Minggu ke-25 dalam Waktu Biasa [A]
20 September 2020
Matius 20: 1-16

Di antara banyak perumpamaan Yesus, perumpamaan tentang pemilik kebun anggur yang satu ini adalah perumpamaan yang sulit saya pahami. Setiap saya membaca perumpamaan ini, saya selalu merasa ada yang tidak beres. Mungkin, saya dengan mudah mengasosiasikan diri dengan pekerja yang pertama datang, yang bekerja dari pagi hingga matahari terbenam. Mereka adalah para buruh yang menghabiskan waktu dan energi mereka di bawah terik matahari dan mengerahkan upaya mereka untuk memenuhi tuntutan pemilik kebun anggur. Namun, mereka menerima upah yang sama dengan mereka yang hanya memberikan satu jam kerja. Tentunya pemilik kebun anggur tidak melanggar kontrak, tapi tetap sepertinya ada ketidakadilan.
Mungkin, pengalaman ini seperti saat saya masih kuliah di Manila. Saya belajar keras untuk mendapatkan yang terbaik yang bisa saya raih. Memang, saya mendapat nilai baik, tetapi yang membuat saya tidak terima adalah ketika teman-teman sekelas saya yang saya tahu bahwa mereka pas-pasan, mendapat nilai yang sama dengan saya. Bagi saya, itu tidak adil, tetapi saya tidak dapat melayangkan keluhan saya karena nilai akhir adalah hak prerogatif dosen.
Namun, hal ini mulai terlihat berbeda ketika saya menjadi dosen. Pada satu titik, saya perlu memberi nilai akhir kepada siswa saya. Dan ini adalah saat yang paling dilematis bagi saya karena saya menyadari bahwa di satu sisi, saya perlu memberikan keadilan, tetapi di sisi lain, saya ingin semua siswa saya lulus dan berhasil. Akhirnya, saya lebih sering memilih belas kasihan dan mengizinkan murid-murid saya yang pas-pasan untuk lulus. Saya sepenuhnya sadar bahwa beberapa siswa saya akan merasa bahwa saya tidak adil, dan itulah beban yang harus saya tanggung sebagai dosen yang memilih untuk berbelas kasihan.
Jika kita mencoba melihat dengan teliti apa yang dilakukan pemilik kebun anggur, kita akan menganggapnya lucu dan bahkan aneh. Dia terus mencari dan memperkerjakan orang baru hampir setiap tiga jam. Lebih parah lagi, dia memberikan upah harian yang sama untuk semua. Dalam ekonomi dan bisnis, pengeluaran berlebihan dan kelebihan tenaga kerja adalah resep kebangkrutan! Tapi, si pemilik kebun anggur sepertinya tidak peduli dan terus mencari tenaga kerja. Mungkin, dia tahu betul jika orang-orang ini tanpa pekerjaan, mereka akan mati kelaparan, namun jika mereka bekerja dan menerima kurang dari upah minimum, mereka juga tidak akan bisa bertahan hidup. Dia tidak bisa memuaskan semua orang, tapi setidaknya dia akan bisa menyelamatkan semuanya.
Belajar dari perumpamaan ini, daripada mengeluh kepada Tuhan, kita perlu bersukacita karena Tuhan kita penuh belas kasihan, yang bahkan Dialah berinisiatif dan berupaya untuk mencari kita yang membutuhkan keselamatan, dan yang dengan sedia memberikan kehidupan kekal bahkan bagi mereka yang selama hidupnya tidak baik, tetapi pada saat terakhir bertobat.
Kita harus bersukacita karena dalam mata Tuhan, kita semua adalah pekerja terakhir yang memohon belas kasihan pemilik kebun anggur. Siapa tahu, pekerja yang datang pertama sebenarnya adalah para malaikat, dan kita benar-benar pendatang terakhir yang tidak layak. Dengan dosa kita, kita semua pantas masuk neraka, tapi Tuhan mengulurkan tangan-Nya dan membuka Gerbang Surga. Kita harus bersukacita bahwa surga bukanlah tempat yang sepi di mana hanya sedikit orang benar yang layak mendapatkannya, tetapi surga penuh dengan orang-orang yang bersyukur yang menikmati belas kasihan Tuhan walau tidak layak.
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
Picture: Maja Patric
