Minggu ke-28 dalam Masa Biasa [C]
12 Oktober 2025
Lukas 17:11-19
Di permukaan, kisah sepuluh orang kusta ini menampilkan kontras yang jelas antara rasa syukur dan sikap tidak tahu berterima kasih. Sepuluh orang kusta disembuhkan, namun hanya satu—seorang Samaria, musuh orang Yahudi—yang kembali untuk mengucap syukur kepada Yesus. Sembilan orang lainnya, kemungkinan orang Yahudi, tampak tidak bersyukur. Namun, jika kita berhenti pada pelajaran itu saja, kita akan melewatkan drama yang mendalam dalam pertemuan ini. Apakah itu?

Untuk benar-benar memahami kisah ini, pertama-tama kita harus memahami betapa parahnya kondisi orang-orang itu. Kata Yunani “lépra” yang digunakan dalam Injil untuk kata “kusta” merupakan terjemahan untuk kata Ibrani “tzara’at.” Ini bukan sekadar penyakit medis yang menyebabkan borok yang menyebar dan kulit yang berubah warna; ini adalah keadaan najis yang parah, sebuah kondisi yang membuat orang-orang tersebut tidak bisa mendekati tempat suci (Imamat 13-14). Karena sifat religius kondisinya, imam Lewi bertindak sebagai penentu apakah seseorang dengan kondisi tersebut najis atau tidak. Karena kenajisan “tzara’at” yang menular, mereka dipaksa hidup dalam isolasi, mengenakan pakaian robek, dan berteriak “Najis, najis!” untuk memperingatkan siapa pun yang mendekat. Oleh karena itu, “tzara’at” merupakan salah satu nasib paling ditakuti bagi seorang Israel, karena memisahkan seseorang dari keluarga, komunitas, dan yang paling penting, dari Allah.
Dalam konteks ini, perintah Yesus kepada sepuluh orang kusta untuk menunjukkan diri mereka kepada imam-imam memiliki makna yang mendalam. Mereka akan mengenali ini sebagai prosedur standar untuk secara resmi dinyatakan suci dan dipulihkan ke dalam masyarakat. Kita dapat mengasumsikan bahwa sembilan orang Yahudi berangkat menuju imam-imam Israel mereka, sementara orang Samaria menuju imamnya sendiri. Momen penting terjadi ketika orang Samaria, yang masih dalam perjalanan dan secara teknis masih najis, memutuskan untuk berbalik. Ia jatuh di kaki Yesus dan ini adalah sebuah sikap yang lebih dari sekadar ucapan terima kasih emosional; ini adalah tindakan iman yang mendalam yang melanggar hukum ritual, karena orang najis tidak boleh mendekati orang tahir, dalam hal ini Yesus.
Tindakan ini mengungkapkan makna yang lebih dalam dari cerita ini. Pertanyaannya bukan sekadar apakah sembilan orang itu tidak bersyukur. Mungkin mereka memang tidak bersyukur, melupakan penyembuh mereka begitu mereka disembuhkan. Atau mungkin mereka hanya mengikuti perintah Yesus, berencana untuk kembali setelah mendapat persetujuan imam. Kita perlu ingat bahwa orang-orang ini memiliki iman pada Yesus sehingga mereka mau pergi kepada para imam bahkan sebelum mereka sembuh. Namun, orang Samaria itu menyadari sesuatu yang lebih dalam. Ia memahami bahwa Yesus bukan hanya sang penyembuh penyakit, tetapi sumber pemurnian itu sendiri. Dengan kembali kepada Yesus, ia mengakui bahwa Kristus memiliki wewenang untuk menyucikan dirinya tidak hanya dari penyakit fisiknya, tetapi juga dari kenajisan yang serius. Pada saat itu, Yesus terungkap sebagai Imam Besar Ilahi yang sejati.
Penyembuhan itu, oleh karena itu, bukanlah sekadar tentang memulihkan kesehatan. Itu adalah undangan untuk kembali kepada Allah, memilih kekudusan, dan mengenali Pemberi di atas pemberian. Orang Samaria itu menerima bukan hanya kulit yang sembuh, tetapi keselamatan. Rasa syukurnya adalah tanda iman yang melihat melampaui kebutuhannya yang segera kepada Dia yang dapat memenuhi kebutuhannya yang paling mendasar akan Allah.
Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Pertanyaan Panduan:
Apakah kita mendekati Allah terutama dengan kebutuhan dan keperluan kita? Ketika kita merasa Allah telah menjawab doa-doa kita, apa reaksi kita? Bagaimana kita mengekspresikan rasa syukur kita? Apakah hal itu mendekatkan kita kepada Pemberi? Apakah karunia yang kita terima dari Allah pada akhirnya membawa kita kembali kepada-Nya, ataukah kita menjadi terobsesi dengan karunia itu sendiri?







![Pesta Salib Suci [C]
14 September 2025
Yohanes 3:13-17
Salib adalah simbol universal Kristiani. Orang-orang Kristen mengenakannya sebagai bentuk perhiasan, seperti kalung, cincin, dan anting-anting, baik sebagai tanda devosi atau iman, maupun sekadar sebagai fashion. Gereja, dan berbagai institusi Kristiani memiliki salib sebagai penandanya. Namun, meskipun kita mungkin sudah familiar, sejarah dan makna mendalam salib sering kali diabaikan.](https://bayuop.com/wp-content/uploads/2025/09/crucifix-32.jpg?w=335)

