The Crisis of Fatherhood

17th Sunday in the Ordinary Time [C]

July 27, 2025

Luke 11:1-13

Many societies today face a silent yet deeply dangerous crisis: the crisis of fatherhood. But what exactly is this crisis, and how can we confront it?

At its core, the crisis of fatherhood reflects a reality where countless children grow up without an authentic father figure. Some fathers are physically absent; others are emotionally distant or fail to model the virtues their children desperately need. Meanwhile, modern culture—through films, advertisements, video games, and media—often portrays men as either violent villains or bumbling, indecisive figures. Rarely are they depicted as loving, responsible leaders.

This erosion of fatherhood is unravelling the fabric of society. Studies consistently show that children raised without engaged fathers face higher risks of drug and alcohol abuse, mental illness, poor academic performance, teen pregnancy, and criminal behavior. The consequences are profound and far-reaching for our societies.

So how do we address this crisis? There are no easy solutions, but we can begin by turning to Jesus. In the face of this global challenge, the prayer He taught His disciples, which we fondly call the Our Father, becomes more relevant than ever.

The most striking aspect of this prayer is how Jesus instructs us to address God. Though He is the Almighty Creator of heaven and earth, the God of the Old Testament, Jesus tells us not only to call Him “God,” but, He teaches us to say, “Our Father in heaven.” By using this intimate, human term, Jesus reveals a profound truth: God is not only infinitely powerful but also intimately close. He is not a distant, absent, and indifferent deity but a loving Father who provides, protects, and guides His children. As Deuteronomy 4:7 reminds us, He is near “whenever we call upon Him.”

Yet Jesus further clarifies that God is the Father in heaven. He is unlike earthly fathers, who are flawed and limited. God cares for us perfectly, giving sunshine and rain to both the just and the unjust (Mat 5:45). Even in suffering, His ways may seem mysterious, but His fatherly wisdom is at work even in the midst of trials. Ultimately, His deepest desire is for us to dwell with Him in heaven (1 Tim 2:3-4). As Jesus declares in John 3:16, “For God so loved the world that He gave His only Son, that whoever believes in Him should not perish but have eternal life.” The Father values us, His adopted children, so deeply that He sent His Son to be human like us to bring us home.

Every time we pray “Our Father,” we affirm two truths: First, despite our imperfections, we have a perfect Father who loves us unconditionally. Second, this prayer calls us—especially men—to reflect His goodness. It challenges us to grow from immaturity and irresponsibility into the kind of men who embody His love, dedication, and strength.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions: How do we relate to our fathers? What lessons have we learned from them? Are we becoming good fathers (or role models) to the next generation? How does recognizing God as “Father” transform our relationship with Him?

Krisis Kebapaan

Minggu ke-17 dalam Masa Biasa [C]

27 Juli 2025

Lukas 11:1-13

Banyak masyarakat saat ini menghadapi krisis yang sunyi namun sangat berbahaya: krisis kebapaan. Namun, apa sebenarnya krisis ini, dan bagaimana kita dapat menghadapinya?

Pada intinya, krisis ini mencerminkan kenyataan di mana jutaan anak tumbuh tanpa figur ayah yang autentik. Banyak ayah secara fisik tidak hadir; yang lain secara emosional jauh atau gagal mencontohkan nilai-nilai yang sangat dibutuhkan anak-anak mereka. Sementara itu, budaya modern—melalui film, iklan, video game, dan media—sering menggambarkan pria sebagai penjahat yang kejam atau sosok yang ceroboh dan tidak tegas. Jarang sekali mereka digambarkan sebagai pemimpin yang penuh kasih dan bertanggung jawab.

Erosi peran bapak ini lambat laun merusak struktur masyarakat. Studi secara konsisten menunjukkan bahwa anak-anak yang dibesarkan tanpa keterlibatan sang ayah menghadapi risiko lebih tinggi terhadap penyalahgunaan narkoba dan alkohol, gangguan mental, prestasi akademik yang buruk, kehamilan remaja, dan perilaku kriminal. Akibatnya sangat mendalam dan luas bagi masyarakat kita.

Bagaimana kita menghadapi krisis ini? Tidak ada solusi yang mudah, tetapi kita dapat memulai dengan berpaling kepada Yesus. Di hadapan tantangan global ini, doa yang Dia ajarkan kepada murid-murid-Nya, yang kita kenal sebagai Doa Bapa Kami, menjadi lebih semakin relevan bagi dunia.

Aspek paling mencolok dari doa ini adalah cara Yesus mengajarkan kita untuk memanggil Allah. Meskipun Allah adalah Pencipta Yang Mahakuasa dari langit dan bumi, Allah dari Perjanjian Lama, Yesus tidak hanya mengajarkan kita untuk memanggil-Nya “Allah,” tetapi Dia mengajarkan kita untuk memanggil-Nya, “Bapa Kami yang di surga.” Dengan menggunakan istilah yang intim dan manusiawi ini, Yesus mengungkapkan kebenaran yang mendalam: Allah bukan hanya maha kuasa, tetapi juga sangat dekat dengan kita. Dia bukan tuhan yang jauh, absen, dan acuh tak acuh, tetapi Bapa yang penuh kasih yang menyediakan, melindungi, dan membimbing anak-anak-Nya. Seperti yang diingatkan dalam Ulangan 4:7, Dia dekat “setiap kali kita memanggil-Nya.”

Namun Yesus lebih lanjut menjelaskan bahwa Allah adalah “Bapa di surga”. Dia berbeda dengan ayah-ayah di dunia ini, yang memiliki kelemahan dan keterbatasan. Allah mengasihi kita dengan sempurna, memberikan sinar matahari dan hujan kepada orang yang benar maupun yang tidak benar (Mat 5:45). Bahkan dalam penderitaan, cara-Nya mungkin tampak misterius, tetapi kebijaksanaan-Nya sebagai Bapa tetap bekerja bahkan di tengah cobaan. Pada akhirnya, keinginan-Nya yang paling dalam adalah agar kita tinggal bersama-Nya di surga (1 Tim 2:3-4). Seperti yang Yesus nyatakan dalam Yohanes 3:16, “Sebab Allah begitu mengasihi dunia ini sehingga Ia memberikan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.” Bapa mengasihi kita, anak-anak-Nya, begitu dalam sehingga Ia mengutus Anak-Nya sendiri untuk menjadi manusia seperti kita agar membawa kita pulang.

Setiap kali kita berdoa “Bapa Kami,” kita menegaskan dua kebenaran: Pertama, meskipun kita tidak sempurna, kita memiliki Bapa yang sempurna yang mengasihi kita tanpa syarat. Kedua, doa ini memanggil kita, terutama kaum pria, untuk mencerminkan kebaikan-Nya. Yesus menantang kita untuk tumbuh dari ketidakdewasaan dan ketidakpedulian menjadi manusia yang memiliki kasih, dedikasi, dan tanggung jawab, manusia yang bersandar pada kekuatan-Nya.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan: Bagaimana kita berhubungan dengan ayah kita? Apa pelajaran yang telah kita pelajari dari mereka? Apakah kita menjadi bapa yang baik (atau teladan) bagi generasi berikutnya? Bagaimana mengakui Allah sebagai “Bapa” mengubah hubungan kita dengan-Nya?

Rejoice in Sufferings


16th Sunday in Ordinary Time [C]

July 20, 2025

Colossians 1:24-28

Suffering is an unavoidable part of human existence. Across religions and philosophies, people have sought to explain its purpose. Yet, what is the Christian view about sufferings? How is it different from other views?

 Some view suffering as divine punishment for wrongdoing, implying that those who suffer must be guilty and sinners. Others dismiss it as an illusion, urging total detachment. Some attribute it to karma, the result of bad actions in the previous lives. While others see it as meaningless, something to avoid at all costs.

But what does Christianity teach about suffering? How does our perspective differ? The Old Testament grapples with this question, particularly in the Book of Job. Job was a righteous and sinless man, yet he endured immense suffering. Why? The Book reveals that sufferings is not a punishment, but part of God’s mysterious plan to refine his faith. This challenges the simplistic idea that suffering is always a consequence of sin.

In the New Testament, St. Paul offers a radical perspective. He writes, “I rejoice in my sufferings” (Col 1:24). At first glance, this seems astonishing—how can anyone rejoice in pain? Job of the Old Testament lamented his suffering, yet Paul expresses gratitude. Was Paul a masochist, someone who takes pleasures in pain?

Far from it. To understand, we must read his full statement: “Now I rejoice in my sufferings for your sake, and in my flesh, I complete what is lacking in Christ’s afflictions for the sake of His body, the church.” Paul bore a lot sufferings for the sake of Christ, and His Church. He experienced beatings, imprisonment, hunger, and betrayal. Yet he saw his suffering not as meaningless, but as a way of sharing in Christ’s own redemptive suffering. Indeed, Jesus endured an extremely painful suffering and horrifying death on the cross, yet through His divine love, Jesus transformed these sufferings into a way of salvation.

Jesus’ crucifixion was the perfect sacrifice, which was completely sufficient for salvation. However, the Church, the body of Christ, continues to suffer because she still journeys in the world and walks in the way of Jesus’ cross. Jesus had warned His followers that they would face persecution for His name (Mt 10:38; Jn 15:20; Acts 9:16). Then, Paul had a choice: blame God for his suffering, or see it as an opportunity to perfect the suffering of the Church. Paul chose the latter, and offered his suffering as a means of blessing for the people in Colossae.

Some suffering results from our own mistakes, but often, we endure trials beyond our control. In those moments, we have a choice: to resent God or to embrace suffering as a share in Christ’s cross. When we unite our pain with His, it becomes more than just hardship: it becomes a path to holiness, a means of grace for ourselves and others.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions:

What sufferings are we facing today? How do we perceive them? How do we respond to them – with anger, despair, or trust? Do we see our struggles as part of Christ’s redemptive work?

Sukacita dalam Penderitaan

Minggu ke-16 dalam Masa Biasa [C]

20 Juli 2025

Kolose 1:24-28

Penderitaan adalah bagian yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan manusia. Berbagai agama dan filsafat telah berusaha untuk menjelaskan makna dari penderitaan. Namun, bagaimana pandangan Kristiani tentang penderitaan? Apa bedanya dengan pandangan-pandangan lain?

Beberapa orang memandang penderitaan sebagai hukuman ilahi atas kesalahan kita, menyiratkan bahwa mereka yang menderita pastilah orang yang bersalah dan berdosa. Yang lain menganggapnya sebagai ilusi, dan mengajak kita untuk mengabaikannya. Beberapa mengaitkannya dengan “karma” atau hasil dari tindakan buruk di kehidupan sebelumnya. Sementara yang lain melihatnya sebagai sesuatu yang tidak berarti, sesuatu yang harus dihindari dengan cara apa pun.

Namun, apa yang diajarkan oleh Kitab Suci dan iman kita tentang penderitaan? Apakah perspektif kita berbeda dengan yang lain? Perjanjian Lama bergumul juga dengan pertanyaan ini, khususnya dalam Kitab Ayub. Ayub adalah orang yang benar dan saleh, namun ia mengalami penderitaan yang luar biasa. Para sahabat Ayub mengatakan dia berdosa, tetapi Ayub bersikeras bahwa dia tidak bersalah. Akhirnya, Kitab Ayub menjawab bahwa penderitaan Ayub bukanlah hukuman, tetapi bagian dari rencana misterius Tuhan untuk memurnikan imannya. Kitab Ayub menentang pemikiran sederhana bahwa penderitaan selalu merupakan konsekuensi dari dosa.

Dalam Perjanjian Baru, Santo Paulus menawarkan sebuah perspektif yang radikal. Ia menulis, “Aku bersukacita dalam penderitaanku” (Kol 1:24). Sekilas, hal ini tampak mengherankan; bagaimana mungkin seseorang dapat bersukacita dalam penderitaan? Ayub dalam Perjanjian Lama meratapi penderitaannya, namun Paulus mengungkapkan rasa syukurnya. Apakah Paulus adalah seorang masokis, seseorang yang menikmati penderitaan?

Sama sekali bukan! Untuk memahaminya, kita harus membaca pernyataannya secara lengkap: “Sekarang aku bersukacita dalam penderitaanku oleh karena kamu, dan di dalam dagingku aku menggenapi apa yang kurang pada penderitaan Kristus demi tubuh-Nya, yaitu jemaat.” Paulus menanggung banyak penderitaan demi Kristus dan Gereja-Nya. Ia mengalami pemukulan, pemenjaraan, kelaparan, dan pengkhianatan. Namun ia melihat penderitaannya bukan sebagai sesuatu yang sia-sia, tetapi sebagai cara untuk berbagi dalam penderitaan Kristus. Memang, Yesus mengalami penderitaan yang sangat menyakitkan dan kematian yang mengerikan di kayu salib, namun melalui kasih ilahi-Nya, Yesus mengubah penderitaan ini menjadi jalan keselamatan bagi semua orang.

Penyaliban Yesus adalah pengorbanan yang sempurna, yang sepenuhnya cukup untuk keselamatan. Namun, Gereja – tubuh Kristus – terus mengalami penderitaan karena masih mengembara di dunia dan berjalan di jalan salib Yesus. Yesus telah memperingatkan para pengikut-Nya bahwa mereka akan menghadapi penganiayaan karena nama-Nya (Mat 10:38; Yoh 15:20; Kis 9:16). Paulus memiliki pilihan: menyalahkan Tuhan atas penderitaannya, atau melihatnya sebagai kesempatan untuk menyempurnakan penderitaan Gereja. Paulus memilih yang kedua, dan mempersembahkan penderitaannya sebagai sarana berkat bagi umat di Kolose.

Benar bahwa beberapa penderitaan diakibatkan oleh kesalahan kita sendiri, tetapi sering kali, kita mengalami pencobaan di luar kehendak kita. Pada saat-saat seperti itu, kita memiliki pilihan: menyalahkan Tuhan atau menerima penderitaan sebagai bagian dari salib Kristus. Ketika kita menyatukan penderitaan kita dengan penderitaan-Nya, penderitaan itu menjadi lebih dari sekadar penderitaan, tetapi menjadi jalan menuju kekudusan, sebuah sarana berkat dan rahmat bagi diri kita sendiri dan orang lain.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Refleksi:

Penderitaan-penderitaan apa yang kita hadapi saat ini? Bagaimana kita memahaminya? Bagaimana kita meresponsnya – dengan kemarahan, keputusasaan, atau kepercayaan? Apakah kita melihat pergumulan kita sebagai bagian dari karya penebusan Kristus?

Know Who and How to Love

15th Sunday in Ordinary Time [C]

July 13, 2025

Luke 10:25-37

If we found ourselves in the same situation as the parable Jesus told, who would we become? Would we act like the priest and the Levites—ignoring and avoiding the wounded man altogether? Or would we, like the Samaritan, show mercy and help the one in need? Or would we do something entirely different?

In today’s digital age, equipped with high-tech gadgets, we might even do the unthinkable and unimaginable especially in Jesus’ time. Instead of helping, we might pull out our smartphones to record the scene, take a selfie with the victim, or even livestream the incident! As absurd as it sounds, this is not entirely far-fetched.

We are living two millennia after the Good Samaritan, and modern life has made it even harder to do good and help those in need. Before assisting someone injured on the street, we face countless doubts and uncertainties: Is this person truly hurt, or is it a scam? Could I get in trouble for helping? Do I even have time, with work and other responsibilities? The complexities of modern living often paralyze us, making it difficult to love our neighbors, especially those who need it most. So how should we respond?

1. Love for Others Is Love for God

We need to remember that loving our neighbors must be an expression of our love for God. We are called to love God wholeheartedly in all that we do. This means that working hard to provide for our families is an act of love for God, because God entrusted them to our care. Raising our children in wisdom and faith is an expression of devotion to Him because they are gifts from God. Even taking care of our bodies, through good food and habits, honors God, as our bodies are His blessing to us.

2. Know Your Priorities in Love

We are not superheroes; we can’t help everyone at once. Our first responsibility is to love those God has placed in our care. As parents, our primary duty is to protect, provide for, and educate our children. If we spend more time serving in church while neglecting our family, something is wrong. Only when we’ve fulfilled our primary responsibilities should we extend love and help to others which comes naturally.

3. Learn How to Love Well

After knowing who we need to love, then we need to know how to love them. Parenting, for example, demands total dedication. Why? God designed children to need more than just food, shelter, and clothing—they require emotional presence, role models, and constant guidance. Many mental health struggles in children today stem from absent parents—whether physically or emotionally—who assume money alone can solve everything.

Being a Good Samaritan starts at home. If we cannot love those closest to us, how can we truly love strangers?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide questions:

How do we love ourselves? How do we love our spouse? How do we love our children? How do we love our vocations? How do we see our priority of love?

Mengenal Siapa dan Bagaimana Mengasihi

Minggu ke-15 dalam Masa Biasa [C]

Juli 13, 2025

Lukas 10:25-37

Jika kita berada dalam situasi yang sama dengan perumpamaan yang diceritakan Yesus, apakah yang akan kita lakukan? Apakah kita akan bertindak seperti imam dan orang Lewi yang mengabaikan dan menghindari orang yang terluka itu? Atau apakah kita, seperti orang Samaria yang menunjukkan belas kasih dan menolong orang yang membutuhkan? Ataukah kita akan melakukan sesuatu yang sama sekali berbeda?

Di era digital seperti sekarang ini, dengan adanya gadget berteknologi tinggi, kita bahkan mungkin melakukan hal yang tidak terpikirkan dan tidak terbayangkan, terutama di zaman Yesus. Alih-alih menolong, kita mungkin akan mengeluarkan ponsel kita untuk merekam kejadian tersebut, mengambil foto selfie dengan korban, atau bahkan membuat livestreaming kejadian tersebut! Walaupun kedengarannya aneh, hal ini tidak sepenuhnya mengada-ada.

Kita hidup dua milenium setelah Orang Samaria yang Baik Hati ini, dan kehidupan modern membuat kita semakin sulit untuk berbuat baik dan menolong mereka yang membutuhkan. Sebelum menolong seseorang, kita menghadapi banyak sekali keraguan dan ketidakpastian: Apakah orang ini benar-benar membutuhkan pertolongan, atau hanya penipuan? Apakah saya bisa mendapat masalah karena menolongnya? Apakah saya punya waktu, dengan pekerjaan dan tanggung jawab lainnya? Kerumitan hidup modern sering kali melumpuhkan kita, sehingga sulit untuk mengasihi sesama kita, terutama mereka yang paling membutuhkan. Jadi, bagaimana seharusnya kita menanggapinya?

1. Mengasihi Sesama Adalah Mengasihi Allah

Kita perlu mengingat bahwa mengasihi sesama kita haruslah merupakan ungkapan kasih kita kepada Allah. Injil memanggil kita untuk mengasihi Allah dengan sepenuh hati dalam segala hal yang kita lakukan. Ini berarti bahwa bekerja keras untuk menafkahi keluarga kita adalah tindakan kasih kepada Allah, karena Allah mempercayakan mereka dalam pemeliharaan kita. Membesarkan anak-anak kita dalam hikmat dan iman adalah ungkapan pengabdian kita kepada-Nya karena mereka adalah anugerah Tuhan. Bahkan merawat tubuh kita, melalui makanan sehat dan kebiasaan yang baik, juga merupakan bentuk penghormatan kepada Allah, karena tubuh kita adalah berkat-Nya bagi kita.

2. Ketahuilah Prioritas Kita dalam Kasih

Kita bukanlah superhero! Kita tidak dapat menolong semua orang sekaligus. Tanggung jawab pertama kita adalah mengasihi mereka yang telah Tuhan tempatkan dalam pemeliharaan kita. Sebagai orang tua, tugas utama kita adalah melindungi, menafkahi, dan mendidik anak-anak kita. Jika kita menghabiskan lebih banyak waktu untuk melayani di gereja dan mengabaikan keluarga kita, tentu ada sesuatu yang salah. Hanya setelah kita memenuhi tanggung jawab utama kita, menolong orang lain akan mengalir dengan alamiah, dan bukan sekedar pelarian atau mencari sensasi.

3. Tahu Cara Mengasihi dengan Baik

Setelah mengetahui siapa yang perlu kita kasihi, maka kita perlu tahu bagaimana cara mengasihi mereka. Mengasuh anak, misalnya, menuntut dedikasi total. Mengapa? Tuhan merancang anak-anak untuk membutuhkan lebih dari sekedar makanan, tempat tinggal, dan pakaian. Mereka membutuhkan kehadiran emosional, teladan, dan bimbingan yang konstan. Banyak permasalahan perkembangan dan kesehatan mental pada anak-anak saat ini berasal dari ketidakhadiran orang tua – baik secara fisik maupun emosional – yang menganggap bahwa uang dapat menyelesaikan segalanya.

Menjadi Orang Samaria yang Baik Hati dimulai dari rumah. Jika kita tidak bisa mengasihi orang-orang terdekat kita, bagaimana kita bisa benar-benar mengasihi orang yang kita tidak kenal?

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan panduan:

Bagaimana kita mengasihi diri kita sendiri? Bagaimana kita mengasihi pasangan kita? Bagaimana kita mengasihi anak-anak kita? Bagaimana kita mencintai panggilan kita? Bagaimana kita melihat prioritas cinta kita?

Seventy

14th Sunday in Ordinary Time [C]

July 6, 2025

Luke 10:1-20

The sending of the seventy disciples is a story unique to the Gospel of Luke. This episode reveals an important truth: Jesus’ followers were far more than just the twelve apostles. But why did He choose the number seventy?

There are several possible reasons:

  1. A Reflection of Jesus’ True Following

The twelve apostles were not Jesus’ only disciples. Many others followed and learned from Him. While the Twelve were chosen as leaders of His growing community, they were not the only ones committed to His mission. The number seventy (or seventy-two, in some manuscripts) suggests a much larger group of believers dedicated to Jesus’ cause.

  • Fulfilment of the Old Testament

In the Old Testament, seventy elders were appointed to assist Moses and Aaron in leading the Israelites through the wilderness (Num 11:16-17). These elders ascended Mount Sinai, where they encountered God and even shared a meal in His presence (Exo 24:9-11). Just as Moses and Aaron relied on these leaders to guide Israel to the Promised Land, so also Jesus called and sent out the seventy to lead God’s people toward the true Promised Land, the Kingdom of God.

  • A Symbol of Fullness and Covenant

In Scripture, the number seven represents completeness and God’s covenant. For example:

  • Creation was completed in seven days (Gen 1), symbolizing divine order and perfection.
  • The Hebrew word for “seven” (sheva) is also linked to covenant-making. Thus, in Hebrew, when we say that we make “seven,” it means we make a covenant.

By multiplying seven by ten, the number seventy amplifies this meaning: God’s perfection and covenant are extended to even more people. The seventy disciples were part of God’s plan to bring redemption, order, and more souls into His family.

More Than Just a Number

These seventy were not mere statistics—each was a unique individual with their own story. Though Luke does not record their names or details, Jesus assures them (and us) that their sacrifices were known. He recognized their willingness to be sent and to go to different places, facing unknown variables. Some might fail to find a shelter, other might go hungry, while some were even rejected and mocked. Many also had to face the deadly encounter with demons which were far more powerful than their human strength. The Gospel is silent about these details, but Jesus knew them too well, and thus, even if the Gospel omits their stories, they are forever written in the Book of Life.

Like the seventy, we may feel unseen—just another face in the crowd, a mere number of statistics, our deeds too small for history books. But this Gospel reminds us: Jesus knows and loves each of us personally. Every act of love, no matter how small, is precious to Him and recorded in eternity.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide questions:

What can we do to help build God’s Kingdom—no matter how small our actions may seem? Are we willing to be sent? Do we compare ourselves to others? Do we truly believe we are loved?

Tujuh Puluh

Hari Minggu ke-14 dalam Masa Biasa [C]

6 Juli 2025

Lukas 10:1-20

Pengutusan ketujuh puluh murid adalah kisah yang unik dalam Injil Lukas. Episode ini mengungkapkan sebuah kebenaran yang penting: pengikut Yesus jauh lebih banyak daripada sekedar dua belas rasul. Tetapi mengapa Dia memilih angka tujuh puluh?

Ada beberapa alasan:

  1. Sebuah gambaran tentang jumlah pengikut Yesus yang sebenarnya.

Kedua belas rasul bukanlah satu-satunya murid Yesus. Banyak orang lain yang mengikuti dan belajar dari-Nya. Meskipun Dua Belas dipilih sebagai pemimpin komunitas-Nya yang sedang bertumbuh, mereka bukanlah satu-satunya yang berkomitmen pada misi Yesus. Angka tujuh puluh (atau tujuh puluh dua, dalam beberapa manuskrip tua lain) menunjukkan komunitas Yesus yang relatif besar dan juga berdedikasi pada perjuangan Yesus.

  • Penggenapan Perjanjian Lama.

Dalam Perjanjian Lama, ada tujuh puluh penatua ditunjuk untuk membantu Musa dan Harun dalam memimpin bangsa Israel melewati padang gurun (Bil 11:16-17). Para penatua ini mendaki Gunung Sinai, di mana mereka bertemu dengan Tuhan dan bahkan mengadakan perjamuan di hadapan-Nya (Kel 24:9-11). Sama seperti Musa dan Harun yang mengandalkan para pemimpin ini untuk memimpin bangsa Israel menuju Tanah Perjanjian, demikian juga Yesus memanggil dan mengutus ketujuh puluh murid-Nya untuk memimpin umat Allah menuju Tanah Perjanjian yang sejati, yaitu Kerajaan Allah.

3. Simbol Kepenuhan dan Perjanjian

Di dalam Alkitab, angka tujuh melambangkan kepenuhan dan perjanjian Allah. Sebagai contoh:

  • Penciptaan diselesaikan dalam tujuh hari (Kej 1), yang melambangkan keteraturan dan kesempurnaan ilahi.
  • Kata Ibrani untuk “tujuh” (sheva) juga terkait dengan pembuatan perjanjian dengan sumpah. Jadi, dalam bahasa Ibrani, ketika kita mengatakan bahwa kita membuat “tujuh”, itu berarti kita bersumpah (Gen 21:23).

Dengan mengalikan tujuh dengan sepuluh, angka tujuh puluh memperkuat makna ini: kesempurnaan dan perjanjian Allah diperluas kepada lebih banyak orang lagi. Tujuh puluh murid adalah bagian dari rencana Allah untuk membawa penebusan, keteraturan, dan lebih banyak jiwa ke dalam keluarga dan Kerajaan Allah.

Lebih dari Sekedar Angka

Tujuh puluh murid ini bukanlah sekadar statistik. Mereka adalah individu-individu yang unik dengan kisahnya masing-masing. Meskipun Lukas tidak mencatat nama atau detail mereka, Yesus meyakinkan mereka (dan kita) bahwa pengorbanan mereka diketahui dan tidak sia-sia. Yesus tahu persis kesediaan mereka untuk diutus dan pergi ke tempat asing, menghadapi berbagai hal yang tidak diketahui. Beberapa orang mungkin gagal menemukan tempat tinggal, yang lain mungkin kelaparan, sementara beberapa bahkan ditolak dan diejek. Banyak juga yang harus menghadapi setan-setan yang jauh lebih kuat daripada kekuatan manusia. Injil tidak menceritakan secara rinci tentang hal ini, tetapi Yesus sangat mengenal mereka, dan karena itu, meskipun Injil tidak menceritakan kisah mereka, kisah-kisah mereka tertulis selamanya dalam Kitab Kehidupan.

Seperti ketujuh puluh murid ini, kita mungkin merasa kita tidak ada apa-apanya. Kita hanya satu wajah di antara kerumunan orang banyak, hanyalah angka dan statistik, perbuatan kita terlalu kecil untuk dicatat dalam buku-buku sejarah. Tetapi Injil mengingatkan kita: Yesus mengenal dan mengasihi kita masing-masing secara pribadi. Setiap tindakan kasih, sekecil apa pun, sangat berharga bagi-Nya dan dicatat dalam kekekalan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan panduan:

Apa yang dapat kita lakukan untuk membantu membangun Kerajaan Allah? Apakah kita bersedia untuk diutus? Apakah kita membandingkan diri kita dengan orang lain? Apakah kita benar-benar percaya bahwa kita dikasihi?