Wives, Husband and Family in God’s Plan

Feast of the Holy Family of Jesus, Mary and Joseph

December 31, 2023

Luke 2:22-40

“Wives, be subordinate to your husbands, as is fitting in the Lord [Col 1:18].” To us, modern readers, the words of St. Paul raise our eyebrows. How come St. Paul instructed women to be subjected and even slaves to men? Were not men and women created equal in dignity? Is St. Paul anti-women or even a misogynist?

To answer these objections, we must understand the historical context of St. Paul and the Church in Colossae. In the Greco-Roman society of the first century AD, women were basically the household property of men. They were primarily responsible for producing legitimate heirs to their husbands and were expected to care for the house. They were to obey their husbands in all respects. Indeed, there were strong and dominant women, but these were exceptions. Even for the women of nobility, though they enjoyed rare lives of luxury, they also turned out to be political tools. They were offered as brides to secure political alliances and the families’ economic security.

Reading St. Paul in this context, his letter is, in fact, revolutionary. In the section of the instructions to the Christian families (see Col 3:18-21), St. Paul did not write, “Husbands, tell your wives that they need to be your subjects!” Instead, he addressed his female readers directly and made his instructions clear to them. This writing style unearthed Paul’s fundamental understanding of the relationship between men and women: wives stand on equal ground with their husbands. What is even more remarkable is that St. Paul mentioned the women first and the men second. This was unheard of! St. Paul transgressed the cultural limitations to preach, “For as many of you as were baptized into Christ have put on Christ. There is neither Jew nor Greek, there is neither slave nor free, there is neither male nor female; for you are all one in Christ Jesus [Gal 3:27-28].”

Now, how do we understand Paul’s word, ‘be subordinate’? St. Paul used the original Greek word ‘ὑποτάσσω’ (read: hupotasso). It literally means ‘to be assigned under.’ So, the wives are assigned under the husbands. Yet, it does not mean that women are lower in human dignity and status in the family. St. Paul understood that the human family is also a form of human community, and any human community need ‘order’ to flourish. A leader is a responsible person who ensures that the order works properly and, thus, generates the greatest good for everyone in the community. In a family context, St. Paul recognized the husband is the leader of an order called family.

St. Paul further clarified this ‘subordination’ by his instruction to the husbands, “Husbands, love your wives, and avoid any bitterness toward them.” For Paul, family is an order of love. Yes, the men are the heads of families, but they are not tyrants but the leaders of love. Men who are naturally stronger physically are expected to protect and provide for the family. Paul expected husbands to give up their lives for their families, as Christ gave His life for the Church (see Eph 5:25). Thus, ‘ὑποτάσσω’ means that wives are under the radical love of husbands.

We recognize that Paul’s ideal is not always happening. Because of our weakness and the devil’s attack, we fall into sin, and we fail to become a good husband or wife. Yet, we must not lose hope because this is God’s plan for us, and we continue to strive in holiness through God’s grace.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Istri, Suami dan Keluarga dalam Rencana Ilahi

Pesta Keluarga Kudus Yesus, Maria dan Yusuf
31 Desember 2023
Lukas 2:22-40

“Hai istri-istri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Hai suami-suami, kasihilah istrimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.” [Kol 1:18-19].” Bagi kita, para pembaca modern, kata-kata Santo Paulus ini membuat kita terheran-heran. Paulus memerintahkan wanita untuk tunduk dan menjadi bawahan dari suami? Bukankah pria dan wanita diciptakan sederajat? Apakah Santo Paulus anti perempuan?

Untuk menjawab keberatan-keberatan ini, kita harus memahami konteks historis Santo Paulus dan Gereja di Kolose. Dalam masyarakat Yunani-Romawi pada abad pertama Masehi, perempuan pada dasarnya adalah properti rumah tangga laki-laki. Mereka terutama bertanggung jawab untuk menghasilkan keturunan yang sah bagi suami dan diharapkan untuk merawat rumah tangga. Mereka harus mematuhi suami mereka dalam segala hal. Memang, ada wanita-wanita yang kuat dan dominan, tetapi ini adalah pengecualian. Bahkan bagi para wanita bangsawan, meskipun mereka menikmati kehidupan mewah yang langka, mereka juga menjadi alat politik. Mereka ditawarkan sebagai pengantin untuk mengamankan aliansi politik dan keamanan ekonomi keluarga.

Dalam konteks ini, surat Paulus sebenarnya sesuatu yang revolusioner. Pada bagian instruksi untuk keluarga Kristiani (lihat Kol 3:18-21), Santo Paulus tidak menulis, “Hai suami, beritahukanlah kepada istrimu, bahwa mereka harus tunduk kepadamu!” Sebaliknya, ia menyapa para pembaca wanitanya secara langsung (tidak melalui suami mereka). Gaya penulisan ini menunjukkan pemahaman Paulus yang mendasar tentang hubungan antara pria dan wanita: istri berdiri sejajar dengan suami mereka. Yang lebih luar biasa lagi adalah Paulus menyebutkan perempuan terlebih dahulu dan laki-laki di urutan kedua. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya! Paulus melanggar batasan budaya pada zamannya untuk mewartakan, “Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus, telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki atau perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Kristus Yesus [Gal. 3:27-28].”

Sekarang, bagaimana kita memahami kata Paulus, ‘tunduklah’? Paulus menggunakan kata Yunani ‘ὑποτάσσω’ (baca: hupotasso). Secara harfiah kata ini berarti ‘ditugaskan di bawah’. Jadi, para istri ditugaskan di bawah para suami. Namun, ini tidak berarti bahwa perempuan lebih rendah martabatnya dan statusnya dalam keluarga. Paulus memahami bahwa keluarga juga merupakan suatu bentuk komunitas manusia, dan setiap komunitas manusia membutuhkan sebuah ‘tatanan’ (organisasi) untuk berkembang. Seorang pemimpin adalah orang yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa ‘tatanan’ berjalan dengan baik dan, dengan demikian, menghasilkan kebaikan terbesar bagi semua orang dalam komunitas. Santo Paulus menyatakan bahwa suami adalah pemimpin dari tatanan keluarga.

Paulus memperjelas ‘ὑποτάσσω’ ini dengan instruksinya kepada para suami, “Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia.” Bagi Paulus, keluarga adalah sebuah tatanan kasih. Ya, para pria adalah kepala keluarga, tetapi mereka bukanlah diktator, melainkan pemimpin kasih. Laki-laki yang secara alamiah lebih kuat secara fisik diharapkan untuk melindungi dan menafkahi keluarga. Paulus mengharapkan para suami untuk menyerahkan hidup mereka bagi keluarga mereka, sebagaimana Kristus telah menyerahkan hidup-Nya bagi Gereja (lihat Efesus 5:25). Dengan demikian, ‘ὑποτάσσω’ berarti istri berada di bawah perlindungan dan kasih dari para suami.

Kita menyadari bahwa cita-cita Paulus tidak selalu terjadi. Karena kelemahan kita dan serangan iblis, kita jatuh ke dalam dosa, dan kita gagal menjadi suami atau istri yang baik. Namun, kita tidak boleh kehilangan harapan karena ini adalah rencana Allah bagi kita, dan kita terus berjuang dalam kekudusan melalui kasih karunia Allah.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

The Joy of Christmas

The Nativity of our Lord (Christmas)

December 25, 2023

Luke 2:1-14

Merry Christmas!

The Lord is born, and there is a great joy in heaven and earth. However, what is the reason behind this joy of Christmas? There is joy not because we can gather with our family and relatives and have a good Christmas party. The joy is not because we have gifts and bonuses, nor because we travel and have our vacations. So, what is behind this joy?

Christmas is the day that our Savior is born. This birth is not just a natural biological process involving a man and a woman. This birth is a supernatural event that takes its root from God’s love for us, pitiful sinners. God had countless options to redeem us, yet He chose the most intimate way. God the Father sent His Son, and the Son took His second nature, that is, human nature in the Virgin Mary. In this way, God becomes intimately close to us, thus, His title, Immanuel, God-with-us. He is with us not only in spiritual or mystical manners but in the most humanly possible. He is a baby Mary could feed, Joseph could embrace, and shepherds could see.

However, Christmas is the cause of rejoicing not only in a theological sense but also because it is a strong reminder for all of us. We are living in a changing culture and mindset. Many couples no longer want to have children. Indeed, there are some valid reasons, such as economic hardship that makes it impossible to raise children or certain medical conditions that can be dangerous for the mothers. Yet, many also consider having children a burden, and thus, want only to have the fun things in marriage but get away with the difficult parts, including raising children.

However, Christmas reminds us that while it is true that having children carries its own hardship, it also brings joy. It is true that after receiving Jesus, Mary and Joseph did not get a better life; in fact, they had to endure more suffering. Yet, Mary and Joseph celebrated the birth of the Son of God. We must not forget that the countless angelic community sang glory to the Lord in heaven, and on earth, the shepherds rushed to joyfully greet Mary and Joseph [see Luk 2].

Getting pregnant is indeed a painful and laborious process, and educating our children can often be economically and emotionally challenging. Yet, God also provides abundant joy for parents. There is immense and indescribable joy when the mother sees her newborn baby for the first time. When the parents lovingly interact with their babies, the bodies intensely produce ‘positive’ hormones like oxytocin and dopamine. A friend who recently had a baby recounted her joy every time she noticed simple yet significant growth in her baby. There is joy when the baby begins to pronounce words clearly. There is joy when the baby starts recognising and distinguishing her parents’ faces from others.

Christmas teaches us that there is great joy in heaven when a baby is conceived and born because this baby is a potential citizen of heaven. Now, it is our joy to bring our children entrusted to us to God and share the fullness of life with Him.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Sukacita Natal

Hari Raya Kelahiran Tuhan Yesus (Natal)
25 Desember 2023
Lukas 2:1-14

Selamat Natal!
Tuhan telah lahir, dan ada sukacita besar di surga dan di bumi. Namun, apa alasan di balik sukacita Natal ini? Sukacita ini ada bukan karena kita bisa berkumpul dengan keluarga dan kerabat dan mengadakan pesta Natal yang meriah. Sukacita ini ada bukan karena kita mendapatkan hadiah dan bonus, juga bukan karena kita berlibur dan healing. Jadi, apa sebenarnya di balik sukacita ini?

Natal adalah hari kelahiran Juruselamat kita. Kelahiran ini bukan hanya sebuah proses biologis alamiah yang melibatkan seorang pria dan wanita. Kelahiran ini adalah sebuah peristiwa adikodrati yang berakar dari kasih Allah kepada kita, para pendosa. Allah memiliki banyak sekali pilihan untuk menebus kita, namun Dia memilih cara yang paling intim. Allah Bapa mengutus Putra-Nya, dan Sang Putra mengambil kodrat-Nya yang kedua, yaitu kodrat manusia dalam diri Perawan Maria. Dengan cara ini, Allah menjadi sangat dekat dengan kita, sehingga gelar-Nya, Imanuel, Allah yang bersama kita, menjadi sebuah kenyataan. Dia bersama kita tidak hanya dalam cara-cara rohani atau mistik, tetapi dalam cara yang paling manusiawi. Dia adalah bayi yang Maria susui, Yusuf peluk, dan para gembala kunjungi. Dia adalah yang wafat disalib dan bangkit pada hari ketiga. Dia adalah yang naik ke surga, dan yang hadir di setiap Ekaristi. Dia, sang Immanuel, Allah yang bersama kita sampai akhir zaman.

Namun, Natal juga memberikan kita alasan lain untuk bersukacita. Kita hidup dalam budaya dan pola pikir yang telah berubah. Banyak pasangan yang tidak lagi ingin memiliki anak. Memang, ada beberapa alasan yang sah, seperti kesulitan ekonomi yang tidak memungkinkan untuk membesarkan anak atau kondisi medis tertentu yang dapat membahayakan ibu. Namun, banyak juga yang menganggap memiliki anak hanya sebagai beban, dan dengan demikian, hanya ingin menikmati hal-hal yang menyenangkan dalam pernikahan tetapi tidak ingin terlibat dalam hal-hal yang sulit, termasuk membesarkan anak.

Namun, Natal mengingatkan kita bahwa meskipun benar bahwa memiliki anak membawa kesusahan tersendiri, namun juga membawa sukacita. Memang benar bahwa setelah menerima Yesus, Maria dan Yusuf tidak mendapatkan kehidupan yang lebih baik; bahkan mereka harus menanggung lebih banyak penderitaan. Namun, Maria dan Yusuf tetap merayakan kelahiran Anak Allah. Kita tidak boleh lupa bahwa bala malaikat yang tak terhitung jumlahnya penuh suka cita dan bernyanyi kemuliaan bagi Allah di surga, dan di bumi, para gembala bergegas menyambut Maria dan Yusuf dengan penuh sukacita [lihat Lukas 2].

Kehamilan memang merupakan proses yang menyakitkan dan melelahkan, dan mendidik anak-anak sering kali dapat menjadi tantangan secara ekonomi dan emosional. Namun, Tuhan juga menyediakan sukacita yang berlimpah bagi para orang tua. Ketika orang tua berinteraksi dengan penuh kasih dengan bayi mereka, tubuh akan memproduksi hormon ‘positif’ seperti oksitosin dan dopamin. Seorang teman yang baru saja memiliki bayi menceritakan kegembiraannya setiap kali ia melihat pertumbuhan yang sederhana namun signifikan pada bayinya. Ada kegembiraan ketika bayi mulai mengucapkan kata-kata dengan jelas. Ada sukacita ketika bayi mulai mengenali dan membedakan wajah orang tuanya dengan orang lain. Seorang teman lain juga bercerita bagaimana ada sukacita yang tak terlukiskan saat melihat wajah sang bayi yang terlahir sehat, setelah mengalami beberapa kali keguguran.

Natal mengajarkan kepada kita bahwa ada sukacita yang besar di surga ketika seorang bayi dikandung dan dilahirkan karena bayi ini adalah calon warga surga. Sekarang, adalah sukacita kita untuk membawa anak-anak yang dipercayakan kepada kita kepada Tuhan dan berbagi kepenuhan hidup dengan-Nya.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Full of Grace

4th Sunday of Advent [B]

December 24, 2023

Luke 1:26-38

‘Full of Grace’ is the most iconic title of the Blessed Virgin Mary. Every time we recite ‘Hail Mary,’ we immediately recognize that the first title after the name of Mary is full of grace. Not only is it her most recognized title, but it is also the most ancient. Even it goes back to the Bible, the first chapter of Luke’s Gospel. The angel Gabriel appeared and greeted Mary, ‘Hail, full of grace!’ (Luk 1:28). However, if we carefully read this passage, the title ‘Full of Grace’ is not there. What did the angel say to Mary? Why do we have ‘Full of Grace’ in the first place?

The title ‘Full of Grace’ appears in the Vulgate version of the Bible. Vulgate is the Latin Bible translation done by St. Jerome in the early fifth century. In Latin, it is ‘gracia plena’. Since Latin is the official language of the Roman Catholic Church, ‘gracia plena’ became the standard title of Blessed Virgin Mary and got translated into different languages. When ‘Hail Mary’ and the holy rosary became the most popular devotion in the Catholic world, the title ‘full of grace’ could no longer be separated from Mary, the mother of Jesus. But what is written in the Bible?

What St. Luke wrote in Greek is ‘κεχαριτωμένη’ (read: kecharitomene), and it literally means ‘one who has been graced’ or ‘one who has received grace.’ So, is St. Jerome mistaken? Not really. St. Jerome decided not to make a literal translation but rather a more poetic one, and by this choice, St. Jerome wanted to draw our attention to the total and continuous presence of grace in the life of Mary. Yet, why is the title ‘κεχαριτωμένη’ extremely important for Mary and us?

Firstly, we need to understand the meaning of the word ‘grace .’In Greek, it is ‘χάρις’ (read: Charis), and its most fundamental meaning is ‘gift’ or ‘favor .’Yet, in the New Testament, the word grace does not simply mean any gift, like birthday or graduation gifts, but it is the ultimate and the most important gift. Grace refers to God’s gift of salvation. The salvation is not only from sins and death but also for God. When we are saved, not only are our sins forgiven, but we are also enabled to share the divine life of the Holy Trinity. Grace is the gift of salvation, the gift of holiness, and the gift of heaven. (for a fuller discussion, see CCC 1996-2007)

Mary is wholly unique because she is the first person who has received grace even before our Lord was crucified and resurrected, and in fact, before He was born. The reality of grace perfectly manifested in her. It is not that Mary was worthy but that she was chosen. She did not earn it, but grace was given freely. It is not because of Mary’s plan but God’s providence. Yet, the moment of Annunciation also shows us that grace is free but never cheap. Though grace has filled her since the beginning, Mary still has to make the free choice to accept the grace and make it fruitful in her life. Thus, she said, “May it be done to me according to your word!” Mary’s yes to God’s grace is not only a one-time action but a lifetime commitment, even in the face of the cross.

Our Savior has died, risen for us, and poured out His grace for our redemption. Yet, like Mary, we must choose freely to accept the grace in our lives; through it, we flourish in God’s friendship. This is why we avoid sins, go to the mass regularly and devoutly, or do works of mercy. Not because we want to earn salvation, but to grow in God’s grace and express our thanks for the grace freely given.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Penuh Rahmat

Minggu ke-4 Masa Adven [B]
24 Desember 2023
Lukas 1:26-38

“Penuh Rahmat” adalah gelar yang tak terpisahkan dari Maria. Setiap kali kita mengucapkan doa ‘Salam Maria’, kita langsung menyadari bahwa gelar pertama setelah nama Maria adalah ‘penuh rahmat’. Tidak hanya gelar ini yang paling dikenal, tetapi juga yang paling kuno. Bahkan gelar ini berasal dari Alkitab, yaitu pada bab pertama Injil Lukas. Malaikat Gabriel menampakkan diri dan menyapa Maria, “Salam, penuh rahmat!” Namun, jika kita membaca ayat ini dengan saksama, sebutan ‘Penuh Rahmat’ sebenarnya tidak ada di sana (lih. Luk 1:28). Lalu, apa yang dikatakan malaikat kepada Maria? Mengapa kita mengunakan kata ‘Penuh Rahmat’?

Kata ‘Penuh Rahmat’ muncul dalam Alkitab versi Vulgata. Vulgata sendiri adalah terjemahan Alkitab dalam bahasa Latin oleh Santo Heronimus pada awal abad ke-5. Dalam bahasa Latin, kata ini adalah ‘gratia plena’. Karena bahasa Latin adalah bahasa resmi Gereja Katolik Roma, ‘gratia plena’ akhirnya menjadi gelar standar Maria dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa termasuk bahasa Indonesia, ‘penuh rahmat.’ Ketika ‘Salam Maria’ dan doa rosario menjadi devosi yang paling populer di dunia Katolik, gelar ‘penuh rahmat’ tidak dapat lagi dipisahkan dari Maria. Namun, apa yang sebenarnya tertulis di dalam Alkitab?

Lukas menulis dalam bahasa Yunani ‘κεχαριτωμένη’ (baca: kecharitomene) yang secara harfiah berarti ‘dia yang telah diberi rahmat.’ Jadi, apakah Santo Heronimus keliru? Tidak juga. Heronimus memutuskan untuk tidak membuat terjemahan harfiah, melainkan terjemahan yang lebih puitis. Dengan pilihan ini, Santo Heronimus ingin menarik perhatian kita pada kehadiran rahmat secara total dan terus menerus dalam kehidupan Maria. Namun, mengapa gelar ‘κεχαριτωμένη’ sangat penting bagi Maria dan bagi kita?

Pertama, kita perlu memahami arti kata ‘rahmat’. Dalam bahasa Yunani, kata ini berarti ‘χάρις’ (baca: charis) dan arti yang paling mendasar adalah ‘anugerah’, ‘pemberian’ atau ‘hadiah’. Namun, dalam Perjanjian Baru, kata rahmat tidak hanya berarti hadiah secara umum, seperti hadiah ulang tahun atau hadiah kelulusan, tetapi rahmat adalah hadiah yang paling utama dan paling penting. Rahmat mengacu pada anugerah keselamatan dari Tuhan. Dan, keselamatan itu tidak hanya selamat dari dosa dan kematian, tetapi juga selamat untuk Allah. Ketika kita diselamatkan, bukan hanya dosa-dosa kita yang diampuni, tetapi kita juga dimampukan untuk berpartisipasi pada kehidupan ilahi sang Allah Tritunggal. Rahmat adalah karunia keselamatan, karunia kekudusan, dan karunia surga. (untuk diskusi yang lebih lengkap, lihat KGK 1996-2007)

Maria sepenuhnya unik karena dia adalah orang pertama yang telah menerima rahmat bahkan sebelum Tuhan kita disalibkan dan bangkit, dan bahkan, sebelum Dia dilahirkan. Realitas rahmat secara sempurna dimanifestasikan di dalam diri Maria. Rahmat hadir bukan karena Maria layak, tetapi karena ia dipilih. Bukan karena usahanya, tetapi karena rahmat diberikan secara cuma-cuma. Bukan karena rencana Maria, tetapi karena penyelenggaraan Allah. Namun, momen Kabar Sukacita juga menunjukkan kepada kita bahwa rahmat itu benar-benar cuma-cuma, tetapi tidak pernah murahan. Meskipun rahmat telah memenuhi diri Maria sejak awal, Maria masih harus membuat pilihan bebas untuk menerima rahmat tersebut dan membuatnya berbuah dalam hidupnya. Karena itu, ia berkata, “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu!” Jawaban ya dari Maria terhadap rahmat Allah bukan hanya satu kali, tetapi sebuah komitmen seumur hidup, bahkan dalam menghadapi salib.

Juruselamat kita telah wafat dan bangkit bagi kita dan mencurahkan rahmat-Nya untuk penebusan kita. Namun, seperti Maria, kita harus memilih dengan bebas untuk menerima rahmat tersebut dalam hidup kita, dan melaluinya, kita bertumbuh dalam persahabatan dengan Allah. Inilah sebabnya mengapa kita berusaha menghindari dosa, pergi ke misa secara teratur dan pantas, dan melakukan karya-karya belas kasih. Bukan karena kita ingin mendapatkan keselamatan dengan usaha kita sendiri, melainkan kita ingin bertumbuh dalam rahmat Allah, dan mengungkapkan rasa syukur kita atas rahmat keselamatan yang diberikan secara cuma-cuma.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Rejoice, Pray, and Give Thanks

Gaudete Sunday. 3rd Sunday of Advent [B]

December 17, 2023

John 1:6-8, 19-28

In this Gaudete Sunday, St Paul teaches, “Rejoice always. Pray without ceasing. In all circumstances, give thanks, for this is the will of God for you in Christ Jesus. [1 The 5:16].” St. Paul gives us three fundamental characteristics of Christians: to rejoice always, pray ceaselessly, and give thanks in all things. St. Paul reminds us that these characters are not an option but God’s will for us. Yet, how can we be joyful amid suffering? How can we pray when we are occupied with our duties and work? How can we give thanks in times of trial?

The key is that we cannot rely on our power but on God’s grace that empowers us to do these three impossible tasks. Through God’s grace, we are empowered to rejoice always, even amid difficult times. Rejoice [Greek ‘χαίρω’ – chairo] is neither simply a fleeting emotion nor happiness that comes from externally induced substance. To rejoice is an action we choose to do. This action flows from the realization that God is in control of every event of our lives. Even in the most painful moments, God allows those to occur because He has a good purpose for us. Indeed, God does not tell us in advance His plans, making it complicated. Yet, the Holy Spirit comes and bestows us faith and hope in Him and His providence.

God’s grace also enables us to thank the Lord every moment. To be grateful and to rejoice are, in fact, closely connected, just like two sides of the same coin. We can give thanks in all circumstances because the Holy Spirit helps us to see that everything we do and experience has a purpose. And, when everything we do, we do for the love of God. This act became a blessing and a cause of joy. The word for give thanks in Greek is ‘εὐχαριστέω’ [eucharisteo], and it has the same root as the word Eucharist. Thus, every time we celebrate the Eucharist, we offer our sacrifice of Jesus Christ and our lives as thanksgiving to God.

Lastly, how do we pray without ceasing? To spend a little time for prayer every day is already difficult. Does it mean we have to resign from our jobs, abandon our responsibilities in the family, and enter seclusion to pray? Indeed, there are better things to do than this. To pray unceasingly can be done at least in two ways. Firstly, we pray as a community of believers, the Church, one body of Christ. Thus, when we cannot pray this time, other brothers and sisters in other places will pray for us and on our behalf. Since millions of Catholics pray worldwide, our prayers are unbroken and unstoppable.

Secondly, we rely on the Holy Spirit to pray for us. St. Paul himself told us, “Likewise the Spirit helps us in our weakness; for we do not know how to pray as we ought, but the Spirit himself intercedes for us with sighs too deep for words (Rom 8:26-27).” We ask the Holy Spirit to be present and sanctify every activity of our day, and before we rest, we offer our day to the Lord.

Rejoice always, pray ceaselessly, and give thanks in all things!

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Bersukacita, Berdoa, dan Bersyukur

Hari Minggu Gaudete. Minggu ke-3 Masa Adven [B]
17 Desember 2023
Yohanes 1:6-8, 19-28

Pada Minggu Gaudete ini, Santo Paulus mengajarkan, “Bersukacitalah selalu. Berdoalah tanpa henti. Dalam segala keadaan, mengucap syukurlah, karena itulah yang dikehendaki Allah bagi kamu dalam Kristus Yesus. (1 Tes 5:16).” Paulus memberi kita tiga karakteristik dasar orang Kristen: bersukacita senantiasa, berdoa tanpa henti, dan mengucap syukur dalam segala hal. Paulus mengingatkan kita bahwa karakter-karakter ini bukanlah sebuah pilihan, melainkan kehendak Tuhan bagi kita. Namun, bagaimana kita dapat bersukacita di tengah penderitaan? Bagaimana kita dapat berdoa ketika kita disibukkan dengan tugas dan pekerjaan kita? Bagaimana kita dapat mengucap syukur di tengah-tengah pencobaan?

Kuncinya adalah kita tidak dapat mengandalkan kekuatan kita sendiri, tetapi pada rahmat Allah yang memampukan kita untuk melakukan ketiga tugas yang mustahil ini. Melalui rahmat Allah, kita dimampukan untuk selalu bersukacita, bahkan di tengah-tengah masa-masa sulit. Bersukacitalah [bahasa Yunani ‘χαίρω’ – chairo] bukanlah sekadar emosi sesaat atau rasa senang yang berasal dari hal-hal yang berasal dari luar. Bersukacita adalah sebuah pilihan. Tindakan ini mengalir dari kesadaran bahwa Tuhan memegang kendali atas setiap peristiwa dalam hidup kita. Bahkan pada saat-saat yang paling menyakitkan sekalipun, Tuhan mengizinkan hal itu terjadi karena Dia memiliki tujuan yang baik bagi kita. Memang, Tuhan tidak memberitahukan kepada kita sebelumnya rencana-Nya. Namun, Roh Kudus datang dan memberikan kita iman dan pengharapan kepada-Nya dan penyelenggaraan-Nya.

Rahmat Tuhan juga memampukan kita untuk bersyukur kepada-Nya setiap saat. Bersyukur dan bersukacita, pada kenyataannya, berhubungan erat, seperti dua sisi mata uang yang sama. Kita dapat mengucap syukur dalam segala situasi karena Roh Kudus menolong kita untuk melihat bahwa segala sesuatu yang kita lakukan dan alami memiliki tujuan. Dan, ketika segala sesuatu yang kita lakukan, kita lakukan demi kasih Allah. Tindakan ini menjadi berkat dan penyebab sukacita. Kata untuk mengucap syukur dalam bahasa Yunani adalah ‘εὐχαριστέω’ [eucharisteo], dan kata ini memiliki akar kata yang sama dengan kata Ekaristi. Dengan demikian, setiap kali kita merayakan Ekaristi, kita mempersembahkan kurban Yesus Kristus dan hidup kita sebagai ucapan syukur kepada Allah.

Terakhir, bagaimana kita berdoa tanpa henti? Meluangkan sedikit waktu untuk berdoa setiap hari saja sudah sulit. Apakah itu berarti kita harus mundur dari pekerjaan kita, meninggalkan tanggung jawab kita dalam keluarga, dan menyepi masuk goa untuk berdoa? Tentu saja tidak! Berdoa tanpa henti dapat dilakukan setidaknya dengan dua cara. Pertama, kita berdoa sebagai komunitas orang beriman, yakni Gereja, tubuh Kristus yang satu. Dengan demikian, ketika kita tidak dapat berdoa pada saat ini, saudara-saudari kita di tempat lain akan berdoa untuk kita dan atas nama kita. Karena jutaan umat Katolik berdoa di seluruh dunia, doa-doa kita tidak terputus.

Kedua, kita mengandalkan Roh Kudus untuk berdoa bagi kita. Paulus sendiri mengatakan kepada kita, “Demikian juga Roh membantu kita dalam kelemahan kita, sebab kita tidak tahu, bagaimana harus berdoa seperti yang seharusnya, tetapi Roh sendiri yang berdoa untuk kita dengan keluhan-keluhan yang tidak terungkapkan dengan kata-kata (Rm. 8:26-27).” Kita meminta Roh Kudus untuk hadir dan menguduskan setiap kegiatan kita, dan sebelum kita beristirahat, kita mempersembahkan hari kita kepada Tuhan.

Bersukacitalah selalu, berdoalah tanpa henti, dan mengucap syukurlah dalam segala hal!

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Hope and Dream

2nd Sunday of Advent [B]

December 10, 2023

Mark 1:1-8

What are your dreams and hopes in life? The answers can be extremely diverse. Students dream of finishing their studies and graduating from their schools with honors. Others wish to work in big companies or have respectable businesses. Others hope to achieve high-level careers or acquire cozy properties and flashy cars. Yet, we can also dream for other people, like parents, who wish their children to grow healthy and succeed.

Why do we have hopes and dreams and hopes? Unlike animals, we not only wish to survive but also want to become a much better version of ourselves. Our material and biological composition alone cannot explain this ability to hope. There is something beyond this body and this world. Pope Benedict XVI beautifully offers us an answer through his encyclical Spe Salvi, “Man was created for greatness—for God himself; he was created to be filled by God. But his heart is too small for the greatness to which it is destined. It must be stretched.” The reason that God has given us these immortal souls and through our dreams and hopes, we are enlarging our souls and eventually being ready, through the help of grace, to receive God.

Advent is the season of hope because this season teaches us to hope rightly. We can learn from our Gospel. St. Mark opened his Gospel by presenting John the Baptist, who announced the true hope of Israel, that the Lord is coming. During this time, Israelites lived through extremely harsh times under the Roman Empire. The taxes were choking their necks, the Roman-appointed rulers like Herod were cruel, and some Jews were stealing and scamming fellow poorer Jews. At this time, it was easy to fall into despair and stop hoping, or they developed a delusion that the Messiah would come as a military leader that would lead them to bloody victory against their oppressors. John told them to keep hoping because the Lord was coming, but he also reminded them that the best preparation was not political nor military ways but repentance. For, God of Israel is neither a god of war, nor a god of wealth, nor a god of politics, but He is the God of holiness.

We live in a much better time than the ancient Israelites, yet terrible things can always diminish or even corrupt our capacity to hope. Economic difficulties, broken relationships, and failures to achieve our dreams are to name a few. We may live depressed, hopeless, and in survival mode, no different from many animals. Or, we may grow delusions and false expectations. We falsely expect God to be a magician, so we go to the Church and pray because God will grant us anything we wish. We also may fall into the temptation to utilize evil and unjust ways to realize our dreams.

The season of Advent teaches us to hope and dream. The season introduces us to the biggest dream in our lives: to be saints, that is, to welcome God, and to be with God. We must dare to hope despite countless challenges and failures, yet we shall see our hopes and dreams into building blocks to stretch our souls to receive God.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Harapan dan Impian

Minggu ke-2 Masa Adven [B]
10 Desember 2023
Markus 1:1-8

Apa impian dan harapan Anda dalam hidup ini? Jawabannya bisa sangat beragam. Para pelajar bermimpi untuk menyelesaikan studi mereka dan lulus dari sekolah dengan prestasi. Ada juga yang ingin bekerja di perusahaan besar atau memiliki bisnis sendiri. Yang lain ingin mencapai karier yang tinggi atau memiliki rumah yang nyaman dan mobil yang keren. Namun, pertanyaannya: Mengapa kita memiliki harapan, impian, dan cita-cita?

Tidak seperti hewan, kita tidak hanya tergerak oleh insting untuk bertahan hidup, tapi kita juga memiliki hasrat untuk menjadi versi yang jauh lebih baik dari diri kita sendiri. Kemampuan untuk berharap ini tidak dapat dijelaskan oleh komposisi biologis kita saja. Ada sesuatu di luar tubuh dan dunia ini. Paus Benediktus XVI dengan indahnya memberikan jawaban melalui ensikliknya Spe Salvi, “Manusia diciptakan untuk sesuatu yang besar – untuk Tuhan sendiri; ia diciptakan untuk dipenuhi oleh Tuhan. Namun hatinya terlalu kecil untuk hal besar yang disiapkan untuknya. Ia harus diluaskan.” Kenapa kita punya harapan? Karena Tuhan menciptakan kita di dunia ini, tetapi bukan untuk dunia ini, tetapi untuk-Nya. Dia telah memberikan kita jiwa yang abadi, dan melalui mimpi dan harapan kita, kita memperbesar jiwa kita dan pada akhirnya siap, melalui bantuan rahmat, untuk menerima Tuhan.

Masa Adven adalah masa pengharapan karena masa ini mengajarkan kita untuk berharap dengan benar. Kita dapat belajar dari Injil hari ini. Markus membuka Injilnya dengan menampilkan Yohanes Pembaptis yang mewartakan pengharapan sejati bangsa Israel, bahwa Tuhan akan datang. Pada masa itu, bangsa Israel telah hidup dalam masa-masa yang sangat sulit di bawah kekaisaran Romawi. Pajak mencekik leher mereka, para penguasa yang ditunjuk Romawi seperti Herodes sangat kejam dan brutal, dan beberapa orang Yahudi mencuri dan menipu sesama orang Yahudi yang lebih miskin. Pada saat itu, mudah sekali untuk jatuh dalam keputusasaan dan berhenti berharap, atau mereka mengembangkan khayalan bahwa Mesias akan datang sebagai pemimpin militer yang akan membawa mereka ke dalam kemenangan berdarah melawan para penindas mereka. Yohanes mengatakan kepada mereka untuk tetap berharap karena Tuhan memang akan datang, tetapi ia juga mengingatkan mereka bahwa persiapan yang terbaik bukanlah dengan bermanuver politis atau mengumpulkan kekuatan militer, tetapi dengan pertobatan. Tuhan Allah Israel bukanlah dewa perang, bukan dewa uang, dan juga bukan dewa politik, tetapi Allah kekudusan.

Kita hidup di masa yang jauh lebih baik daripada bangsa Israel kuno, namun selalu ada hal-hal buruk yang dapat mengurangi atau bahkan merusak kemampuan kita untuk berharap dan bermimpi. Kesulitan ekonomi, rusaknya relasi, dan kegagalan dalam meraih impian kita, adalah beberapa di antaranya. Hal-hal ini dapat menyebabkan kita hidup dengan kekecewaan, dan bahkan putus asa. Kemudian, kita mungkin mengembangkan pengharapan yang salah. Kita secara keliru mengharapkan Tuhan sebagai tukang sulap, sehingga kita pergi ke Gereja dan berdoa karena Tuhan akan mengabulkan apa pun yang kita inginkan. Kita juga dapat jatuh ke dalam pencobaan untuk menggunakan cara-cara yang jahat dan tidak adil untuk mewujudkan impian-impian kita.

Masa Adven mengajarkan kita untuk berharap dan bermimpi. Bahkan, masa ini mengajarkan kita untuk memiliki mimpi terbesar dalam hidup kita: menjadi kudus, yakni menyambut Tuhan dan hidup bersama-Nya. Kita harus berani berharap meskipun ada banyak tantangan dan kegagalan, namun kita harus melihat harapan dan impian kita sebagai batu-batu bangunan yang dapat memperluas jiwa kita untuk menerima Tuhan.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP