Minggu ke-32 di Masa Biasa
8 November 2020
Matius 25: 1-13
Upacara pernikahan adalah salah satu acara terindah di banyak budaya dan masyarakat. Ini termasuk di masyarakat Yahudi di Palestina abad pertama Masehi. Bagi orang Ibrani yang hidup pada zaman Yesus tersebut, upacara pernikahan memiliki dua tahap. Yang pertama adalah pertukaran janji. Pasangan tersebut sudah menikah secara resmi, dan mereka diakui sebagai suami dan istri di mata komunitas Yahudi. Namun, mereka akan menunggu sekitar satu tahun sebelum mereka bisa hidup bersama. Sang suami akan mempersiapkan rumah mereka serta perayaan pesta nikah yang mungkin berlangsung selama 7 hari lamanya.
Tahap kedua adalah pesta pernikahan. Ini dimulai dengan pengantin pria menjemput sang istri dari rumah keluarganya, dan membawanya ke rumahnya dengan prosesi tarian dan musik. Karena prosesi biasanya berlangsung pada malam hari, api dan obor sangat diperlukan. Sepuluh gadis ini adalah mungkin beberapa teman dekat dari pengantin wanita dan bahkan kerabat dari pasangan tersebut. Mereka ditempatkan tidak jauh dari tempat pernikahan untuk menyambut pasangan suami istri tersebut. Karena tidak ada internet dan GPS, kesepuluh perawan mungkin tidak dapat mengetahui posisi prosesi tersebut dengan tepat, tetapi mereka diharapkan siap kapanpun pasangan ini datang.
Mari kita perhatikan sikap dari lima gadis yang bodoh ini. Dalam bahasa Yunani, kelima gadis ini disebut “moros” di mana kita mendapatkan kata dalam bahasa Inggris “moron”. Itu pasti kata yang keras. Namun, jika kita amati dengan seksama, apa yang dilakukan perawan ini sungguh bodoh dan ceroboh. Bukan hanya gagal mempersiapkan kedatangan pengantin, mereka juga mencari minyak di tengah malam. Mereka tidak hidup di era modern di mana kita dapat dengan mudah membeli barang-barang di toko seperti indomart atau alfamart. Kita bisa membayangkan bagaimana mereka dengan tergesa-gesa mencari pedagang, dan dengan panik mengetuk pintu toko atau rumah mereka. Hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan dan bahkan kegaduhan yang tidak perlu dan menimbulkan rasa malu bagi sang pasangan. Ini mungkin juga menjadi alasan mengapa tuan rumah menolak untuk menerima lima gadis bodoh ini.
Perumpamaan Yesus ini memberi kita peringatan yang kuat untuk tidak menjadi bodoh dalam menjalani hidup kita sebagai orang Kristiani. Kita diberi peran dan misi tertentu dalam hidup kita. Beberapa dari kita dipanggil untuk menjadi pasangan suami-istri dan orang tua, dan beberapa dari kita melayani sebagai imam atau rohaniawan seperti para suster. Beberapa dari kita adalah pendidik iman, beberapa dari kita adalah pemimpin komunitas dan yang lainnya terlibat dalam berbagai pelayanan. Dalam peran apapun kita miliki, Yesus meminta kita untuk bijak dalam melakukan hidup dan pelayanan kita, dan menuntut kita untuk tidak melakukan hal-hal bodoh dan bahkan menyebabkan penderitaan yang tidak perlu bagi orang lain.
Jika kita, sebagai orang Kristiani, bertindak bodoh, kita tidak hanya mempermalukan diri kita sendiri, tetapi juga Kristus sendiri. Tapi, jika kita menghasilkan perbuatan bijak, kita membawa kemuliaan bagi Tuhan, dan lebih banyak orang akan memuji Tuhan kita.
St. Josemaria Escriva pernah berkata, “wajah murung, tidak sopan, tampil konyol, tidak ramah. Itukah caramu berharap untuk mengispirasi orang lain untuk mengikuti Kristus?”
Valentinus Bayuhadi Ruseno, OP
