Melampaui Rasa Syukur

Minggu ke-28 dalam Masa Biasa [C]

12 Oktober 2025

Lukas 17:11-19

Di permukaan, kisah sepuluh orang kusta ini menampilkan kontras yang jelas antara rasa syukur dan sikap tidak tahu berterima kasih. Sepuluh orang kusta disembuhkan, namun hanya satu—seorang Samaria, musuh orang Yahudi—yang kembali untuk mengucap syukur kepada Yesus. Sembilan orang lainnya, kemungkinan orang Yahudi, tampak tidak bersyukur. Namun, jika kita berhenti pada pelajaran itu saja, kita akan melewatkan drama yang mendalam dalam pertemuan ini. Apakah itu?

Luke 5:12-16. A man covered with leprosy entreated Jesus to clean him falling with his face down. Jesus cleaned him immediately by touching him.

Untuk benar-benar memahami kisah ini, pertama-tama kita harus memahami betapa parahnya kondisi orang-orang itu. Kata Yunani “lépra” yang digunakan dalam Injil untuk kata “kusta” merupakan terjemahan untuk kata Ibrani “tzara’at.” Ini bukan sekadar penyakit medis yang menyebabkan borok yang menyebar dan kulit yang berubah warna; ini adalah keadaan najis yang parah, sebuah kondisi yang membuat orang-orang tersebut tidak bisa mendekati tempat suci (Imamat 13-14). Karena sifat religius kondisinya, imam Lewi bertindak sebagai penentu apakah seseorang dengan kondisi tersebut najis atau tidak. Karena kenajisan “tzara’at”  yang menular, mereka dipaksa hidup dalam isolasi, mengenakan pakaian robek, dan berteriak “Najis, najis!” untuk memperingatkan siapa pun yang mendekat. Oleh karena itu, “tzara’at” merupakan salah satu nasib paling ditakuti bagi seorang Israel, karena memisahkan seseorang dari keluarga, komunitas, dan yang paling penting, dari Allah.

Dalam konteks ini, perintah Yesus kepada sepuluh orang kusta untuk menunjukkan diri mereka kepada imam-imam memiliki makna yang mendalam. Mereka akan mengenali ini sebagai prosedur standar untuk secara resmi dinyatakan suci dan dipulihkan ke dalam masyarakat. Kita dapat mengasumsikan bahwa sembilan orang Yahudi berangkat menuju imam-imam Israel mereka, sementara orang Samaria menuju imamnya sendiri. Momen penting terjadi ketika orang Samaria, yang masih dalam perjalanan dan secara teknis masih najis, memutuskan untuk berbalik. Ia jatuh di kaki Yesus dan ini adalah sebuah sikap yang lebih dari sekadar ucapan terima kasih emosional; ini adalah tindakan iman yang mendalam yang melanggar hukum ritual, karena orang najis tidak boleh mendekati orang tahir, dalam hal ini Yesus.

Tindakan ini mengungkapkan makna yang lebih dalam dari cerita ini. Pertanyaannya bukan sekadar apakah sembilan orang itu tidak bersyukur. Mungkin mereka memang tidak bersyukur, melupakan penyembuh mereka begitu mereka disembuhkan. Atau mungkin mereka hanya mengikuti perintah Yesus, berencana untuk kembali setelah mendapat persetujuan imam. Kita perlu ingat bahwa orang-orang ini memiliki iman pada Yesus sehingga mereka mau pergi kepada para imam bahkan sebelum mereka sembuh. Namun, orang Samaria itu menyadari sesuatu yang lebih dalam. Ia memahami bahwa Yesus bukan hanya sang penyembuh penyakit, tetapi sumber pemurnian itu sendiri. Dengan kembali kepada Yesus, ia mengakui bahwa Kristus memiliki wewenang untuk menyucikan dirinya tidak hanya dari penyakit fisiknya, tetapi juga dari kenajisan yang serius. Pada saat itu, Yesus terungkap sebagai Imam Besar Ilahi yang sejati.

Penyembuhan itu, oleh karena itu, bukanlah sekadar tentang memulihkan kesehatan. Itu adalah undangan untuk kembali kepada Allah, memilih kekudusan, dan mengenali Pemberi di atas pemberian. Orang Samaria itu menerima bukan hanya kulit yang sembuh, tetapi keselamatan. Rasa syukurnya adalah tanda iman yang melihat melampaui kebutuhannya yang segera kepada Dia yang dapat memenuhi kebutuhannya yang paling mendasar akan Allah.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan:

Apakah kita mendekati Allah terutama dengan kebutuhan dan keperluan kita? Ketika kita merasa Allah telah menjawab doa-doa kita, apa reaksi kita? Bagaimana kita mengekspresikan rasa syukur kita? Apakah hal itu mendekatkan kita kepada Pemberi? Apakah karunia yang kita terima dari Allah pada akhirnya membawa kita kembali kepada-Nya, ataukah kita menjadi terobsesi dengan karunia itu sendiri?

Iman Sejati

Minggu ke-27 dalam Masa Biasa [C]

5 Oktober 2025

Lukas 17:5-10

Iman adalah sebuah tindakan luar biasa. Tuhan kita mengajarkan bahwa dengan iman sekecil biji sesawi, kita dapat memerintahkan pohon besar untuk dicabut dan ditanam di laut. Namun, Ia juga mengingatkan kita bahwa iman saja tidak cukup. Iman harus disertai dengan keutamaan lain yang esensial. Apa itu?

Secara sederhana, iman adalah tindakan untuk percaya kepada Allah dan Putra-Nya, Yesus Kristus. Sepanjang sejarah, orang-orang percaya telah mengalami kuasa yang luar biasa dan ajaib melalui iman. Melalui iman kepada Yesus, banyak orang menemukan kesembuhan, baik fisik maupun psikologis, bahkan dari penyakit yang tak tersembuhkan sekalipun. Melalui iman, banyak sekali orang mengalami pengalaman yang mengubah hidup, menemukan makna yang mendalam dan kebahagiaan. Melalui iman, banyak orang menerima karunia-karunia rohani, termasuk yang luar biasa seperti kesembuhan dan bernubuat.

Meskipun memiliki kuasa yang mengguncang bumi, Tuhan mengingatkan kita bahwa kita pada akhirnya adalah “hamba-hamba” Allah. Iman tidak menjadikan kita tuan. Iman sejatinya membuka mata kita pada kebenaran identitas kita. Jika kita percaya pada Pencipta yang Mahakuasa, maka kita adalah makhluk ciptaan-Nya. Ada jurang yang tak terjembatani di antara kita: Allah adalah segalanya, dan kita tidak ada apa-apanya. Namun, Allah mengasihi kita begitu besar sehingga Dia memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan kita dan membawa kita ke dalam persatuan dengan diri-Nya. Kebenaran ini, yang didorong oleh iman, membawa kita langsung kepada kerendahan hati.

Kata “kerendahan hati” dalam bahasa Inggris adalah “humility” dan ini berasal dari bahasa Latin humus, yang berarti “tanah” atau “bumi.” Itu adalah kesadaran bahwa kita tidak berarti apa-apa dan tidak layak. Kita, dalam arti tertentu, “tanah kotor.” Namun, Allah mengasihi kita tanpa syarat. Kerendahan hati menempatkan iman dalam konteks yang tepat, mengingatkan kita bahwa bahkan iman kita juga adalah anugerah dari Allah.

Sebenarnya, iman tanpa kerendahan hati itu berbahaya. Setan dan roh-roh jahat memiliki semacam “iman”—mereka tahu dengan pasti bahwa Allah ada dan bahwa mereka memperoleh keberadaan dan kekuatan mereka dari-Nya. Namun, tanpa kerendahan hati, mereka menolak untuk taat dan melayani. Pada akhirnya, mereka jatuh.

Tanpa kerendahan hati, kita berisiko tertipu oleh diri sendiri. Kita mungkin berpikir bahwa “iman besar” kita membuat kita lebih unggul dari orang lain. Meskipun karunia dan pengalaman iman itu nyata, mereka dapat menjebak kita dalam kesombongan. Tanpa kerendahan hati, kita juga dapat memperlakukan iman sebagai alat tawar-menawar, percaya bahwa jika kita memiliki cukup, kita dapat mengendalikan Allah untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.

Dengan kerendahan hati, iman benar-benar menyelamatkan. Kita menerima baptisan dari Gereja, dan tindakan kerendahan hati ini berarti mengakui keselamatan sebagai anugerah Allah yang cuma-cuma. Kita menerima Komuni Kudus dari tangan imam, dan tindakan kerendahan hati ini berarti mengakui bahwa kita membutuhkan Allah untuk memberi makan jiwa-jiwa kita yang lapar dan lemah. Kita mengaku dosa dalam sakramen Tobat, dan tindakan kerendahan hati ini berarti menerima bahwa seberapa pun kita rusak dan hancur, Allah tetap mencintai kita dan ingin menyembuhkan kita. Kerendahan hati memungkinkan iman kita untuk mendorong kita mengasihi Allah dengan mendalam, karena kita sepenuhnya menyadari kelimpahan kasih-Nya bagi kita.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan

  1. Bagaimana kita memahami iman? Apakah itu sekedar keyakinan akan kebenaran tentang Allah? Sebuah ikatan emosional? Atau komitmen untuk hidup sesuai dengan kehendak-Nya?
  2. Bagaimana kita memahami kerendahan hati? Apakah itu sekadar rasa “minder”? Atau apakah itu kesadaran mendalam akan kasih Allah yang tak terhingga bagi kita, bahkan dalam kelemahan kita?

True Faith

27th Sunday in Ordinary Time [C]

October 5, 2025

Luke 17:5-10

Faith is a powerful act. Our Lord teaches that with faith even as small as a mustard seed, we could command a mulberry tree to be uprooted and planted in the sea. Yet, He also reminds us that faith alone is not enough. It must be accompanied by another essential virtue. What is that?

In simple terms, faith is an act of trust in God and in His Son, Jesus Christ. Throughout history, believers have experienced its tremendous, miraculous power. Through faith in Jesus, many find healing—both physical and psychological—even from incurable diseases. Through faith, countless people have life-transforming experiences, discovering profound meaning and joy. Through faith, many receive spiritual gifts, including extraordinary ones like healing and prophecy.

Despite this earth-shaking power, our Lord reminds us that we are ultimately God’s “servants.” Faith does not make us masters; it opens our eyes to the truth of our identity. If we believe in an almighty Creator, then we are His creatures. An unbridgeable gap exists between us: God is everything, and we are nothing. And yet, He loves us so immensely that He gave His only Son to save us and bring us into communion with Himself. This realization, driven by faith, leads us directly to humility.

The word “humility” comes from the Latin humus, meaning “soil” or “ground.” It is the realization that we are nothing and undeserving—we are, in a sense, “dirt.” Yet, God loves us unconditionally. Humility places faith in its proper context, reminding us that even our faith is a gift from God.

In fact, faith without humility is dangerous. Satan and the evil spirits have a kind of “faith”—they know with certainty that God exists and that they owe their power to Him. But without humility, they refuse to obey and serve. Ultimately, they fall.

Without humility, we risk self-deception. We might think our “great faith” makes us superior to others. While the gifts of faith are real, they can trap us into pride. Without humility, we may also treat faith as a bargaining chip, believing that if we have enough, we can control God to get what we want.

With humility, however, faith truly saves. We receive baptism from the Church and this act of humility means recognizing salvation as a gratuitous, unmerited God’s gift. We receive Holy Communion from the priest’s hand, and this act of humility means acknowledging that we need God to feed our hungry, weak souls. We Confess to God’s representative, and this act of humility means accepting that however broken we are, God still loves us and wants to heal us. Humility allows our faith to move us to love God deeply, as we fully recognize the abundance of His love for us.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP


Guide Questions

  1. How do we understand faith? Is it a belief in the truth about God? An emotional attachment? Or a commitment to live according to His will?
  2. How do we understand humility? Is it simply a lack of self-confidence? Or is it the profound realization of God’s immense love for us, even in our smallness?

Orang Kaya yang Tak Bernama

Minggu ke-26 dalam Masa Biasa [C]

28 September 2025

Lukas 16:19-31

Cerita tentang Lazarus dan Orang Kaya tidak hanya mengandung banyak pelajaran yang dapat kita pelajari dan teladani, tetapi juga mengungkapkan kebenaran tentang keselamatan kita. Apa saja itu?

1. Plot Twist

Cerita tentang Lazarus dan orang kaya menunjukkan kebijaksanaan Yesus sebagai seorang pencerita dan guru. Kebanyakan orang akan menganggap orang kaya sebagai protagonis, karena kekayaan materialnya dianggap sebagai tanda kasih karunia Allah. Sebaliknya, Lazarus, dalam kemiskinan dan penyakitnya, akan dianggap sebagai orang yang kalah, menderita karena hukuman Allah atau Allah tidak berkenan kepadanya. Namun, Yesus memberikan kejutan di dalam ceritanya yang menantang pendengar Yahudi aslinya dan terus menantang kita hingga hari ini. Pada akhirnya, orang kaya, meskipun memiliki kekayaan yang luar biasa, tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri, sementara Lazarus, orang miskin, menerima belas kasihan Allah dan beristirahat di pangkuan Abraham.

2. Bukan Hanya Tentang Kekayaan

Namun, pandangan yang lebih dalam menunjukkan bahwa Yesus tidak sekadar mengutuk orang kaya dan memuliakan orang miskin. Orang kaya kehilangan keselamatannya bukan hanya karena kekayaannya, yang dapat menjadi berkat dari Allah jika digunakan sebagai sarana untuk tujuan tertentu. Intinya, kegagalannya adalah keserakahannya. Ia digambarkan mengenakan pakaian ungu yang mahal dan berpesta mewah setiap malam, namun ia memilih mengabaikan orang miskin yang putus asa di gerbang rumahnya. Meskipun memiliki kemampuan lebih dari cukup untuk membantu, ia menutup mata, hanya fokus pada kesenangannya sendiri.

Demikian pula, kemiskinan saja tidak secara otomatis memberikan Lazarus tempat di sisi Abraham. Orang miskin juga rentan terhadap dosa, seperti mencuri atau manipulasi. Namun, Lazarus digambarkan sebagai orang yang “dengan senang hati” menerima sisa-sisa makanan dari meja orang kaya. Ia menolak menggunakan kemiskinannya sebagai alasan untuk berdosa, melainkan memilih bersyukur atas sedikit yang ia miliki.

3. Orang Kaya yang Tak Bernama

Di antara tiga karakter utama dalam cerita ini, hanya satu yang tidak disebutkan namanya: orang kaya. Abraham, yang namanya berarti “bapak banyak bangsa,” menerima Lazarus, yang namanya adalah bentuk Latinisasi dari nama Ibrani “Eliazer,” yang berarti “Allahku adalah penolongku.” Rincian kecil ini penting, menggambarkan kebenaran yang mendalam: kita menjadi apa yang kita cintai.

Orang kaya itu begitu mencintai kekayaannya sehingga ia kehilangan identitas uniknya, dikenal hanya berdasarkan status materialnya. Ia mendefinisikan dirinya melalui pakaian mewah dan gaya hidup yang bermewah-mewah. Sebaliknya, Lazarus dan Abraham mencintai Allah. Semakin mereka mencintai-Nya, semakin mereka mencerminkan gambar-Nya, memungkinkan identitas asli yang diberikan Allah untuk bersinar. Lazarus hidup sebagai orang yang bergantung pada pertolongan Allah, dan Abraham sebagai bapa bagi banyak bangsa. Semakin kita mencintai hal-hal duniawi, semakin kita terjerat olehnya, dan secara bertahap kehilangan diri kita sendiri. Namun, semakin kita mencintai Allah, semakin kita menjadi seperti Allah, dan kita menjadi lebih autentik.

Lourdes, Prancis

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:

Apakah kita mencintai Allah lebih dari segalanya? Apa saja hal-hal yang menghalangi kita untuk mencintai Allah? Apa saja misi yang diberikan Allah dalam hidup ini? Apakah kita peduli terhadap saudara-saudari kita yang kurang beruntung di sekitar kita?

The Nameless Rich Man

26th Sunday in Ordinary Time [C]

September 28, 2025

Luke 16:19-31

The story of Lazarus and the Rich man does not only have a lot of lessons we can learn and imitate, but it also reveals the truth about our salvation. What are those?

1. The Plot Twist

The story of Lazarus and the rich man demonstrate Jesus’ wisdom as both a storyteller and a teacher. Most would assume the rich man is the protagonist, as his material wealth was seen as a sign of God’s favour. Conversely, Lazarus, in his poverty and sickness, would be viewed as a loser, suffering from divine disfavour. Yet, Jesus delivers a shocking twist that challenged his original Jewish audience and continues to challenge us today. In the end, the rich man, despite his extreme wealth, cannot save himself, while Lazarus, the poor man, receives God’s mercy and rests in the bosom of Abraham.

2. Not Just About Wealth

However, a deeper look reveals that Jesus is not simply condemning the rich and glorifying the poor. The rich man loses his salvation not merely because of his wealth, which can be a blessing from God when used as a means to an end. The core of his failure is his selfishness. He is depicted wearing expensive purple garments and feasting sumptuously every night, yet he chooses to ignore the desperately poor man at his gate. Despite having more than enough capacity to help, he closes his eyes, focusing only on his own pleasure.

Similarly, poverty alone does not automatically grant Lazarus a place with Abraham. The poor are also susceptible to sin, such as stealing or manipulation. Yet, Lazarus is described as one who “gladly” received the scraps from the rich man’s table. He refused to use his poverty as an excuse for sin, instead choosing gratitude for the little he had.

3. The Nameless Rich Man

Among the story’s three major characters, only one is left nameless: the rich man. Abraham, whose name means “father of many nations,” receives Lazarus, whose name is a Latinized form of the Hebrew “Eliazer,” meaning “My God is my helper.” This small detail is significant, illustrating a profound truth: we become what we love.

The rich man loved his wealth so dearly that he lost his unique identity, becoming known simply by his material status. He defined himself by his luxurious garments and lavish lifestyle. In contrast, Lazarus and Abraham loved God. The more they loved Him, the more they reflected His image, allowing their authentic, God-given identities to shine. Lazarus lived as one dependent on God’s help, and Abraham as a father to many nations. The more we love earthly things, we are absorbed into them, and gradually losing ourselves, yet the more we love God, the more we become like God, and we become more authentic.

Lourdes, France

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide questions:

Do we love God more than anything? What are things that prevent us from loving God? What are God-given missions in this life? Do we care for our unfortunate brothers and sisters around us?

Krisis Sejati

Minggu ke-25 dalam Masa Biasa [C]

21 September 2025

Lukas 16:1-13

Hari ini, kita dihadapkan pada salah satu perumpamaan Yesus yang sulit dipahami: perumpamaan tentang bendahara yang tidak jujur. Kesulitannya terletak pada sebuah kontradiksi: Bendahara itu dipuji atas tindakan yang seharusnya tidak dilakukannya. Ia menyalahgunakan wewenangnya dan memanipulasi harta tuannya untuk keuntungan pribadi, tetapi dia dipuji. Jadi, bagaimana kita memahami hal ini?

  1. Ia Dipuji atas Kecerdikannya, Bukan Moralitasnya

Pertama, penting untuk memahami bahwa bendahara itu dipuji karena kecerdikannya, bukan etika moralnya. Kata Yunani yang digunakan adalah φρονίμως (phronimos), yang berarti seseorang yang bijaksana, cerdas, atau pandai dalam urusan-urusan praktis. Di hadapan krisis, bendahara itu membuat keputusan yang tajam dan terukur. Setelah tertangkap karena ketidakjujurannya dan menghadapi pemecatan, ia tahu bahwa ia tidak memiliki keterampilan lain untuk bertahan hidup. Karena ia pasti akan dipecat, meminta ampun juga tidak ada gunanya. Sebaliknya, ia menggunakan satu-satunya keterampilan yang dimilikinya, manajemen manipulatif, untuk menciptakan semacam jaring pengaman. Dengan mengurangi utang, ia menjadikan para peminjam sebagai teman-temannya yang akan menerimanya setelah pekerjaannya hilang, sehingga menyelamatkan dirinya dari kemiskinan dan rasa malu.

2.      Kecerdasan Duniawi “Anak-Anak Zaman Ini”

Kedua, perumpamaan ini menggambarkan bagaimana “anak-anak zaman ini” dapat dengan luar biasa mahir menggunakan sumber daya mereka untuk menghadapi krisis dan mencapai “keselamatan” mereka. Cinta akan uang telah membutakannya, namun ketika krisis sesungguhnya datang, sang bendahara menyadari apa yang paling penting bagi dirinya: kelangsungan hidupnya di dunia ini. Ia secara pragmatis mengubah kekayaan yang diperoleh secara curang menjadi modal relasional untuk menjamin kelangsungan hidupnya di dunia ini.

3.      Tantangan bagi “Anak-Anak Terang”

Akhirnya, dan yang paling penting, perumpamaan ini menantang “anak-anak terang” untuk menyadari krisis nyata yang kita hadapi dan untuk menjadi sebijaksana mungkin dalam mengejar keselamatan sejati kita. Apa krisis kita? Sama seperti tuan kembali untuk menghakimi bendaharanya, Tuhan kita akan kembali untuk menghakimi kita. Banyak dari kita hidup dalam ilusi bahwa penghakiman Allah masih jauh, berpikir kita memiliki waktu yang tak terbatas. Namun, kita tidak tahu jam berapa Tuhan akan datang atau kapan kematian akan memanggil kita untuk mempertanggungjawabkan diri. Bendahara yang tidak jujur tahu bahwa hidup duniawinya terancam dan bertindak lugas untuk menyelamatkannya. Betapa lebih penting bagi kita, yang mengejar hidup kekal, untuk menggunakan waktu, talenta, dan harta kita untuk mempersiapkan diri menghadapi kedatangan Tuhan yang tak terduga.

Pier Giorgio Frassati tampak seperti pemuda biasa pada zamannya: ia menyukai olahraga seperti hiking dan merupakan pelajar yang aktif terlibat dalam isu-isu sosial dan politik zamannya. Ia juga seorang Katolik yang taat berdoa Rosario dan menghadiri Misa secara teratur. Ia meninggal secara tiba-tiba pada usia 24 tahun, dan di mata dunia, dia tidak memiliki pencapaian apa-apa. Namun, pada hari pemakamannya, ribuan orang, kebanyakan orang miskin, datang untuk berduka. Terungkap bahwa selama bertahun-tahun, ia secara rahasia mengunjungi dan membantu orang-orang miskin. Pada tahun 1990, Paus Yohanes Paulus II mengangkatnya sebagai beato, dan menyebutnya sebagai “manusia Delapan Sabda Bahagia”. Pier Giorgio adalah contoh sempurna seorang “anak terang” yang menggunakan sumber daya duniawinya dengan bijak untuk mempersiapkan diri menyambut kedatangan Tuhan yang tidak terduga.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan Panduan untuk Refleksi:

Apakah kita siap untuk kedatangan Tuhan kita? Dalam keadaan apa Dia akan menemukan kita hari ini? Bagaimana kita mempersiapkan diri? Langkah praktis apa yang kita ambil untuk berinvestasi dalam masa depan kekal kita? Hal-hal duniawi apa yang kita ikat? Apakah uang, kenyamanan, status, atau kebanggaan? Bagaimana kita bisa terbebas dari ikatan-ikatan ini? Bagaimana kita bisa mengalihkan sumber daya ini untuk melayani Tuhan dan orang lain, menimbun “harta di surga”?

The True Crisis

25th Sunday in Ordinary Time [C]

September 21, 2025

Luke 16:1-13

Today, we encounter one of Jesus’ most challenging parables: the story of the dishonest manager. Its difficulty lies in a seeming contradiction. The manager is praised for actions he should not be doing. He abuses his authority and manipulates his master’s wealth for his own advantage. So how are we to understand this?

  1. He Was Praised for His Cleverness, Not His Morality
    First, it’s crucial to see that the servant is commended for his shrewdness, not his ethics. The Greek word used is φρονίμως (phronimos), meaning one who is prudent, wise, or clever in practical matters. Faced with a crisis, the manager made a sharp, calculated decision. Having been caught for his dishonesty and facing dismissal, he knew he lacked other skills to survive. Since he was being fired anyway, repenting his ways at that moment was pointless. Instead, he used the only skill he had, manipulative management, to create a safety net. By reducing debts, he made friends who would welcome him after his job was gone, thus saving himself from poverty and shame.
  • The Worldly Wisdom of “The Children of This Age”
    Second, this parable illustrates how “the children of this age” can be remarkably adept at using their resources to navigate a crisis and achieve a form of “salvation.” The manager’s love of money had blinded him, yet when true crisis struck, he recognized what was most important: his future earthly survival. He pragmatically turned ill-gotten wealth into relational capital to secure his earthly life.
  • A Challenge to “The Children of Light”
    Finally, and most importantly, the parable challenges “the children of light” to recognize the real crisis we face and to be just as wise in pursuing our true salvation. What is our crisis? Just as the master returned to judge his manager, our Master will return to judge us. Many of us live under the illusion that God’s judgment is remote, thinking we have unlimited time. But we do not know the hour when the Lord will come or when death will call us to account. The dishonest manager knew his worldly life was at stake and acted decisively to save it. How much more should we, who value eternal life, use our time, talents, and treasures to prepare for our Lord’s unexpected return?

An Example: St. Pier Giorgio Frassati

Pier Giorgio Frassati appeared to be a typical young man of his generation: he enjoyed sports like hiking and was an engaged student involved in the social and political issues of his time. He was also a devout Catholic who prayed the Rosary and attended Mass regularly. He died unexpectedly at just 24, having accomplished little in the eyes of the world. Yet, at his funeral, thousands of poor people arrived to mourn him. It was revealed that for years, he had secretly visited and helped the poor. In 1990, Pope John Paul II beatified him, naming him “the man of the Eight Beatitudes.” Pier Giorgio is a perfect example of a “child of light” who used his earthly resources wisely to prepare for his Lord’s coming.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide Questions for Reflection:

Are we prepared for the coming of our Lord? In what state would He find us today? How do we prepare? What practical steps are we taking to invest in our eternal future? What earthly things are we attached to? Is it money, comfort, status, or pride? How can we be freed from these attachments? How can we redirect these resources to serve God and others, storing up “treasure in heaven”?

Salib yang Menyembuhkan

Pesta Salib Suci [C]

14 September 2025

Yohanes 3:13-17

Salib adalah simbol universal Kristiani. Orang-orang Kristen mengenakannya sebagai bentuk perhiasan, seperti kalung, cincin, dan anting-anting, baik sebagai tanda devosi atau iman, maupun sekadar sebagai fashion. Gereja, dan berbagai institusi Kristiani memiliki salib sebagai penandanya. Namun, meskipun kita mungkin sudah familiar, sejarah dan makna mendalam salib sering kali diabaikan.

Pesta Salib Suci [C]
14 September 2025
Yohanes 3:13-17

Salib adalah simbol universal Kristiani. Orang-orang Kristen mengenakannya sebagai bentuk perhiasan, seperti kalung, cincin, dan anting-anting, baik sebagai tanda devosi atau iman, maupun sekadar sebagai fashion. Gereja, dan berbagai institusi Kristiani memiliki salib sebagai penandanya. Namun, meskipun kita mungkin sudah familiar, sejarah dan makna mendalam salib sering kali diabaikan.

Secara historis, salib bukanlah simbol keagamaan, melainkan alat teror. Salib adalah metode eksekusi Romawi yang ditujukan untuk penjahat dan pemberontak. Orang yang dihukum akan ditelanjangi, dipaku pada tiang kayu besar, dan dibiarkan mati perlahan, secara publik, terpapar elemen alam dan juga hujatan. Itu adalah simbol kekejaman dan kebengisan manusia. Inilah siksaan yang dialami Yesus.

Namun, Yesus tidak melarikan diri dari salib-Nya. Ia menerimanya, dan melalui kebangkitan-Nya, Ia mengubah salib dari alat penyiksaan menjadi sarana belas kasihan dan penyembuhan Allah. Dalam Injil, Yesus sendiri membuat hubungan tipologis antara salib-Nya dan ular tembaga yang diangkat oleh Musa di Buku Bilangan (Bil 21). Sama seperti orang-orang Israel yang tersengat ular dan memandang ular tembaga disembuhkan, semua yang memandang salib Yesus dengan iman akan diselamatkan dari maut.

Hal ini membawa kita pada pertanyaan mendalam: bagaimana salib menyembuhkan kita?

Pertama, salib menyembuhkan melalui kasih. Ketika kita memandang salib, kita melihat bukti kasih Allah yang paling luhur: Ia mengutus Anak-Nya yang tunggal untuk menjadi manusia, dan menyerahkan diri-Nya sebagai korban demi mendamaikan kita dengan-Nya. Seperti yang ditulis Santo Paulus, “Tetapi Allah menunjukkan kasih-Nya kepada kita, karena ketika kita masih berdosa, Kristus telah mati untuk kita” (Rom 5:8).

Setiap dosa melukai jiwa kita dan memisahkan kita dari Allah. Setiap  kali kita melihat salib Kristus, ini menjadi panggilan permanen akan kasih Allah untuk bertobat dan kembali kepada-Nya. Dan rahmat perdamaian dan penyembuhan dari Salib mengalir kepada kita terutama melalui Baptisan dan Sakramen Rekonsiliasi.

Kedua, salib menyembuhkan melalui kehadiran Allah. Salib menunjukkan bahwa Allah bukanlah ilah yang jauh, terpisah dari penderitaan kita. Ia memilih untuk menjadi salah satu dari kita, untuk berbagi pengalaman manusiawi kita dengan segala penderitaannya. Di salib, Yesus menerima penderitaan manusia yang paling berat, menunjukkan bahwa ketika kita menyatukan penderitaan kita dengan-Nya, salib kita sendiri dapat diubah dan disembuhkan.

Ketika penderitaan menimpa kita, mudah untuk mengeluh dan putus asa. Tetapi salib mengingatkan kita bahwa kita tidak sendirian. Sama seperti Yesus menggunakan penderitaan-Nya untuk menjadi berkat bagi dunia, kita pun dapat menawarkan penderitaan kita kepada Allah dan menjadi sumber kekuatan dan belas kasihan bagi orang lain.

St. Fransiskus dari Assisi pernah mencari kemuliaan sebagai seorang ksatria. Setelah ditangkap dalam pertempuran dan jatuh sakit parah, ia pulih secara fisik tetapi masih merasa kekosongan rohani. Segalanya berubah saat ia berdoa di sebuah kapel yang rusak. Ia melihat penglihatan Yesus di salib, yang berkata kepadanya, “Fransiskus, pergilah dan perbaiki rumah-Ku yang sedang runtuh.” Momen ini memberikan penyembuhan sejati yang dibutuhkan Fransiskus, membantunya menemukan jati dirinya dan apa yang seharusnya ia lakukan, yaitu menjadi alat Tuhan untuk damai dan penyembuhan.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:

Apa salib-salib dalam hidup kita? Bagaimana salib Yesus menyembuhkan kita? Apakah kita menjadi sarana penyembuhan Tuhan bagi orang lain juga? Bagaimana caranya?

The Cross that Heals

Feast of the Exaltation of the Holy Cross

September 14, 2025

John 3:13-17

The cross is a universal symbol of Christianity. People wear it as jewelry, like necklaces, rings, and earrings, either as a sign of devotion or simply as fashion. Churches and other Christian buildings are often crowned with its shape. Yet, despite its familiarity, the profound history and meaning of the cross can often be overlooked.

Historically, the cross was not a sacred symbol but a tool of terror. Crucifixion was a Roman method of execution designed for criminals and rebels. The condemned person was stripped naked, nailed to a wooden beam, and left to die a slow, public death exposed to the elements and humiliation. It was the ultimate symbol of human cruelty. This is the torture Jesus endured.

Yet, Jesus did not escape His cross. He embraced it. Through His resurrection, He transformed the cross from an instrument of torture into an instrument of God’s mercy and healing. In the Gospel, Jesus Himself draws a typological connection between His cross and the bronze serpent raised by Moses. Just as those who looked at the bronze serpent were healed, all who look to Jesus’ cross with faith will be saved.

This leads to the essential question: how does the cross heal us?

First, it heals through love. When we look at the cross, we see the ultimate proof of God’s love: He sent His only Son to offer Himself as a sacrifice to reconcile us to Himself. As St. Paul writes, “But God proves his love for us in that while we still were sinners Christ died for us” (Rom 5:8). We receive this healing from sin primarily through Baptism and the Sacrament of Reconciliation. Every sin wounds our soul and separates us from God; the cross stands as a permanent call to repent and return to Him.

Second, it heals through God’s presence. The cross shows us that God is not a distant deity, remote from our pain. He chose to become one of us, to share in our human experience with all its suffering. On the cross, Jesus embraced the worst of human agony, demonstrating that when we unite our sufferings with His, our own crosses can be transformed. They can become a divine means of healing and grace.

When suffering hits us, it is easy to complain and despair. But the cross reminds us we are not alone. Just as Jesus used His suffering to become a blessing for the world, we too can offer our own pains to God and become a source of strength and compassion for others.

St. Francis of Assisi once sought glory as a knight. After being captured in battle and becoming seriously ill, he recovered physically but still felt a spiritual emptiness. Everything changed while he was praying in a broken-down chapel. He had a vision of Jesus on the cross, who said to him, “Francis, go and repair my house, which is falling into ruin.” This moment gave Francis the true healing he needed, helping him discover who he was and what he was meant to do, to be God’s instrument of peace and healings.

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide questions:

What are our crosses in our lives? How do Jesus’ cross heal us? How? Do we become the means of God’s healing for others also? How?

To Hate and To Love

23rd Sunday in Ordinary Time [C]

September 7, 2025

Luke 14:25-33

We now encounter one of Jesus’ most challenging statements: He demands that we “hate” our parents, siblings, and even our own children. How are we to understand this hard saying?

To find the answer, we must consider three key elements: Jesus’ full statement, the meaning of the word “hate,” and the broader context of Jesus’ life and mission.

  1. The Full Statement
    First, we need to read the entire sentence. Jesus said, “If anyone comes to me without hating his father and mother, wife and children, brothers and sisters, and even his own life, he cannot be my disciple.” This is not a general command for everyone, but a specific condition addressed to those who wish to become His true followers.
  • The Biblical Meaning of “Hate”
    The word “hate” here (from the Greek μισέω – miseo) does not imply a feeling of strong aversion or enmity. In the Bible, this word often carries a comparative meaning: “to love less” or “to disfavor” in order to show preferential treatment to something else (see Genesis 29:31, Deuteronomy 21:15-16, Luke 16:13). In this context, Jesus is demanding that His followers make Him their absolute top priority. He is not asking us to detest our families, but to love Him so much that all other loves—even for our own lives—seem like hatred by comparison. A simpler way to phrase it is: Unless we love Jesus more than everything and everyone else, we cannot be His disciples.
  • The Broader Context
    Finally, we must remember that Jesus was speaking as He walked toward Jerusalem, where He would face His Passion and death on the cross. To follow Him meant to share in His suffering. This is only possible if a disciple prioritizes Jesus above all else. We see this exemplified in figures like Mary, His mother, who refused to hide but stood firmly at the foot of the cross, sharing in His agony. Other disciples, like John and Mary Magdalene, also followed Him to the very end, demonstrating this ultimate priority.


This teaching remains true for us today. To follow Jesus to the end requires loving Him above all. While not everyone is called to physical martyrdom like St. Ignatius of Antioch who was fed to the lions or St. Francis de Capillas was tortured and killed when he preached Jesus in China, every disciple is called to make Jesus the central priority of their life.

This doesn’t mean we must pray every second of the day. Instead, it means making daily decisions that reflect our love for Jesus and our desire to please God. This can be as simple as: Choosing to avoid sin and vice; Refusing to be a stumbling block for others; Prioritizing Sunday Mass, even while on vacation; Gently inviting family members to know Jesus more.

Loving Jesus is a conscious, daily decision to choose what strengthens our holiness and deepens our relationship with Him.

Surabaya

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Reflection Questions:

How do I concretely show my love for Jesus in my daily routine? Do my actions and words encourage others to love Jesus? Could my behavior be making it difficult for someone else to approach Jesus?