy Spirit does not blind us to the harsh and ugly world we have, but the Holy Spirit empowers us to be brave and work for better future of this world.

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Roh Kudus Pentekosta

Hari Raya Pantekosta [20 Mei 2018] Yohanes 20: 19-23

“kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah (Kisah 2:11).”

kami tidak takutSeminggu yang lalu, tiga gereja di Surabaya, Indonesia diserang oleh para pelaku bom bunuh diri. Ketakutan segera memenuhi hati saya karena lokasi pengeboman tidak jauh dari komunitas Dominikan di Surabaya. Beberapa teman baik saya juga berasal dari Surabaya, dan mereka mungkin terluka karena ledakan bom.  Namun, saya bisa bernapas lega setelah mengetahui bahwa mereka aman, tetapi bagian dari hati saya tetap sangat terluka karena banyak orang, baik umat Kristinani dan Muslim, polisi, warga biasa, dan bahkan anak-anak, menjadi kurban. Mereka adalah orang-orang yang dipenuhi harapan dan impian mereka, kisah dan iman mereka, dengan keluarga dan teman-teman mereka. Namun, serangan brutal itu langsung menghancurkan semuanya. Hari ini, kita bisa bertanya pada diri sendiri: Apa artinya merayakan Pentekosta, hari raya pencurahan Roh Kudus, di dunia yang dipenuhi rasa takut dan kekerasan?

Pada hari Pentakosta pertama, Roh Kudus datang dalam bentuk lidah nyala api dan hinggap pada setiap rasul dan murid lainnya. Mereka dipenuhi oleh Roh Kudus dan mulai berbicara bahasa yang berbeda, dan mewartakan perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah. Hari itu, orang-orang yang datang dari berbagai bangsa bisa mendengar dan mengerti karya Allah dan dipersatukan sebagai komunitas. Dari cerita ini, kita bisa melihat bahwa misi Roh Kudus sebagai prinsip kesatuan di antara kita yang dipisahkan oleh banyak tembok dan sekat-sekat perbedaan.

Kita datang dari berbagai bahasa, budaya, dan bangsa, dengan beragam latar belakang, karakter, dan sistem nilai. Kita memiliki kepercayaan, keyakinan dan iman yang berbeda. Ini adalah pekerjaan roh jahat untuk menabur benih rasa takut dan kebohongan, dan dengan ketakutan dan ketidakpahaman terhadap yang lain, lebih mudah bagi kita untuk membangun tembok yang lebih tinggi dan menggali parit yang lebih dalam. Ini menjadi akar fundamentalisme dan radikalisme yang mematikan.

Roh Kudus mendorong kita untuk keluar dari diri kita sendiri dan menjangkau yang lain. Jika kita diciptakan menurut citra Allah yang adalah Tritunggal Mahakudus, dan jika Tritunggal adalah tiga pribadi ilahi yang unik, namun hidup dalam kesatuan kasih, kita juga dirancang untuk menjadi individu yang unik, namun kita juga diciptakan sebagai pribadi yang hidup dengan sesama dan bagi sesama. Roh Kudus seperti induk burung elang yang ketika waktunya tiba, akan melemparkan anak-anak mereka dari tebing tinggi dan memampukan mereka terbang.

Beberapa jam setelah pengeboman, masyarakat membanjiri rumah sakit tempat para korban teror dirawat, dan menawarkan diri untuk menjadi donor darah bagi para korban. Seorang relawan berkomentar bahaw darah tidak mengenal suku, agama atau bangsa; hanya tahu tipe O, A, B atau AB! Roh Kudus bekerja melawan pekerjaan roh kudus, bapa segala dusta. Dengan demikian, Roh Kudus memberdayakan kita untuk mewartakan kebenaran dan karya besar Allah. Beberapa menit setelah pemboman, media sosial dibanjiri oleh gambar-gambar kurban-kurban yang tewas untuk menyebarkan ketakutan, tetapi kemudian para pengguna internet Indonesia menolak untuk menyebarkan rasa takut, dan mulai memasang di akun media sosial mereka tagar #kamitidaktakut.

 Kisah-kisah heroik juga muncul. Ada Aloysius Bayu, seorang sukarelawan paroki Santa Maria Tak Bercela Surabaya, yang tewas dalam ledakan. Seandainya dia tidak menghentikan para teroris yang mencoba memasuki premis gereja, bisa tak terhitung orang menjadi korban hari itu. Kematiannya tidak hanya mengakhiri hidupnya, tetapi juga menghancurkan kehidupan seorang wanita yang mengharapkan suaminya pulang dan seorang bayi kecil yang membutuhkan ayahnya. Namun, itu bukan tanpa harapan. Dari pada menyerah pada ketakutan atau kemarahan, teman-teman Bayu melihat kematiannya sebagai pengorbanan yang mengarah ke harapan baru. Salah seorang temannya menyatakan, “Kita tidak boleh berhenti pergi ke Gereja karena takut. Jika kita berhenti, Bayu akan mati sia-sia. ” Roh Kudus mendorong kita untuk berani mewartakan karya Allah dan membuat dunia yang penuh kejahatan menjadi tempat yang lebih baik.

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Ascension and Mission

The Ascension of the Lord [May 13, 2018] Mark 16:15-20

“Jesus said to them, “Go into the whole world and proclaim the gospel to every creature.” (Mk. 16:15)

father and daughter at beach 2We normally do not want to part away from the people we love. The emotional bond that has grown makes it difficult and painful for us to be away from the persons whom we love. Parents do not want to be separated from their children. Couple hates when they have to be far from each other. Friends cry when they have to go separate ways.

However, Jesus does the opposite when He is ascending into heaven. The resurrected Jesus could have stayed, done more miracles and accompanied the disciples. His permanent physical presence could boost the disciples’ morale, give them comfort and protection. Yet, He chooses to go and leave His disciples on earth. Why does Jesus do that cruel thing?

When we read today’s Gospel closely, Jesus does not simply leave behind His disciples, but He sends them for the mission, “Go to the whole world and preach the Gospel to every creature.” (Mrk 16:15) In fact, the Ascension is more about sending rather than departing. He goes up so that the disciples may go forward. Jesus understands that to stay put means to infantilize the disciples and hinder the disciples to become the men they are meant to be. As they go, they grow to be the persons whom they never expect before. They have faith even more, and to gradually grow in hope and charity. Had Peter stayed behind, he would not have become a leader of the great Church. Had John gone home, he would not have become the elder of the Church in Ephesus and written the Fourth Gospel.

The story of faith begins with a mission. God called Abraham, asked him to go from in his land of Ur, and made his way to Canaan. He became the Father of great nations not in his homeland, his comfort, and his safe zone, but in the dangerous and unknown land. God called Moses and Israelites to go out from the land of Egypt, from the land that gave them cucumber, onion, and garlic. They became people free to worship their only God, not in Egypt, land of thousand gods, but in the land, God has promised them. St. Dominic de Guzman began the Order of Preachers by sending his small and fragile community into various cities. Some brothers doubted others resisted, and few objected his decision. Yet, his decision was proved to be a watershed for the Order. The mission of Order is not to be another ancient stable monastery, but a group of iterant preachers. Dominic’s faith has given birth to the Dominican family that is currently present in more than 100 countries.

I always thank my parents for allowing me to enter the seminary at the tender age of 14. I know it was a tough and painful decision, but their courage has made me a man who I am now. At first, both my parents and I were not sure what would come for me, what my particular mission in life be, but we are sure that I have been sent, from the comfort of my family into the midst of an immensely vast Church. Have we grown and become mature and courageous people? Have we allowed people we love to grow into the person they are meant to be? Have we entrusted ourselves and our loved ones into God’s mission?

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kenaikan dan Misi

Kenaikan Tuhan Yesus ke Surga [10 Mei 2018/ 13 Mei 2018] Markus 16: 15-20

“Yesus berkata kepada mereka, ‘Pergilah ke seluruh dunia, beritakanlah Injil kepada segala makhluk.’ ”(Markus 16:15)

father and daughter at beachKita biasanya tidak ingin berpisah dari orang-orang yang kita cintai. Ikatan emosional yang telah terbangun membuat kita sulit untuk menjauh dari mereka yang kita cintai. Orang tua tidak ingin terpisahkan dari anak-anak mereka. Sepasang kekasih benci ketika mereka harus jauh dari satu sama lain. Kita sedih ketika mereka harus berpisah dengan sahabat kita.

Namun, hari ini kita melihat bahwa Yesus justru melakukan hal yang sebaliknya ketika Dia naik ke surga. Kristus yang telah bangkit bisa saja memilih tinggal dan menemani para murid. Kehadiran fisiknya yang permanen dapat meningkatkan semangat para murid, memberi mereka kenyamanan dan perlindungan. Namun, Dia memilih untuk pergi dan meninggalkan para murid-Nya di bumi. Mengapa Yesus melakukan hal yang tampaknya sangat kejam ini?

Ketika kita membaca Injil hari ini dengan seksama, Yesus tidak sekedar meninggalkan murid-muridNya, tetapi Dia juga mengutus mereka untuk menjalankan misi mereka, “Pergi ke seluruh dunia dan mewartakan Injil kepada setiap makhluk.” (Mrk 16:15) Faktanya, Kenaikan Tuhan Yesus lebih banyak berbicara tentang pengutusan daripada perpisahan. Dia naik ke surga supaya murid-murid bisa bergerak maju. Yesus memahami bahwa jika Ia tinggal lebih lama, Ia menghalangi para murid untuk tumbuh dan berkembang. Ketika mereka diutus, mereka tumbuh menjadi orang-orang yang tidak pernah mereka duga sebelumnya. Mereka memiliki iman yang bahkan lebih tinggi, dan secara bertahap tumbuh dalam harapan dan kasih. Seandainya Petrus tetap tinggal, dia tidak akan menjadi pemimpin Gereja. Seandainya Yohanes tidak diutus, dia tidak akan menjadi penatua Gereja di Efesus dan menulis Injil Keempat.

Kisah iman dimulai dengan sebuah misi. Tuhan memanggil Abraham, mengutusnya pergi dari tanahnya di Ur, dan pergi ke Kanaan. Dia menjadi Bapak dari bangsa-bangsa besar bukan di tanah airnya, dimana dia hidup dalam kenyamanan, tetapi di tanah yang berbahaya dan tidak dikenal. Allah memanggil Musa dan orang Israel untuk pergi keluar dari tanah Mesir, dari tanah yang memberi mereka mentimun, bawang, dan melon. Mereka menjadi orang-orang yang bebas untuk menyembah Tuhan mereka, bukan di Mesir, tanah seribu dewa, tetapi di tanah yang Tuhan telah janjikan kepada mereka. St. Dominikus de Guzman memulai Ordo Pewarta (OP) dengan mengirimkan komunitasnya yang kecil dan rapuh ke berbagai kota di Eropa. Beberapa saudaranya meragukannya, beberapa menolak, dan lainnya berkeberatan dengan keputusannya. Namun, keputusannya terbukti menjadi titik balik bagi Ordo. Misi Ordo Pewarta bukanlah untuk membangun pertapaan stabil seperti halnya ordo-ordo lainnya yang lebih dahulu ada, tetapi menjadi sekelompok pewarta yang hidup dalam pengembaraan. Iman St. Dominikus telah melahirkan sebuah keluarga Dominikan yang saat ini hadir di lebih dari 100 negara.

Saya selalu berterima kasih kepada orang tua saya karena mengizinkan saya masuk seminari pada usia muda 14 tahun. Saya mengerti bahwa ini adalah keputusan yang sulit dan menyakitkan, tetapi keberanian mereka telah menjadikan saya seorang manusia yang sekarang ini. Pada mulanya, kedua orang tua saya dan saya sendiri tidak yakin apa yang akan terjadi pada diri saya di seminari, tetapi kami yakin bahwa saya telah diutus, dari kenyamanan sebuah keluarga ke tengah-tengah Gereja yang sangat luas.

Sudahkah kita tumbuh dan menjadi orang yang dewasa dan berani? Beranikah kita mengutus orang yang kita cintai agar tumbuh menjadi orang yang lebih dewasa? Sudahkah kita mempercayakan diri kita dan orang-orang yang kita kasihi ke dalam misi Allah?

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Death of a Priest

(for +Fr. Mark Anthony Ventura)

Sixth Sunday of Easter [May 6, 2018] John 15:9-17

mark venturaWe are living in the part of the world that violence and death have become our daily consumption. Every day, people’s lives are forcibly snatched away for unbelievably trivial reasons. Parents kill their babies. Brothers murder their brothers. Friends manipulate and sell their friends. Some of us used to go down on the street and cry for justice. Yet, many of us are just busy with daily pressing concerns like works, study and chores. We become numb or blind to the soil that has been painted red by the blood of our brothers and sisters. The life, precious in the eyes of God, turns out to be cheap at the hands of men.

However, few days ago, I was deeply troubled by the news of a young priest brutally murdered. His name is Fr. Mark Ventura, and he was just 37 years old when he was merciless gunned down. His life was taken moments after he celebrated his morning mass in Cagayan, Philippines. He was still inside the small chapel, had given his blessing to children and suddenly, an unidentified man shot him. His advocacy for justice and peace in his place may be the reason why he lived so short.

His death is less dramatic than of Archbishop Oscar Romero of San Salvador. The holy bishop was killed right after consecration of the body and blood of Christ, and he fell to the ground, his blood was mingled with the blood of Christ. Another bishop, a Dominican Bishop Pierre Claverie, OP of Oran, Algeria suffered the same fate. The terrorists planted a bomb in his car, and its explosion did not only kill Bishop Pierre, but also his young Muslim friend and driver. In a bloody scene, his flesh was mixed with the flesh of his Muslim friend. Yet, that is beside the point. Witnessing Fr. Mark’s body laying soulless on the ground and soaked with blood, is not only deeply disturbing, but is also deeply hurtful. It is enormously disturbing because it gives us the chilling effect that if these evil men could mercilessly kill a priest, the herald of forgiveness and mercy, now they may kill anyone who stands on their way. Yet, his death is also painful because his death is also our death as the People of God. His white soutane soiled and colored by blood, is our white garment we wore during our baptism. His lifeless hands used to bless the people and consecrate the holy hosts and wine, are also our hands that raise our children and build our society. His silenced mouth used to proclaim the Good News, to forgive sins, and to denounce evil, are also our mouth that receive the Holy Communion and teach wisdom to our children. The murder of Fr. Mark is a murder of a priest, and symbolically it is the killing of all of us, Christians.

The way of the priesthood is what some of us choose, the way that often provides us with earthly comforts, and unexpected bonuses; the way that catapults us from a rug to a rich kid; and the way that showers us with fame, success, and glory. Yet, it is the same way that confronts us with the face of evil; the way that challenges us to be at the side of the victims and to denounce injustice; and the way that gets us persecuted, mocked and killed. The choice is ours. To end my humble reflection, let me quote Archbishop Oscar Romero, “A church that doesn’t provoke any crises, a gospel that doesn’t unsettle, a word of God that doesn’t get under anyone’s skin, a word of God that doesn’t touch the real sin of the society in which it is being proclaimed — what gospel is that?”

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

 

Kematian Seorang Imam

Minggu Paskah ke-6 [6 Mei 2018] Yohanes 15:9-17

mark venturaKita hidup di belahan dunia dimana kekerasan dan kematian telah menjadi konsumsi sehari-hari kita. Setiap hari, kehidupan manusia secara paksa dirampas karena alasan yang sangat sepele. Orang tua membunuh bayi mereka. Saudara menghabisi saudara. Sahabat memanipulasi dan memanfaatkan sahabat. Beberapa dari kita mungkin turun ke jalan dan menuntut keadilan. Namun, banyak dari kita terlalu sibuk dengan kegiatan sehari-hari, karena kita harus bekerja, belajar dan menjalankan tugas-tugas lainnya. Kita menjadi mati rasa atau buta terhadap tanah yang telah menjadi merah oleh darah saudara-saudari kita. Kehidupan, berharga di mata Tuhan, ternyata sangat murah di tangan manusia.

Namun, beberapa hari yang lalu, saya sangat terganggu oleh berita seorang imam muda yang dibunuh secara brutal. Namanya adalah Mark Antony Ventura, dan dia baru berusia 37 tahun ketika dia tanpa belas kasih ditembak mati. Hidupnya diambil beberapa saat setelah ia merayakan misa paginya di Cagayan, Filipina. Dia masih di dalam kapel kecil, sedang memberikan berkatnya kepada anak-anak, dan tiba-tiba, seorang pria tak dikenal datang dan menembaknya. Alasan kepada dia dihabisi belum jelas, namun advokasinya untuk keadilan dan kedamaian mungkin menjadi alasan utama.

Kematiannya mengingatkan akan kematian Uskup Agung Oscar Romero dari San Salvador. Uskup kudus ini dibunuh tepat setelah mengkonsekrasikan tubuh dan darah Kristus, dan saat dia jatuh ke tanah, darahnya bersatu dengan darah Kristus. Uskup lainnya, seorang Dominikan, Pierre Claverie, OP dari Oran, Aljazair mengalami nasib yang serupa. Para teroris meletakan bom di mobilnya, dan ledakannya tidak hanya membunuh Bishop Pierre, tetapi juga sahabat dan sopirnya yang beragama Islam. Dalam kejadian berdarah itu, dagingnya bersatu dengan daging teman Muslimnya.

Menyaksikan tubuh romo Mark yang terbaring tanpa nyawa di tanah dan bersimbah darah, tidak hanya sangat mengusik hati nurani, tetapi juga sangat menyakitkan. Hal ini sangat mengusik hati nurani karena memberi kita efek mengerikan bahwa jika orang-orang jahat ini bisa tanpa ampun membunuh seorang imam, duta pengampunan dan belas kasih, sekarang mereka bisa menghancurkan siapa saja yang menghalangi di jalan mereka. Namun, kematiannya juga menyakitkan karena kematiannya adalah juga kematian kita sebagai Umat Tuhan. Jubah putihnya yang bercampur tanah dan bersimbah darah, adalah pakaian putih kita yang kita kenakan saat kita dibaptis. Tangannya yang tidak lagi bernyawa, yang pernah memberkati orang-orang dan menguduskan roti dan anggur suci, adalah juga tangan kita yang membesarkan anak-anak kita dan membangun masyarakat. Mulutnya yang terbungkam yang pernah mewartakan Kabar Baik, mengampuni dosa, dan mengutuk kejahatan, adalah juga mulut kita yang menerima hosti kudus dan mengajarkan kebijaksanaan kepada anak-anak kita. Pembunuhan romo Markus adalah pembunuhan seorang imam, dan secara simbolis ini adalah pembunuhan kita semua, umat Allah.

Jalan imamat adalah jalan yang saya dan beberapa dari kita telah pilih. Ini adalah jalan yang sering memberi kita kenyamanan duniawi, dan bonus tak terduga. Ini adalah jalan yang menghujani kita dengan ketenaran, kesuksesan, dan kemuliaan. Namun, ini adalah jalan yang sama yang menghadapkan kita dengan wajah kejahatan. Ini adalah jalan yang yang menantang kita untuk berada di sisi para korban dan membela keadilan. Ini adalah jalan yang membuat kita dianiaya, diejek dan bahkan dibunuh. Pilihannya adalah milik kita. Untuk mengakhiri renungan kecil ini, izinkan saya mengutip Uskup Agung Oscar Romero, “Sebuah gereja yang tidak memprovokasi krisis apa pun, sebuah Injil yang tidak mengusik hati nurani, sebuah Firman Tuhan yang tidak ada masuk ke dalam jiwa siapa pun, sebuah Injil yang tidak berhadapan dengan dosa nyata dari masyarakat di mana Injil itu diwartakan – Injil macam apakah itu? ”

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP