The Blood and Life

Solemnity of the Body and Blood of Christ. May 29, 2016. [Luke 9:11-17]

“His cup is the new covenant in my blood. Do this, as often as you drink it, in remembrance of me (1 Cor 11:25).”

chalice n hostOne of my personal ministries is to be a blood donor. If ever someone needs a blood transfusion, I do my best to donate my blood and if possible, visit the ailing person. In biology, we learn that blood is a crucial element of our body that transports nutrition and oxygen to various body parts and also fight the harmful elements inside our body. Thus, losing too much blood will bring us to critical condition even death. No wonder that blood is closely associated with life and I hope that a little blood I share, may save lives.

In time of Jesus, the understanding on blood is not actually far different from our contemporary time. The ancient Jews considered blood as the source of life, if not life itself. Perhaps, they were able to observe that many living things have blood running in their veins and if they were losing so much blood, it means a certain death. Since every living being comes from God, then blood, as the source of life, must be sacred and belong to God (cf. Deu 12:23). Therefore, shading a person’s blood is forbidden (Gen 9:6). Drinking blood of animal is also not allowed (Lev 7:27). But, the sacredness of blood is profoundly manifested at the Jewish rituals.

Blood of an animal is important element of the sacrificial rituals in the Temple of Jerusalem. After the blood is separated from the body, it is poured out around the altar and being burned together with the flesh (cf. Lev 1). The burn sacrifice mainly serves two purposes: as thanksgiving and atonement for sin. Since blood and body are symbols of life and totality of a living creature, the best way to give thanks and atone for one’s mistake is to offer this life totally to God. The Israelites offered their best to God through the mediation of a sacrificial animal.

Unfortunately, blood of animal and even our blood is far from perfect. Thus, perfect thanksgiving and forgiveness is not possible. Yet, we are not hopeless since God provides an answer. He sent His only Son, Jesus Christ, and Jesus offered Himself as the sacrifice of the cross. He is the most pleasing thanksgiving and the perfect atonement for our sins. In his treatise of Corpus Christi, St. Thomas Aquinas wrote, “He offered His body to God the Father on the altar of the cross, as a sacrifice for our reconciliation. He shed His blood for our ransom and purification…” My blood may help saving a person who needs a transfusion, but Jesus’ blood saves the entire creations.

As we drink His blood and eat His body in the Eucharist, our lives are caught in this beautiful offering and sacrifice of Christ. Now, in Christ, our lives are also offerings to God. Every sacrifice we make for God and for the good of others, however small it may be, will be pleasing to God and contribute in the salvation of the world. Our simple prayer may have a great impact for souls in purgatory. Our little contribution in Church may help greatly the parish priest and the poor. Even our daily waking up and works at the office may seem to be monotonous and fruitless, but they may help in building a just society. Our blood, our life is not perfect, but in Christ, it becomes precious. As a psalmist once sang, “From extortion and violence he frees them, for precious is their blood in his sight (Ps 72:14).

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Darah dan Hidup

Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus. May 29, 2016 [Lukas 9: 11-17]

“Cawan ini adalah perjanjian baru yang dimeteraikan oleh darah-Ku; perbuatlah ini, setiap kali kamu meminumnya, menjadi peringatan akan Aku! (1 Kor 11:25).”

chalice ihsSalah satu pelayanan pribadi saya adalah menjadi donor darah. Jika ada seseorang yang membutuhkan transfusi darah, saya berusaha untuk donorkan darah saya dan jika mungkin, mengunjungi orang sakit tersebut. Dalam biologi, kita belajar bahwa darah merupakan elemen penting dari tubuh kita yang membawa nutrisi dan oksigen ke berbagai bagian tubuh dan juga melawan elemen-elemen berbahaya di dalam tubuh kita. Dengan demikian, kehilangan terlalu banyak darah akan membawa kita ke kondisi kritis bahkan kematian. Tidak heran jika darah berterkaitan erat dengan kehidupan, dan saya berharap bahwa sedikit darah yang saya donorkan, bisa menyelamatkan orang lain.

Pada zaman Yesus, pemahaman tentang darah sebenarnya tidak jauh berbeda dengan masa kontemporer. Orang-orang Yahudi kuno menganggap darah sebagai sumber kehidupan, bahkan sebagai kehidupan itu sendiri. Mungkin, mereka mampu mengamati bahwa banyak makhluk hidup memiliki darah, dan jika mereka kehilangan begitu banyak darah, itu berarti kematian. Karena setiap makhluk hidup berasal dari Tuhan, maka darah, sebagai sumber kehidupan, tentulah kudus dan menjadi milik Allah (lih. Ul 12:23). Oleh karena itu, menumpahkan darah seseorang adalah terlarang (Kej 9: 6). Meminum darah binatang juga tidak diperbolehkan (Im 7:27). Tapi, kekudusan darah terwujud secara mendalam pada ritual keagamaan bangsa Yahudi.

Darah binatang adalah elemen penting dari ritual pengorbanan di Kuil Yerusalem. Setelah darah dipisahkan dari tubuh, darah dicurahkan di sekitar altar dan dibakar bersama-sama dengan daging (lih. Im 1). Korban bakaran memiliki dua tujuan: sebagai ucapan syukur dan penebusan dosa. Karena darah dan tubuh menjadi simbol kehidupan, cara terbaik untuk bersyukur dan menebus kesalahan adalah dengan mempersembahkan kehidupan ini secara total kepada Allah. Israel mempersembahkan yang terbaik untuk Allah melalui perantaraan hewan kurban.

Sayangnya, darah binatang dan bahkan darah kita jauh dari sempurna. Dengan demikian, syukur dan pengampunan yang sempurna tidak mungkin tercapai. Namun, kita tidak putus asa karena Tuhan memberikan solusi. Dia mengikirim Putra tunggal-Nya, Yesus Kristus, dan Yesus mempersembahkan diri-Nya sebagai kurban di salib. Dia adalah rasa syukur yang paling baik dan penebusan yang sempurna untuk dosa-dosa kita. Di tulisannya tentang Corpus Christi, St. Thomas Aquinas menulis, “Dia mempersembahkan tubuh-Nya kepada Allah Bapa di atas altar salib, sebagai korban untuk rekonsiliasi kita. Ia mencurahkan darah-Nya bagi tebusan dan pemurnian kita …Darah saya mungkin bisa membantu menyelamatkan orang yang membutuhkan transfusi, tapi hanya darah Yesus yang dapat menyelamatkan seluruh dunia.

Saat kita meminum darah-Nya dan makan tubuh-Nya dalam Ekaristi, hidup kita terjaring dalam persembahan dan pengorbanan Kristus yang indah. Sekarang, di dalam Kristus, hidup kita menjadi persembahan kepada Tuhan. Setiap pengorbanan, besar atau sederhana, yang kita membuat untuk Allah dan untuk kebaikan sesama, akan menyenangkan Tuhan dan berkontribusi dalam keselamatan dunia. Doa sederhana kita mungkin memiliki dampak yang besar bagi jiwa-jiwa di api penyucian. Kontribusi kecil kita di Gereja dapat sangat membantu pastor paroki dan papa miskin. Bahkan usaha kita untuk bangun dan bekerja di kantor setiap harinya mungkin terasa monoton dan sia-sia, tetapi ini dapat membantu dalam membangun masyarakat yang adil. Darah kita, hidup kita tidaklah sempurna, tapi dalam Kristus, menjadi berharga. Sebagai pemazmur bernyanyi, Ia akan menebus nyawa mereka dari penindasan dan kekerasan, darah mereka berharga di matanya (Mzm 72:14).

 Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Making Our Heavenly Daddy Proud

The Feast of the Baptism of the Lord. January 10, 2016 [Luke 3:15-16, 21-22]

“You are my beloved Son; with you I am well pleased (Luk 2:22).”

Why do we need to be baptized? There are two simple and obvious biblical reasons. The first point is that Jesus Himself chose to be baptized and second one is that before He ascended into heaven, He commanded baptism as the requirement of salvation (see Mark 16:16). Let us focus on the first one.

Some theological discussions have arisen due to this baptism of Jesus. Why did Jesus want to receive John’s baptism that signified the repentance of sins? Was Jesus a sinner who needed repentance? Surely no! Was John superior and more powerful than Jesus? Certainly not! Jesus is sinless and thus, baptism of John is inconsequential in this respect. So, why did Jesus insist to be plunged into water?

One possible reason is that Jesus wished to present to us the most significant effects of baptism. In today’s Gospel, we see that after Jesus came up from the Jordan River, the Holy Spirit immediately descended upon Him. If we follow also Jesus in baptism, we are assured that the Holy Spirit will also come upon us and grant His many gifts and blessings. The Holy Spirit particularly renders the salvific merit of Jesus’ death and resurrection to be efficacious in us. Thus, we are cleansed from sins, both original and actual.

After the descent of the Holy Spirit, Jesus heard the voice coming from heaven, “You are my beloved Son; with you I am well pleased.” This is the second effect of baptism: we are reborn to be the children of God. Like Jesus was proclaimed to be the Son of God, we share also in this glory. When the priest pours water upon our forehead or immerse us into water, all the angels in heaven rejoice exultantly because God embraces His newly born babies. Like an earthly father is exuberant to receive the good news of his newborn child, so too our heavenly Father is well pleased with us.

At birth, we were created in the image of God, and in baptism, we are re-created specifically in the image of the Son of God, Jesus Christ. As Christians, we have the supreme privilege to be called the children of God. And as the same sons and daughters of God, we gather into one community, one family with Christ as the head who is the firstborn. The community of the children of God is what we call the Church. In baptism, we receive a immediately bonus: Church’s membership.

Now, we can see the divine privileges being offered to us in baptism for free. Yet, grace is indeed free, but it is never cheap. If we read closely, after Jesus was baptized, the first thing He did was to pray. All the unique benefits of baptism only bear fruit in our lives if we persevere in faith and prayer. Nobody will believe us as the children of God, if we never pray and communicate with our Father in heaven. Everyone will jeer at us if we claim to be Christians, but we are never actively involved in the Church. Many will raise their eyebrows if we don’t know how to love and serve each other.

In the Feast of the Baptism of the Lord, Jesus calls us once again to be renew our commitment as the children of God and even go deeper into the life of prayer and faith. God the Father is well-pleased with us and now this our turn to make our heavenly Daddy proud.

 

Br. Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP

Membuat Ayah Surgawi kita Bangga

Pesta Pembaptisan Tuhan. 10 Januari 2016 [Lukas 3:15-16, 21-22]

“Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi, kepada-Mulah Aku berkenan (Luk 2:22).”

Mengapa kita perlu dibaptis? Setidaknya ada dua alasan alkitabiah sederhana. Poin pertama adalah bahwa Yesus sendiri memilih untuk dibaptis dan yang kedua adalah bahwa sebelum Ia naik ke surga, Ia memaklumatkan bahwa pembaptisan sebagai secara keselamatan (lih. Markus 16:16). Mari kita fokus pada yang alasan yang pertama.

Beberapa pertanyaan teologis muncul tentang pembaptisan Yesus ini. Mengapa Yesus ingin menerima pembaptisan Yohanes yang menandakan pertobatan dosa? Apakah Yesus orang berdosa yang membutuhkan pertobatan? Tentunya tidak! Apakah Yohanes lebih unggul dan lebih kuat daripada Yesus? Tentu tidak! Yesus tidak berdosa dan dengan demikian, pembaptisan Yohanes adalah tidak relevan dalam hal ini. Jadi, mengapa Yesus bersikeras untuk dipermandikan?

Salah satu alasannya adalah bahwa Yesus ingin menunjukan bagi kita efek-efek paling signifikan dari pembaptisan kita. Dalam Injil hari ini, kita membaca bahwa setelah Yesus dibaptis di Sungai Yordan, Roh Kudus segera turun ke atas-Nya. Jika kita mengikuti Yesus juga dalam pembaptisan, kita yakin bahwa Roh Kudus juga akan turun atas kita dan memberikan banyak karunia dan berkat-Nya. Secara khusus, Roh Kudus menjadikan rahmat keselamatan yang dari wafat dan kebangkitan Yesus bermanfaat di dalam diri kita. Dengan demikian, kita dibersihkan dari dosa, baik dosa asal dan aktual.

Setelah turunnya Roh Kudus, Yesus mendengar suara yang datang dari surga, “Engkaulah Anak-Ku yang Kukasihi; dengan Anda Aku berkenan.” Ini adalah efek kedua dari pembaptisan: kita dilahirkan kembali sebagai anak-anak Allah. Seperti Yesus diproklamasikan sebagai Putra Allah dalam pembaptisan, kita berbagi juga dalam kemuliaan ini. Ketika imam menuangkan air pada dahi kita atau membenamkan kita ke dalam air, semua malaikat di surga bersukacita karena Allah merangkul putra-putri-Nya yang baru lahir. Seperti ayah duniawi yang riang menerima kabar baik karena anaknya yang baru lahir, demikian juga Bapa surgawi kita sungguh berkenan dengan kita di pembaptisan kita.

Saat kita dilahir, kita diciptakan menurut citra Allah, dan dalam pembaptisan, kita diciptakan kembali secara khusus di dalam citra sang Putra Allah, Yesus Kristus. Sebagai orang Kristiani, kita memiliki hak istimewa yang amat luhur yakni dipanggil sebagai anak-anak Allah. Dan sebagai putra dan putri Allah Bapa yang sama, kita berkumpul dalam satu komunitas, satu keluarga dengan Kristus sebagai kepala dan anak yang sulung. Komunitas anak-anak Allah ini adalah yang kita sebut sebagai Gereja. Jadi, dalam pembaptisan, kita menerima bonus: keanggotaan Gereja.

Sekarang, kita dapat melihat hak ilahi yang ditawarkan kepada kita dalam pembaptisan dengan cuma-cuma. Namun, kita harus ingat kasih karunia memang diberikan secara cuma-cuma, tetapi tidak berarti murahan. Jika kita membaca dengan seksama, setelah Yesus dibaptis, hal pertama yang Dia lakukan adalah berdoa. Semua efek-efek unik pembaptisan hanya berbuah dalam hidup kita jika kita bertekun dalam iman dan doa. Tak seorang pun akan percaya kepada kita sebagai anak-anak Allah, jika kita tidak pernah berdoa dan berkomunikasi dengan Bapa kita di surga. Semua orang akan mengejek kita jika kita mengaku Kristiani, tapi kita tidak pernah terlibat aktif di Gereja. Banyak yang akan mengangkat alis mereka jika kita tidak tahu bagaimana mengasihi dan melayani sesama.

Dalam Pesta Pembaptisan Tuhan, Yesus memanggil kita sekali lagi untuk menjadi memperbaharui komitmen kita sebagai anak-anak Allah dan bahkan masuk lebih dalam ke kehidupan doa dan iman. Allah Bapa sungguh berkenan kepada kita dan sekarang giliran kita untuk membuat Ayah surgawi kita bangga.

 

Frater Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP