Kasih Kita yang Lemah

Minggu Ketiga Paskah [C]

4 Mei 2025

Yohanes 21:1-19

Dalam Injil hari ini, Yesus bertanya kepada Petrus tiga kali, “Apakah engkau mengasihi Aku?” Beberapa Bapa Gereja menafsirkan pengulangan ini sebagai Yesus membatalkan penyangkalan Petrus sebanyak tiga kali. Namun, jika dilihat lebih dekat pada teks bahasa Yunani, Yesus menggunakan kata yang berbeda untuk “kasih” dalam setiap contoh. Perbedaan-perbedaan ini memperdalam pemahaman kita akan perikop ini.

Pertama, Yesus tidak hanya mengajukan pertanyaan, tetapi Ia mengajukan permintaan. Dalam permintaan-Nya yang pertama, Yesus meminta jenis kasih yang spesifik. Yohanes Penginjil menggunakan kata Yunani “agape”, yang menandakan kasih yang rela berkorban, yang mencari kebaikan yang tulus dari orang lain. Kasih ini tidak didasarkan pada emosi, melainkan pada kebebasan dan komitmen. Agape yang sejati menuntut pemberian diri sepenuhnya, bahkan sampai mengorbankan nyawa. Di sini, Yesus menuntut bentuk agape tertinggi dari Petrus, sebuah kasih yang melampaui segala sesuatu yang lain.

Dalam permintaan-Nya yang kedua, Yesus sekali lagi menggunakan kata “agape”, tetapi kali ini tanpa frasa “lebih dari itu.” Dia masih menyerukan kasih yang berkorban, tetapi tidak sampai pada tingkat yang tertinggi. Dalam permintaan-Nya yang ketiga, Yesus beralih dari agape ke “philia”, kata dalam bahasa Yunani yang berarti kasih yang didasarkan pada persahabatan. Tidak seperti agape yang berakar pada kehendak bebas dan dedikasi, philia lebih bergantung pada emosi, perasaan yang sama, dan minat yang sama. Meskipun persahabatan sejati mungkin membutuhkan tindakan agape, fondasinya tetaplah philia. Ketika kepentingan bersama memudar, persahabatan sering kali melemah.

Tetapi mengapa Yesus tampaknya menurunkan ekspektasi-Nya, dari agape yang total menjadi agape yang sederhana, dan akhirnya menjadi persahabatan? Jawabannya terletak pada jawaban Petrus. Setiap kali Yesus menanyainya, Petrus menjawab dengan kata “philia”. Ia tidak dapat membawa dirinya untuk mengakui agape, terutama dalam bentuk yang paling tinggi. Penyangkalannya yang terdahulu telah membuatnya patah hati, malu, dan ragu untuk mengasihi Yesus lagi. Ketakutan menahannya.

Namun, terlepas dari jawaban Petrus yang tidak lengkap, Yesus tidak menegurnya atau mencari murid yang lebih setia. Sebaliknya, Yesus menemui Petrus di mana ia berada. Dia menerima kasih Petrus yang penuh kekurangan dan keraguan dan tetap mempercayakannya untuk menggembalakan kawanan domba-Nya. Yesus tidak menuntut kesempurnaan, tetapi Dia menginginkan kerendahan hati dan ketulusan. Dia melihat upaya Petrus dan tahu bahwa, pada saatnya nanti, Petrus akan memberikan nyawanya bagi-Nya.

Tuhan meminta kita masing-masing untuk memberikan kasih yang tertinggi, namun kita sering kali gagal. Seperti Petrus, kita terluka, lemah, dan penuh dengan kegagalan. Tetapi Kabar Baiknya adalah Tuhan menerima kasih kita yang tidak sempurna dan dengan lembut menuntun kita menuju kesempurnaan.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan-pertanyaan Refleksi:

Apakah kita mengasihi Allah?  Apakah kita mengasihi Dia dengan agape atau philia?  Dalam hal apa saja kita gagal mengasihi Allah? Apa yang menghalangi kita untuk mengasihi Allah? Bagaimana Dia terus mengasihi kita terlepas dari kekurangan kita? Dapatkah kita mengingat kembali saat-saat dalam hidup kita ketika kasih Allah yang tak tergoyahkan terbukti meskipun kita gagal? 

Peace of Easter

Second Sunday of Easter [C]

April 27, 2025

John 20:19-31

The risen Christ’s first words to His disciples were, “Peace to you!” In Hebrew, this is literally “Shalom lakem” (שָׁלוֹם לָכֶם), a greeting frequently found in the Old Testament (Judges 6:23; 1 Samuel 1:17; 20:42; 25:6; etc.). Another Jewish variation, though not biblical, is “Shalom aleichem” (שָׁלוֹם עֲלֵיכֶם), meaning “Peace be upon you!” But was Jesus’ greeting merely cultural, or did it carry deeper significance?

To understand this, we must first explore the biblical meaning of “shalom.” One of the most common words in Scripture, appearing 237 times in the Old Testament, “shalom” is often translated as “peace.” Yet it signifies far more: the total well-being of a person, rooted in right relationships—with oneself, others, and God.

When the risen Christ appeared to the disciples, they were gripped by fear of the “Jews”. Interestingly these “Jews” may refer to three things: the Jewish authorities, Jesus Himself, a Jewish man, and even they themselves because they are Jews. They feared the authorities who had killed Jesus, knowing they could be next. They feared Jesus, remembering their failures: Judas’ betrayal, Peter’s denial, and their own abandonment. Would He now punish them? And they feared themselves: they feel unworthy and incapable disciples; they are underserved of Jesus’ mercy and forgiveness; they are broken and sinful. They fear of their own lives and future.

Yet Jesus’ words cut through their terror: “Peace to you.” This was no ordinary greeting. It was a divine assurance. They need not fear the authorities, for if they could not stop Jesus, they could not stop His followers. They need not fear Jesus, for He came not to condemn but rather to have mercy and forgive their weaknesses. When He repeated, “Peace to you,” and added, “As the Father has sent me, so I send you,” He affirmed their calling despite their flaws. Jesus assures them once again that despite their unworthiness, they remained chosen, and despite their weakness and failures, God’s grace is sufficient to perfect what is lacking in them.  

True shalom flows only from the risen Christ—a peace that reconciles us to God, heals our relationships, and silences our inner shame.  We know that we are sinners, yet we are redeemed so that we are in peace with God. We know that we often have difficult relationship with our neighbors, but we are invited to ask mercy and be merciful to other. We are aware that we are weak and incapable in loving God and others, but God’s grace is sufficient to complete what is lacking in us.

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide question:

Do you have peace in our lives? What are we afraid of? Do we have peace with God? Do we have peace with our neighbors? Do we have peace with ourselves? What are things that make us fail to achieve shalom?

Damai Paskah

Minggu Kedua Paskah [C]

27 April 2025

Yohanes 20:19-31

Kata-kata pertama Kristus setelah bangkit kepada para murid-Nya adalah, “Damai bagi kamu!” Dalam bahasa Ibrani, “Shalom lakem” (שָׁלוֹם לָכֶם), sebuah ucapan yang sering ditemukan dalam Perjanjian Lama (Hakim 6:23; 1 Samuel 1:17; 20:42; 25:6; dll.). Variasi Yahudi lainnya, meskipun tidak ada dalam Alkitab, adalah “Shalom aleichem” (שָׁלוֹם עֲלֵיכֶם), yang artinya kurang lebih sama. Namun, apakah salam Yesus hanya sekadar sapaan budaya, atau apakah salam itu memiliki makna yang lebih dalam?

Untuk memahami hal ini, pertama-tama kita harus menyelidiki makna alkitabiah dari kata “shalom”. Shalom adalah salah satu kata yang paling umum dalam Alkitab, muncul sebanyak 237 kali dalam Perjanjian Lama. “Shalom” sering kali diterjemahkan sebagai “damai”. Namun, kata ini memiliki arti yang lebih luas: kesejahteraan yang total dari seseorang, yang berakar pada hubungan yang benar dengan diri sendiri, sesama, dan Tuhan.

Ketika Kristus yang telah bangkit menampakkan diri kepada para murid, mereka dicengkeram oleh rasa takut akan “orang-orang Yahudi”. Menariknya, “orang Yahudi” ini dapat merujuk pada tiga hal: penguasa bangsa Yahudi, Yesus sendiri, karena dia seorang Yahudi, dan bahkan para murid sendiri karena mereka juga adalah orang Yahudi. Mereka takut kepada para penatua bangsa Yahudi yang telah membunuh Yesus, karena mereka tahu bahwa mereka bisa saja menjadi korban berikutnya. Mereka takut kepada Yesus, mengingat kegagalan mereka sebagai murid: pengkhianatan Yudas, penyangkalan Petrus, dan mereka yang lari dan bersembunyi. Akankah Dia sekarang menghukum mereka? Dan mereka takut akan diri mereka sendiri: mereka merasa tidak layak dan tidak mampu menjadi murid; mereka tidak layak menerima kerahiman dan pengampunan Yesus; mereka hancur karena dosa. Mereka takut akan hidup dan masa depan mereka sendiri.

Namun, kata-kata Yesus menembus rasa takut mereka: “Damai bagi kamu.” Ini bukanlah sapaan biasa. Ini adalah sebuah berkat dan peneguhan ilahi. Mereka tidak perlu takut kepada penguasa, karena jika mereka tidak dapat menghentikan Yesus, mereka tidak dapat menghentikan para pengikut-Nya. Mereka tidak perlu takut kepada Yesus, karena Ia datang bukan untuk menghukum, melainkan untuk berbelas kasihan dan mengampuni kelemahan mereka. Ketika Ia mengulangi, “Damai sejahtera bagi kamu,” dan menambahkan, “Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikianlah Aku mengutus kamu,” Ia menegaskan panggilan mereka terlepas dari kekurangan mereka. Yesus meyakinkan mereka sekali lagi bahwa meskipun mereka tidak layak, mereka tetap terpilih, dan meskipun mereka lemah dan gagal, rahmat Allah cukup untuk menyempurnakan apa yang kurang dari mereka. 

Damai yang sejati hanya mengalir dari Kristus yang telah bangkit, sebuah rahmat yang mendamaikan kita dengan Allah, menyembuhkan hubungan kita, dan menghapus rasa takut di dalam diri kita.  Kita tahu bahwa kita adalah orang berdosa, namun kita telah ditebus sehingga kita berada dalam damai dengan Allah. Kita tahu bahwa kita sering kali memiliki hubungan yang sulit dengan sesama, tetapi kita diundang untuk memohon belas kasihan dan berbelas kasihan kepada sesama. Kita sadar bahwa kita lemah dan tidak mampu untuk mengasihi Allah dan sesama, tetapi rahmat Allah cukup untuk melengkapi apa yang kurang dari diri kita.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:

Apakah ada damai dalam hidup kita? Apa yang kita takuti? Apakah kita memiliki kedamaian dengan Allah? Apakah kita memiliki kedamaian dengan sesama kita? Apakah kita memiliki damai dengan diri kita sendiri? Hal-hal apa saja yang membuat kita gagal mencapai shalom?

`

Cross and the Tree of Life

Easter Sunday [C]

April 20, 2025

John 20:1-9

Some Church Fathers, like St. Ephrem the Syrian, St. Ambrose, and St. John Chrysostom, saw Jesus’ Cross as the new Tree of Life. The Tree of Life first appears in Genesis 2:9, where God planted it in the center of Eden alongside the Tree of the Knowledge of Good and Evil. Though Scripture doesn’t elaborate, the Tree of Life’s central placement hints at its profound significance. Just as eating from the forbidden tree brought death, partaking of the Tree of Life would have granted eternal communion with God.

Adam, Eve, and their descendants could have lived forever with God—if only they had chosen the Tree of Life over the Tree of Knowledge. Tragically, they chose disobedience, bringing death upon themselves and all humanity. Banished from Eden, they were cut off from the Tree of Life, guarded by cherubim (Genesis 3:24). Without it, humanity was doomed to perish.

Yet we are not without hope. God so loved the world that He gave His only Son (John 3:16), and Jesus, in turn, loved us “to the end” (John 13:1), laying down His life so we may “have life abundantly” (John 10:10). For Jesus, the Cross was not an inescapable fate but a free choice of love. Though crucifixion was a brutal, shameful death, Christ transformed the Cursed Tree into the Blessed Tree of Life. He teaches us that by embracing our own crosses—and uniting them to His—we find true life and resurrection.

The cross is a reality in our lives that brings us sufferings. The cross manifests in two ways. Type-One Crosses is unavoidable suffering.  These are trials we don’t choose: betrayal, illness, financial struggles, or injustice. In these moments, we ask God for grace to endure, offering our pain in union with Christ’s Cross so it may bear spiritual fruit.

Type-Two Crosses is suffering born of love. These arise from commitment and sacrifice. Good example will a dedicated mother who commits to love her young baby. In the process, she is going to lose her time, energy, and other resources. Raising and protecting little child is both physically and mentally exhausted. She also forfeits her opportunity to live more freely, to earn more money or to enjoy life more. Outwardly, she is carrying her cross, but deep inside, she is fully alive and discovering a deeper meaning in her life, then just the world can offer. Her cross becomes the tree of life for her child. That’s the true resurrection.

Happy Easter!

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Guide questions:

What are our Type-One crosses? How do we face them? What are our Type-Two crosses? How do they bring life to others? Do our crosses—borne with love—become a Tree of Life for those around us?

Salib dan Pohon Kehidupan

Minggu Paskah [C]

20 April 2025

Yohanes 20:1-9

Beberapa Bapa Gereja, seperti Santo Efremus dari Siria, Santo Ambrosius, dan Santo Yohanes Krisostomus, melihat Salib Yesus sebagai Pohon Kehidupan yang baru. Pohon Kehidupan pertama kali muncul dalam Kejadian 2:9, di mana Allah menanamnya di tengah-tengah Taman Eden di samping Pohon Pengetahuan tentang yang Baik dan yang Jahat. Meskipun Alkitab tidak menjelaskan lebih lanjut, penempatan Pohon Kehidupan di tengah-tengah mengisyaratkan maknanya yang mendalam. Sama seperti memakan buah dari pohon terlarang akan membawa kematian, menyantap buah dari Pohon Kehidupan akan memberikan hidup kekal dan persekutuan dengan Tuhan.

Adam, Hawa, dan keturunan mereka dapat hidup selamanya bersama Allah, jika saja mereka memilih Pohon Kehidupan daripada Pohon Pengetahuan. Tragisnya, mereka memilih ketidaktaatan, sehingga membawa kematian atas diri mereka sendiri dan seluruh umat manusia. Diusir dari Eden, mereka terpisah dari Pohon Kehidupan yang dijaga oleh malaikat kerubim (Kej 3:24). Tanpa pohon itu, umat manusia berjalan menuju binasa.

Namun, kita bukannya tanpa pengharapan. Allah begitu mengasihi dunia ini sehingga Dia memberikan Putra-Nya yang tunggal (Yoh 3:16), dan Yesus, pada gilirannya, mengasihi kita “sampai pada kesudahannya” (Yoh 13:1), menyerahkan hidup-Nya agar kita “mempunyai hidup dalam segala kelimpahan” (Yoh 10:10). Bagi Yesus, Salib bukanlah sebuah takdir yang tak terhindarkan, melainkan sebuah pilihan bebas untuk mengasihi. Meskipun penyaliban adalah kematian yang brutal dan memalukan, Kristus mengubah Pohon Terkutuk ini menjadi Pohon Kehidupan yang kudus. Dia mengajarkan kepada kita bahwa dengan memeluk salib kita sendiri, dan juga menyatukannya dengan salib-Nya, kita akan menemukan kehidupan yang penuh dan kebangkitan yang sejati.

Salib sejatinya adalah sebuah kenyataan dalam hidup kita yang membawa penderitaan. Salib terwujud dalam dua bentuk. Salib jenis pertama adalah penderitaan yang tidak dapat dihindari. Ini adalah cobaan yang tidak kita pilih: pengkhianatan, penyakit, pergumulan keuangan, atau ketidakadilan. Pada saat-saat seperti ini, kita memohon rahmat kepada Tuhan untuk bertahan, mempersembahkan penderitaan kita dalam persatuan dengan Salib Kristus sehingga dapat menghasilkan buah-buah rohani.

Jenis Salib yang kedua adalah penderitaan yang lahir dari kasih. Ini muncul dari komitmen dan pengorbanan kita. Contoh yang baik adalah seorang ibu yang berkomitmen untuk mengasihi bayinya yang masih kecil. Dalam prosesnya, ia akan kehilangan waktu, tenaga, dan sumber daya lainnya. Membesarkan dan melindungi anak kecilnya secara fisik dan mental sangat melelahkan. Ia juga kehilangan kesempatan untuk hidup lebih bebas, mendapatkan lebih banyak uang, atau lebih menikmati hidup. Secara lahiriah, ia memikul salibnya, tetapi jauh di dalam dirinya, ia tahu bahwa ia hidup berkelimpahan dan menemukan makna yang lebih dalam di hidupnya, lebih dari yang dapat ditawarkan oleh dunia. Salibnya menjadi pohon kehidupan bagi anaknya. Itulah kebangkitan yang sejati.

Selamat Paskah!

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Pertanyaan panduan:

Apa saja salib-salib jenis pertama kita? Bagaimana kita menghadapinya? Apa saja salib jenis kedua kita? Bagaimanakah salib-salib itu membawa kehidupan bagi orang lain? Apakah salib kita, yang dipikul dengan kasih, menjadi Pohon Kehidupan bagi orang-orang di sekitar kita?

Pengudusan

Minggu Paskah ke-7 [B]

12 Mei 2024

Yohanes 17:11-19

Dalam Injil hari ini, Yesus memanjatkan doa kepada Bapa untuk kesatuan dan kekudusan murid-murid-Nya. Secara khusus, Ia meminta Bapa untuk ‘menguduskan mereka dalam kebenaran’ karena ‘firman Allah adalah kebenaran.’ (Yohanes 17:17) Namun, apakah yang dimaksud dengan kata ‘menguduskan’ di sini?

Kata yang digunakan oleh Yesus adalah ‘ἁγιάζω’ (hagiazoo), yang berarti menjadikan kudus. Dalam Alkitab, menjadi kudus berarti dipisahkan dari hal-hal lain dan untuk tujuan tertentu. Dalam Perjanjian Lama, Israel adalah bangsa yang kudus. Mereka telah dipilih, dikhususkan, dan dikuduskan melalui perjanjian di Gunung Sinai (lihat Keluaran 20). Mereka hanya milik Allah dan harus dipisahkan dari ilah-ilah dan berhala-berhala lain. Tuhan juga memberikan hukum-hukum untuk memastikan bahwa orang Israel hidup sesuai dengan identitas baru mereka dan menghindari penodaan terhadap ilah-ilah lain. Mereka juga diminta untuk menghindari kontak yang tidak perlu dengan bangsa-bangsa lain dan tidak meniru praktik-praktik hidup mereka, terutama penyembahan berhala, praktik takhayul, dan perilaku tidak bermoral. Jika mereka setia, mereka akan diberkati dan menjadi berkat. Namun, terkadang mereka gagal dan jatuh dalam penyembahan berhala, sehingga menajiskan diri mereka sendiri (lihat Kel. 32). Dengan kenajisan itu, mereka tidak layak di hadapan Allah dan mengundang segala macam bencana dalam hidup mereka.

Sebagai murid Kristus, kita dikuduskan bagi Tuhan ketika kita dibaptis. Melalui air sakramen pembaptisan dan formula Tritunggal yang diucapkan oleh imam, kita menjadi milik Allah semata, dan kita dipisahkan dari hal-hal dan tindakan yang menjauhkan kita dari Allah. Seperti bangsa Israel kuno yang hidup menurut Hukum Allah, kita juga diharapkan untuk hidup menurut Hukum Yesus Kristus yang Dia wariskan kepada Gereja-Nya. Jika kita setia, kita akan diberkati dan menjadi berkat bagi banyak orang. Namun, pada saat kita mendekatkan diri dengan penyembahan berhala dan berbagai praktik takhayul serta terlibat dalam perilaku amoral, kita menajiskan diri kita sendiri dalam dosa. Dengan kenajisan, kita tidak layak di hadapan Allah dan menarik segala macam kejahatan dalam hidup kita.

Namun, baptisan bukanlah satu-satunya bentuk pengudusan yang kita miliki. Salah satu pengudusan yang sering luput dari perhatian kita adalah pernikahan. Pernikahan itu unik karena kedua pasangan berjanji dengan kata-kata kebenaran untuk memberikan diri mereka secara total dan eksklusif kepada satu sama lain. Suami adalah milik istri sepenuhnya, dan istri adalah milik suami sepenuhnya. Dengan kata lain, pasangan suami-istri menguduskan diri mereka satu sama lain. Dalam pernikahan Katolik, pengudusan ini bersifat permanen karena dilakukan di hadapan Tuhan dan disahkan oleh Tuhan. Tidak heran jika pernikahan ini juga disebut sebagai pernikahan kudus. Jika pasangan setia pada pengudusan mereka, mereka sungguh menjadi kudus, dan hanya dalam kekudusanlah mereka dapat menerima kebahagiaan sejati. Namun, jika tidak setia, pasangan suami istri menajiskan diri mereka sendiri. Dengan kenajisan, mereka menjadi tidak layak bagi pasangannya dan membuka diri mereka terhadap segala macam hal yang buruk.

Pengudusan diri adalah jalan hidup kita sebagai murid Yesus. Setia pada pengudusan adalah kunci kebahagiaan sejati.

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

True Happiness and Where to Find It

6th Sunday of Easter [B]
May 5, 2024
John 15:9-17

Happiness is a result of fulfilling our needs and desires. Since human beings have different needs, we also experience various kinds of happiness. We feel happy when we satisfy our hunger and complete our studies, but we also recognize that these are two distinct forms of happiness. Some types of happiness are emotionally intense but short-lived. Others do not give us thrills but are profound and lasting. Then, what kind of happiness do we need to set our eyes on?

To understand human needs, desires, and happiness, we need to understand who we are as a human person. We are beings with biological needs, and fulfilling these needs guarantees our survival. That is why things like good food, nice clothes and a proper house give us immediate pleasure. Part of our biological needs is the need to reproduce. Since this need relates to our basic survival as a species, nature has designed us to experience the most intense pleasure, but it also tends to be short-lived.

Yet, we are also beings with psychological needs. We look for emotional comfort, affirmation, and support. We do not only seek things to satisfy us but also other people who love us and to whom we express our emotions. The fulfilment of psychological needs yields more profound happiness and helps to counter various mental problems and disorders.

More than that, we are also beings with intellect and will. We also have a need to seek the truth and express our freedom and creativity. However, unlike other needs, this intellectual need requires us to spend a lot of effort and time, and often, it does not give us immediate, intense, emotionally charged pleasures. Yet, we know that though a good education is challenging and demands a lot of resources, its completion brings us profound satisfaction. Through education, we have grown, acquired skills and knowledge, and become better persons.

However, the Gospel teaches us that we are not only beings with biological, psychological, and intellectual needs. We are created not only for this earth. As the image of God, we are designed to go beyond this earthly life. The fathers of the Church speak of the human person as ‘capax Dei,’ that is ‘capable of God.’ Men and women are created for God. Then, how do we fulfil this spiritual need?

If we notice the dynamics between needs and happiness, we discover that the higher the needs, the more profound and lasting happiness we receive. Yet, the high-level needs require a higher level of effort. Consequently, to fulfil our need for God, we must be ready to give the most extraordinary effort, offering ourselves. More concretely, Jesus teaches us the way of true love, and the greatest love is to offer our lives to the persons we love. This is the paradox of true happiness. While other types of happiness are related to fulfilling needs for ourselves (we are the center), spiritual joy is moving away from ourselves. The more we are losing ourselves in love, the more we are open to God, the more we experience heavenly joy here on earth.

Rome
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Kebahagiaan Sejati dan Di Mana Menemukannya

Minggu ke-6 Paskah [B]
5 Mei 2024
Yohanes 15:9-17

Manusia ingin bahagia, dan kebahagiaan sendiri datang dari terpenuhinya kebutuhan dan keinginan kita. Karena manusia adalah makhluk yang memiliki berbagai jenis kebutuhan, maka manusia juga mengalami berbagai jenis kebahagiaan. Sebagai contoh, kita merasa senang saat kita kenyang, dan kita juga merasa senang saat kita lulus sekolah, namun kita menyadari bahwa ini adalah dua bentuk kebahagiaan yang berbeda. Yang pertama bahagianya terasa intens tapi singkat, sementara yang kedua, tidak intens tapi mendalam. Lalu, kebahagiaan seperti apa yang perlu kita cari?

Untuk memahami kebahagiaan manusia, kita perlu memahami bahwa kita, manusia, adalah makhluk yang memiliki banyak jenis kebutuhan. Ada kebutuhan biologis, psikologis, dan intelektual. Kebutuhan biologis seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal, dan jika terpenuhi, akan menjamin kelangsungan hidup kita. Inilah sebabnya hal-hal ini memberi kita kesenangan secara cepat dan intens. Karena jika tidak memberikan rasa bahagia yang cepat, maka manusia akan menunda untuk mencari makan, dan terlalu lalu lama menunda maka kita akan mati.

Selain kebutuhan biologis, kita juga memiliki kebutuhan psikologis. Kita mencari kenyamanan, afirmasi, dan dukungan emosional. Kita membutuhkan orang-orang yang menyayangi kita dan juga kita butuh untuk mengekspresikan emosi kita dengan baik. Pemenuhan kebutuhan psikologis menghasilkan kebahagiaan yang lebih mendalam dan membantu mengatasi berbagai masalah dan gangguan mental.

Lebih dari itu, kita juga adalah makhluk yang memiliki akal budi dan kehendak bebas. Akal budi membuat kita mencari kebenaran, sementara kehendak bebas mendorong kita untuk mengekspresikan kebebasan dan kreativitas kita. Namun, tidak seperti kebutuhan lainnya, kebutuhan intelektual ini menuntut kita untuk mengeluarkan banyak usaha dan waktu, dan sering kali tidak memberikan kita kesenangan yang cepat dan intens. Contohnya, menyelesaikan pendidikan yang baik menuntut banyak waktu dan tenaga. Namun, saat kita bisa menyelesaikan pendidikan, kita akan mengalami kepuasan yang jauh lebih mendalam dari sekedar makan kenyang. Karena kita tahu bahwa, melalui pendidikan, kita telah bertumbuh, memperoleh keterampilan dan pengetahuan, dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Namun, Injil mengajarkan bahwa kita bukan hanya makhluk yang memiliki kebutuhan biologis, psikologis, dan intelektual. Kita diciptakan tidak hanya untuk dunia ini. Sebagai citra Allah, kita dirancang untuk melampaui kehidupan duniawi ini. Para Bapa Gereja berbicara tentang pribadi manusia sebagai ‘capax Dei’, yang berarti ‘mampu untuk (hidup bersama) Allah.’ Dengan kata lain, pria dan wanita diciptakan untuk hidup bersama Tuhan. Lalu, bagaimana kita memenuhi kebutuhan rohani ini?

Jika kita memperhatikan dinamika antara kebutuhan dan kebahagiaan, kita akan menemukan bahwa semakin tinggi jenis kebutuhan yang kita penuhi (seperti kebutuhan intelektual), semakin dalam kebahagiaan yang kita terima. Namun, jenis kebutuhan yang tinggi membutuhkan usaha yang lebih tinggi pula. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan kita akan Tuhan (kebutuhan yang paling tinggi), kita harus siap untuk memberikan usaha yang paling luar biasa, yakni mempersembahkan diri kita sendiri. Bagaimana caranya?

Yesus mengajarkan bahwa kasih yang paling besar adalah mempersembahkan hidup kita kepada orang yang kita kasihi. Inilah paradoks dari kebahagiaan sejati. Sementara jenis kebahagiaan lainnya terkait dengan pemenuhan kebutuhan untuk diri kita sendiri (kita adalah pusatnya), sukacita rohani bergerak berlawan arah, yakni pengosongan diri. Semakin kita kehilangan diri kita sendiri dalam kasih, semakin kita terbuka kepada Tuhan, semakin kita mengalami sukacita surgawi di dunia ini.

Roma
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

God’s Word Prunes Us

5th Sunday of Easter [B]

April 28, 2024

John 15:1-8

Jesus is the vine, and we are His branches. He then declares that unfruitful branches will be cut, and healthy ones shall be ‘pruned.’ In fact, Jesus says, “You are already pruned because of the word that I spoke to you (John 15:3).” What does it mean? How does His word prune us? What is Jesus’ purpose?

If we have the opportunity to visit a vineyard, we will see how the vinedressers work. Among the things that they do is to cut the unhealthy and dead branches and prune the healthy ones. Pruning itself may include removing dead or unhealthy parts of the plant so that the vine may supply its nutrients to healthy branches. But also, the vinedressers would trim and slim down some overgrown branches since these branches typically don’t yield good grapes and suck up nutrients from their neighbour branches. All are done for one purpose: to produce a good quality grape.

Then, how does Jesus’ word prune us, the branches? Firstly, we recognize that we are creatures of language. The language we listen to and learn form who we are. Children who used to hear violent words tend to grow to be violent persons. Children who are fed with discouraging words tend to have low self-esteem. Yet, children who are never told words of proper corrections and discipline may become weak characters who always blame others. Children need to hear both encouraging and loving words as well as words of constructive corrections. Good words will make them grow confident, and proper discipline will make them avoid failures and dangers in the future.

It is the same with the Word of God. Listening to God’s word in the Bible, we discover many affirming words and heart-warming stories. Yet, the same Bible contains words, instructions, and stories that are strong and even demanding. The Gospel has lovely stories like those of Jesus, who blessed children and embraced sinners. Yet, the same Bible narrates Jesus, who said, “repent from our sins and believe in the Gospel.” Jesus, who opens the heavens for all of us, is also the same Jesus who teaches the reality of hell.   

Listening to the holy Scriptures every Sunday in the Eucharist, or even every day in our personal reading, allows God’s word to prune us. If we also do our parts to meditate on the words and internalize them, we are growing in holiness. In times of trials, God’s words strengthen us to hope. When in doubt, God’s words give clarity of faith. When we do wrong, God’s words correct us and invite us to repentance. When in fear, God’s words encourage us to love more and do good works. This is spiritual fruitfulness.

Another exciting thing also is that John used the word ‘καθαίρω’ (kathairo, I clean). This word can mean the act of pruning in the context of a vineyard, but the same word is used to describe Jesus’ act in healing the leper (see Mark 1:40-41). God’s words do not only prune our characters but also directly heal and purify our souls. The Church teaches us that we receive indulgences when we read the Bible for at least 30 minutes in a prayerful way. Have you read God’s words today?

Rome

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Sabda Tuhan Membentuk Kita

Minggu ke-5 Paskah [B]

28 April 2024

Yohanes 15:1-8

Yesus adalah pokok anggur, dan kita adalah ranting-ranting-Nya. Dia kemudian menyatakan bahwa ranting yang tidak berbuah akan dipotong, dan ranting yang sehat akan ‘dibersihkan’. Bahkan, Yesus berkata, “Kamu telah dibersihkan karena firman yang telah Kukatakan kepadamu (Yohanes 15:3).” Apa artinya? Bagaimana firman-Nya ‘membersihkan’ kita?

Jika kita berkesempatan untuk mengunjungi kebun anggur, kita akan melihat bagaimana para petani anggur bekerja. Di antara hal-hal yang mereka lakukan untuk ‘membersihkan’ pohon anggur adalah dengan memotong ranting-ranting yang tidak sehat dan mati serta memangkas ranting-ranting yang sehat. ‘Pembersihan’ itu sendiri dilakukan agar pokok anggur dapat memasok nutrisinya ke cabang dan ranting yang sehat. Tetapi juga, para tukang kebun anggur akan memangkas dan merampingkan beberapa ranting yang tumbuh terlalu besar karena ranting ini biasanya tidak menghasilkan buah anggur yang baik dan menyedot nutrisi dari ranting-ranting di sekitarnya. Semua itu dilakukan untuk satu tujuan: menghasilkan anggur berkualitas baik.

Lalu, bagaimana firman Yesus memangkas ranting-ranting kita? Pertama, kita menyadari bahwa kita adalah makhluk yang menggunakan bahasa. Bahasa yang kita dengarkan dan pelajari membentuk diri kita. Anak-anak yang terbiasa mendengar kata-kata kasar cenderung bertumbuh menjadi pribadi yang kasar. Anak-anak yang terus diberi kata-kata celaan cenderung memiliki self-esteem yang rendah. Namun, anak-anak yang tidak pernah diberitahu kata-kata koreksi dan disiplin yang tepat akan menjadi karakter yang lemah dan selalu menyalahkan orang lain. Anak-anak perlu mendengar kata-kata yang membesarkan hati dan penuh kasih dan juga kata-kata koreksi yang membangun. Kata-kata yang baik akan membuat mereka tumbuh percaya diri, dan disiplin yang tepat akan membuat mereka terhindar dari kegagalan dan bahaya di masa depan.

Demikian pula halnya dengan Firman Tuhan. Mendengarkan firman Tuhan dalam Alkitab, kita menemukan banyak kata-kata yang meneguhkan dan kisah-kisah yang menghangatkan hati. Namun, Alkitab yang sama juga berisi kata-kata, instruksi, dan kisah-kisah yang kuat dan bahkan menuntut. Injil memiliki kisah-kisah yang indah seperti kisah Yesus, yang memberkati anak-anak dan merangkul orang-orang berdosa. Namun, Alkitab yang sama juga menceritakan tentang Yesus yang berkata, “bertobatlah dari dosa-dosamu dan percayalah kepada Injil.” Yesus, yang membuka surga bagi kita semua, juga merupakan Yesus yang sama yang mengajarkan realitas neraka.  

Mendengarkan Kitab Suci setiap hari Minggu dalam Ekaristi, atau bahkan setiap hari dalam bacaan pribadi kita, memungkinkan firman Tuhan untuk membentuk kita. Jika kita juga melakukan bagian kita untuk merenungkan firman dan menghayatinya, kita bertumbuh dalam kekudusan. Pada saat pencobaan, firman Tuhan menguatkan kita untuk berharap. Saat ragu, firman Tuhan memberikan kejelasan iman. Ketika kita melakukan kesalahan, firman Tuhan mengoreksi kita dan mengundang kita untuk bertobat. Ketika dalam ketakutan, firman Tuhan mendorong kita untuk lebih mengasihi dan melakukan perbuatan baik. Inilah panen anggur rohani.

Hal lain yang menarik adalah Yohanes menggunakan kata ‘καθαίρω’ (kathairo, aku membersihkan). Kata ini dapat berarti tindakan pemangkasan dalam konteks kebun anggur, tetapi kata yang sama juga digunakan untuk menggambarkan tindakan Yesus menyembuhkan orang kusta (lihat Markus 1:40-41). Firman Tuhan tidak hanya membentuk karakter kita, tetapi juga secara langsung menyembuhkan dan memurnikan jiwa kita. Gereja mengajarkan bahwa kita menerima indulgensi ketika kita membaca Alkitab dalam kondisi doa dan setidaknya selama 30 menit. Sudahkah kita membaca firman Tuhan hari ini?

Roma

Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP